BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis akan memaparkan beberapa literatur maupun sumber-sumber yang relevan dan sesuai dengan pembahasan yang dikaji. Sumber-sumber tersebut dipergunakan oleh penulis sebagai kerangka berpikir untuk mengkaji, membahas dan menganalisa terhadap permasalahan dalam penulisan skripsi yang berjudul “Dampak PT. Krakatau Steel Terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Desa Kebon Dalem Kecamatan Purwakarta Kotamadya Cilegon–Banten”. Adapun untuk menunjang pembahasan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, penulis mengkaji melalui buku-buku, artikel dan dokumen-dokumen yang sezaman, serta hasil observasi dengan melakukan wawancara dan menyebarkan angket kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Pada bab ini berisi mengenai teori, asumsi, dan ditemukan adanya perubahan dari masyarakat agraris yang mengalami transisi menjadi masyarakat industri. Dalam penelitian yang mengarah kepada perubahan sosial ekonomi kehidupan masyarakat di suatu wilayah yang berkarakteristik masyarakat agraris menjadi masyarakat industri terdapat beberapa makna yang perlu dikaji lebih mendalam. Oleh karena itu, pemaparan bab ini terdiri dari beberapa sub bab yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Pertama, kebijakan pemerintah terhadap perindustrian, dalam bab ini akan dipaparkan mengenai bagaimana upaya dan peranan pemerintah terhadap permasalahan perindustrian. Kedua, perubahan sosial-ekonomi masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, bagian ini akan memaparkan mengenai perubahan-perubahan baik dari aspek sosial maupun ekonomi yang terjadi pada masyarakat agraris pedesaan yang menjadi masyarakat industri perkotaan. Ketiga, dampak industrialisasi bagi masyarakat Desa Kebon Dalem, bagian ini akan memaparkan
mengenai dampak yang ditimbulkan dari keberadaan PT. Krakatau Steel terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Desa Kebon Dalem.
2.1. Kebijakan Pemerintah Terhadap Perindustrian Kata industri berasal dari bahasa Latin Industria yang kemudian diartikan sebagai buruh atau penggunaan tenaga kerja. Pendapat tersebut senada dengan Idris Abdurachmat dalam Didin Saripudin (1983: 1) yaitu, “Industri merupakan salah satu bentuk kegiatan manusia yang penting”. Sedangkan Biro Pusat Statistik (BPS) mendefinisiskan bahwa ”Industri adalah suatu kegiatan pengubahan barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi atau yang dari kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual”. Abdurrahmat (1989:18) mendefinsikan industri ini kedalam 2 batasan yaitu definisi secara luas dan sempit. Sebagaimana dikutip di bawah ini: “Industri mengandung pengertian luas dan sempit. Dalam arti luas industri mencakup pengertian semua kegiatan di bidang ekonomi yang produktif. Sedangkan industri dalam arti yang sempit meliputi segala usaha dan kegiatan yang sifatnya mengubah dan mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau setengah jadi”.
Sektor industri merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menambah devisa negara. Ketika Indonesia memperoleh kemerdekaan, hal ini dijadikan sebagai suatu harapan untuk memperoleh pembangunan sungguh-sungguh yang dapat dirasakan dan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih layak dan sempurna. Oleh karena itu pembangunan yang sedang dikerjakan adalah pembangunan masyarakat Indonesia untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, seperti yang tercantum dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) bahwa tujuan pembangunan nasional negara
Indonesia dapat dirumuskan sebagai upaya dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, dimana kita harus meletakkan keadilan terlebih dahulu daripada kemakmuran. Banyak anggapan bahwa industrialisasi merupakan salah satu upaya bagi setiap bangsa yang ingin maju. Hal ini juga yang mendorong negara Indonesia untuk mengembangkan perekonomiannya dalam sektor perindustrian. Data empirik pembangunan memaparkan bahwa selama dekade 1970-1980 menunjukkan bahwa pembangunan industri di Indonesia berjalan relatif cepat, sehingga seorang pengamat asing berpendapat bahwa “Dengan standar Internasional sektor industri manufaktur Indonesia telah berkembang pesat, sehingga Indonesia kini menjadi salah satu produsen barang-barang manufaktur terbesar di kalangan negaranegara berkembang” (Mubayarto, 1988: 131). Meskipun sudah banyak dari kalangan pemikir yang sudah merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai bangsa Indonesia. Misalnya saja Moh. Anwar Ibrahim (Mubayarto, 1988: 132) dengan nada positif menulis sebagai berikut: Pertumbuhan Industri Indonesia secara keseluruhan memenuhi harapan yang dituangkan dalam GBHN dan Repelita I & II. Masalah-masalah yang timbul merupakan gejala perkembangan yang wajar dalam negara berkembang sehingga tidak perlu menyebabkan kecemasan. Namun lain halnya dengan penilaian dari kalangan di luar pemerintah, yaitu sebagai berikut: Banyak kemajuan yang telah dicapai dalam peningkatan produksi barang-barang industri sejak pemerintah Orde Baru. Namun jika dianalisis ciri-ciri industri Indonesia yang berkembang selama ini, terutama sektor manufaktur, kebanyakan diantaranya tidak memenuhi tujuan-tujuan dan kriteria-kriteria seperti yang digariskan dalam berbagai REPELITA, yaitu dengan menggunakan banyak tenaga kerja, menghemat dan menghasilkan devisa, dan menggunakan bahan baku lokal. Dengan mengacu hal tersebut, Indonesia diharapkan dapat mengalami suatu proses seperti negara-negara yang lebih dulu maju atau mengalami perubahan dari struktur perekonomian agraris ke perekonomian industri. Namun saat itu perekonomian Indonesia masih
bersifat agraris, karena pada kenyataannya memang devisa Negara 75 % diperoleh dari sector agraris, sedangkan sektor industri masih sangat minim. Pada Pelita (Program Pembangunan Lima Tahun) I, pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor pertanian, namun pada Pelita II prioritas utama dalam bidang perekonomian adalah pembangunan pada sektor industri. Kebijakan inilah yang mendorong pemerintah Orde Baru untuk membuka peluang sebesar-besarnya kepada para penanam modal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Pernyataan ini tercantum dalam undang-undang No.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing, yang kemudian undang-undang tersebut semakin disempurnakan dengan berbagai peraturan pemerintah di bidang perpajakan, ekspor, impor dan lain-lain yang pada dasarnya dikeluarkan untuk memberikan kemudahan dan dorongan bagi pembangunan di sektor industri. Pernyataan diatas senada dengan yang dipaparkan oleh Mubyarto (1988) “Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia”. Dalam buku ini dijelaskan bahwa misalnya kita semua sepakat bahwa pembangunan nasional bangsa Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia, yang kemudian mengacu pada tujuan pembangunan Indonesia yang tercantum dalam GBHN, yang dirumuskan sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Zulkieplimansyah dalam artikelnya yang berjudul “Kebijakan Industri Indonesia” (2006), bahwa sesuai dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), tujuan pembangunan jangka panjang Indonesia adalah untuk mengubah struktur perekonomian agar tercipta struktur ekonomi yang seimbang, dimana industri menjadi tulang punggung ekonomi didukung kemampuan pertanian yang tangguh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka perlu adanya peningkatan dan pengembangan dalam sektor industri yang dapat dilakukan secara
bertahap, baik terhadap industri rumah tangga, industri kecil, industri milik negara (BUMN) maupun industri milik swasta (BUMS). Sehingga hasil dari pencapaian tujuan tersebut akan dapat
dirasakan
oleh
masyarakat
maupun
pihak-pihak
yang
terkait
(http://zulkieplimansyah.com/detail.php?id=84.2006). Beberapa segi kebijaksanaan perindustrian dalam kurun waktu 1970-an dirasa kurang tegas batasannya dan salah satu penyebabnya adalah adanya kontradiksi antara beberapa tujuan yang diinginkan oleh pemerintah dan kenyataan dari kebijaksanaan yang dilaksanakan. pada tahun 1966 kebijaksanaan pemerintah Orde Baru ditekankan pada “deregulasi” (pengurangan campur tangan pemerintah) terhadap perekonomian Indonesia. Menjelang tahun 1969 terlihat kecenderungan kearah kebijaksanaan yang bersifat intervensionis (lebih banyak campur tangan pemerintah). Namun pada tahun 1970-an kecenderungan kearah kebijakan intervensionis semakin terlihat jelas (Mc Cawley, 1986: 98). Hill (1991:34) mengungkapkan hal yang senada, bahwa kebijakan industri sejak tahun 1966 mencerminkan perubahan prioritas yang ditetapkan pemerintah. Pada dasawarsa pemerintahan Orde Baru, laju pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dan proteksi yang sangat meluas merupakan penyangga pengembangan industri. Selama dasawarsa kedua campur tangan yang spesifik terhadap industri melalui peraturan dan pemilikan telah menjadi jauh lebih penting. Oleh karena itu pemerintah segera melakukan perubahan-perubahan untuk mencapai tujuan pembangunan industri dengan cara memusatkan bidang industri pada satu kawasan. Pemusatan industri pada satu kawasan ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan industri akan menghasilkan efek menyebar (spread effect) atau efek tetesan ke bawah (trickle down effect) pada daerah disekitarnya yaitu daerah pedesaan, dengan demikian kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan industri akan meningkat dengan adanya aktivitas
industri di daerah ini. Meskipun pada kenyataannya tidak selalu keberadaan industri di suatu wilayah mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat disekitar kawasan industri tersebut. Pembangunan dalam pengembangan industri tidak lepas dari adanya peranan kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan kebijakan dalam bidang perekonomian tentunya akan berpihak pada kepentingan sekelompok elit politik yang ikut andil dalam menentukan kebijakan perekonomian sehingga membawa hasil yang tidak sama dengan kebijakan yang dicanangkan
sebelumnya
seperti
kebijakan
industrialisasi
di
pedesaan
yang
harus
memperhitungkan terlebih dahulu aspek sosial budaya dan ekonomi masyarakat pedesaan yang pada akhirnya membawa kesenjangan sosial pusat dan pinggiran, dimana elit politik dan pengusaha swasta adalah pihak yang paling diuntungkan, hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Grindle (Hughes, 1992: 366): Kebijaksanaan yang dilaksanakan bisa jadi merupakan hasil perhitungan yang politis oleh kelompok-kelompok kepentingan serta kelompok yang bersaing guna mendapatkan sumber daya yang langka, reaksi para pejabat yang melaksanakan kebijakan tersebut maupun tindakan para elit politik yang keseluruhannya berinteraksi dalam lingkup kelembagaan tertentu. Kebijaksanaan dan sistem peraturan yang ditetapkan pemerintah dapat dikatakan sudah sangat baik, namun pada kenyataannya peranan pemerintah tersebut tidak mampu menjadikan masyarakat yang berada disekitar kawasan industri menjadi lebih sejahtera. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya pengangguran dan rendahnya angka perekrutan karyawan di PT. Krakatau Steel. Meskipun ada kebijakan dari pemerintah mengenai perekrutan karyawan yang mengedepankan masyarakat pribumi terlebih dahulu daripada masyarakat pendatang, namun ternyata tidak menutup kemungkinan kekuasaan dan kepentingan dari perorangan maupun kelompok mampu menghapus batasan-batasan yang telah ada.
2.2. Perubahan Sosial-Ekonomi Masyarakat Agraris Menjadi Masyarakat Industri Manusia merupakan mahluk sosial, pada dasarnya sebagai mahluk sosial manusia itu tidak akan pernah merasa puas. Hari ini mendapatkan satu, maka hari berikutnya tak dapat dipungkiri bahwa mereka ingin mendapatkan yang lebih seperti yang didapatkan hari ini, dan begitupun seterusnya. Jadi tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa hakekat kehidupan adalah perubahan. Masyarakat
sebagai
suatu
sistem
senantiasa
mengalami
perubahan.
Dalam
pelaksanaannya perubahan itu dapat berupa kemajuan (progress) atau kemunduran (regress), luas atau terbatas, cepat maupun lambat. Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi normanorma, nilai-nilai, gaya-gaya perilaku, organisasi, susunan dan stratifikasi kemasyarakatan dan juga lembaga kemasyarakatan. Sering terjadi perdebatan mengenai perbedaan antara perubahan kemasyarakatan (sosial change) dan perubahan kebudayaan (culture change), namun kedua gejala itu mempunyai hubungan timbal-balik sebagai sebab akibat (causal relationship). Terdapat beberapa ahli yang mendefinisikan mengenai perubahan sosial, antara lain: Kingsley Davis, Willbert Moore, Comte, Spencer, Durkheim, Mac Iver, F. Ogburn, dan Selo Sumardjan. Kingsley Davis (Soekanto, 1971: 236) mendefinisikan bahwa “perubahan sosial itu merupakan bagian dari perubahan dalam kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian kebudayaan termasuk didalamnya yaitu kesenian, ilmu pengertahuan, teknologi, filsafat dan sebagainya, maupun perubahan-perubahan dalam bentuk serta aturan dalam organisasi sosial”.
Willbert Moore memandang bahwa perubahan sosial sebagai “perubahan struktur sosial, gaya perilaku dan interaksi sosial”. Berbeda dengan Kingsley Davis, Willbert Moore berpandangan bahwa perubahan sosial itu tidak sama dengan perubahan kebudayaan. Karena perubahan kebudayaan itu mengarah pada perubahan unsur-unsur kebudayaan yang ada (Ridwan Effendi dan Elly Malihah, 2007: 61). Padahal perubahan sosial itu tidak dapat dipisahkan dari perubahan kebudayaan. Hal ini dikarenakan kebudayaan merupakan hasil dari adanya masyarakat di suatu wilayah, sehingga suatu kebudayaan itu tidak akan ada apabila tidak adanya dukungan dari suatu masyarakat dan tidak ada satu orang masyarakat pun yang tidak memiliki kebudayaan (Ridwan Effendi dan Elly Malihah, 2007: 62-63). Seperti yang dikutip dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar (1971: 236-237), menurut Comte perubahan itu harus direncanakan dan ditujukan kearah yang dikehendaki, Spencer sepenuhnya percaya bahwa perubahan itu akan terjadi dengan sendirinya. Menurut F. Ogburn, ruang lingkup perubahan-perubahan sosial mencakup unsur-unsur kebudayaan, baik material maupun immaterial. Menurut Mac Iver, Perubahan-perubahan sosial merupakan perubahanperubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial tersebut. Menurut Selo Sumardjan, segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan gaya perilaku diantara kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Durkheim, terjadi 2 perubahan sosial, dipihak bawah terjadi diferensiasi sedangkan di pihak atas ada suatu gerakan lagi yang mengadakan integrasi. Tentang perubahan yang terjadi hampir serupa seperti yang diungkapkan oleh Karl Manheim yang dikutip dari buku Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, karya Astrid Susanto (1979: 182) yaitu:
“a changing community is not determined by a set of search for new norms to express changing experinces. The content of conscience is accor dingly not determinded by explicit and dinal rules but is continuosly shaping it self a new”.
Pernyataan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari proses perubahan masyarakat adalah perubahan norma-normanya, dimana perubahan norma-norma dan proses pembentukan normanorma merupakan inti dari kehidupan mempertahankan persatuan kehidupan berkelompok. Perubahan Sosial adalah gejala yang inharen dalam setiap perkembangan (development) atau pertumbuhan (growth). Teori tersebut lebih dikenal dengan teori developmentalisme yang menggambarkan bahwa masyarakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan, yang merupakan suatu proses yang analog (menyamakan yang sebenarnya tidak sama) dengan proses organis. Proses pertumbuhan dan perkembangan itu tidak sendirinya menunjukkan arah pertumbuhan serta tujuan (Suwondo Arief, 1999: 146). Soerjono, Soekanto (1990) yang berjudul “Sosiologi Suatu Pengantar”. Buku ini membahas mengenai perubahan sosial yang didalamnya mencakup bentuk-bentuk perubahan sosial, faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan sosial dan proses serta arah perubahan sosial. Menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto (Ridwan Effendi dan Elly Malihah, 2007: 63), bentuk-bentuk perubahan sosial dapat terjadi dengan beberapa cara, antara lain: 1. Perubahan yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat. a. Perubahan secara lambat (evolusi) terjadi dengan sendirinya, tanpa direncanakan. b. Perubahan secara cepat (revolusi) terjadi dengan direncanakan terlebih dahulu. 2. Perubahan yang pengaruhnya kecil dan perubahan yang pengaruhnya besar. a. Perubahan yang pengaruhnya kecil adalah perubahan pada unsur struktur sosial yang tidak bisa membawa pengaruh langsung atau pengaruh yang berarti bagi masyarakat. b. Perubahan yang pengaruhnya besar seperti proses industrialisasi pada masyarakat agraris.
3. Perubahan yang dikehendaki dan perubahan yang tidak dikehendaki. a. Perubahan yang dikehendaki adalah bila seseorang mendapat kepercayaan sebagai pemimpin. b. Perubahan sosial yang tidak dikehendaki merupakan perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki serta berlangsung dari jangkauan pengawasan dan dapat menyebabkan timbulnya akibat yang tidak diinginkan. Maksud dari pernyataan diatas menjelaskan bahwa dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan, pastilah masyarakat tersebut akan mengalami suatu perubahan, namun setiap individu tidak ada yang mendapatkan hasil yang sama dalam pencapaian hasilnya, ada yang mengalami perubahan secara cepat dan ada pula yang mengalami perubahan secara lambat, hal tersebut tergantung prosesnya. Dari perubahan tersebut, ada yang memiliki pengaruh besar maupun pengaruh kecil terhadap suatu masyarakat. Selain itu juga, perubahan tidak selamanya dikehendaki oleh seluruh lapisan masyarakat, sebab perubahan juga bisa terjadi karena tidak dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri, sehingga dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan.
2.3. Motivasi Berprestasi Setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pastilah harus bekerja. Untuk memperoleh pekerjaan itu berbagai cara yang dapat dilakukan oleh manusia, salah satunya adalah dengan menuntut ilmu. Memperoleh pekerjaan adalah impian setiap manusia untuk keberlangsungan hidupnya. Bekerja bagi kaum muslimin adalah suatu perintah yang sudah semestinya dilakukan. Hal yang menyebutkan bahwa bekerja merupakan kewajiban bagi kaum muslimin tersebut tersirat dalam Surat At-Taubah ayat 105, isi surat tersebut adalah:
“Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Kewajiban bekerja selain tersirat dalam AL-Quran juga banyak ditemukan didalam hadist-hadist Nabi Muhammad SAW. Didalam hadist-hadist tersebut dikatakan bahwa bekerja itu terdiri dari berbagai macam pekerjaan, baik materiil maupun moral. Ciri perilaku kewirausahaan menurut David McClelland (1961: 205), yaitu keterampilan mengambil keputusan dan mengambil resiko yang moderat, dan bukan atas dasar kebetulan belaka, energik, khusus dalam berbagai kegiatan inovatif, mengetahui hasil-hasil dari berbagai keputusan yang diambilnyagan tolak ukur satuan uang sebagai indicator keberhasilan dan memiliki kemampuan berorganisasi, meliputi kemampuan, kepemimpinan, managerial. Para ahli mengatakan bahwa seseorang yang memiliki minat wirausaha karena adanya motif tertentu, yaitu motif berprestasi (achievement motive). Motif berprestasi ialah suatu nilai sosial yang menekankan pada hasrat untuk mencapai yang terbaik guna mencapai kepuasan secara pribadi (Gede Angan Suhandana. 1980: 5). Teori motivasi pertama kali dikemukakan oleh Moslow (1934). Ia mengemukakan kebutuhan yang mendasari hierarki. Menurutnya, kebutuhan itu bertingkat sesuai dengan tingkatan pemuasannya, yaitu kebutuhan fisik (psychological needs), kebutuhan akan keamanan (security needs), kebutuhan sosial (sosial needs), kebutuhan harga diri (esteem needs), dan kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization needs). David C. McClelland (1971) mengelompokkan kebutuhan (needs) menjadi tiga, yakni: 1) Need for achievment (n’ach): The drive to excel, to achieve in relation to a set of standard, to strive to success. 2) Need for power (n’pow): the need to make other behave in a way that they
would not have behaved otherwise. 3) need for affiliation (n A’ff): the desire for friendly and close interpersonal relationships. Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa setiap orang yang bekerja harus memiliki suatu penyemangat yang dapat memotifasi perilaku orang untuk memiliki semangat kerja yang tinggi. Dalam pandangan Soewardi (1999: 92-93) motivasi manusia dari McCleland itu adalah ideology yang diridhoi Allah SWT yang sejalan dengan semangat Al-Quran dan Hadist. Teori McClelland itu dapat menjadikan orang terlecut untuk bersaing dalam menciptakan prestasi, yaitu fastabiq al-kairat demi kecemerlangan karya “for God’s sake”. Setiap individu maupun kelompok memiliki kecenderungan untuk menjadi lebih baik daripada lainnya, bahkan mereka melakukan persaingan dengan pihak lain untuk menciptakan prestasi. PT. Krakatau Steel tergolong kedalam Industri Besar. Industri Besar (Big industri), ialah industri-industri dalam skala besar dengan kegiatan dan pengorganisasian yang kompleks, mempergunakan mesin-mesin modern dengan jumlah buruh yang cukup besar, dan menempati areal tanah yang luas. Dengan adanya industri besar di suatu wilayah akan menimbulkan perubahan peran dan matapencaharian masyarakat sekitar kawasan industri tersebut. Perubahan peran dan matapencaharian inilah yang menimbulkan adanya semangat dan etos kerja mereka menjadi lebih baik.