BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Di dalam bab ini akan membahas tentang definisi pacaran, definisi remaja (berisi batasan remaja, karakteristik perkembangan), kehamilan pranikah pada remaja (berisi penyebab kehamilan remaja, dampak kehamilan remaja), pernikahan remaja (berisi tuntutan pernikahan remaja, masalah-masalah dalam pernikahan remaja yang hamil pranikah).
2.1 Pengertian Pacaran Pacaran adalah saling menjajaki sifat-sifat calon pasangannya. Namun, dalam kenyataan, pacaran mengandung arti “berkasih-kasihan”, seolah-olah pacaran merupakan sesuatu yang mendatangkan kesenangan romantis (Alamsyah, 1991). Bagi remaja yang berpacaran, menurut Papalia & Wendkos-Olds (1992), terjadi beberapa macam aktivitas seksual, seperti: casual kissng, necking and petting, dan genital contact. Pada saat pacaran, hal tersebut dilakukan oleh remaja dengan alasan, yaitu: a. Untuk mengakrabkan hubungan b. Mencari pengalaman baru c. Membuktikan kedewasaan diri d. Mempertahankan hubungan dengan kekasih e. Melarikan diri dari tekanan
f. Mencari tahu misteri cinta. Selain membina hubungan mulai dengan pertemanan, hingga pada akhirnya pacaran, salah satu dari sepuluh tugas perkembangan remaja adalah mempersiapkan diri untuk melakukan pernikahan. Papalia & Wendkos-Olds (1992), mengatakan, secara umum setiap manusia dewasa dimuka bumi ini akan melakukan pernikahan. Kebutuhan seseorang untuk menikah adalah kebutuhan yang mendasar dan universal. Achir (1996), mengatakan pernikahan adalah suatu titik permulaan dari suatu mata rantai kehidupan baru. Disebut kehidupan baru karena sejak kedua individu bersepakat untuk menjalankan peran baru. Bukan lagi semata-mata sebagai individual yang bebas dan tunggal, tetapi sebagai suami istri yang terikat satu sama lain. Setelah melalui tahap pertama, hubungan akan meningkat menjadi hubungan persahabatan. Hubungan persahabatan ditandai dengan adanya saling ketergantungan satu sama lain, serta mulai memberikan informasi mengenai diri masing-masing. Dalam tahap ini, akan dibutuhkan banyak waktu dan tenaga untuk saling mengenal satu sama lain, membagi waktu dengan sahabat dan mulai mengantisipasi untuk hubungan yang lebih mendalam. Hubungan persahabatan tidak selamanya akan berjalan dengan lancar dan mulus, ada kalanya terjadi sedikit masalah di antara mereka. Tahap berikutnya, mulai ditandai dengan adanya perasaan cinta dan mulai membuat komitmen. Dalam masyarakat, membuat kesepakatan seperti pacaran ataupun pernikahan adalah bentuk komitmen yang formal antar
pasangan, yang diikuti oleh cinta dan emosi keduanya. Hubungan cinta romantik terbentuk secara perlahan-lahan, dari hubungan persahabatan biasa yang telah meningkat (Berscheid, dikutip oleh Deaux, Dane, Wrightsman, dan Sigelman 1993). Dominan (1995). Mengungkapkan dengan tubuhnya cinta romantik di antara dua orang, maka hubungan tersebut akan berlanjut menuju hubungan courtship (pacaran). Pernikahan bagi masyarakat Indonesia menurut Adrina, Poerwandari, Triwijati, dan Sabaroedin (1998), baru dapat dikatakan resmi apabila sudah mendapatkan pengukuhan dari masyarakat, misalnya, melalui upacara di depan penguhulu serta menjalankan hak dan kewajiban masing-masing sebagai suami-istri. Selama itu, pernikahan yang dahulu merupakan ritus adat, saat ini diambil alih oleh negera dan dijadikan sebagai ketentuan hukum dan diatur dalam undang-undang (Mohamad, 1998). Humris (1996), mengatakan bahwa dalam suatu pernikahan akan selalu terjadi perubahan-perubahan yang sebenarnya dapat diramalkan sebelumnya, karena merupakan bagian dari manifestasi perkembangan kehidupan seseorang.
2.2 Pengertian Remaja Masa remaja adalah periode perkembangan yang merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang mencakup perubahan biologi, kognitf, dan sosioemosional.
2.2.1 Batasan Remaja Perubahan yang terjadi meliputi fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai tercapainya kemandirian (dalam Santrock, 2005). Batasan usia remaja di Indonesia menurut Sarwono (2011) adalah 11 – 24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain: a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik) b. Dibanyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi mempelakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial) c. Pada
usia
tersebut
mulai
ada
tanda-tanda
penyempurnaan
perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (menurut Piaget) maupun moral (menurut Kohlberg) (kriteria psikologi). d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberikan peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orangtua, belum mempunyai hakhak penuh sebagai orang dewasa (secara adat/tradisi), belum bisa memberikan pendapat sendiri dan sebagainya. Dengan perkataan lain,
orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologi, masih dapat digolongkan remaja. e. Dalam definisi tersebut status perkawinan sangat menentukan. Seorang yang sudah menikah, pada usia berapa pun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Dalam definisi di atas, status pernikahan sangat menentukan karena arti pernikahan masih sangat penting di masyarakat dan keluarga. Karena itu definisi remaja menurut Sarwono (2001) dibatasi khusus untuk yang belum menikah.
2.2.2 Karakteristik Perkembangan Masa remaja merupakan peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang melibatkan perubahan fisik. Kognitif dan sosioemosional (dalam Santrock, 2005). Perkembangan fisik remaja dikaitkan dengan munculnya masa pubertas yang ditandai dengan tercapainya kematangan seksual, seperti dimulainya menstruasi pertama dan pertumbuhan payudara pada remaja wanita, serta pengalaman ejakulasi pertama pada remaja pria. Masa pubertas juga turut mempengaruhi perilaku seksual remaja (dalam Santrock, 2005).
Pada perkembangan kognitifnya, remaja seringkali merasa bahwa dirnya berbeda dari orang lain sehingga ia merasa tidak akan mengalami hal seperti yang dialami oleh remaja lainnya (dalam Papala dkk, 2001). Elkind (dalam Papalia dkk, 2001) berpendapat bahwa hal tersebut dapat menyebabkan remaja melakukan hal-hal yang beresiko dan merusak diri mereka sendiri. Mengenai perkembangan sosioemosional remaja, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Archibald, Graber, dan Brooks-Gunn (dalam Santrock, 2005) menemukan bahwa perubahan yang terjadi pada masa pubertas dapat menyebabakan perubahan emosional, dan salah satu hal yang dapat mempengaruhi perubahan emosional tersebut adalah ketika dimulai pengalaman seksual dan hubungan romantis.
2.3 Kehamilan Pranikah pada Remaja 2.3.1 Penyebab Kehamilan Remaja Menurut Rice (1999) dan Santrock (2005), kehamilan pranikah remaja terjadi karena beberapa alasan, yaitu : a. Faktor-faktor dari dalam diri (internal) remaja; •
Tinggi hormon-hormon yang mendorong aktivitas seksual
•
Anggapan bahwa kehamilan tdak hanya sebagai aktivitas orang dewasa saja, tetapi remaja juga boleh hamil
•
Kurangnya pengetahuan tentang masalah reproduksi
•
Tidak mau menggunakan alat kontrasepsi.
b. Faktor-faktor dar luar (eksternal) individu; •
Standar yang tidak jelas tentang perilaku seksual mana yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan dan sampai sejauh mana perilaku seksual boleh dilakukan tidak.
•
Lemahnya pengawasan dari orang tua.
Papalia dan Olds (dalam Stefanie, 2005) menentukan bahwa sekitar 66% pasangan remaja tidak menggunakan alat kontrasepsi secara rutin, bahkan 25% remaja tidak pernah memakai alat kontrasepsi sama sekali, ketika melakukan aktivitas seksual. Alasannya adalah karena mereka tidak merencanakan
terjadi
hubungan
seksual
tersebut,
sehingga
tidak
mempersiapkan alat-alat kontrasepsi.
2.3.2 Dampak Kehamilan Remaja McKenry, Walters, dan Johson (dalam Papalia & Olds, 1992) menyatakan bahwa kehamilan pranikah remaja memiliki dampak tertentu seperti ketidaksiapan untuk melahirkan. Konsekuensi kehamilan pada remaja perempuan tidak hanya berpengaruh terhadap dirinya dan pasangannya, tapi juga terhadap bayi dan lingkungannya yang terdekat (orangtua). Ditambahkan pula bahwa remaja yang hamil memilki potensi lebih besar untuk menderita anemia, toksemia, dan menjadi tenaga kerja murah. Disamping itu, remaja
perempuan yang hamil biasanya memiliki permasalahan dengan keuangan, dikeluarkan dari sekolah, dan terkadang merasa rendah diri. Bolton (dalam Stefani 2005) juga mengungkapkan berbagai dampak yang dialami akibat kehamilan di usia remaja, di antaranya adalah: a. Terhambatnya tugas perkembangan Banyak tugas perkembangan yang tidak dapat diselesaikan oleh remaja akibat kehamilan. Bahkan ada tugas-tugas yanga akan terlewati begitu saja akibat tuntutan untuk menjelaskan peran barunya sebagai orang dewasa, padahal dalam perkembangan yang normal remaja harus menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu untuk bisa memasuki tahap perkembangan selanjutnya. b. Disfungsi keluarga Sebagai anggota keluaraga, remaja yang hamil seringkali dianggap sebagai pembawa krisis atau permasalahan dalam keluarga. Permasalahan ini tidak bisa dihindari dan menuntut adanya permasalahan dari seluruh anggota keluarga dan sangat potensial untuk menimbulkan konflik dan stress. c. Resiko kesehatan Dalam menjalani masa kehamilan, remaja memliki beberapa tugas berkaitan dengan perawatan dirinya. Hal ini seringkali melelahkan dan menjadi beban sehingga terkadang remaja tidak mengindahkan beberapa hal yang penting berkaitan dengan perawatan kehamilannya. Hal ini cukup
beresiko bagi kelangsungan hidup remaja tersebut dan bayi yang dikandungnya. d. Konflik emosional Konflik yang dialami akan meningkat pada saat terjadi interaksi antara tuntutan dari lingkungan sosial remaja dengan kewajibannya untuk mengasuh anak. Sebagai remaja, kebutuhan untuk bersosialisasi masih tinggi karena itu pekerja merawat anak seringkali dirasakan membebani dan mengganggu dunia remajanya. e. Terhambat dalam bidang pendidikan dan pekerjaan Remaja yang mengalami kehamilan umumnya terhambat dalam hal pendidikan. Hal ini menyebabkan mereka semakin sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan menjadi sangat tergantung pada orang lain. Walaupun mereka akhirnya meneruskan pendidikan tetapi mereka tetap tidak dapat menyamai remaja pada umumnya (dalam Santrock, 2005). 2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan pada remaja Dari
jurnal
diketahui
beberapa
factor
yang
mempengaruhi
pengambilan keputusan remaja untuk melakuakn hubungan seksual. Delamater & MacCorquodale (dalam The Journal of research vol 20, no. 4 november 1984, hal. 363-376) mengatakan bahwa pengambila keputusan untuk melakukan seks, dipengaruhi oleh faktor peer group. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Miller, Christopherson, dan King, (1993 dalam
Rice 1993) mengatakan bahwa, ketika ditanyakan alasan mengapa mereka melakukan seks pranikah, 51% remaja lelaki mengatakan bahwa alasan mereka adalah perasaan ingin tahu, sementara itu 25% mengatakan alasan mereka adalah adanya perasaan sayang pada pasangan mereka. Oleh karena itu, penulis menjadikan kedua penelitian tersebut menjadi informasi dasar mengenai beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk melakukan hubungan seks pranikah. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah, rasa kengintahuan. 2.4.1 Rasa ingin tahu Britta (2006) dalam journal of personality Assesment.2006 vol, 87 (3) 305-316 mengatakan bahwa Rasa keingntahuan dapat didefinisikan sebagai keinginan untuk memiliki informasi baru (desire for acquiring new information). Peterson dan Seligman (2004) mengatakan bahwa rasa keingitahuan memprestasikan keinginan dari dalam diri sendiri (intrinsik) terhadap pengalaman dan pengetahuan. Semua individu mengalami rasa keingintahuan akan tetapi memiliki perbedaan dalam kedalaman, besarnya (breadth), batasan, serta keinginan untuk menjadikannya sebagai pengalaman (Peterson dan Seligman, 2004). Melalui penjelasan diatas dapat diartikan bahwa rasa keingintahuan adalah keinginan atau kemauan untuk menantang (dimana merepresentasikan nilai intrinsic dan minat).
2.4.1.1 jenis rasa keingintahuan Peteson & Seligman, 2004 membedakan dua jenis rasa keingintahuan yaitu: 1. Rasa keingintahuan memerlukan campuran dari emosi kesenangan dan kecemasan dengan keinginan untuk menikmati dan mendalami suatu hal yang baru. 2. Rasa keingintahuan yang ilmiah atau keingintahuan metafisikal yang timbul akibat adanya inkonsistensi atau jarak dalam sebuah pengetahuan. Rasa keingintahuan tidak mungkin terpsah, hal tersebut berhubung dengan konflik. Individu dengan tingkat rasa keingintahuan yang tinggi memiliki keuntungan didalam kehidupan karena memiliki perhatian yang fleksibel, memiliki ide yang baru. Hubungan tersebut dapat ditemukan, dinikmati, didalami dan digabungkan untuk memperkaya diri sendiri. 2.5 Pernikahan Remaja 2.5.1 Tuntutan Pernikahan Remaja Condry dan Siman (dalam stefanie, 2005) mengatakan bahwa sebagian besar perempuan memiliki untuk menikah bila hamil, apabila kehidupan pernikahan dan berkeluarga menuntut dari calon orangtua suatu sifat dan sikap yang ditandai oleh adanya kematangan emosional dan sosial, sedangkan fakrot-faktor tersebut pada umumnya sulit diharapkan untuk dimiliki oleh seorang remaja. Di dalam kehidupan pernikahan dan berkeluarga
dibutuhkan tanggungjawab, dalam hal ini remaja sebagai orangtua dituntut untuk, antara lain: a. Memiliki kemauan dan kemampuan agar dapat mengurus kebutuhan keluarga. b. Memiliki disiplin diri dan kematangan untuk mengasuh seorang bayi sesuai dengan kebutuhannya sebagai makhluk sosial yang baru memulai perkembanganny. Hal ini seringkali merupakan kegiatan yang meletihkan, baik secara fisik maupun psikis, karena mengurus bayi (apalagi bayi pertama) dapat menyita seluruh waktu yang tersedia. c. Dapat mengurus rumah tangga secara efesien, baik yang menyangkut tugas-tugas rutin maupun bila terjadi hal-hal yang mendadak. d. Memiliki keterampilan atau profesi tertentu yang dapat mendatangkan penghasilan yang tetap dan wajar sesuai dengan kebutuhan rumah tangga. e. Ada kesediaan untuk menurangi berpergian ke pesta atau untuk berkumpul-kumpul dengan teman-teman sebaya (remaja) tanpa tujuan tertentu. Hal tersebut semuanya tentu akan tetap dapat dilakukan karena sudah ada berbagai tuntutan yang berhubungan dengan kehidupan berumah tangga, maka kegiatan tersebut harus disesuaikan dengan situasi barunya, yaitu sebagai suami istri yang sudah memliki
tanggung jawab tertentu sehingga intensitas dan frekuensi hubungan dengan teman sebaya akan berbeda dengan sewaktu belum menikah.
2.5.2 Masalah-masalah dalam Pernikahan Remaja yang Hamil Pranikah Hurlock (dalam Stefanie 2005) mengungkapkan bahwa pernikahan yang terlalu dini memiliki berbagai resiko ditinjau dari beberapa aspek, yaitu: a. Ketidaksiapan psikologis Individu yang menikah dalam usia yang sangat muda biasanya belum siap secara psikologis untuk memasuki pernikahan tersebut. Baiasanya mereka dapat menderita karena ketidakstabilan emosional dan perasaan tidak mampu yang dimilikinya. b. Kemungkinan kekecewaan Banyak remaja yang memiliki konsep tidak realistis dan romantisme berlebihan mengenati pernikahan. Akibatnya, mereka tidak dapat menghindari kekecewaan pada saat mereka menghadapi kenyataan pernikahan yang sebenarnya. c. Masalah financial Remaja masih memiliki keinginan yang besar untuk bersenang-senang dengan kawan-kawannya. Semua ini memerlukan biaya, sementara sebagai individu yang telah menikah, remaja juga diharapkan pada biaya kebutuhan rumah tangga. Keperluan biaya yang banyak ini terkadang membuat remaja yang menikah harus tergantung pada
bantuan orangtuanya. Sementara individu yang menikah dituntut untuk dapat mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa harus tergantung pada orangtuanya. d. Masalah sosial Remaja yang telah menikah cenderung merasa tidak cocok lagi dengan aktivitas sosial remaja pada umumnya dan tidak ada lagi kontak denga teman-temannya dulu. Semakin populer remaja tersebut di kalangan peer-nya sebelum menikah maka semakin sulit penyesuaian dirinya terhadap isolasi lingkungan sosial. e. Kemungkinan perlunya mengakhiri pendidikan Apabila pernikahan remaja yang terjadi mengharuskan remaja keluar dari sekolah maka remaja tersebut harus memperbaharui aspirasi vokasionalnya, dan hal ini sering mengancam kebahagian rumah tangga. Hal ini diperkuat oleh pendapat Resnick, Wattenberg, dan Brewer (dalam Rice, 1999) yang menyatakan bahwa banyak remaja pria setelah menjadi ayah, memiliki kecenderungan untuk berhenti sekolah. Menurut Rice (1999), banyak penyesuaian diri atau pemecahan masalah yang harus dilakukan oleh pasangan remaja, yang tidak berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya. Namun dalam hal ini, pasangan remaja terhalang oleh ketidakmatanganya, sedeangkan ketidakmatangan tersebut merupakan hambatan utama didalam kesuksesan pernikahan remaja.
Sedangkan Argyle dan Henderson (dalam Bird & Melville, 1994) mengatakan bahwa dalam suatu pernikahan dibutuhkan beberapa aturan agar pernikahan dapat bahagia dan hamonis, antara lain adalah: •
Menujukan dukungan emosional
•
Saling setia
•
Saling berbagi cerita
•
Saling menghagai privasi pasangan
•
Saling menjaga rahasa
•
Menciptakan suasana yang harmonis di rumah
•
Kebutuhan seksual yang harmonis
•
Saling mengungkapkan perasaan dan masalah yang dihadapi kepada pasangan
•
Tidak mengkritik pasangan di depan umum
•
Toleran terhadap teman-teman pasangan. Oleh karena itu, Prihadiani (2000) menyatakan bahwa penyesuaian
dalam pernikahan merupakan faktor yang sangat penting dan harus dilakukan terus menerus bila ingin mempertahankan pernikahan. Namun penyesuaian dalam pernikahan tidak mudah untuk dilakukan karena membutuhkan kemampuan dan kemauan dari individu yang bersangkutan. Dusek (1996) berpendapat bahwa bagi remaja, penyesuaian diri dalam pernikahan merupakan hal yang sulit dibandingkan bagi orang dewasa. Hal tersebut
terjadi karena remaja cenderung belum matang, masih memiliki keinginan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan masih memiliki ketergantungan financial. Penyesuaian diri dalm pernikahan yang dilakukan oleh remaja mencakup hal-hal yang berkaitan dengan keluarga pasangan, keuangan, kehidupan seksual, ditambah lagi dengan penyesuaian terhadap peran sebagai orangtua pada saat mereka memilki anak. Berdasarkan penelitian Grover, dkk (dalam Rice, 1999) terbukti bahwa kurangnya kematangan emosional pada remaja pria atau perempuan dapat memprediksi bagaimana penyesuaian diri yang sulit dan kompleks serta masalah dalam pernikahan tidak dapat diatasi dengan baik oleh pasangan yang belum matang, sedangkan kematangan emosional dan penyesuaian pernikahan yang baik merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan (Booth & Edward dalam Rice, 1999). Menurut Teti dan Lamb (dalam Rice, 1999), masalah utama dalam pernikahan remaja adalah keuangan. Hal ini disebabkan karena pendapat yang ada tidak menentu, dan hal tersebut merupakan akibat dari tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya pengalaman, serta usia yang masih muda, sehingga menurut Grindstaff (dalam Rice, 1999), tidak dapat memberikan pendapatan yang mencukupi, bahkan terdapat pernikahan remaja yang tidak memiliki pendapatan sama sekali. Mengingat keadaan finansianya, remaja pria biasanya sulit untuk membiayai anak, meski kebanyakan dari mereka telah melakukannya sebelum si anak lahir (dalam Rice, 1999).
Menurut Rice (1999), dengan pendapatan yang minim atau tidak ada pendapatan sama sekali, pasangan remaja biasanya dibantu secara financial oleh pihak orangtua. Keluarga biasanya memberikan bantuan pada saat memasuki tahun pertama pernikahan seperti hadia pernikahan, pakaian, peralatan rumah tangga, makanan, peminjaman perlengkapan rumah tangga dan kendaraan, pengasuh anak, uang, dan bantuan lainnya. Masalah mertua dan ipar muncul apabila pasangan remaja tinggal dengan orangtuanya atau menerima bantuan financial dari mereka. Dalam hal ini, ketika orangtua memberikan bantuan kepada anaknya yang telah menikah maka kebiasannya mereka mengharapkan adanya respon afeksi yang bersifat konitu dari anak, ikut terlibat dalam kegiatan anaknya, perhatian yang lebih dari anak, serta anak menuruti semua keinginan orangtua. Rice (1999) juga menambahkan bahwa hal yang paling sering dikeluhkan oleh para istri yang masih remaja adalah mengenai suami remajanya yang sering pergi bersama dengan teman-temannya dan meninggalkan si istri di rumah sendirian. Hal ini terjadi karena dalam perkembangannya, remaja sangat membutuhkan kebersamaan dan dukungan dari teman-teman sebayanya, sehingga mengabaikan tanggung jawabnya sebagai suami atau ayah. Khususnya di Indonesia, Suprapto (1987) menyebutkan bahwa terdapat beberapa dampak dari pernikahan dan kehamilan pada wanita muda usia yaitu:
a.
Terhambatnya pendidikan dan karir sehingga kesempatan untuk memperbaiki status sosial ekonomi berkurang.
b.
Pernikahan tidak dapat bertahan karena kebanyakan dari merekan belum matang secara emosional dan sosial.
c.
Anak sukar memperoleh pendidikan dan pengasuh yang sempurna dari orangtua yang tidak dewasa.
d.
Kemungkinan pengguguran kandungan yang tidak bertanggungjawab dan membahayakan, serta dapat menyebabkan trauma psikis bagi si remaja perempuan sehingga menyebabkan perasaan berdosa atau bersalah yang akan menggangu kesehatan jiwa.
e.
Timbulnya perasaan kurang aman, perasaan rendah diri dan gangguan kehidupan seksual karena pengalaman seksualitas yang diri pada gadis remaja. Maka dengan adanya berbagai masalah yang berkaitan dengan
kehamilan pranikah remaja dan pernikahan remaja, maka dapat diasumsikan bahwa pernikahan remaja yang hamil prnikahan secara potensi memiliki banyak persoalan atau kesulitan. Sesuai dengan pendapat Hurlock. Pernikahan yang terlalu muda memiliki dampak-dampak kurang baik didalam diri remaja dalam menjalani pernikahan. Ketidaksiapan psikologi, remaja yang menikah muda akan sulit untuk memasuki kedalam kehidupan
pernikahan dan belum siap secara psikologis. Remaja akan merasa tidak siap dalam menghadapi pernikahan dan mereka akan mengalami ketidakstabilan emosional dalam menjalani pernikahan karena usai mereka masih terlalu muda untuk menjalankan kewajibanya mengasuh anak, mereka merasa terbebani dan menganggu kehidupan remaja. Kemungkinan kekecewaan, remaja akan merasa kecewa dalam menghadapi pernikahan, karena remaja masih berpikir setelah menikah mereka tidak merasakan kebebasan. Dari hasil penelitian ini, mereka diawal pernikahan merasakan kekecewaan namun mereka harus bisa menerima dan menjalankan pernikahan. Remaja masih memiliki rasa ingin bersenang-senang dengan temantemannya. Dari hasil penelitian ini, mereka masih ingin merasakan kesenangan bersama teman-teman, mereka masih merasakan iri terhadap teman-temannya yang masih bisa bersenanga-senang. Keperluan biaya yang banyak membuat remaja masih tergantung dengan orangtuanya, seharusnya remaja dituntut untuk tidak tergantung lagi dengan orangtuanya. Remaja cenderung merasa tidak cocok lagi dengan kehidupan sosial dan merasa kesulitan dalam penyesuaian dirinya terhadap lingkungan sosial. Remaja setelah menikah dituntut untuk dapat mengasuh anak dan mengurus rumah tangga, jadi mereka tidak dapat menyediakan kesempatan untuk belajar bagaimana beriteraksi dengan orang lain, mengontrol perilaku sosial, mengembangkan kemampun dan saling berbagi.
Remaja yang telah menikah karena melakukan hubungan pranikah akan terhambat dalam pendidikan. Remaja yang telah menikah akan dikeluarkan dari sekolah, remaja akan cenderung malu dan tidak percaya diri karena mereka sudah mempunyai anak. Remaja perempuan tidak bisa melanjutkan pendidikan karena harus mengasuh anak dan mengurus keluarga. Remaja laki-laki akan terhambat karena harus bekerja mencari biaya untuk keluarga dan kehidupannya, remaja laki-laki akan merasa kelelahan dalam menjalankan pendidikan sambil bekerja sehingga pendidikannya terganggu.