BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka Dewi Lestari adalah salah seorang sastrawan Indonesia yang cukup diperhitungkan karya-karyanya dan dianggap sebagai pengarang produktif dengan karya yang berkualitas. Terbukti dari beberapa judul novel miliknya pernah diangkat menjadi sebuah film, beberapa di antaranya, novel Perahu Kertas, Malaikat Tanpa Sayap, dan Madre (yang dalam proses penggarapan). Karya sastra miliknya sudah banyak dijadikan objek penelitian di beberapa universitas di Indonesia, khususnya oleh mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Demikian juga dengan antologi cerpen Filosofi Kopi yang dijadikan objek penelitian ini. Dari pengamatan dan penelusuran yang dilakukan peneliti, antologi cerpen tersebut belum pernah dianalisis oleh mahasiswa Departemen Sastra Indonesia, FIB Universitas Sumatera Utara (USU). Di berbagai universitas lainnya, antologi cerpen ini sudah pernah diteliti oleh beberapa mahasiswa di Indonesia. Beberapa diantaranya mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yakni Windi Eliyanti dengan judul penelitian Analisis Cerpen dengan Menggunakan Pendekatan Strukural (objektif) (2012) terhadap antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Pembahasan yang diuraikannya menyangkut unsur-unsur instrinsik cerpen seperti tema, plot (alur), latar, penokohan, gaya penulisan pengarang, serta gaya bahasanya (menyangkut majas).
7 Universitas Sumatera Utara
Selain itu, antologi cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari ini juga pernah diteliti oleh mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Gajah Mada (UGM), yakni Anwari Eka Putra dalam skripsinya yang berjudul Analisis Fakta Cerita dan Tema Cerpen Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari Menurut Stanton (Agustus, 2007). Dalam skripsinya tersebut, ia menggunakan teori pengkajian fiksi Robert Stanton untuk menganalisis fakta-fakta cerita serta tema dalam cerpen. Kemudian antologi cepen ini juga pernah diteliti oleh Putri Dione Ayu Agustins mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga dengan judul penelitian Modus Mengada Tokoh Utama Kumpulan Cerita Pendek Filosofi Kopi Karya Dewi Lestari (2011). Dalam penelitiannya tersebut, ia menggunakan teori psikologi eksistensial untuk menganalisis secara kritis identitas tokoh. Langkah analisis yang dilakukannya yakni dengan menguraikan unsur instrinsik (dalam alur, tokoh, dan latar) terlebih dahulu, kemudian dari hasil tersebut, diidentifikasi faktor dominan sebagai jalan pencarian identitas tokoh utamanya. Berbeda halnya dengan kajian-kajian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya seperti uraian di atas. Di dalam penelitian ini, pengkajian difokuskan terhadap rangkaian pembentuk komunikasi (teks) dan isi (makna) yang berlandaskan pada teori stilistika. Sesuai dengan judulnya menyangkut komunikasi estetik, langkah awal yang dilakukan yakni dengan menguraikan unsur-unsur stile (gaya) sebagai pembentuk efek estetik, kemudian dilanjutkan
8 Universitas Sumatera Utara
dengan proses pendeskripsian makna denotatif dan konotatif yang diuraikan pengarang melalui konfigurasi gagasan untuk menciptakan efek estetik. 2.2 Konsep Pradopo (2001: 38) menjelaskan bahwa konsep diartikan sebagai unsur penelitian yang amat mendasar dan menentukan arah pemikiran si peneliti, karena menentukan penetapan variabel. Dalam karya sastra konsep misalnya berupa ide, gagasan, keindahan, fungsi sastra dalam masyarakat. Karena ada konsep, anggapan dasar dapat dilihat. Dengan demikian, berikut beberapa definisi dari istilah-istilah yang terkait sebagai referensi fokus penelitian ini, yakni: 2.2.1 Cerpen Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli (Nurgiyantoro, 1995: 10). Ada semacam anggapan bahwa cerpen merupakan novel yang dipersingkat, namun faktanya pembaca lebih relevan menikmati novel dibandingkan cerpen, karena dianggap lebih utuh dalam penceritaannya. Sama halnya dengan pernyataan Stanton (2007: 89) yang mengemukakan bahwa masyarakat lebih dapat menikmati novel ketimbang cerpen atau lebih memilih mendengarkan simfoni ketimbang musik kamar. Satu hal yang pasti, setiap petualang literer yang matang akan lebih menghargai ketrampilan dan keahlian artistik pengarang. Cerpen merupakan contoh sempurna dari genre karya sastra yang pantas diperlukan sedemikian rupa.
9 Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Komunikasi Sastra Istilah komunikasi dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai media atau alat untuk menyampaikan gagasan atau pesan sebagai bagian dari interaksi sosial. Seperti pandangan Rousydiy (1989: 1) bahwa seorang individu yang ingin menyampaiakan sesuatu pesan atau ide kepada individu lainnya dengan menggunakan lambang-lambang yang mengandung arti (mungkin lambang kata atau tanda-tanda lainnya) itulah komunikasi dengan segala prosesnya. Demikian juga halnya dengan komunikasi dalam sastra, pada hakikatnya bertujuan menyampaikan pesan dan maksud pengarang. Namun berbeda dengan komunikasi umumnya, komunikasi sastra memanfaatkan bahasa sebagai media utamanya. Namun bukan bahasa yang wajar terdengar, tetapi bahasa yang telah dimodifikasi dengan unsur-unsur stile (gaya bahasa) untuk menciptakan efek estetik sebagai bagian dari fungsi artistik karya sastra. Ratna (2004: 297) mengemukakan bahwa sebagai gejala komunikasi karya sastra menunjuk pada sistem yang menghubungkan karya dengan pengarang dan pembaca. Untuk itu, karya sastra tidak hanya menyangkut persoalan bahasa, tetapi bagaimana pengarang mengkomunikasikan (pesan) sehingga mampu ditangkap pembaca. 2.2.3
Komunikasi Estetik Aminuddin (1995: 303) mengemukakan bahwa komunikasi estetik
merupakan bentuk komunikasi yang dilandasi tujuan untuk memberikan efek emotif tertentu bagi penanggapnya. Karya sastra merupakan salah satu bentuk komunikasi estetik. Dalam hal ini lazim pula digunakan istilah komunikasi puitik. Sebagai bentuk komunikasi puitik upaya membuahkan efek keindahan tersebut
10 Universitas Sumatera Utara
ditempuh antara lain dengan cara mengolah penggunaan sistem tanda, baik itu terkait dengan apek bunyi, kata, hubungan kata-kata, maupun aspek tipografinya. 2.2.4
Stilistika Umumnya stilistika dimaknai sebagai bagian ilmu sastra yang bertujuan
memahami bahasa (gaya bahasa) dalam karya sastra. Keraf (2006: 112) mendeskripsikan bahwa gaya bahasa atau style dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Demikian pula dengan pengarang dalam karya sastranya. Untuk itu, proses pemahaman stilistika tidak terlepas dari ilmu lingustik karena memang yang dijadikan sasaran kajian adalah bahasanya. Selanjutnya Sudjiman (1993: 7) mengemukakan bahwa stilistika berupaya menunjukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan. 2.3 Landasan Teori 2.3.1 Stile (Gaya Bahasa) Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1995: 276) mengemukakan bahwa stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Stile pada hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan diungkapkan. Teknik itu sendiri, di pihak lain, juga merupakan suatu bentuk pilihan, dan pilihan itu
11 Universitas Sumatera Utara
dapat dilihat pada bentuk ungkapan bahasa seperti yang dipergunakan dalam sebuah karya. Stile: masalah struktur lahir, bentuk ungkapan kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel merupakan bentuk performansi (kinerja) kebahasaan seorang pengarang. Ia merupakan pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Stile, atau wujud performansi kebahasaan, hadir kepada pembaca dalam sebuah fiksi melalui proses penyeleksian dari berbagai bentuk lingustik yang berlaku dalam sistem bahasa itu. Pengarang, dalam hal ini, memiliki kebebasan yang luas untuk mengekspresikan struktur maknanya ke dalam struktur lahir yang dianggap paling efektif (Nurgiyantoro, 1995: 278). Istilah gaya diangkat dari istilah style yang berasal dari bahasa Latin stilus dan mengandung arti leksikal ‘alat untuk menulis’. Dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasan dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Purba, 2009: 15). 2.3.2 Teori Stilistika Aminuddin (1995: 46) menyatakan bahwa stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya. Dalam kajian sastra, biasanya stilistika dimaksudkan untuk menerangkan
12 Universitas Sumatera Utara
hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya, (Leech dan Short dalam Suroso, Puji dan Pardi, 2009: 158). Selanjutnya Wellek dan Austin (1995: 225) mengemukakan bahwa manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang dapat diuraikan fungsi dan makna estetisnya. Baru jika tujuan estetis ini menjadi inti permasalahan, stilistika merupakan bagian ilmu sastra, dan akan menjadi bagian yang penting, karena hanya metode stilistika yang dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Leech & Short (dalam Nurgiyantoro, 1995: 279) menjelaskan bahwa stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile, kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Penelitian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa keberadaan aspek stilistik dalam teks sastra terkait dengan sejumlah unsur yang relatif kompleks. Aminuddin (1995: 34) menguraikan kekhasan komunikasi estetik ataupun komunikasi puitik dapat didasarkan pada (i) elemen pembentuk peristiwa komunikasinya, (ii) hubungan antara elemen yang satu dengan yang lain, dan (iii) efek ataupun aspek intensionalitas pada diri pengarangnya. Aminuddin (1995: 48) mengemukakan beberapa asumsi yang berperanan dalam membentuk satuan konsepsi menyangkut konstruksi gejala yang akan digarap, yakni: 1. Karya sastra adalah gejala sistem tanda yang secara potensial mengandung gambaran obyek, gagasan, pesan, dan nilai ideologis;
13 Universitas Sumatera Utara
2. Karya sastra adalah gejala komunikasi puitik yang secara imajinatif dapat mengandaikan adanya penutur, tanda yang dapat ditransformasikan ke dalam kode kebahasaan, dan penanggap; 3. Dalam kesadaran batin penanggap karya sastra dapat menggambarkan unsur-unsur yang ada dalam tingkatan dan hubungan tertentu secara sistematis; 4. Unsur-unsur dalam karya sastra secara kongkret terwujud dalam bentuk penggunaan sistem tanda sesuai dengan cara yang ditempuh pengarang dalam menyampaiakan gagasannya; 5. Cara yang digunakan pengarang dalam memaparkan gagasannya dapat ditentukan berdasarkan deskripsi ciri pemaparan sistem tandanya. Dalam stilistika sastra juga dikenal adanya (i) pendekatan monisme yang menyikapi wujud penggunaan sistem tanda sebagai kesatuan antara bentuk dan isi. Berbeda dengan pendekatan monisme, (ii) pendekatan dualisme menyikapi bentuk dan isi sebagai dua unsur yang berbeda. Sebab itu penjelasan pada aspek bentuk harus dibedakan dengan penjelasan pada tataran makna. Berbeda dengan kedua pendekatan di atas, (iii) pendekatan pluralisme mendekati gejala penggunaan bahasa dengan mendasarkannya pada fungsinya. Sebagaimana pembahasan tentang gaya bahasa sebagai gejala penggunaan sistem tanda, dapat dipahami bahwa gaya bahasa pada dasarnya memiliki matra hubungan. Matra hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan dunia proses kreatif pengarang, dunia luar yang dijadikan obyek dan bahan penciptaan, fakta yang terkait dengan aspek internal kebahasaan itu sendiri, dan dunia penafsiran penanggapnya (Aminuddin, 1995: 57). Dengan demikian penelitian ini merujuk pada pendekatan pluralismeinterferensial yakni proses analisis yang dilakukan bertolak dari konsep teoritis yang dianggap relevan. Konsep tersebut antara lain terkait dengan wawasan semiotik, lingustik, maupun teori sastra pada umumnya. Pengembangan konsep 14 Universitas Sumatera Utara
teoritis secara demikian pada dasarnya sesuai dengan kenyataan bahwa keberadaan aspek stilistik dalam teks sastra terkait dengan sejumlah unsur yang relatif kompleks. Kehadiran sistem tanda dalam teks sastra dapat disiasati dengan bertolak dari wawasan semiotik. Penggunaan bahasanya dapat dipahami dari wawasan lingustik. Sementara keberadaan aspek stilistik sebagai bentuk kreasi seni dapat dipahami dengan bertolak dari konsep-konsep yang terkembang dalam teori sastra (Aminuddin, 1995: 61).
15 Universitas Sumatera Utara