BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pariwisata Kajian tentang pariwisata belakangan ini sudah dilakukan oleh para peneliti
yang mencermati hal-hal yang layak untuk diteliti. Beberapa kajian yang telah dilakukan telah dapat memberikan sumbangan pemikiran secara ilmiah untuk menunjang khasanah kepariwisataan dan keilmuan. Aspek yang diteliti juga mencerminkan hal-hal yang bervariasi atau melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang dan berbagai disiplin ilmu. Perkataan pariwisata berasal dari bahasa sansekerta dengan rangkaian suku kata “pari” = banyak, ditambah dengan “wis“ = melihat, dan “ata” = tempat. Jadi, pariwisata merupakan terjemahan dari “melihat banyak tempat”. Indonesia pada awalnya mengenal pariwisata dengan mempergunakan bahasa asing yaitu “tourism”. Perubahan istilah ”tourism” menjadi ”pariwisata” dipopulerkan ketika dilangsungkan Musyawarah Nasional (Darmaji, 1992). Pengertian pariwisata juga dijelaskan oleh beberapa ahli wisata, diantaranya: pariwisata adalah kegiatan manusia yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya (WTO, dalam Richardson & Flucker, 2004). Sedangkan menurut Matheison & Wall yang dikutip oleh Chris Cooper 2005 mengatakan bahwa pariwisata adalah perjalanan sementara ke destinasi di luar rumah
8 Universitas Sumatera Utara
9
dan tempat kerja, aktivitas yang dilakukan selama tinggal di tempat tersebut dengan menggunakan fasilitas yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan turis. Pariwisata terdiri dari kegiatan orang, bepergian ke dan tinggal di tempat di luar lingkungan biasa mereka selama tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk bersantai, bisnis dan tujuan lain. (UNWTO, 1995, dikutip dari Richardson dan Fluker, 2004). Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan mendefenisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka wantu sementara. Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung sebagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah. Dari beberapa definisi tentang pariwisata, Darmaji berbependapat bahwa dari definisi yang dikemukaan oleh para ahli wisata dapat diambil unsur-unsur dari pariwisata itu sendiri, dan unsur-unsur tersebut adalah adanya kegiatan mengunjungi suatu tempat, bersifat sementara, ada sesuatu yang ingin dilihat dan dinikmati, dilakukan perseorangan atau kelompok, mencari kesenagan, dan adanya fasilitas di tempat wisata (Darmaji,1992). Berbicara masalah pariwisata tentu tidak lepas dari yang namanya pengunjung tempat wisata atau wisatawan, menurut WTO jenis wisatawan dapat di golongkan menjadi 3 (tiga) yaitu: (1) Pertama, traveller yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas; (2) Kedua, visitor yaitu orang yang melakukan
Universitas Sumatera Utara
10
perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari nafkah, pendapatan, dan penghidupan di suatu tempat tujuan; (3) Ketiga, tourist yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi (WTO, dalam Pitana: 2009).
2.1.1
Kawasan pariwisata Berdasarkan UU No.9 Tahun 1990 dijelaskan bahwa pengertian kawasan
wisata adalah suatu kawasan yang mempunyai luas tertentu yang dibangun dan disediakan untuk kegiatan pariwisata. Apabila dikaitkan dengan pariwisata air, pengertian tersebut berarti suatu kawasan yang disediakan untuk kegiatan pariwisata dengan mengandalkan obyek atau daya tarik kawasan perairan. Pengertian kawasan pariwisata ini juga diungkapkan oleh seorang ahli yaitu Inskeep (1991) sebagai area yang dikembangkan dengan penyediaan fasilitas dan pelayanan lengkap (untuk rekreasi/relaksasi, pendalaman suatu pengalaman/kesehatan). Kawasan pariwisata merupakan salah satu bagian dari kawasan budidaya yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, manusia, warisan budaya dan sumber daya buatan. Adapun kriteria kawasan pariwisata menurut Sandy adalah: (1) Pertama, kawasan yang secara teknis dapat digunakan untuk kegiatan pariwisata, tidak menganggu kelestarian budaya, keindahan alam dan lingkungan; (2) Kedua, kawasan yang apabila digunakan untuk kegiatan pariwisata, secara ruang dapat memberikan manfaat, antara lain:
Universitas Sumatera Utara
11
meningkatkan devisa dari pariwisata dan mendayagunakan investasi yang ada disekitarnya dan mendorong kegiatan lain yang ada disekitarnya; (3) Ketiga, memiliki kemampuan untuk tetap melestarikan nilai warisan budaya, adat istiadat, kesenian dan mutu keindahan lingkungan alam; (4) Keempat, memiliki kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan kehidupan ekonomi (multiplier effect) dan sosial budaya; (5) Kelima, memiliki kemampuan berkembang sesuai segmen pasar mancanegara atau domestik (Sandy dalam Sastropoetro 1998).
2.1.2
Potensi dan daya tarik wisata Potensi dan daya tarik wisata adalah salah satu yang menjadi faktor utama
dalam pengembangan pariwisata. Pendit (2002) menerangkan bahwa potensi wisata adalah berbagai sumber daya yang terdapat disebuah daerah tertentu yang bisa dikembangkan menjadi atraksi wisata
yang dimanfaatkan untuk kepentingan
ekonomi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek lainnya. Sedangkan menurut pendapat Yoeti (2002) Daya tarik atau atraksi wisata adalah segala sesuatu yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung pada suatu daerah tujuan wisata, seperti: atraksi alam (landscape, pemandangan laut, pantai, iklim dan fitur geografis lain dari tujuan), daya tarik budaya (sejarah dan cerita rakyat, agama, seni dan acara khusus, festival), atraksi sosial (cara hidup, populasi penduduk, bahasa, peluang untuk pertemuan sosial), dan daya tarik bangunan (bangunan, arsitektur bersejarah dan modern, monumen, taman, kebun, marina).
Universitas Sumatera Utara
12
Pengertian daya tarik wisata menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan Bab I, pasal 5, juga mengemukakan pengertian dari daya tarik wisata yaitu daya tarik wisata” adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayan alam, budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sementara dalam Bab I, pasal 10, disebutkan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Sedangkan menurut Cooper terdapat 4 (empat) komponen yang harus dimiliki oleh sebuah daya tarik wisata yaitu: (1) Pertama, atraksi (attractions), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukkan; (2) Kedua, aksesibilitas (accessibilities), seperti transportasi lokal dan adanya terminal; (3) Ketiga, amenitas atau fasilitas (amenities), seperti tersedianya akomodasi, rumah makan, dan agen perjalanan; (4) Keempat, ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan seperti organisasi manajemen pemasaran wisata (Cooper, 2005) Kemudian Yoeti (2002) berpendapat bahwa berhasilnya suatu tempat wisata hingga tercapainya kawasan wisata sangat tergantung pada 3A yaitu atraksi (attraction), mudah dicapai (accessibility), dan fasilitas (amenities). Sedangkan Middleton (2001) memberikan pengertian produk wisata lebih dalam yaitu produk
Universitas Sumatera Utara
13
wisata dianggap sebagai campuran dari tiga komponen utama daya tarik, fasilitas ditempat tujuan dan aksesibilitas tujuan, yaitu: Pertama, atraksi: elemen-elemen didalam suatu atraksi wisata yang secara luas menentukan pilihan konsumen dan mempengaruhi motivasi calon-calon pembeli diantaranya: atraksi wisata alam (meliputi bentang alam, pantai, iklim dan bentukan geografis lain dari suatu destinasi dan sumber daya alam lainnya), atraksi wisata buatan/binaan manusia (meliputi bangunan dan infrastruktur pariwisata termasuk arsitektur bersejarah dan modern, monument, trotoar jalan, taman dan kebun, pusat konvensi, marina, ski, tempat kepurbakalaan, lapangan golf, toko-toko khusus dan daerah yang bertema), atraksi wisata budaya, (meliputi sejarah dan cerita rakyat (legenda), agama dan seni, teater musik, tari dan pertunjukkan lain, museum dan beberapa dari hal tersebut dapat dikembangankan menjadi even khusus, festival, dan karnaval), atraksi wisata sosial, meliputi pandangan hidup suatu daerah, penduduk asli, bahasa, dan kegiatan-kegiatan pertemuan sosial. Kedua, amenitas/fasilitas: terdapat unsur-unsur didalam suatu atraksi atau berkenaan dengan suatu atraksi yang memungkinkan pengunjung untuk menginap dan dengan kata lain untuk menikmati dan berpatisipasi didalam suatu atraksi wisata. Hal tersebut meliputi: akomodasi (hotel, desa wisata, apartment, villa, caravan, hostel, guest house), restoran, transportasi (taksi, bus, penyewaan sepeda dan alat ski diatraksi yang bersalju), aktivitas (sekolah ski, sekolah berlayar dan klub golf), fasilitas-fasilitas lain (pusat-pusat bahasa dan kursus keterampilan), retail outlet (toko, agen perjalanan, souvenir, produsen camping), pelayanan-pelayanan lain (salon
Universitas Sumatera Utara
14
kecantikan, pelayanan informasi, penyewaan perlengkapan dan kebijaksanaan pariwisata). Ketiga, aksesibilitas: elemen-elemen ini adalah yang mempengaruhi biaya, kelancaran dan kenyamanan terhadap seorang wisatawan yang akan menempuh suatu atraksi, seperti infrastruktur, Jalan, bandara, jalur kereta api, pelabuhan laut, perlengkapan (ukuran, kecepatan, jangkauan dari sarana transportasi umum), faktorfaktor operasional seperti jalur/rute operasi, frekuensi pelayanan, dan harga yang dikenakan, peraturan pemerintah yang meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan transportasi. Walaupun beberapa ahli di atas menyebutkan ada tiga produk atau komponen wisata yang harus dimiliki, namun Direktorat Jendral Pariwisata Republik Indonesia yang menyebutkan perkembangan produk wisata dikaitkan atas 4 faktor yaitu: (1) Pertama, attractions (daya tarik): site attractions (tempat-tempat bersejarah, tempat dengan iklim yang baik, pemandangan indah), event attractions (kejadian atau peristiwa misalnya kongres, pameran, atau peristiwa lainnya); (2) Kedua, amenities (fasilitas) tersedia fasilitas yaitu: tempat penginapan, restoran, transport lokal yang memungkinkan wisatawan berpergian, alat-alat komunikasi; (3) Ketiga, accsesibility (aksesibilitas) adalah tempatnya tidak terlalu jauh, tersedia transportasi ke lokasi, murah, aman, dan nyaman; (4) Keempat, tourist organization untuk menyusun kerangka
pengembangan
pariwisata,
mengatur
industri
pariwisata
dan
mempromosikan daerah sehingga dikenal banyak orang.
Universitas Sumatera Utara
15
Keseluruhan teori dari para hali wisata tentang produk atau komponen pariwisata dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Komponen Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) No 1
Nama Cooper
2
Yoeti
3
Middleton
4
Direktorat Jenderal Pariwisata Indonesia
5
Mason (dalam Poerwanto)
Komponen Atraksi Aksesibilitas
Indikator Alam yang menarik, Kebudayaan, Seni Pertunjukan Transportasi lokal
Amenitas Ancilary
Rumah makan Akomodasdi, Agen Perjalanan Organisasi Kepariwisataan
Attraction Accessibility Amenities Attraction Amenitas Aksesibilitas
Ekonomi yang berkelanjutan. Keberlanjutan ekologi. Akomodasi, hotel, transportasi Bentang alam, iklim, seni, bahasa Akomodasi, hotel, transportasi Infrastruktur, Jalan, Bandara, sarana transportasi Tempat bersejarah, pemandangan, pameran Penginapan, restoran, . Tempat, Transportasi Lembaga yang mengatur Pariwisata
Attraction Amenities Accessibility Touris Organization Attraction Amenitas Aksesibilitas
Bentang alam, iklim, seni, bahasa Akomodasi, hotel, transportasi Infrastruktur, Jalan, Bandara, sarana transportasi 6 Sugiyanto Tingkat Keunikan, Nilai Obyek, Ketersediaan Daya Tarik Obyek Wisata Lahan, Kondisi Fisik Obyek Wisata Jarak dari jalan raya, Kondisi jalan, Kendaraan Aksesibilitas Menuju obyek Fasilitas Dasar (Watung Makan, MCK, Amenitas Akomodasi) dan Fasilitas Pendukung (Listrik, Tempat Ibadah, Akses Komunikasi dan Tempat Parkir Sumber: Cooper (2005), Yoeti (2002), Middleton (2001), Dirjen Pariwisata, dan Mason (2004), Sugiyanto (2004).
Universitas Sumatera Utara
16
Namun dalam penelitian ini, produk atau komponen pariwisata yang digunakan adalah berdasarkan teori Yoeti (2002), Middleton (2001), dan Peter Mason (di kutip dalam Purwanto, 2004) bahwa komponen produk wisata tetap berdasarkan atas tiga komponen utama yaitu daya tarik (attraction), fasilitas wisata (amenities), dan akses (aksesibilitas), seperti pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Komponen Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) No 1
2
Variabel Atraksi (Cooper, 2005), (Yoeti,2002), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004) Aksesibilitas (Cooper, 2005), (Yoeti,2002), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004)
1. 2. 3.
1.
2. 3.
3
Amenitas (Cooper, 2005), (Yoeti,2002), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004)
1.
2.
3.
Indikator Tempat Bersejarah (Dirjen Pariwisata) Pemandangan(Cooper, 2005) dan (Dirjen Pariwisata Indonesia). Kebudayaan (Cooper, 2005), (Middleton,2001), (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004) Transportasi Lokal Cooper, 2005), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004). Kondisi Jalan (Peter Mason, 2004), dan (Sugiyanto, 2004). Infrastuktur (Middleton,2001). Losmen / Hotel (Yoeti,2002), (Middleton,2001), (Dirjen Pariwisata Indonesia), (Peter Mason, 2004). Rumah Makan (Cooper, 2005), (Dirjen Pariwisata Indonesia), dan (Sugiyanto, 2004) Fasilitas Dasar (Sugiyanto, 2004) a. MCK b. Tempat Ibadah c. Souvenir
Universitas Sumatera Utara
17
2.2
Community Based Tourism Community Based Tourism (CBT) yaitu konsep pengembangan suatu
destinasi wisata melalui pemberdayaan masyarakat lokal, dimana masyarakat turut andil dalam perencanaan, pengelolaan, dan pemberian suara berupa keputusan dalam pembangunannya (Murphy, 2004). Sedangkan menurut Baskoro, BRA (2008) Community Based Tourism (CBT) adalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nila-nilai dan aset yang mereka milki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata. Sama halnya dengan Anstrand (2006) mendefinisikan Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan dan menempatkan keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya, diatur dan dimiliki oleh komunitas, untuk komunitas. Anstrand mencoba melihat Community Based Tourism (CBT) bukan dari aspek ekonomi terlebih dahulu melainkan aspek pengembangan kapasitas komunitas dan lingkungan, sementara aspek ekonomi menjadi suatu dampak yang dihasilkan dari aspek sosial, budaya dan lingkungan. Sedangkan menurut Suansri (2003) menguatkan definisi Community Based Tourism (CBT) sebagai pariwisata yang memperhitungkan aspek keberlanjutan lingkungan, sosial dan budaya dalam komunitas. CBT merupakan alat bagi pembangunan komunitas dan konservasi lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
18
Pantin dan Francis (2005) menyusun definisi CBT sebagai integrasi dan kolaborasi
antara pendekatan dan alat (tool) untuk pemberdayaan ekonomi
komunitas, melalui assessment, pengembangan dan pemasaran sumber daya alam dan sumber daya budaya komunitas. Salah satu bentuk perencanaan yang partisipatif dalam pembangunan pariwisata adalah dengan menerapkan CBT sebagai pendekatan pembangunan. Seperti yang dikemukakan oleh Hausler (2005), menjelaskan gagasan tentang definisi dari CBT yaitu: (1) Pertama, bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata; (2) Kedua, masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan; (3) Ketiga, menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan. Dengan demikian dalam pandangan Hausler, Community Based Tourism (CBT) merupakan suatu pendekatan pembangunan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal (baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak) dalam bentuk memberikan kesempatan (akses) dalam manajemen dan pembangunan pariwisata yang berujung pada pemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan pariwisata yang lebih adil bagi masyarakat lokal. Hausler juga menyampaikan gagasan tersebut sebagai wujud perhatian yang kritis pada
Universitas Sumatera Utara
19
pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak masyarakat lokal di daerah tujuan wisata.
2.2.1
Ciri- ciri Community Based Tourism Community Based Tourism (CBT) bukan hanya sebagai sebuah harapan bagi
negara-negara di dunia melainkan juga sebagai sebuah peluang, Community Based Tourism (CBT) memiliki ciri-ciri unik seperti yang dikemukakan oleh Nasikun yaitu, oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisasi di dalam skala yang kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang berskala massif. Pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil, oleh karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima oleh masyarakat. Serta
berkaitan sangat erat dan sebagai
konsekuensi dari keduanya, lebih dari pariwisata konvensional yang bersifat massif, pariwisata alternatif yang berbasis komunitas memberikan peluang yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal untuk melibatkan diri di dalam proses pengambilan keputusan dan didalam menikmati keuntungan perkembangan industri pariwisata, maka dari itu lebih memberdayakan masyarakat (Nasikun, 2001).
Universitas Sumatera Utara
20
Pariwisata alternatif berbasis komunitas tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya keberlanjutan kultural (cultural sustainability), akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan. Ciri-ciri khusus dari Community Based Tourism CBT juga dikemukkan oleh Hudson (dalam Timothy, 1999) yakni yang berkaitan dengan manfaat yang diperoleh dan adanya upaya perencanaan pendampingan yang membela masyarakat lokal, antara lain kelompok memiliki ketertarikan/minat, yang memberi kontrol lebih besar dalam proses sosial untuk mewujudkan kesejahteraan.
2.2.2
Prinsip-prinsip Community Based Tourism Prinsip-prinsip dasar dari Community Based Tourism (CBT) juga dijelaskan
oleh beberapa ahli. Menurut UNEP dan WTO (2005) ada sepuluh prinsip dasar dari Community Based Tourism (CBT) yaitu: (1) pertama, mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata; (2) Kedua, mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek; (3) Ketiga, mengembangkan kebanggaan komunitas; (4) Keempat, mengembangkan kualitas hidup komunitas; (5) Kelima, menjamin keberlanjutan lingkungan; (6) Keenam, mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area local; (7) Ketujuh, membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas; (8) Kedelapan, menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia; (9) Kesembilan,
Universitas Sumatera Utara
21
mendistribusikan keuntungan secara adil kepada
anggota
komunitas; (10)
Kesepuluh, berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian pendapatan)
dalam proyek-proyek yang ada dikomunitas.
Sementara itu menurut Hatton (1999) prinsip-prinsip dasar dari Community Based Tourism (CBT) dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu: pertama, prinsip sosial yaitu berkaitan otorisasi kepada komunitas untuk memberi ijin, mendukung, membangun dan mengoperasikan kegiatan wisata yang ada di wilayahnya. Prinsip ekonomi berkaitan dengan sistem pembagian keuntungan yang timbul dari pengembangan industry pariwisata. budaya dan politik. Kedua, prinsip ekonomi yaitu terdapat dalam tiga bentuk: (1) Pertama, joint venture dalam usaha pariwisata dimana dari keuntungan yang diperoleh wajib menyisihkan keuntungan bagi komunitas (berupa CSR atau dana bagi hasil); (2) Kedua, asosiasi yang dibentuk komunitas untuk mengelola kegiatan wisata dimana keuntungannya juga dibagikan kepada komunitas; dan (3) Ketiga usaha kecil/menengah yang merekrut tenaga kerja dari komunitas. Hatton
tidak
merekomendasikan usaha individu dalam Community Based Tourism (CBT) karena dikhawatirkan keuntungan kegiatan pariwisata hanya dirasakan oleh anggota komunitas yang terlibat sedangkan yang tidak terlibat dalam usaha/kegiatan pariwisata tidak mendapat keuntungan. Ketiga, Prinsip budaya mensyaratkan adanya upaya menghargai budaya lokal, heritage dan tradisi dalam kegiatan pariwisata. Community Based Tourism (CBT)
Universitas Sumatera Utara
22
harus dapat memperkuat dan melestarikan budaya lokal, heritage dan tradisi komunitas. Keempat, prinsip politik berkaitan dengan peran pemerintah lokal dan regional diantaranya dalam membuat kebijakan sehingga prinsip sosial ekonomi, budaya dan dapat terlaksana. Sedangkan
menurut
Nederland
Development
Organisation
(SNV)
mengemukakan empat prinsip Community Based Tourism (CBT) yaitu: ekonomi yang berkelanjutan, keberlanjutan ekologi, kelembagaan yang bersatu, keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan pada seluruh komunitas (www.caribro.com). Prinsip keberlanjutan ekonomi berkaitan dengan adanya jaminan bahwa CBT mampu menciptakan mekanisme yang dapat menjaga perekonomian tetap sehat dan berkesinambungan sehingga pariwisata dapat diandalkan untuk meningkatkan pendapatan/kesejahteraan komunitas. Prinsip keberlanjutan ekologi berkaitan dengan upaya untuk menjaga agar kualitas lingkungan dapat dipertahankan. Penguatan kelembagaan salah satu prinsip penting karena kelembagaan adalah alat bagi seluruh anggota komunitas untuk mendapatkan akses untuk menjadi pemegang keputusan. Dengan mengacu pada prinsip dasar Community Based Tourism (CBT) dari UNEP dan WTO (2005), Suansri mengembangkan lima prinsip yang merupakan aspek utama dalam pengembangan Community Based Tourism (CBT) yaitu: Prinsip ekonomi dengan indikator timbulnya dana untuk pengembangan komunitas, terciptanya lapangan pekerjaan disektor pariwisata dan timbulnya pendapatan masyarakat lokal. Prinsip sosial dengan indikator terdapat peningkatan kualitas
Universitas Sumatera Utara
23
hidup, adanya peningkatan kebanggaan komunitas, pembagian peran yang adil antara laki-laki perempuan, generasi muda dan tua dan terdapat mekanisme penguatan organisasi komunitas. Prinsip budaya dengan indikator mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda, mendorong berkembangnya pertukaran budaya dan adanya budaya pembangunan yang melekat erat dalam budaya lokal. Prinsip lingkungan dengan indikator pengembangan carryng capacity area, terdapat sistem pembuangan sampah yang ramah lingkungan dan adanya kepedulian
tentang
pentingnya konservasi. Prinsip politik dengan indikator terdapat upaya peningkatan partisipasi dari penduduk lokal, terdapat upaya untuk meningkatkan kekuasaan komunitas yang lebih luas dan terdapat makanisme yang menjamin hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA (Suansri, 2003). Kelima prinsip tersebut menurut Suansri merupakan wujud terlaksananya pariwisata yang berkelanjutan. Keseluruhan prinsip-prinsip dasar Community Based Tourism (CBT) dari beberapa ahli dan organisasi dunia, dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Prinsip -prinsip Community Based Tourism (CBT) No Nama 1 UNEP dan WTO (2005)
Prinsip Sosial
Budaya Ekonomi
1.
1. 2. 1. 2. 3.
Indikator Mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek
Mengembangkan kebanggaan komunitas Mengembangkan kualitas hidup komunitas Mengakui, mendukung dan mengembangkan Kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata Mempertahankan keunikan karakter dan budaya
Universitas Sumatera Utara
24
Tabel 2.3 (Lanjutan) No
Nama
Prinsip 4.
Indikator Membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukuran budaya pada komunitas
Lingkungan
1.
Menjamin keberlanjutan pada komunitas
1
UNEP dan WTO (2005)
Politik
1.
Berperan dalam menentukan persentase pendapatan (pendistribusian pendapatan).
2
Hatton (1999)
Sosial
1.
Ekonomi
1.
Budaya
1.
Politik
1. 2. 1. 1. 1. 2.
Kegiatan pariwisata dibangun dan dioperasikan, didukung, dan diizinkan oleh komunitas lokal Pembagian keuntungan dapat dipertanggung jawabkan Menghargai budaya lokal, heritage, dan tradisi Peranan pemerintah lokal dan regional
3
4
SNV(2005) Ekonomi lingkungan Pengelolaan
Suansri (2003)
Ekonomi
1.
Sosial
1. 2. 3. 4.
Budaya
1.
Politik
2. 3. 1. 2. 3.
Ekonomi yang berkelanjutan Keberlanjutan ekologi Kelembagaan yang bersatu Keadilan pada distribusi biaya dan keuntungan pada seluruh komunitas Terciptanya lapangan pekerjaan sektor pariwisata Peningkatan kualitas hidup Peningkatan kebanggan komuniatas Pembagian peran yang adil (gender, usia) Mekanisme penguatan organisasi komunitas Mendorong masyarakat menghormati budaya lain Mendorong pertukaran budaya Budaya pembangunan Peningkatan partisipasi penduduk lokal Peningkatan kekuasaan komuntas luas Mekanisme yang menjamin hak masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA
Universitas Sumatera Utara
25
Tabel 2.3 (Lanjutan) No
Nama
Prinsip Lingkungan
Indikator 1. Pengembangan carrying capacity 2. Pembuangan sampah yang ramah lingkungan 3. Kepedulian pada konservasi
Sumber: UNEP dan WTO (2005), Hatton (1999), SNV (2005), dan Suansri (2003)
Namun dalam penelitian ini, prinsip-prinsip dari Community Based Tourism (CBT) yang digunakan adalah berdasarkan teori dari Suansri (2003) yang mengemukakan bahwa ada lima prinsip Community Based Tourism (CBT) yang merupakan aspek utama yaitu prinsip ekonomi, prinsip sosial, prinsip budaya, prinsip lingkungan, dan prinsip politik. Serta indikator dari setiap prinsip berdasarkan yang dikemukakan oleh berdasarkan UNEP & WTO (2005), SNV (2005), dan Hatton (1999), seperti terlihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Prinsip Community Based Tourism (CBT) yang digunakan No 1.
Prinsip Ekonomi
2.
Sosial
3.
Budaya
Indikator Adanya dana untuk pengembangan wisata berbasis masyarakat Terciptanya lapangan pekerjaan Timbulnya pendapatan masyarakat lokal Peningkatan kualitas hidup Peningkatan kebanggaan komunitas Kesediaan dan kesiapan masyarakat Membantu berkembangnya pertukaran budaya Mendorong masyarakat untuk menghormati budaya yang berbeda Mengenalkan budaya lokal
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 2.4 (Lanjutan)
No 4.
5.
2.3
Prinsip Lingkungan
Politik
Indikator Kepedulian akan perlunya konservasi Mengatur pembuangan sampah dan limbah Ketersediaan air bersih Meningkatkan partisipasi dari penduduk lokal Peningkatan kekuasaan komunitas yang lebih luas Menjamin hak-hak dalam pengelolaan SDA
Wisata Kota sebagai Alternatif Pembangunan Kota Pengertian wisata kota dapat mengacu pada fasilitas yang disediakan, kegiatan
yang dilakukan, budaya maupun kehidupan masyarakat yang ada. Bila dilihat dari fasilitas yang disediakan, kota wisata dapat dilihat sebagai suatu pemukiman dengan fasilitas lingkungan yang sesuai dengan tuntutan wisatawan untuk menikmati, mengenal dan menghayati/mempelajari kekhasan kota dengan segala daya tariknya, dan tuntutan kegiatan hidup masyarakatnya (kegiatan hunian, interaksi sosial, kegiatan adat setempat dan sebagainya), sehingga dapat terwujud suatu lingkungan yang harmonis, yaitu rekreatif dan terpadu dengan lingkungannya (Nugroho, 2004). Dipandang dari perspektif kehidupan masyarakatnya, pariwisata perkotaan merupakan suatu bentuk pariwisata dengan objek dan daya tarik berupa kehidupan kota yang memiliki ciri-ciri khusus dalam masyarakatnya, lingkungan fisik dan budayanya, sehingga mempunyai peluang untuk dijadikan komoditi bagi wisatawan, khususnya wisatawan asing.
Universitas Sumatera Utara
27
Model wisata kota dalam konteks pembangunan pariwisata memiliki nilai pemanfaatan lingkungan sosial, pelestarian kebudayaan masyarakat serta memiliki semangat pemberdayaan komunitas lokal. Secara sosiologis maupun antropolis, bentuk pariwisata perkotaan lebih meletakkan masyarakat sebagai subyek, atau pelaku pariwisata itu sendiri. Strategi pengembangan wisata kota sebagai alternatif pembangunan kota dengan terus menerus dan secara kreatif mengembangkan identitas atau ciri khas yang ada disuatu daerah untuk memenuhi dua tujuan berikut (Nungroho, 2004) yaitu membantu menentukan daerah tujuan wisata baru dan menarik perhatian agar dikunjungi, dan untuk mengembangkan citra hijau yang sesuai dengan lingkungan daerah tersebut. Lebih dari sekedar itu, pengembangan strategi pariwisata yang berdasar kepada berbagai warisan sejarah yang unik, serta ciri khas tempat lainnya, merupakan elemen-elemen yang dapat menjamin keunggulan bersaing suatu proyek pariwisata pedesaan. Agar pembangunan pariwisata kota dapat efektif berjalan dengan baik, maka pandangan dan harapan masyarakat setempat perlu selalu dipertimbangakan. Hal ini bukan berarti bahwa masyarakat memiliki hak veto, tetapi pembangunan pariwisata perkotaan tidak akan dapat berkembang dalam situasi dimana penduduk setempat merasa dieksploitasi, terancam, dan dilanda oleh kegiatan pariwisata tersebut. Nungroho (2004) juga menjelaskan tentang strategi melibatkan peran serta masyarakat setempat dapat dilakukan antara lain dengan menginformasikan kepada
Universitas Sumatera Utara
28
penduduk setempat tentang apa yang akan terjadi jika pariwisata perkotaan masuk dalam lingkungan mereka, menjaga dialog dengan dan diantara mereka, menghargai pendapat dan melibatkan masyarakat setempat dalam pengambilan keputusan, meningkatkan kesadaran pariwisata serta dampaknya terhadap daerah setempat, mendorong hubungan antar wisata dan penduduk setempat, dan melindungi masyarakat setempat dari melimpahnya kegiatan pariwisata. Pendapat lain juga dikemukakkan oleh Gunawan (2005) yang berpendapat bahwa sama halnya dengan kota, pariwisata memiliki dimensi yang bersifat fisik dan tangible, tetapi juga sarat dengan dimensi non fisik dan intagible. Arti pariwisata yang intangibles, antara lain adalah kebanggan yang diciptakan terhadap kota yang banyak dikunjungi masyarakat dari luar. Kota yang dikenal dan terkenal menjadi suatu kebanggaan bagi warga maupun pemerintah kota. Arti penting pariwisata bagi pembangunan kota bisa dilihat dari segi politik, sosial-budaya, dan ekonomi (Gunawan, 2005). Secara politik, jumlah kunjungan wisatawan mempunyai arti penting sebagai tolak ukur keberhasilan pariwisata yang dapat dipahami oleh masyarakat luas maupun oleh legislatif dengan mudah. Di dalam sistem kepemerintahan otonomi yang sekarang berlaku di Indonesia, jumlah kunjungan ini mempunyai arti penting untuk mempengaruhi keputusan dan persetujuan anggaran untuk sektor pariwisata. Makin banyak kunjungan, makin besar anggaran akan dialokasikan bagi sektor pariwisata.
Universitas Sumatera Utara
29
Aspek sosial-budaya, pariwisata juga memiliki arti penting. Dalam banyak kasus, kunjungan ke kota secara signifikan juga diwarnai dengan kunjungan kekeluargaan dan pertemanan sebagai ekspresi sosial-budaya. Dari aspek ekonomi, saat ini makin banyak negara-negara berkembang mengandalkan
pariwisata
sebagai
sumber
pendapatan,
didasarkan
kepada
kecenderungan global yang menunjukkan pergeseran kunjungan pariwisata international ke negara-negara berkembang. Dalam konteks nasional makin banyak juga kota-kota yang menyadari bagaimana pariwisata telah memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi perekonomian kota. Kontribusi ini diperoleh sejogyanya bukan dari perijinan, namun dari kegiatan ekonomi yang ditimbulkan serta pajak usaha serta retribusi. Salah satu strategi untuk mengembangkan pariwisata perkotaan yang sejalan dengan pembangunan kota adalah membangun sarana khusus untuk fungsi-fungsi pelayanan tertentu yang potensial untuk mengundang kunjungan secara langsung maupun tidak langsung. Pariwisata telah berkembang sedemikian rupa menjadi bagian dari kebutuhan dasar sesudah kebutuhan pokok, sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Pendekatan pariwisata dalam pembangunan kota hendaknya juga diartikan sebagai pemanfaatan fungsi pariwisata untuk mengarahakan pengembangan dan bukan hanya untuk memanfaatkan apa yang ada bagi pariwisata. Namun perlu diingat, agar pariwisata yang diukur dengan jumlah kunjungan tidak menjadi tujuan
Universitas Sumatera Utara
30
akhir, tetapi menjadi kendaraan untuk mencapai perkembangan kota yamg diinginkan, berkelanjutan dan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
2.4
Penelitian Terdahulu Gambaran ringkas tentang beberapa penelitian terdahulu yang meneliti
tentang kajian pariwisata berdasarkan konsep Community Based Tourism dan objek daya tarik wisata, dapat dilihat pada Tabel 2.5. Dari setiap penelitian terdahulu menggambarkan keberhasilan penerapan Community Based Tourism diberbagai daerah dan negara. Peneliti mengambil referensi berupa teori, metode, dan kerangka berfikir.
Tabel 2.5 Penelitian Terdahulu No Penulis 1 Sukawi, 2008.
Judul Mencari Potensi Wisata Kota Lama Semarang
Masalah Semarang sebuah kota peninggalan Kolonial yang penuh sejarah, semestinya Kota lama semarang ini mampu mendukung pariwisata di Kota Ini untuk kemajuan kota khususnya dibidang pariwisata. Lalu pertanyaannya adakah potensi wisata di Kota Semarang?
Metode Deskriptis – kualitatif
Kesimpulan Stelah dianalisa melalui teori pariwisata maka ditemukan dua tempat yang secara garis besar memenuhi kriteria sebagai objek wisata.
Universitas Sumatera Utara
31
Tabel 2.5 (Lanjutan) No Penulis 2 BRA Baskoro dan Cecep Rukendi. 2008
Judul Membangunpa riwisata Berbasis Komunitas: suatu kajian Teori
Masalah Bagaimana menerapkan teoriCBT terhadap perencanaan pariwisata
Metode Deskriptif
Kesimpulan Bahwa teori CBT ini sangat cocok untuk diterapkan pada kawasan pariwisata yang berbasis masyarakat lokal.
3
Etsuko Okazaki. 2008.
A Communitybased Tourism Model: Its Conception and Use
How this model can be used to assess participation level in a study site, and suggest further action required.
Qualitative and quantitativ e
The model identifies the current situation of the project and provides suggestions for improvement.
4
Noel B. Salazar. 2012.
Community – Based Tpurism: issues, threays and opportunities
How local uides hamdle their role as ambassador of communal cultural heritage and how community members react to their narrative.
Mix Methode
Findings reveal multiple complex issues of power and resistance that ilustrate many community based tourism.
2.5
Kesimpulan Dari pembahasan mengenai teori-teori tentang Pariwisata dan Community
Based Touris (CBT), hubungan antara masing-masing variabel, maka dapat digambarkan pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
32
Teori Pariwisata dan CBT
Pariwisata
Community Based Touris (CBT)
Variabel ODTW
Variabel CBT
1. Attraction (atraksi) 2. Accsesibility (aksesibilitas) 3. Amenities (amenitas)
1. 2. 3. 4. 5.
Ekonomi Sosial Budaya Lingkungan politik
Menghubungkan antara konsep CBT dengan konsep ODTW Gambar 2.1 Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara