BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kajian Pustaka Bagian dari bab ini memaparkan mengenai tulisan ilmiah yang digunakan
sebagai tinjauan pustaka dalam penelitian ini. Tulisan ilmiah tersebut dapat berupa jurnal, maupun tulisan yang terkait dengan upaya penyelesaian konflik bersenjata oleh organisasi internasional dan operasi perdamaian dalam menangani konflik internal suatu negara. Penelitian yang pertama adalah tesis tahun 2008 karya Adhi Satrio yang berjudul Peran Organisasi Internasional dalam Penyelesaian Konflik Internal Negara: Studi Kasus Peran Pasukan Perdamaian PBB di Sierra Leone Tahun 1994-2005 yang membahas mengenai peran PBB dalam konflik di Sierra Leone, penelitian kedua adalah UN Peacekeeping Mission: The Lessons from Cambodia karya Judy L. Ledgerwood tahun 1994 membahas mengenai keberhasilan peacekeeping operations PBB dalam penyelesaian konflik di Kamboja. Pertama, tesis tahun 2008 karya Adhi Satrio yang berjudul Peran Organisasi Internasional dalam Penyelesaian Konflik Internal Negara: Studi Kasus Peran Pasukan Perdamaian PBB di Sierra Leone Tahun 1994-2005. Tulisan ini membahas bagaimana peranan yang dilakukan PBB selaku organisasi internasional dalam menangani konflik internal di Sierra Leone. Dalam menangani konflik tersebut, PBB tidak hanya melakukan upaya perundingan, tetapi juga melakukan operasi perdamaian dengan menerjunkan pasukan
78
perdamaian ke Sierra Leone. Operasi perdamaian tersebut diawali dengan meresmikan UNOMSIL (United Nations Observer Mission in Sierra Leone) untuk beroperasi di Sierra Leone, kemudian membentuk UNAMSIL (United Nations Mission in Sierra Leone) sebagai penggantinya di tahun 1999 dan semakin memperluas substansi peran operasi perdamaian. Pada tahun 2005 misi UNAMSIL kemudian kembali diteruskan dengan dibentuknya UNIOSIL (United Nations Integrated Office in Sierra Leone) yang menjadi pusat dari kegiatankegiatan PBB yang berkaitan dengan upaya pembangunan pemerintahan yang demokratis pasca konflik untuk Sierra Leone. Dalam tulisan tersebut Satrio (2008) menjelaskan bahwa PBB cukup efektif dan berhasil dalam menjalankan misi perdamaian di Sierra Leone. Keterlibatan PBB dalam resolusi konflik di Sierra Leone ini memberi gambaran yang jelas mengenai pergeseran peacekeeping operations yang semula bersifat tradisional menjadi lebih ke multidimensional. Melalui operasi perdamaian tersebut, PBB juga melakukan beragam tindakan mulai dari memonitor konflik, mengusahakan setiap pihak agar menempuh jalan damai dalam penyelesaian konflik dan tidak melibatkan persenjataan dalam upaya tersebut agar perdamaian dengan segera dapat diciptakan. Penelitian selanjutnya adalah UN Peacekeeping Mission: The Lessons from Cambodia dari Judy L. Ledgerwood tahun 1994. Penelitian ini membahas mengenai misi perdamaian PBB yang dilakukan di Kamboja. Kamboja merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara yang sempat mengalami konflik bersenjata selama hampir dua dekade yang diakibatkan oleh adanya
perang saudara dan juga invasi Vietnam. Selain menimbulkan korban jiwa, perang saudara yang terjadi selama dua belas tahun di antara State of Cambodia (SOC), Khmer Merah, dan dua partai kecil yaitu Front Uni National pour un Cambodge Indépendant, Neutre, Pacifique et Coopératif (FUNCINPEC), dan Khmer People’s National Liberation Front (KPNLF) juga menimbulkan ratusan ribu pengungsi menyeberangi daerah perbatasan dan pergi menuju negara-negara barat. Menurut Ledgerwood (1994) pihak internasional telah mengusahakan upaya perdamaian di Kamboja melalui perundingan damai. Pada tahun 1989, Vietnam mengumumkan bahwa mereka akan menarik pasukannya dari Kamboja. Bulan September 1990, empat partai Kamboja menerima tawaran untuk melaksanakan perundingan damai dari Australia, Perancis, Indonesia, Jepang dan anggota Dewan Keamanan. Negosiasi akhirnya berhasil dilakukan dengan ditandatanganinya Paris Peace Accords oleh pihak Kamboja, Dewan Keamanan PBB dan dua belas negara lainnya. Melalui perjanjian damai tersebut disepakati pula bahwa PBB akan melakukan operasi perdamaian untuk memulihkan suasana konflik di Kamboja melalui UNTAC (United Nations Transitional Authority in Cambodia) tahun 1992-1993. UNTAC sendiri merupakan salah satu operasi perdamaian PBB yang terbesar dan paling ambisius di masanya. Keberhasilan PBB dalam menangani konflik bersenjata di Kamboja juga dipaparkan dalam tulisan Ledgerwood. Menurut Ledgerwood PBB telah berhasil dalam menyelesaikan beberapa mandat operasi perdamaiannya yang cukup ambisius di Kamboja walaupun beberapa aspek lainnya seperti pelucutan senjata kurang berhasil dilakukan akibat berbagai faktor salah satunya karena pihak
Khmer Merah tidak menaati isi dari perjanjian damai yang telah disepakati. Keberhasilan PBB melalui UNTAC di Kamboja juga ditandai dengan dilangsungkannya pemilihan umum dan pergantian konstitusi di Kamboja pasca konflik bersenjata. Kedua penelitian yang digunakan sebagai kajian pustaka tersebut merupakan studi yang cukup komprehensif dalam membahas mengenai peranan dan keterlibatan operasi perdamaian dalam mengupayakan perdamaian konflik bersenjata di berbagai wilayah. Beberapa ide tulisan dalam penelitian tersebut dapat membantu penulis dalam memahami peranan operasi perdamaian dalam konflik internal dan memberikan kontribusi bagi penelitian ini. Kedua penelitian tersebut masing-masing juga memiliki substansi tertentu dalam melihat fenomena konflik dan keterlibatan operasi perdamaian dalam upaya penyelesaiannya, sehingga dapat membantu penulis dalam memetakan pokok bahasan dalam penelitian ini. Selain memiliki persamaan dalam beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai landasan penelitian, kedua penelitian yang digunakan sebagai tinjauan pustaka juga memiliki perbedaan dengan riset yang dilakukan oleh penulis baik dari segi fokus penelitian dan konsep yang digunakan. Hal yang membedakan penelitian Adhi Satrio (2008) dan Ledgerwood (1994) dengan tulisan ini adalah pokok permasalahan yang dibahas. Penelitian tersebut masing-masing mengambil subjek penelitian di Sierra Leone dan Kamboja sementara dalam tulisan ini permasalahan yang diangkat adalah peranan operasi perdamaian dalam upaya perdamaian jangka panjang pada konflik internal di wilayah Burundi, Afrika.
1.2
Kerangka Konseptual Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu Peranan Operasi Perdamaian
Perserikatan Bangsa-Bangsa di Burundi Tahun 2004-2006, maka penulis menggunakan konsep diantaranya intra-state conflict (konflik internal), dan operasi perdamaian. 1.2.1 Intra-state Conflict (Konflik Internal) Konflik jika ditinjau secara etimologi berasal dari kata dalam Bahasa Latin yaitu configere yang berarti saling memukul. Dalam definisi yang lebih jelas, HoWon Jeong (2008) dalam Understanding Conflict and Analysis mengartikan konflik menyangkut tentang adanya perbedaan dalam suatu opini, pertentangan, argumen dan tujuan yang tidak sejalan yang terjadi dalam setiap aspek sosial masyarakat. Peter Wallenstein (2002) dalam Understanding Conflict Resolution: War, Peace, and The Global System menyebutkan terdapat tiga tipe konflik dalam kajian konflik internasional, yaitu konflik antar negara (inter-state conflict), konflik internal (intrastate conflict), dan konflik pembentukan negara (state formation conflict). Dalam penelitian ini kata konflik ditautkan dengan kata intrastate untuk merujuk fenomena yang terjadi di Burundi. Setelah berakhirnya Perang Dingin, beberapa ahli menilai bahwa ranah konflik telah mengalami pergeseran. Konflik yang pada awalnya terjadi antar negara telah mengalami pergeseran ke ruang lingkup yang lebih kecil, yakni di dalam negara itu sendiri atau yang biasa diistilahkan dengan intrastate conflict (konflik internal). Konflik internal sendiri menurut Michael E. Brown (1996)
dalam The International Dimensions of Internal Conflict merupakan konflik antar kelompok yang terjadi di wilayah tertentu (negara) yang melibatkan pihak pemerintah, pihak militer, pihak pemberontak, kelompok etnis, dan organisasi kriminal. Konflik internal sering dikatakan sebagai konflik yang agak sulit untuk diselesaikan karena konflik internal biasanya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja. Brown (1996) mengemukakan pendapatnya bahwa kompleksitas konflik internal tidak dapat dijelaskan hanya dengan menggunakan satu faktor. Brown (1996) menjelaskan setidaknya terdapat empat faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam intra-state conflict. Keempat faktor tersebut oleh Brown dibedakan menjadi dua, yaitu penyebab utama (underlying causes) maupun penyebab pemicu konflik (proximate causes). Untuk mempermudah dalam melihat faktor-faktor yang dipaparkan oleh Brown tersebut, penulis menyajikan faktor-faktor tersebut ke dalam bentuk tabel, yaitu : Tabel 2.1 Faktor Penyebab Utama dan Pemicu Intra-state Conflict
Faktor
Penyebab Utama
Penyebab Pemicu
-
Lemahnya peran negara
-
-
Keamanan kelompok tertentu dan munculnya security dilemma
Negara menjadi collapse (lumpuh)
-
Perubahan pada struktur keseimbangan militer dalam negara
-
Pola atau bentuk perubahan demografi
Struktur -
Pembagian pembatasan berdasarkan tertentu
atau wilayah etnis
Politik
-
Adanya politik
-
Ideologi
-
Dinamika politik antar kelompok
-
Permasalahan ekonomi
-
Sistem ekonomi yang diskriminatif
-
Modernisasi
Sosial Ekonomi
Budaya
diskriminasi
-
Diskriminasi budaya
-
Permasalahan sejarah
-
Transisi kekuatan politik
-
Berkembangnya pengaruh ideologi
-
Tumbuhnya kompetisi antar kelompok
-
Semakin intensifnya pertentangan antar para pemimpin kelompok.
-
Permasalahan ekonomi yang semakin menumpuk
-
Kesenjangan ekonomi
-
Percepatan pembangunan dan adanya modernisasi
-
Semakin intensifnya diskriminasi budaya
-
Pertentangan dan adanya propaganda etnis
Sumber : Brown, M. (1996). The International Dimensions of Internal Conflict (dengan berbagai perubahan)
Faktor pertama yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam konflik internal adalah faktor struktur yang disebabkan oleh tiga hal yaitu melemahnya peran negara, adanya konsentrasi terhadap keamanan kelompok etnis tertentu dan adanya pembagian atau pembatasan masalah berdasarkan kelompok etnis secara spesifik. Melemahnya peran negara cenderung akan membuat penyelesaian konflik yang terjadi di dalam negara itu sendiri sulit untuk dilakukan. Adanya interpretasi keamanan oleh masing-masing kelompok akan menyebabkan setiap kelompok semakin meningkatkan intensitas persenjataannya sehingga hal tersebut
dapat memicu konflik mengarah pada kekerasan. Selain itu, munculnya pembagian wilayah atas kelompok-kelompok tertentu juga dapat membuat konflik semakin bersifat menghancurkan karena pembagian wilayah tersebut dapat memberi ancaman berupa kemunculan kelompok-kelompok separatis yang semakin banyak (Brown, 1996). Faktor kedua adalah faktor politik yang juga tidak kalah penting dalam memberi kontribusi bagi terjadinya kekerasan dalam konflik internal. Adanya diskriminasi atas kelompok etnis tertentu ditambah dengan ideologi nasional yang dianut negara tidak mengakomodir dan menampung keseluruhan kepentingan kelompok akan menimbulkan ikatan primordial yang semakin kuat dan memicu kelompok etnis yang mengalami diskriminasi untuk melakukan gerakan perlawanan. Faktor ketiga, faktor sosial ekonomi dapat menyebabkan terjadinya konflik internal apabila suatu negara mengalami persoalan ekonomi negara secara berkepanjangan. Penyebab lainnya adalah apabila sistem ekonomi yang di anut oleh negara tersebut lebih memprioritaskan kelompok tertentu hingga terjadi kesenjangan sosial dan ekonomi yang tajam. Selain itu, ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi perubahan akibat terjadinya modernisasi ekonomi juga dapat memicu terjadinya konflik internal. (Brown, 1996). Faktor keempat yang juga tidak kalah penting menyebabkan dan memicu timbulnya kekerasan dalam konflik internal menurut Brown (1996) adalah faktor budaya. Bahkan menurut Brown, faktor budaya mempunyai dampak yang cukup kuatdibandingkan faktor lainnya karena pada dasarnya identitas budaya seseorang
atau kelompok dalam suatu masyarakat tidak dapat dirubah. Budaya dapat menjadi penyebab utama maupun pemicu konflik internal apabila terdapat diskriminasi terhadap budaya kelompok tertentu. Selain itu, adanya permasalahan antar kelompok etnis yang terjadi sejak dulu dan belum tuntas dapat menjadi penyebab konflik internal dalam suatu negara terjadi. 2.2.2 Operasi Perdamaian Beberapa situasi konflik turut memaksa pihak lain untuk turun tangan bahkan dengan kekuatan militer dalam upaya menangani konflik tersebut. Oleh karena itulah, tercipta suatu konsep operasi perdamaian yang bertujuan untuk mengatasi konflik, menciptakan dan menjaga perdamaian di suatu wilayah berkonflik. Dalam beberapa tataran konsep, operasi perdamaian memiliki pengertian sebagai suatu hal yang mengacu kepada setiap operasi penciptaan dan pemeliharaan
perdamaian
yang
dilakukan
oleh
organisasi
internasional
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Operasi perdamaian bertujuan untuk membantu menjaga atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional di wilayahwilayah berkonflik. (Blum, 2000). Meskipun tidak dijelaskan secara rinci, landasan hukum diselenggarakan operasi perdamaian oleh PBB tertuang dalam bab VI1 dan bab VII2 dalam Piagam PBB. Boutros-Ghali (1992) dalam An Agenda for Peace menjelaskan bahwa konsep operasi perdamaian PBB secara umum terbagi atas empat jenis kegiatan 1
Bab VI dalam Piagam PBB memberikan penjelasan mengenai upaya-upaya penyelesaian konflik melalui cara damai.
2
Bab VII dalam piagam PBB berisikan ketentuan-ketentuan mengenai keamanan kolektif yang menjadi landasan hukum
atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh PBB terkait dengan perdamaian dunia.
yang saling berhubungan sesuai dengan situasi konflik yang terjadi, yaitu preventive diplomacy, peacemaking, peacekeeping dan peacebuilding. Preventive diplomacy menurut Ghali (1992) merupakan suatu usaha untuk mencegah dan membatasi agar pertikaian tidak bereskalasi menjadi konflik bersenjata. Peacemaking adalah tindakan untuk membawa pihak yang bertikai untuk saling sepakat dalam penyelesaian konflik khususnya melalui cara damai. Peacekeeping menurut Ghali (1992) merupakan teknik penciptaan dan pemeliharaan perdamaian oleh kehadiran PBB di wilayah berkonflik yang melibatkan pasukan militer PBB, personel polisi dan juga elemen sipil. Peacebuilding, dapat diartikan sebagai sebuah proses normalisasi hubungan antara pihak yang berkonflik yang berupaya agar perdamaian yang tercipta berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Pada perkembangannya, terdapat satu kegiatan lagi yang diusulkan Ghali dalam operasi perdamaian PBB, yakni peace enforcement. Melalui peace enforcement, apabila situasi konflik semakin mendesak, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terjadi, faktor persetujuan penempatan operasi perdamaian di wilayah konflik bisa lebih dikesampingkan untuk memberi PBB wewenang dan kekuatan lebih dalam upaya perdamaian (Oliver, 2002). Dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada operasi perdamaian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang lebih ditekankan pada operasi perdamaian yang bersifat multidimensional peacekeeping operations. Di awal terbentuknya sampai memasuki Perang Dingin, operasi perdamaian PBB memiliki keterbatasan dalam fungsi dan tujuannya yakni hanya bersifat sementara dan terbatas untuk observasi, mempertahankan kondisi gencatan senjata di zona
penyangga dan menjaga stabilitas keamanan di daerah berkonflik, agar dapat dilakukan usaha-usaha menciptakan perdamaian misalnya pelaksanaan perjanjian damai. Akan tetapi, pasca Perang Dingin muncul peningkatan konflik internal yang turut membuat operasi perdamaian PBB juga bergeser dari yang bersifat traditional peacekeeping operations menjadi multidimensional peacekeeping operations yang memiliki tugas yang lebih kompleks dalam menangani konflik internal (UN Peacekeeping Operations Principles and Guidelines, 2008). Operasi perdamaian PBB terus berevolusi dan berbenah diri seiring dengan tantangan yang ada di lapangan. Peranan operasi perdamaian PBB yang semula hanya bertugas untuk menjaga perdamaian menjadi lebih spesifik dalam keahlian menjaga perdamaian pasca konflik internal di suatu negara. Berbeda
dengan
operasi
perdamaian
PBB
generasi
traditional
peacekeeping, peranan baru operasi perdamaian PBB saat ini tidak hanya meliputi peran dalam bidang militer seperti misalnya menghentikan pertikaian melalui pengawasan gencatan senjata dan mempertahankan zona aman, tetapi juga menyangkut aspek sosial, politik, dan kemanusiaan seperti menyalurkan bantuan, perlindungan hak asasi manusia (UNDPKO, n.d). Seperti yang dikutip dari website resmi DPKO PBB, operasi perdamaian PBB pasca Perang Dingin memiliki mandat yang lebih lebih kompleks, seperti mengawasi keberlangsungan perlindungan hak asasi manusia, demobilisasi personil militer, membangun kembali sektor pemerintahan, pelucutan senjata pihak-pihak yang berkonflik, menjamin ditaatinya perjanjian damai yang telah tercapai oleh semua pihak yang
berkonflik hingga membantu terselenggaranya pemilihan umum yang kondusif di wilayah berkonflik apabila dibutuhkan. Operasi perdamaian multidimensional PBB dibentuk di negara yang menghadapi situasi berbeda setelah mengalami konflik. Pasca konflik yang berkepanjangan, kapasitas negara untuk menjaga kelangsungan perdamaian pasca konflik dirasa lemah dan tidak memberi jaminan atas keamanan warga negaranya. Meskipun telah disepakati perjanjian damai dan konflik telah selesai, hal tersebut tidak menutup kemungkinan kekerasan akan kembali terjadi di beberapa bagian wilayah negara. Hal tersebut juga diperparah apabila perjanjian damai tidak ditandatangani oleh semua pihak yang bertikai, sehingga masih terdapat beberapa kelompok yang berada di luar kesepakatan damai. Infrastuktur di negara yang mengalami konflik juga dapat dipastikan mengalami beberapa kerusakan, sehingga perdamaian yang terjadi pasca konflik cenderung bersifat sementara dan masih lemah. Operasi perdamaian multidimensional PBB dikerahkan sebagai salah satu bagian dari upaya internasional yang lebih luas untuk membantu negara-negara pasca konflik menuju ke perdamaian yang berkelanjutan. Dengan pengaturan mandat yang lebih luas dari operasi perdamaian generasi sebelumnya, operasi perdamaian multidimensional PBB dapat membantu untuk membendung kekerasan dalam jangka waktu tertentu. Tanpa mengalami perluasan mandat, operasi perdamaian tidak mungkin dapat menghasilkan perdamaian yang berkelanjutan. Oleh karenanya melalui perluasan mandat yang bersifat multidimensional, mandat operasi perdamaian disertai dengan program yang
dirancang untuk mencegah terulangnya konflik (UN Peacekeeping Operations Principles and Guidelines, 2008). Adanya perluasan mandat tersebut juga diharapkan dapat membuat perdamaian yang tercipta menjadi lebih bersifat jangka panjang. Meskipun memiliki kekurangan dalam keahlian teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan program peacebuilding (bina damai) secara komprehensif, tidak jarang operasi perdamaian multidimensional PBB diberi mandat untuk berperan dalam kegiatan awal peacebuilding seperti (UN PBSO, n.d) : 1. Perlucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi (DDR) mantan kombatan 2. Reformasi sektor keamanan (SSR) dan kegiatan lain yang berhubungan dengan sektor hukum 3. Penyelenggaraan pemilihan umum Dalam
konteks
yang
luas,
diharapkan
kegiatan
operasi
perdamaian
multidimensional dapat berperan signifikan untuk : 1. menciptakan perdamaian
situasi jangka
aman panjang,
di
negara membantu
berkonflik,
mengupayakan
memperkuat
peran
dan
kemampuan negara dalam memberikan perlindungan terhadap keamanan serta hak asasi warga negara, 2. memfasilitasi proses politik dengan mempromosikan dialog rekonsiliasi dan mendukung pembentukan lembaga pemerintahan yang sah dan efektif.
3. menyediakan kerangka kerja yang memastikan bahwa PBB dan semua pihak lainnya yang berperan dalam upaya perdamaian melanjutkan kegiatan mereka melalui kerjasama yang terkoordinasi. 2.2.2.1 Mandat Operasi Perdamaian PBB Dalam setiap operasi perdamaian yang dilakukan oleh PBB mandat berfungsi seperti landasan konstitusi operasi perdamaian tersebut. Para ahli dan praktisi kemungkinan mendefinisikan dan menyebut mandat dalam cara maupun istilah yang berbeda, namun dalam penelitian ini mandat mengacu kepada tujuan yang luas namun spesifik untuk menentukan batas, mengarahkan, dan membimbing suatu operasi perdamaian PBB. Meskipun mandat identik dengan operasi perdamaian, akan tetapi tidak ada satu buku atau dokumen yang memuat mengenai mandat lengkap operasi perdamaian karena pada dasarnya setiap operasi perdamaian memiliki mandat yang berbeda. Mandat ditemukan pada Resolusi Dewan Keamanan saat pembentukan operasi perdamaian di wilayah konflik. Apa yang menjadi kewajiban, wewenang dan apa yang cenderung dilakukan oleh para pasukan dalam operasi perdamaian ditentukan oleh mandat tersebut. Secara umum, aktor-aktor penting dalam proses pembentukan mandat adalah anggota Dewan Keamanan PBB dan negara pendonor yang bertanggung jawab atas alokasi dana/pembiayaan terkait mandat tersebut. Mandat yang dirumuskan biasanya terdiri atas elemen-elemen seperti latar belakang mengapa situasi konflik di negara bersangkutan perlu campur tangan operasi perdamaian
PBB dan adanya aturan keterlibatan (Rules of Engagement), kekuatan misi yang dan tugas-tugas yang akan dilaksanakan, dan terkadang mekanisme untuk pengimplementasian mandat tersebut (Hilmarsdóttir, 2012). Proses pembentukan mandat juga merupakan proses yang ad hoc (dibuat khusus untuk untuk situasi tertentu dan jika sudah terselesaikan maka mandat tidak lagi berlaku untuk negara berkonflik lainnya). Merumuskan suatu mandat untuk operasi perdamaian dapat dikatakan merupakan suatu proses yang berhubungan erat dengan politik. Seringkali, anggota Dewan Keamanan PBB menerima arahan dari negara asal mereka untuk merumuskan mandat yang kurang fleksibel. Mandat yang dirumuskan juga memiliki muatan hukum yang legal dan politis. Maka dari itu, disamping redaksional (tata bahasa, pemilihan kata) yang dirumuskan oleh Dewan Keamanan memiliki konsekuensi hukum, redaksional tersebut juga biasanya sarat akan unsur politik. Proses perancangan mandat (drafting) melibatkan banyak aktor di dalamnya, mulai dari anggota Dewan Keamanan, hingga anggota dari Departemen Politik dan Peacekeeping PBB (Hearne, 2010). Mandat yang berhasil dirumuskan merupakan hasil konsesus dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses perancangan/pengembangannya. Tujuan dari pembentukan mandat ini beragam, mulai dari membantu membantu pengawasan implementasi perjanjian damai yang komprehensif hingga mencegah konflik kembali pecah, penyaluran bantuan kemanusiaan, pengadaan masa transisi, dan melakukan pemilihan umum (Murphy, 2007 dalam Stock, 2011).
Sebelum merumuskan mandat terlebih dahulu dilakukan observasi dan analisis situasional konflik oleh Sekretariat PBB sebelum benar-benar akan membentuk suatu operasi perdamaian. Observasi terhadap situasi konflik pada dasarnya dapat dilakukan secara langsung oleh PBB melalui penempatan perwakilan Sekretaris Jenderal PBB di wilayah konflik maupun melalui laporanlaporan resmi terkait dengan upaya perdamaian yang lebih dulu dilakukan oleh pihak lain di wilayah berkonflik tersebut, misalnya laporan resmi organisasi regional saat melakukan upaya penyelesaian konflik. Setelah melihat situasi konflik, Sekretaris Jenderal kemudian akan membuat rekomendasi tentang ruang lingkup dan sumber daya yang dibutuhkan dalam operasi perdamaian (Stock, 2011). Setelah mengadopsi informasi-informasi terkait dengan situasi konflik dan keberlangsungan proses perdamaian yang telah dilakukan, sebelum benar-benar menurunkan operasi perdamaian Sekretaris Jenderal PBB terlebih dahulu mengirimkan satu kelompok Technical Assessment Missions (TAM) untuk mengembangkan konsep operasi, melihat kembali situasi dan dinamika yang terjadi (UN Peacekeeping Operations Principles and Guidelines, 2008). TAM umumnya akan mencakup perwakilan dari Departemen Peacekeeping Operations PBB (DPKO), perwakilan dari badan PBB lainnya seperti UNDP, dan tidak menutup kemungkinan perwakilan dari organisasi regional yang memiliki keterlibatan dengan proses perdamaian dan operasi perdamaian yang akan dilakukan. Ketika sudah berada di host country (negara dimana operasi
perdamaian akan dilakukan), TAM akan bertemu dengan seluruh stakeholder dan badan-badan lain yang turut berperan dalam proses perdamaian misalnya NGO. Dewan Keamanan PBB kemudian akan mengambil tindakan dan merumuskan mandat yang sesuai dengan hasil observasi Sekretaris Jenderal PBB dan TAM di wilayah berkonflik. Mandat yang dirumuskan biasanya memiliki kewenangan untuk dioperasikan dalam jangka waktu yang terbatas. Mandat tersebut juga tidak hanya mengandung alasan mengapa tindakan-tindakan yang dirumuskan harus dilakukan, tetapi juga memuat kerangka hukum yang berlaku untuk operasi perdamaian. Kerangka hukum tersebut didasarkan pada Status of Forces Agreement (SOFA) yang disepakati antara PBB dengan host country. SOFA menjadi sarana untuk pencapaian misi dalam operasi perdamaian, diantaranya pengiriman perlengkapan dan hak penerbangan, menyatukan hak istimewa dan kekebalan hukum dari pihak-pihak yang melakukan operasi perdamaian (UN Handbook of Peacekeeping, 2003). Peraturan dalam SOFA tersebut sangat penting untuk keberlangsungan operasi perdamaian dan implementasi mandat yang diberikan. Mandat yang dirumuskan untuk operasi perdamaian harus bersifat konkret, jelas, kredibel, dan realistis untuk dicapai agar operasi perdamaian di lapangan dapat mengimplementasikan mandat tersebut dengan sesuai tanpa mengalami kesalahan dalam interpretasi. Tantangan dalam proses implementasi mandat yang dilakukan operasi perdamaian pun juga sangat besar. Hal tersebut dikarenakan pertama, kisaran operasi perdamaian saat ini tidak lagi hanya meliputi penjagaan perdamaian tetapi juga perlindungan warga sipil, perlucutan senjata, re-integrasi
para kombatan dan juga pekerjaan lainnya yang mulai mengarah kepada peacebuilding yang meliputi proses bina damai pasca konflik. Kedua, seringkali situasi konflik tidak hanya dipengaruhi dari segi seberapa besar stabilitas keamanan terancam, tetapi juga kondisi geografis wilayah konflik. Untuk konflik yang terjadi di wilayah landlock, jika operasi perdamaian PBB tidak difasilitasi dengan kekuatan dan keahlian personel yang memadai, pengimplementasian mandat oleh operasi perdamaian tersebut kemungkinan tidak dapat dilakukan dengan maksimal (Stock, 2011). Perumusan mandat juga tidak hanya didasari atas pertimbangan dari Sekretaris Jenderal yang melakukan observasi mengenai situasi konflik. Dewan Keamanan PBB juga dapat melihat perkembangan situasi konflik melalui upaya perdamaian yang dilakukan oleh pihak lain di wilayah berkonflik, misalnya negara tetangga maupun organisasi regional. Dalam beberapa konflik, seringkali proses perdamaian tidak langsung ditangani oleh operasi perdamaian PBB melainkan melibatkan organisasi regional3. Apabila organisasi regional dianggap belum mampu menciptakan stabilitas perdamaian, maka PBB kemudian akan turun tangan dan menentukan kapan waktu yang tepat untuk merumuskan mandat pembentukan operasi perdamaian. Oleh karena terdapat perbedaan situasi konflik, perbedaan upaya perdamaian dan pertimbangan Dewan Keamanan dalam perumusan mandat,
3
Hal tersebut merujuk kepada Bab VIII Piagam PBB yang menjelaskan bahwa PBB menyediakan pengaturan keterlibatan badan-badan regional untuk proses penyelesaian konflik terlebih dahulu. (UN Peacekeeping Operations Principles and Guidelines, 2008)
mandat setiap operasi perdamaian di satu negara akan berbeda dengan negara lainnya. Meskipun demikian, secara umum terdapat konsistensi dalam jenis tugas yang dimandatkan kepada operasi perdamaian yaitu untuk dapat mencegah pecahnya konflik kembali, menstabilkan situasi perdamaian, membantu dalam pelaksanaan perjanjian damai yang komprehensif, membantu negara pasca konflik melalui transisi pemerintahan yang stabil berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Secara spesifik, operasi perdamaian multidimensional
PBB
diberikan
tugas
untuk
melakukan
tahap
awal
peacebuilding di negara pasca konflik yaitu perlucutan senjata, demobilisasi dan reintegrasi mantan kombatan, reformasi sektor keamanan, penyelenggaraan pemilu. (UN Peacekeeping Missions, 2006).