BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Iddah Iddah dalam pengertian bahasa Arab diambil dari kata “al add‟ yang berarti hitungan. Disebut demikian karena „iddah
pada umumnya
mengandung jumlah quru‟ dan bulan.1
1
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh As-sunnah Wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al A‟immah, terj. Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh (Jilid, 3; Jakarta ; Pustaka Azzam, 2007 ) h. 499
22
23
Sedangkan menurut pengertian terminologis (istilah), „iddah adalah masa tunggu yang ditentukan oleh syari‟at bagi wanita setelah berpisah dari suami yang mengharuskannya untuk menunggu tanpa melakukan perkawinan hingga masa tersebut berakhir.2 Menurut Sayuti Thalib pengertian kata „iddah dapat dilihat dari dua sudut pandang :3 Pertama dilihat dari segi kemungkinan keutuhan perkawinan yang telah ada, suami dapat rujuk kepada isterinya. Dengan demikian kata „iddah dimaksudkan sebagai suatu istilah hukum yang mempunyai arti tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana pihak suami dapat rujuk kepada isterinya. Kedua, dengan demikian dilihat dari segi istri, masa „iddah itu akan berarti sebagai suatu tenggang waktu dalam waktu mana istri belum dapat melangsungkan perkawinan dengan pihak laki-laki lain. Di dalam Perundang-undangan Indonesia masa iddah lebih dikenal dengan istilah “waktu tunggu”. Kemudian penjelasan mengenai iddah menurut fikih tampaknya tidak jauh berbeda dengan penjelasan yang diberikan oleh perundang-undangan yaitu Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
2
Abu Malik Kamal, , Shahih Fiqh As-sunnah Wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib Al A‟immah, h. 499 3 Amiur Nuruddin dan Azhari Kamal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006) h. 241
24
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang No.1 Tahun 1974, dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Iddah wanita yang ditalak setelah ia disetubuhi, jika ia masih haid adalah tiga kali haid sesuai dengan firman Allah SWT (Q.S. Al-Baqarah (2) 228):
…. Artinya: “dan para istri yang diceraikan wajib menahan diri mereka (menunggu) tiga kali Quru‟…..”4 Kata Quru‟ dalam ayat diatas bermakna haid sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Aisyah Bahwa Ummu Habibah pernah mengalami istihadhah. ia pun bertanya kepada Rasulullah SAW. Tentang persoalannya itu. Beliau memerintahkan Ummu Habibah untuk meninggalkan Shalat di Masa Haidnya (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)5 Jika istri yang telah disetubuhi itu tidak haid, baik karena usia belia maupun karena ia telah memasuki masa menopause maka iddah adalah 3 bulan6 seperti dalam Firman Allah SWT: “ Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara istri-istrimu, jika kamu ragu-ragu
4
Q.S. Al-Baqarah (2) :21 Abu Malik Kamal, Fiqhus Sunnah lin-Nisa‟, Terj. Ghozi M. Dkk, (Cet I; Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara, 2007), h. 259 6 Malik Kamal, Fiqhus Sunnah lin-Nisa‟. h. 259 5
25
(tentang masa iddahnya), maka iddahnya adalah tiga bulan ; dan begitu (pula perempuan perempuan yang tidak haid…(Al-Thalaq (65): 4) 7 Wanita yang ditalak sebelum disetubuhi tidak memiliki kewajiban iddah8 sesuai dengan firman Allah SWT “ Wahai Orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan….. (Q.S. Al-Ahzab (33): 49).9 Wanita hamil yang ditalak dalam keadaan hamil masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan,10 Allah Berfirman” …. Sedangkan Perempuanperempuan yang hamil, masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan kandungannya…” (Q.S. Al-Thalaq (65): 4)11 Wanita yang sedang istahadhah dan tidak bisa membedakan darah istahadhah dari darah haid menjalani masa iddah selama tiga bulan karena ia termasuk kategori yang disebutkan dalam ayat12 “…. Jika kamu ragu-ragu
7
Q.S. Al-Thalaq (65) : 4. Malik Kamal, Fiqhus Sunnah lin-Nisa‟.h. 259 9 Q.S. Al-Ahzab (33) : 49. 10 Malik Kamal, Fiqhus Sunnah lin-Nisa‟.h. 259 11 Q.S. Al-Thalaq (65) : 4. 12 Malik Kamal, Fiqhus Sunnah lin-Nisa‟.h. 260 8
26
(tentang masa iddah) maka iddahnya adalah tiga bulan….” (Al-Thalaq (65) : 4).13 B. Macam-macam iddah dalam Fiqh „iddah (dibaca iddah demi memudahkan) terbagi dalam beberapa macam di antaranya adalah:14 1. Iddah atas istri yang memiliki kebiasaan bermenstruasi Iddah
perempuan
yang
masih
mengalami
kebiasaan
bermenstruasi (haid) apabila ditalak oleh suaminya terbagi menjadi dua: Pertama adalah yang ditalak dalam keadaan Qabla dukhul, yakni belum pernah “dicampuri" oleh suaminya tidak ada iddah yang harus dijalaninya. Artinya ia boleh menikah dengan laki-laki lain segera setelah ditalak oleh suami pertamanya Firman Allah SWT : “ Hai Orang-orang yang Beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu “menyentuhnya” (yakni mencampurinya) maka sekali-kali tidak ada atas mereka „iddah bagimu yang dapat kamu hitung. Maka berilah mereka Mut‟ah (pemberian Tertentu) dan lepaskanlah mereka dengan cara sebaik-baiknya.” Q.S Al-Ahzab (33) : 49).
13
Q.S. Al-Thalaq (65) : 4. Muhammad Bagir, Fiqh Praktis II Menurut Al-Qur‟an, As-sunnah dan Pendapat Para Ulama, (Bandung : Karisma, 2008) h. 223 14
27
Kedua, yang ditalak dalam keadaan Ba‟da dukhul, yakni sudah “dicampuri” oleh suaminya harus menjalani masa iddah seperti disebutkan dalam Q.S Al-Baqarah (2): 228 “perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu sebelum kawin lagi) selama tiga Quru‟”, para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud dengan “tiga Quru‟”. Sebagian dari mereka, seperti Abu Hanifah dan Ibn Qayyim mengartikannya “tiga kali haid” sedangkan Syafi‟i mengartikannya “Tiga kali Suci setelah haid”. Pendapat syafi‟i inilah yang dijadikan pegangan dalam undang-undang perkawinan Indonesia.15 2. Iddah atas istri yang tidak memiliki kebiasaan bermenstruasi Seorang Istri ditalak oleh suaminya, sedangkan ia tidak memiliki kebiasaan bermenstruasi baik karena memang belum pernah mengalaminya ataupun karena sudah berusia lanjut (telah mengalami menopause) maka iddahnya adalah tiga bulan sesuai firman Allah SWT “…Perempuan-perempuan yang telah putus asa dari haid diantara istri-istri jika kamu ragu, maka iddah mereka adalah tiga bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum mengalami haid” (Q.S AlThalaq (65) : 4).16
15 16
Bagir, Fiqh Praktis II, h. 222 Bagir, Fiqh Praktis II,h. 223
28
Ibnu Hasyim dalam tafsirnya dari Umar bin Salim dari Ubay bin
Ka‟ab
berkata:
“
Aku
mengatakan
Wahai
Rasulullah,
sesungguhnya orang-orang di Madinah berkata tentang sejumlah perempuan yang tidak disebutkan dalam Al-Qur‟an, yang kecil, yang besar dan perempuan yang hamil. Lalu turunlah Firman Allah SWT:
dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuanperempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Maka masa selesai bagi salah satunya adalah sampai ia melahirkan. Jika ia telah melahirkan maka habislah masa iddahnya. Dalam Riwayat Jariri “ Aku bertanya, Wahai Rasulullah SAW. Sesungguhnya orang dari penduduk madinah ketika ayat dalam surat Al-baqarah turun
mengenai
iddah
kaum
perempuan,
mereka
mengatakan, sungguh masih ada sejumlah perempuan yang tidak
29
disebutkan didalam Al-Qur‟an, yakni perempuan-perempuan yang kecil, yang besar yang telah terputus haidnya, dan mereka yang mengandung. Rasulullah SAW berkata : kemudian turunlah ayat tentang perempuan – perempuan tertentu:
...... dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu raguragu (tentang masa iddahnya), Ayat diatas membahas tentang perempuan lanjut usia yang tidak haidh. Atau perempuan yang telah tidak haid. Maka ini bukanlah termasuk bagian dari Quru‟. Firman Allah SWT إن أر تبتمadalah jika kalian ragu maka iddahnya tiga bulan. 3. Iddah istri yang ditinggal mati oleh suaminya Seorang istri yang tinggal mati oleh suaminya, adalah sesuai dengan firman Allah SWT. “…orang-orang yang meninggal dunia di antaramu, dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah Para istri itu) berIddah selama empat bulan sepuluh hari… (Al-Baqarah (2) : 234). Berdasarkan itu pula, seandainya si suami menceraikan istrikan dengan Talak Raj‟iy (talakyang masih memungkinkan rujuk) tetapi kemudian ia meninggal dunia sementara si istri masih menjalani iddahnya, maka iddah istri berubah menjadi iddah kematian, yaitu empat bulan sepuluh
30
hari (terhitung sejak wafatnya suaminya) ini mengingat si istri masih menjadi istri yang sah dan karenanya masih menjadi salah seorang ahli warisnya juga.17 4. Iddah istri yang dalam keadaan hamil Seorang istri yang ditalak suaminya ataupun ditinggal mati oleh suaminya sedangkan ia dalam keadaan hamil maka iddahnya sesuai Firman Allah SWT,18 “… Perempuan-perempuan yang dalam keadaan hamil iddahnya adalah sampai mereka melahirkan kandungannya (Q.S. Al-Thalaq (65) :4) Hal ini seperti dikatakan Zad Al-Ma‟ad. Allah SWT dalam ayat
ض ْع َن َحَْلَ ُه َّن َ َأجلَ ُه َّن أن ي ْ
telah menunjukkan bahwa perempuan hamil tidak
bisa habis masa iddahnya sehingga melahirkan. 19 Hal ini menunjukkan bahwa iddah selesai dengan kelahirannya bagaimanapun keadaannya, baik keadaan hidup ataupun meninggal, sempurna tubuhnya ataupun cacat, telah ditiupkan ruh atau belum.
17
Bagir, Fiqh Praktis II h. 223 Bagir, Fiqh Praktis II h. 224 19 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga (Pedoman Berkeluarga dalam islam), terj. Nur Khozin , (Jakarta; Amzah, 2010) h. 77-78. 18
31
C. Pendapat Ulama Mengenai Quru’
228. wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru‟. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ulama Madzhab Hanafi dan kelompok mujtahid yang lain berpendapat bahwa lafal Quru‟ itu bermakna haid. Dengan Qarinah: Pertama: hikmah diundangkannya iddah bagi perempuan yang ditalak adalah meyakinkan bersihnyarahim dari bibit kehamilan dan untuk mengetahui hal ini adalah haid bukan suci.20 Kedua:
20
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh kaidah hukum islam, terj. Faiz el Muttaqin, (Cet XI; Jakarta : Pustaka Amani, 2003), h. 248.
32
4. dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. Allah menjadikan hubungan hitungan iddah tidak adanya haid dengan beberapa bulan. Maka yang asal adalah hitungan dengan haid. Ketiga: Sabda Rasulullah SAW:
طالق األمة ثنتان وعدتها حيضتان Hitungan talak bagi budak perempuan adalah dua kali, dan iddahnya adalah dua haid. Penjelasannya adalah bahwasanya iddah budak perempuan dengan haid adalah menjelaskan maksud dari lafal Al-Qur‟u dalam iddahnya perempuan merdeka. Sedangkan bentuk mu‟annats dalam kata bilangan adalah untuk menjaga bentuk Mudzakkar dari lafal yang dibilang, yaitu Al-Qur‟u.
33
Imam Syafi‟I berpendapat bahwa quru‟ it artinya adalah “suci” ayat tentang iddah diatas menjelaskan kewajiban perempuan yang bercerai dari suaminya adalah menunggu sampai tiga kali suci. Bila ia dicerai dalam keadaan suci dan belum dicampuri pada masa itu, maka dengan masuknya masa suci yang ketiga masa iddahnya sudah habis. Dalam pemahaman AlSyafi‟i ini, penghitungan masa iddahnya lebih pendek dibandingkan dengan apa yang dipahami oleh Imam Abu Hanifah. Imam Syafi‟i mengemukaan pendapat dengan alasan pertama Firman Allah SWT. Dalam surat At-Thalaq (65) ; 1:
1. Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. Ayat diatas secara jelas menyatakan bahwa menalak istri ini adalah pada masa iddahnya dengan arti langsung masuk ke dalam perhitungan iddah.
34
Talak masuk ke dalam masa iddah adalah talak sunni. Talak yang masuk kedalam masa iddah dalam talak sunni adalah bila dilakukan saat istri itu dalam keadaan suci yang belum dicampuri. Dengan demikian, perhitungan iddah adalah tiga kali suci dan bukan tiga kali haid karena itu, maka arti kata quru‟ adalah “suci”.21 Alasan kedua adalah Kata bilangan ( )عددuntuk menunjukkan 3 quru‟ dalam ayat tersebut menggunakan jenis kelamin betina (Mu‟annas) yaitu ...ثالثة... dalam ketentuan kaidah bahasa Arab, bila bilangannya menggunakan jenis kelamin betina (mu‟annas), maka yang dibilang ( )ألمعدودharus dalam bentuk jenis yang “jantan” (muzakkar). Berdasarkan ketentuan bahasa ini, maka quru‟ itu harus bentuk “jantan”. Diantara kata “suci” dan “haid” itu dalam kaidah Bahasa Arab, yang jantan adalah Kata “suci” dengan demikian tiga quru‟ berarti tiga kali suci.22 Penafsiran quru‟ dengan suci itu lebih dekat artinya dalam hal penggunaan kata dari segi pengertiannya, karena kata quru‟ artinya berkumpul atau bergabung. Masa suci seorang perempuan berarti masa berkumpulnya darah dalam rahim perempuan yang menyebabkan ia tidak haid. Oleh karena itu, pemahaman yang sesuai adalah menafsirkan quru‟ dengan suci.23
21
Amir Syarifuddin , Ushul Fiqh, Jilid 2 (Cet. 6 ; Jakarta: Kencana, 2011),h. 18 Amir Syarifuddin , Ushul Fiqh,h. 19 23 Amir Syarifuddin , Ushul Fiqh,h. 19 22
35
1. Batas Maksimal dan Minimal masa iddah Andaikata seorang wanita telah dewasa akan tetapi dia belum pernah haid sama sekali, maka apabila dia dicerai suaminya, iddahnya menurut kesepakatan ulama adalah tiga bulan. Akan tetapi bila dia mengalami haidh lalu berhenti akibat menyusui atau karena penyakit, maka Hambali dan Maliki mengatakan bahwa iddahnya adalah setahun penuh. Sedangkan syafi‟i, dalam Qaul jadid diantara dua pendapatnya mengatakan bahwa, wanita tersebut selamanya berada dalam iddah hingga dia mengalami haid, atau memasuki usia menopause, dan sesudah itu beriddah selama tiga bulan.24 Hanafi mengatakan apabila seorang wanita mengalami satu kali haid, lalu karena sakit atau menyusui, haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak pernah mengalami haid sama, maka wanita tersebut dinyatakan tidak keluar dari masa iddahnya sampai kelak dia memasuki masa menopause. Dengan memasuki masa menopause ini sajalah dia bisa menyelesaikan iddahnya. Dengan demikian, menurut Hanafi dan Syafi‟i masa iddah berlanjut hingga umur 40 tahun.25
24
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Madzahib al- Khamsah, terj. Masykur A.B. dkk, (cet. 7 Jakarta: Lentera Basritama, 2001), h. 468 25 Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Madzahib al- Khamsah. h. 468
36
Berlanjut di sisi lain, hitungan yang dimungkinkan paling sedikit pada seorang merdeka, yaitu tiga puluh dua hari dan satu jam.26 Hal tersebut jika seandainya ia ditalak dalam keadaan suci dan masih dalam keadaan suci setelah talak satu jam maka saat itu suci (quru‟ yang pertama). Lalu haid sehari, kemudian suci selama lima belas hari. Itulah masa masa quru‟ yang kedua. Ia haid sehari kemudian lima belas hari, dan quru‟ yang ketiga. Jika telah berhenti haid yang ketiga maka berakhirlah masa iddahnya.27 Adapun menurut Abu Hanifah, waktu yang paling sedikit menurutnya adalah enam puluh hari. Menurut dua sahabatnya adalah tiga puluh sembilan hari. Menurut Abu Hanifah, iddah dimulai dengan haid selama sepuluh hari, ini merupakan masa yang paling lama. Kemudian suci selama lima belas hari, lalu haid selama sepuluh hari dan suci lima belas hari. Kemudian dengan haid selama sepuluh hari sehingga berjumlah enam puluh hari. Jika masa ini telah berlalu dan ia menyatakan bahwa iddahnya selesai sehingga benarlah sumpahnya. Dengan demikian ia menjadi halal bagi laki-laki lain.28
26
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, h. 352 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, h. 352 28 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, h. 352 27
37
Adapun dua sahabat yang menganggap bagi setiap haidh selama tiga hari. Ini adalah masa yang paling sedikit. Keduanya menganggap bagi masing-masing yang suci, halal bagi para wanita haid selama lima belas hari sehingga berjumlah tiga puluh sembilan hari.29 D. Peraturan Perundang-undangan mengenai Iddah Perspektif Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan atau UUP tampaknya tidak mengatur tentang iddah ataupun waktu tunggu secara rinci. Satu-satunya pasal yang bicara tentang waktu tunggu adalah pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:30 1. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 2. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut Selanjutnya waktu tunggu ini dimuat didalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 39 yang berbunyi sebagai berikut31: 1. Waktu Tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu yang masih berdatang bulan ditetapkan (3) tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (Sembilan Puluh) Hari.
29
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga, h. 352 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, pasal 11 31 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 pasal 39 30
38
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 2. Tidak ada tenggang waktu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. 3. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang, mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Masa Iddah Perspektif Kompilasi Hukum Islam mengenai masa Iddah ini diatur didalam pasal 15332 seperti sebagai berikut: Pasal 153 KHI: 1. Bagi seorang istri yang putus perkawinanya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali Qabla Al-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. 2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun Qabla al-Dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus Tiga Puluh) hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90(Sembilan Puluh) hari. c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. d. Apabila kematian putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. 3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya Qabla al-dukhul. 32
Inpres No. 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 153
39
4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. 5. Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menjalani menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci. 6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali suci. E. Hikmah Iddah Agama Islam Mensyari‟atkan iddah karena makna-makna dan hikmah – hikmah diantaranya adalah:33 1. Memastikan Bahwa Rahim wanita benar-benar bersih dan menghindari Kemungkinan bercampurnya dua sperma laki-laki atau lebih dalam satu Rahim. Dengan cara itu, kerancuan dan kerusakan nasab bisa dihindari. 2. Menghormati dan memuliakan mantan suami. 3. Membuka kemungkinan bagi sepasang suami istri yang telah bercerai untuk kembali rujuk. 4. Menghormati
ikatan
pernikahan
dan
memperlihatkan
rasa
kehilangan. Dalam masa iddahnya, seorang wanita dilarang berhias dan mempercantik diri. Dengan alasan itu pula, masa berkabung
33
Abu Malik Kamal, Fiqhus Sunnah lin-Nisa‟, h. 261
40
untuk kematian suami jauh lebih panjang daripada masa berkabung untuk ayah maupun anak. 5. Menjaga Hak-hak suami, istri, anak-anak, sekaligus Hak Allah SWT. Jadi, dalam iddah, terkandung pemeliharaan terhadap hakhak empat pihak sekaligus. Hikmah yang sudah disebutkan diatas tidak jauh berbeda dengan hikmah iddah yang dijelaskan oleh Ibnu Al-Qayyim bahwa hikmah disyari‟atkan iddah bahwa dalam syariat „iddah terdapat beberapa hukum, diantaranya ilmu kekerabatan. Sehingga tidak terkumpul sperma dari dua orang yang bersetubuh atau lebih banyak dari satu rahim, sehingga bercampurlah keturunan dan menjadi rusak. Karena kerusakan tersebut syari‟ah dan hikmah mencegahnya, diantaranya:34 1. Keagungan akan pentingnya akad ini, menghilangkan kekuatannya, dan menampakkan kemuliaannya. 2. Memberikan waktu untuk kembali bagi orang bercerai, diharapkan ia menyesal dan kembali sehingga ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk kembali. 3. Memenuhi hak suami, menampakkan pengaruh kehilangannya dalam mencegah dari berhias. Oleh karena itu disyari‟atkan
34
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga,h. 350
41
berkabung lebih lama dari pada berkabung terhadap anak dan orangtuanya. 4. Berhati-hati atas hak suami, kemaslahatan istri, hak anak, dan melaksanakan Hak Allah SWT. Yang mewajibkannya. Kemudian dari kisah di republika.co.id, di Amerika -- Robert Guilhem, pakar genetika dan pemimpin yahudi di Albert Einstein College menyatakan dengan tegas soal keislamannya. Dia masuk Islam setelah kagum dengan ayat-ayat Al Quran tentang masa „iddah wanita muslimah selama tiga bulan.35 Massa „iddah merupakan massa tunggu perempuan selama tiga bulan, selama proses dicerai suaminya. Seperti dikutip dari society berty.com, hasil penelitian yang dilakukannya menunjukkan, massa „iddah wanita sesuai dengan ayat-ayat yang tercantum di Al Quran. Hasil studi itu menyimpulkan hubungan intim suami istri menyebabkan
laki-laki
meninggalkan
sidik
khususnya
pada
perempuan. Dia mengatakan jika pasangan suami istri (pasutri) tidak bersetubuh, maka tanda itu secara perlahan-lahan akan hilang antara 25-30 persen. Guilhem menambahkan, tanda tersebut akan hilang secara keseluruhan setelah tiga bulan berlalu. Karena itu, perempuan
35
Erick Yusuf, “Masa Iddah dan Kebenaran Islam”, httpwww.republika.co.idberitadunia-islamcelotehkang-erick140328n2vfnv-masa-iddah-dan-kebenaran-islam, diakses tanggal 16 Maret 2015.
42
yang diceraiakan siap menerima sidik khusus laki-laki lainnya setelah tiga bulan. Bukti empiris ini mendorong pakar genetika Yahudi ini melakukan penelitian dan pembuktian lain di sebuah perkampungan Muslim Afrika di Amerika. Dalam studinya, ia menemukan setiap wanita di sana hanya mengandung sidik khusus dari pasangan mereka saja. Penelitian serupa dilakukannya di perkampungan non muslim Amerika. Hasil penelitian membuktikan wanita di sana yang hamil memiliki jejak sidik dua hingga tiga laki-laki. Ini berarti, wanitawanita non-muslim di sana melakukan hubungan intim selain pernikahannya yang sah. Sang pakar juga melakukan penelitian kepada istrinya sendiri. Hasilnya menunjukkan istrinya ternyata memiliki tiga rekam sidik laki-laki alias istrinya berselingkuh. Dari penelitiannya, hanya satu dari tiga anaknya saja berasal dari dirinya. Setelah
penelitian-penelitian
tersebut,
dia
akhirnya
memutuskan untuk masuk Islam. Ia meyakini hanya Islamlah yang menjaga martabat perempuan dan menjaga keutuhan kehidupan sosial.
43
Ia yakin bahwa perempuan muslimah adalah yang paling bersih di muka bumi ini. F. Hierarki Perundang-undangan Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang berisi norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan oleh legislator maupun oleh regulator atau lembaga-lembaga pelaksana undangundang yang mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-undang untuk menetapkan peraturan-peraturan tertentu menurut peraturan yang berlaku.36 Produk legislatif yang dimaksud adalah peraturan yang berbentuk Undangundang, dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan pembahasannya dilakukan
bersama-sama
mendapatkan
persetujuan
dengan
Presiden
bersama
yang
atau
akhirnya
Pemerintah setelah
untuk
mendapat
persetujuan bersama akan disahkan oleh Presiden. Selain peraturan yang berbentuk Undang-undang, ada pula peraturan yang disusun dan ditetapkan oleh lembaga eksekutif pelaksana undangundang.
Setiap
lembaga
pelaksana
undang-undang
dapat
diberikan
kewenangan regulasi oleh undang-undang dalam rangka menjalankan undangundang yang bersangkutan. Semua produk hukum tertulis yang berisi norma yang bersifat mengatur (regling) itu dalam ilmu hukum kita namakan peraturan perundang-undangan. 36
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (cet 5, Depok: Rajagarfindo Persada, 2013) h. 163-164
44
Menurut ketentuan Undang-undang nomor 12 tahun 2011 merupakan undang-undang yang berlaku saat ini, bentuk –bentuk dan tata urut peraturan perundang-undangan dimaksud adalah:37 (i) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (ii) ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iii) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, (iv) Peraturan Pemerintah, (v) Peraturan Presiden, (vi) Peraturan Daerah Provinsi, (vii) Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Kekuatan hukum peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarkinya. Pada pasal 8 Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 “jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-undang atau Pemerintah atas perintah Undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau Kota, Bupati atau Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Ayat 2 pasal 8 disebutkan “ Peraturan Perundang-undangan Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
37
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
45
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 1. Kedudukan Surat Edaran Dalam Buku Pedoman Umum Tata naskah dinas cetakan Edisi I januari 2004 dan Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2008 yang diterbitkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara pengertian Surat Edaran adalah naskah dinas yang memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.38 Selanjutnya Peraturan Menteri dalam Negeri No. 55 tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan: Surat Edaran adalah naskah dinas yang
berisi
pemberitahuan,
penjelasan
dan
petunjuk
cara
melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.39 Mengingat isi surat edaran hanya berupa pemberitahuan, maka dengan sendirinay materi muatannya tidak merupakan norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan menteri, apalagi Peraturan Presiden atau 38
Fitri, Kedudukan Surat Edaran Ditinjau dari sudut Pandang Tata Hukum Indonesia, http://www.kopertisi12.or.id/2012/02/04/kedudukan-surat-edaran-dtinjau-dari-sudut-pandang-tatahukum-indonesia.html, diakses tanggal 05 Juli 2015 39 Fitri, Kedudukan Surat Edaran Ditinjau dari sudut Pandang Tata Hukum Indonesia, http://www.kopertisi12.or.id/2012/02/04/kedudukan-surat-edaran-dtinjau-dari-sudut-pandang-tatahukum-indonesia.html, diakses tanggal 05 Juli 2015
46
Pereturan Pemerintah tetapi semata-mata hanya untuk memperjelas makna dari peraturan yang ingin diberitahukan. 2. Kedudukan Surat Penjelasan Pengadilan Agama Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 24 ayat (2) menyatakan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan
Peradilan
Umum,
lingkungan
Peradilan
Agama,
lingkungan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”40 Undang-undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebgaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 dan Undang-undang No. 50 Tahun 2009, pasal 2 menyatakan: “ Peradilan Agama Merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undangundang ini. Pasal
3
Undang-undang
Peradilan
Agama
tersebut
menyatakan:41 (1) kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan
40
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama. 41
47
Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. (2) kekuasaan kehakiman di lingkungan Pengadilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi. Pengadilan Agama merupakan lembaga Peradilan tingkat pertama yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta waqaf, zakat, infaq, shadaqah serta ekonomi Syariah sebagimana di atur dalam pasal 49 Undang-undang No. 50 Tahun 2009.42 Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut:43 a. Memberikan pelayanan tekhnis yustisial dan administrasi kepaniteraan bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi.
42
Undang-undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama. 43 Dariyono, Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama, http//pa-semarang.go.id/profilpa-semarang/kedudukan-tugas-pokok-dan-fungsi. Diakses tanggal 07 Juli 2015
48
b. Meberikan pelayanan di bidang administrasi perkara Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali serta administrasi peradilan lainnya. c. Memberikan pelayanan administrasi umum pada semua unsur di lingkungan Pengadilan Agama. d. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum
islam
pada
instansi
pemerintah
di
daerah
hukumnya, apabila diminta sebagaimana diatur dalam pasal 52 Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. e. Memberikan
pelayanan
pelayanan
penyelesaian
permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan diluar sengketa antara orang-orang yang beragama islam yang dilakukan berdasarkan hukum islam sebagaimana diatur dalam pasal 107 ayat (2) Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No.. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. f. Waarmerking akta keahliwarisan di bawah tangan untuk pengambilan deposito/tabungan, pensiunan dan sebagainya.
49
g. Melaksanakan
tugas-tugas
pelayanan lainnya seperti
penyuluhan hukum, memberikan pertimbangan hukum agama, pelayanan riset / penelitian dan sebagainya.