7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini memaparkan tinjauan teori mengenai induksi persalinan secara sistimatis dimulai dari persalinan dan diakhiri dengan pembahasan peran perawat Maternitas terhadap klien yang dilakukan induksi persalinan. Pembahasan dipaparkan tentang pengertian, fisiologi persalinan, nyeri dan penatalaksanaannya. Sedangkan pada induksi persalinan dipaparkan pengertian, indikasi, kontra indikasi, metode induksi persalinan, akibat induksi persalinan. Pada peran perawat Maternitas dipaparkan peran perawat Maternitas terhadap klien yang dilakukan induksi persalinan.
I. Persalinan A. Pengertian Persalinan Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi persalinan yang ditandai dengan perubahan progresif pada serviks dan diakhiri dengan kelahiran plasenta (Varney, 2004). Pada kondisi normal proses kehamilan akan diakhiri dengan proses persalinan. Kehamilan mempunyai batas waktu tersendiri yang ditentukan oleh kemampuan uterus untuk meregang, perubahan hormon progesteron yang menurun, peningkatan produksi hormon oksitosin, peningkatan hormon prostaglandin, dan pengaruh dari hipotalamus.
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
8 B. Fisiologi Persalinan Faktor pencetus timbulnya persalinan masih belum diketahui sampai saat ini. Perubahan hormon yang bekerja saat kehamilan merupakan salah satu faktor yang diduga menimbulkan dimulainya persalinan. Kadar hormon estrogen meningkat seiring bertambahnya usia kehamilan. Hal tersebut berakibat meningkatnya aktivitas miometrium dan mematangkan serviks. Estrogen juga mempunyai peran dalam produksi dan penyimpanan prostaglandin di dalam desidua diantara membrane dan dinding uterus. Prostaglandin bekerja meningkatkan
aktivitas
uterus
dan
pematangan
serviks.
Prostaglandin
meningkatkan efek oksitosin. Oksitosin tidak memuncak pada saat persalinan, tetapi pelepasan prostaglandin pada permulaan persalinan memungkinkan oksitosin bereaksi. Oksitosin meningkatkan kerja sel otot polos dan memperlambat konduksi aktivitas elektrik sehingga mendorong serat-serat otot berkontraksi. Prostaglandin memperkuat efek oksitosin, menimbulkan kontraksi menjadi lebih sering dan lebih kuat. Ketika miometrium berkontraksi, kontraksi tersebut menghasilkan tekanan pada dinding uterus. Tekanan tersebut ditransmisikan ke serviks. Jika serviks telah teregang, bentuk serviks akan berubah.
Pada awal persalinan, tekanan dinding uterus mengakibatkan penipisan dan kemudian menyebabkan dilatasi. Apabila jaringan serviks telah menipis dan tidak terdeteksi dengan pemeriksaan klinis, hal tersebut berarti dilatasi penuh. Dilatasi penuh atau pembukaan lengkap terjadi pada akhir kala I dan mulainya kala II persalinan. Pada kala I persalinan terdapat dua fase yaitu fase laten dan Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
9 fase aktif. Serviks menipis pada fase laten dan berdilatasi pada fase aktif. Fase laten dimulai pada awal persalinan dan berakhir pada dilatasi serviks sekitar tiga sentimeter. Fase aktif dimulai antara dilatasi tiga sentimeter sampai penuh (Friedman, 1967 dalam Henderson & Jones, 1997).
Kemajuan persalinan tergantung pada interaksi dari tiga variable yaitu power (tenaga), passage (jalan lahir), passenger (janin). Power (tenaga) paling banyak mendapat perhatian. Kontraksi uterus akibat peningkatan aktivitas oksitosin menimbulkan power (tenaga) yang baik untuk persalinan. Kondisi power (tenaga) yang kurang baik dapat menimbulkan gangguan dalam persalinan (distocia). Selain itu passager (jalan lahir) juga mempunyai peran penting dalam persalinan. Kondisi tulang panggul dan panggul lunak dapat mempengaruhi persalinan berjalan lancar ataupun mengalami gangguan persalinan (distocia). Salah satu tindakan untuk mengatasi distocia yang disebabkan gangguan pada faktor power dan passage adalah dengan tindakan induksi persalinan.
Faktor posisi dan psykologis dalam persalinan sekarang ini juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Dengan menggunakan postur tubuh yang tegak lurus untuk persalinan, banyak wanita merasa lebih mudah menghadapi rasa nyeri dan mampu memutar pelviks dengan baik serta menggunakan efek gravitasi yang membantu penurunan janin. Posisi dorsal yang dahulu dikemukakan oleh Louis sebagai posisi untuk melahirkan, kini tidak berguna lagi. Posisi dorsal beresiko menyebabkan kompresi pada vena kava ibu yang berakibat hipoksia pada janin (Humphrey, 1974 dalam Henderson & Jones, 1997). Pada saat persalinan, Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
10 kemampuan untuk mengubah posisi tubuh dengan bebas berguna untuk memperlebar diameter pelviks dan mempengaruhi kemajuan persalinan. Berjalan, menaiki dan menuruni tangga dilakukan dengan tujuan untuk memperlancar penurunan janin yang masih tinggi, karena gerakan spina lumbal memungkinkan kepala janin masuk pelviks (Stevenson, 1994 dalam Handerson & Jones, 1997).
C. Nyeri dan Penatalaksanaannya Secara Non Farmakologi Nyeri secara umum berhubungan dengan kerusakan jaringan dan pelepasan zat kimia ke dalam jaringan yang menimbulkan nyeri misalnya histamin, bradikinin, potasium dan prostaglandin. Zat kimia ini akan diterima oleh mekanisme reseptor saraf yang menimbulkan persepsi nyeri. Kontraksi uterus, peregangan serviks dan penurunan janin dapat meningkatkan pelepasan prostaglandin. Nyeri persalinan tersebut dimulai dari serat aferen sistem saraf simpatik berakhir di uterin dan saraf pleksus servikal. Selama proses persalinan serviks mengalami proses dilatasi untuk penurunan kepala bayi. Pada pembukaan lengkap nyeri terjadi pada bagian punggung karena stimulasi dari sacral nervus pleksus.
Nyeri yang dirasakan klien bersifat subyektif, hanya klien yang mampu mendefinisikan nyerinya. Nyeri dapat dirasakan seperti tertusuk, panas, tersayat dan sebaginya. Dari skala nol yaitu tidak nyeri sampai nyeri tidak tertahankan yaitu skala sepuluh. Nyeri dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, emosional, fisiologis. Nyeri berhubungan dengan faktor tingkah laku dan perasaan.
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
11 Keyakinan,
kecemasan,
mempengaruhi
persepsi
pengalaman nyeri.
masa
Melzak
lalu
(1965,
tentang dalam
nyeri
dapat
Reeder,
1997)
mengemukakan tiga komponen yang dapat mempengaruhi respon individu terhadap sensasi nyeri yaitu : motivational affective system, cognitif evalution sytem, sensory discriminative system. Craven (2000), Kozier (2000), Auvhenshine
dan
Enriquez
(1990)
mengemukakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi individu dalam berespon terhadap nyeri : usia, emosi, lingkungan, budaya, pengalaman yang lalu, pengetahuan dan sistem pendukung.
II. Induksi Persalinan
A. Pengertian induksi persalinan Menurut Saifuddin (2002) pengertian induksi persalinan dibedakan dengan akselerasi persalinan. Akselerasi persalinan merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. Sedangkan induksi persalinan menurut Saifuddin (2002) yaitu suatu tindakan merangsang uterus untuk memulai terjadinya persalinan. Pengertian induksi persalinan menurut Shiers (dalam Bennet, 1999) yaitu stimulasi kontraksi uterus sebelum terjadinya persalinan spontan. Pengertian induksi persalinan menurut Gilbert (2003) yaitu semua usaha memulai kontraksi uterus sebelum kejadian persalinan spontan sebagai fasilitas persalinan pervaginam. Pengertian induksi persalinan menurut Cuningham (2001) yaitu terjadinya kontraksi uterus disebabkan oleh pengaruh hormone-hormon (adenosine triphospate, estrogen dan progesterone) dan meningkatnya kadar beberapa elektrolit seperti kalsium, Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
12 sodium dan potassium, kontraksi protein yang spesifik (actin dan myosin), ephinephrine dan norephinephrine, oxytocin dan prostaglandin. Berdasarkan pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa induksi persalinan adalah upaya memfasilitasi persalinan pervaginam dengan cara menimbulkan kontraksi uterus sebelum tanda dan gejala persalinan terjadi. Induksi persalinan dilakukan sebelum tanda dan gejala persalinan terjadi, sedangkan pada akselerasi tanda dan gejala persalinan telah terjadi.
B. Indikasi induksi persalinan Menurut May dan Mahlmeister (1990) indikasi dilakukannya induksi persalinan yaitu hipertensi dalam kehamilan, penyakit diabetes, ketuban pecah dini, post term, kondisi yang membahayakan janin. Indikasi induksi persalinan menurut Ramsey (2000, dalam Gilbert, 2003) yaitu post term; penyakit maternal seperti diabetes, ginjal dan penyakit jantung; penyakit hypertensi, premature rupture membrane (PROM); oligohydramnions; dugaan gangguan pertumbuhan janin atau
chorioamnionitis.
Berdasarkan
pernyataan
tersebut
dapat
diambil
kesimpulan bahwa induksi persalinan tidak dapat dilakukan pada kondisi yang normal baik pada ibu maupun pada janin.
Indikasi lain adalah pada kasus ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah sebelum waktunya. KPD merupakan peristiwa dimana ketuban pecah tidak diikuti tanda dan gejala persalinan. Pecahnya ketuban sebelum waktunya dapat mengakibatkan resiko infeksi pada janin dan ibu. Kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja. Pemantauan terhadap suhu tubuh ibu setiap tiga jam untuk Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
13 menentukan adanya infeksi perlu dilakukan. Klien tidak dianjurkan untuk berjalan-jalan walaupun hanya di sekitar ruang perawatan. Kondisi asfiksia intra uterin dapat terjadi apabila terdapat talipusat menumbung. Mengingat kondisi ketuban pecah dini tersebut dapat membahayakan bagi janin dan ibu maka persalinan harus segera dilakukan dimulai dengan induksi persalinan apabila kondisi ibu dan janin masih dalam batas normal.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Heliani, Wijayanegara dengan judul penelitian tinjuan kasus persalinan dengan ketuban pecah dini (KPD) di rumah sakit Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 1 Januari 1998 sampai 31 Desember 2000 didapatkan hasil bahwa angka kejadian ketuban pecah dini (KPD) selama tiga tahun terdapat peningkatan 8,3 % pertahun.
Selain itu, dari penelitian tersebut ditemukan bahwa pada ketuban pecah sebelum waktunya dapat terjadi kontraksi spontan yang jauh lebih besar bila dibandingkan
induksi
persalinan.
Walaupun
hasil
penelitian
tersebut
menunjukkan perbandingan angka kejadian kontraksi spontan lebih besar dari induksi persalinan, namun mengingat bahaya yang ditimbulkan akibat ketuban pecah sebelum waktunya diantaranya adalah infeksi maka usaha untuk mengakhiri kehamilan dengan induksi persalinan menjadi pilihan utama pada saat ini. Apalagi seperti diketahui bersama bahwa penyebab kematian ibu dan bayi terbesar di Indonesia adalah infeksi, maka upaya pencegahan kematian akibat infeksi segera harus dilakukan.
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
14 C. Kontraindikasi induksi persalinan Menurut May dan Mahlmeister (1990) kontra indikasi induksi persalinan diantaranya didasarkan pada kondisi ibu dan janin. Kontra indikasi menurut ibu adalah (1) riwayat trauma pada uterus, (2) abnormalitas dari uterus, vagina atau panggul, (3) adanya plasenta previa atau dugaan obrupsio placenta, (4) adanya herpes type II dalam traktus genetalis, (5) grandemultipara, (6) overdistensi dari uterus yaitu pada kehamilan ganda atau polyhydramnion, (7) adanya carcinoma servikal. Adapun kontra indikasi induksi persalinan berdasarkan dari faktor janin adalah (1) kelainan janin (lintang atau bokong) (2) berat badan bayi rendah, (3) adanya fetal distress.
D. Metode induksi persalinan Induksi persalinan dapat dilakukan dengan cara pemecahan ketuban, pemberian oksitosin, pemberian obat Misoprostol, pemberian hormon prostaglandin, pemasangan laminaria, pemasangan balon kateter. Keberhasilan induksi persalinan tergantung kondisi serviks yang matang. Yang dimaksud serviks yang matang yaitu lembut, anterior, penipisannya lebih dari 50 % dan dilatasi 2 cm atau lebih. Menurut Bishop (1964, dalam Gilbert, 2003) ada 13 point scoring untuk memperkirakan kemungkinan klien dilakukan induksi persalinan. Sementara itu menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG, 1999) jika pelvic score mencapai 8 atau lebih induksi biasanya berhasil (Gilbert, 2003).
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
15 Di Indonesia, pelaksanaan induksi didasarkan pada scoring yang sedikit berbeda. Ketentuan penilaian menurut Saifuddin (2002) jika skor ≥ 6, induksi cukup dilakukan dengan oksitosin. Sedangkan jika skor ≤ 5, perlu dilakukan pematangan serviks terlebih dahulu dengan pemberian prostaglandin atau pemasangan foley kateter.
1. Pemecahan ketuban (Amniotomi) Menurut Varney (2004) pemecahan ketuban dengan disengaja merupakan salah satu bentuk induksi maupun akselerasi persalinan . Dengan keluarnya sebagian air ketuban terjadi pemendekan otot rahim sehingga otot rahim lebih efektif berkontraksi. Pendapat Varney tersebut mendukung pernyataan Saifuddin (2002) pemecahan ketuban menimbulkan pembentukan prostaglandin yang akan merangsang persalinan dengan meningkatkan kontraksi uterus. Dari pernyataan Varney dan Saifuddin
tersebut dapat disimpulkan bahwa
pemecahan ketuban dapat menjadi salah satu alternative induksi persalinan.
Pemecahan ketuban harus dilakukan dengan memperhitungkan banyak hal diantaranya adalah ada tidaknya polihidramnion, presentasi muka, tali pusat terkemuka, vasa previa, adanya presentasi selain kepala. Presentasi bagian bawah selain kepala merupakan kontra indikasi dilakukannya amniotomi. Kepala janin yang belum masuk ke pintu atas panggul atau janin kecil juga merupakan kontra indikasi pemecahan ketuban, karena kedua kondisi tersebut menjadi factor pemicu terjadinya prolaps talipusat. Prolaps talipusat dapat
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
16 menimbulkan asfiksia intra uterine akibat terjepitnya talipusat antara panggul dan kepala janin (Varney, 2004).
Selain itu ketuban dan kulit ketuban merupakan sesuatu yang berfungsi melindungi janin dalam rahim, perlindungan terhadap infeksi dan perlindungan terhadap trauma. Menurut Saifudin (2002) pada daerah dengan insiden HIV tinggi, selaput ketuban dipertahankan untuk melindungi bayi dari infeksi. Pecahnya ketuban beresiko terjadinya infeksi intrauterine (korioamnionitis). Korioamnionitis sering terjadi akibat pecahnya ketuban yang lama (lebih dari 24 jam) (Varney, 2004). Klien dengan korioamnionitis mengalami demam pada ibu, takikardia pada ibu dan janin, uterus lunak, dinding vagina hangat, cairan ketuban purulen dan berbau tidak sedap. Infeksi memberikan dampak yang merugikan pada kontraksi uterus sehingga menimbulkan distocia. Selain itu, dampak dari infeksi yaitu bayi dapat mengalami pneumonia, asidosis intrauterine, paralisis serebri dan leukomalasia periventrikular kistik. Amniotomi dini (pembukaan 2 cm) cenderung mengakibatkan amnionitis lebih lanjut, hiperstimulasi uterus, dan gawat janin dibandingkan dengan amniotomi pada akhir (pembukaan 5cm) (Varney, 2004).
Jadi dari uraian yang telah dipaparkan tersebut menjadi dasar bagi tenaga penolong persalinan. Penolong persalinan harus memperhitungkan secara cermat sebelum memecahkan kulit ketuban. Ketepatan waktu pemecahan dihubungkan dengan kondisi pembukaan serviks dan posisi kepala janin di jalan lahir. Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
17
2. Pemberian Oksitosin drip Oksitosin adalah suatu peptida yang dilepaskan dari bagian hipofisis posterior. Pada kondisi oksitosin yang kurang dapat memperlambat proses persalinan, sehingga diperlukan pemberian oksitosin intravena melalui infuse. Oksitosin meningkatkan kerja sel otot polos yang diam dan memperlambat konduksi aktivitas elektrik sehingga mendorong pengerahan serat-serat otot yang lebih banyak berkontraksi dan akibatnya akan meningkatkan kekuatan dari kontraksi yang lemah (Caldeyro, 1957 dalam Henderson & Jones, 2006).
Caldeyro (1957, dalam Henderson & Jones, 2006) menegaskan bahwa sensitivitas uterus sangat bervariasi dari satu persalinan ke persalinan berikutnya walaupun pada ibu yang sama, oleh karena itu dosis pemberian harus disesuaikan dengan aktivitas dan kontraksi. Distress janin dapat terjadi akibat stimulasi berlebihan. Selain itu oksitosin telah terbukti meningkatkan rasa nyeri yang dialami ibu dan meningkatkan resiko hiperstimulasi (Thornon & Lilford, 1994 dalam Henderson & Jones, 2006).
Berdasarkan pernyataan Thornon dan Lilford (1994, dalam Henderson & Jones, 2006) tersebut maka pemberian oksitosin intravena melalui infuse perlu prosedur yang benar dan pengawasan yang intensif. Menurut Saifuddin (2002) oksitosin harus digunakan secara hati-hati karena dapat mengakibatkan gawat janin akibat hiperstimulasi uterus. Selain itu, pada pemberian oksitosin dapat terjadi ruptur uteri terlebih pada ibu multipara. Penggunaan oksitosin pada ibu Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
18 dengan serviks belum matang akan menimbulkan kegagalan persalinan pervaginam. Pada kondisi serviks yang belum matang dibutuhkan 12 sampai 18 jam untuk mematangkan serviks sebelum tindakan pemberian oksitosin drip dilakukan. Oleh karena itu Ibu yang dilakukan induksi dengan pemberian oksitosin drip, dilakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap: skor bishop, tekanan darah, denyut nadi, kontraksi uterus, relaksasi uterus, denyut jantung janin, kecepatan cairan infuse oksitosin.
Oksitosin mulai diberikan melalui infuse dektrose atau garam fisiologis dengan ketentuan sebagai berikut: 2,5 unit oksitosin dalam 500 cc dektrose atau garam fisiologis, pemberian mulai dari 10 tetes permenit, tetesan dinaikkan 10 tetes setiap 30 menit sampai kontraksi adekuat. Kontraksi adekuat yang diharapkan adalah adanya 3 kali kontraksi yang lamanya lebih dari 40 detik. Ketika kontraksi uterus adekuat telah tercapai maka infuse dipertahankan sampai terjadi kelahiran bayi (Saifuddin, 2002).
Pada kondisi hiperstimulasi uterus (kontraksi uterus lebih dari 60 detik atau lebih dari 4 kali dalam 10 menit) saat berlangsung induksi persalinan, maka infuse segera dihentikan dan berikan Terbutalin 250 mcg I.V. pelan-pelan selama 5 menit atau Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan Ringer Lactat atau garam fisiologis dengan tetesan 10 tetes permenit. Pemberian Terbutalin atau Salbutamol bertujuan untuk mengurangi hiperstimulasi uterus (Saifuddin, 2002).
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
19 Pada ibu yang telah diberikan induksi persalinan dengan ketentuan tersebut tidak tercapai kontraksi yang adekuat (3 kali kontraksi dalam 10 menit dengan lama lebih dari 40 detik setelah infuse mencapai 60 tetes permenit) maka konsentrasi oksitosin dinaikkan menjadi 5 unit dalam 500 cc destrose atau garam fisiologis. Tetesan dimulai dengan kecepatan 30 tetes permenit dan dinaikkan 10 tetes setiap 30 menit. Apabila pada ketentuan tersebut belum terdapat kontraksi yang adekuat maka pada ibu primi para, maka konsentrasi oksitosin dinaikkan menjadi 10 unit dalam 500 dekstrose atau garam fisiologis. Tetesan infuse oksitosin diberikan mulai 30 tetes permenit dan dinaikkan 10 tetes setiap 30 menit sampai kontraksi adekuat. Apabila kontraksi adekuat yang diharapkan sesuai ketentuan tidak terjadi maka tindakan seksio sesarea dilakukan. Pada ibu multipara dan ibu dengan bekas seksio sesarea tidak dianjurkan pemberian oksitosin 10 unit dalam 500 cc dekstrose atau garam fisiologis (Saifuddin, 2002).
Fenomena di lapangan sampai sekarang pemberian oksitosin drip masih banyak digunakan untuk induksi persalinan. Kehamilan dengan ketuban pecah dini lebih banyak diakhiri dengan induksi persalinan oksitosin drip. Penelitian Darmadi dan Handoko (2001), bahwa dari 144 kasus ketuban pecah dini terdapat 53 kasus (36,8%) menggunakan oksitosin drip. Selain itu hasil penelitian menunjukkan: (1) penggunaan oksitosin drip lebih banyak pada umur ibu 25-29 tahun dengan jumlah kasus 22 (41,6%), dan (2) oksitosin drip lebih banyak digunakan primi para 34 kasus (64,2%).
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
20 3. Pemberian Prostaglandin Menurut Varney (2004) angka kegagalan yang tinggi pada pemberian oksitosin untuk induksi persalinan pada ibu dengan serviks tertutup dalam waktu lama memicu upaya untuk mencari cara mematangkan serviks sebelum induksi persalinan dilakukan. Menurut Saifuddin (2002) prostaglandin sangat efektif untuk pematangan serviks selama induksi persalinan. Pemberian prostaglandin mengurangi angka kegagalan induksi, sehingga dapat meningkatkan jumlah persalinan pervaginam (Varney, 2004). Prostaglandin dapat diberikan intravena, per oral, intra servikal, transvaginal. Berbagai studi dilakukan untuk menentukan keefektifan penggunaan prostaglandin. Prostaglandin yang diberikan intravena akan menimbulkan efek samping yang parah terkait dengan pemberian sistemik. Prostaglandin yang diberikan per oral lebih mudah dilakukan dan lebih diterima oleh ibu, namun tampaknya cara tersebut lebih sulit untuk menghindari masalah seperti efek samping sistemik dan hiperstimulasi.
Ada dua unsur prostaglandin yang sejak lama merupakan fokus utama yang digunakan pada induksi persalinan yaitu prostaglandin E1 dan prostaglandin E2. prostaglandin E1 dikenal dengan nama Misoprostol atau Cytotec. Sedangkan prostaglandin E2 terdiri dari Cervidil dan Prepidil. Respon terkait dosis pada pemberian prostaglandin mencakup pematangan serviks, distress janin, hiperstimulasi uterus, seksio sesarea untuk penanganan distress janin, ikterik pada neonatus (Varney, 2004).
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
21 Mengingat resiko yang ditimbulkan akibat pemberian prostaglandin, maka sebelum pemberian prostaglandin dilakukan pemantauan denyut nadi, tekanan darah, kontraksi uterus, pemeriksaan denyut jantung janin.
Pemantauan
dilakukan dengan pengamatan partograf.
Fenomena yang terjadi sekarang ini pembukaan serviks sering yang dibantu dengan pemberian Misoprostol (cytotec). Menurut Blanchette (1999, dalam Gilbert, 2003) menyatakan bahwa Misoprostol (cytotec) merupakan sintetik prostaglandin E1 yang berfungsi meningkatkan kematangan serviks. Penggunaan Misoprostol dapat menurunkan penggunaan oksitosin, memperpendek waktu persalinan dan menurunkan biaya.
Menurut saifuddin (2002) Misoprostol digunakan untuk pematangan serviks dan hanya digunakan pada kasus-kasus tertentu misalnya: (1) pre eklampsia berat atau eklampsia dan serviks belum matang sedangkan seksio sesarea belum dapat segera dilakukan atau bayi terlalu premature untuk bias hidup, (2) kematian janin dalam rahim lebih dari 4 minggu belum inpartu dan terdapat tanda-tanda gangguan pembekuan darah. Misoprostol tidak dianjurkan pada ibu yang memiliki jaringan parut pada uterus (Varney, 2004).
Misoprostol dapat diberikan peroral, sublingual atau pervaginam. Menurut Saifuddin (2002) tablet misoprostol dapat ditempatkan di forniks posterior vagina. Misoprostol pervaginam diberikan dengan dosis 25 mcg dan diberikan dosis ulang setelah 6 jam tidak ada his. Apabila tidak ada reaksi setelah 2 kali Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
22 pemberian 25 mcg, maka dosis dinaikkan menjadi 50 mcg setiap 6 jam. Misoprostol tidak dianjurkan melebihi 50 mcg dan melebihi 4 dosis atau 200 mcg. Misoprostol mempunyai resiko meningkatkan kejadian ruptur uteri, oleh karena itu misoprostol hanya digunakan pada pelayanan kesehatan yang lengkap (ada fasilitas operasi) (Saifuddin, 2002). Saifuddin juga melarang pemberian oksitosin dalam 8 jam sesudah pemberian misoprostol.
Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mendukung konsep dasar pemberian misoprostol. Penelitian tentang Misoprostol sublingual untuk induksi persalinan aterm dilakukan oleh Shetty dan Templeton (2002) menunjukkan bahwa pada kelompok sublingual lebih banyak pasien melahirkan bayi dalam 24 jam dan induksi persalinan lebih singkat secara bermakna bila dibandingkan dengan kelompok oral. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa terjadi satu kasus hiperstimulasi uterus pada kelompok sublingual. Dari uraian penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Misoprostol sublingual tampak lebih efektif dan lebih diterima pasien dibandingkan dengan misoprostol peroral. Oleh karena itu, Misoprostol sublingual dapat dipertimbangkan untuk induksi persalinan aterm, namun demikian penggunaannya perlu perhatian sehubungan resiko kegagalan yang ditimbulkan yaitu perdarahan.
Penelitian Edwin dan Sabarudin pada tahun 1998 sampai 2000 dengan judul perbandingan dua cara penggunaan Misoprostol-Oksitosin untuk induksi persalinan, dengan hasil : tidak tampak perbedaan dalam pencapaian fase aktif setelah pemberian Misoprostol 100 mgr pertama, sedangkan setelah pemberian Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
23 misoprostol 100 mgr kedua tampak perbedaan dengan lebih sedikitnya jumlah keberhasilan
pencapaian
pembukaan
lengkap
dibandingkan
penelitian
sebelumnya. Pada penelitian tersebut juga didapatkan data terjadi peningkatan angka kegagalan induksi setelah pemberian misoprostol dan oksitosin karena dilakukannya pembatasan waktu persalinan mengakibatkan peningkatan angka caesarea sebesar 5 %.
Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan induksi persalinan tidak mutlak berhasil, ada yang mengalami kegagalan. Tindakan medis untuk mengatasi kegagalan induksi persalinan yaitu dengan caesarea agar klien dan janin dapat segera diselamatkan.
Penelitian lain dilakukan oleh Anna, Sabarudin, Purwara, Mose, Krisnad dan Nataprawira (1998) didapatkan jumlah perdarahan selama persalinan lebih banyak pada kasus gagal induksi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan Misoprostol mengakibatkan hiperstimulasi uterus yang berakibat ruptur uteri dan perdarahan akibat lacerasi jalan lahir tersebut.
Induksi persalinan dengan prostaglandin E 2 (PGE2) bentuk pesarium 3 mg atau 2-3 mg ditempatkan pada forniks posterior vagina. Tindakan tersebut dapat diulang 6 jam kemudian jika kontraksi tidak terjadi. Pemberian prostaglandin dihentikan dan mulai dengan pemberian oksitosin drip jika terdapat ketuban
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
24 pecah, pematangan serviks telah tercapai, proses persalinan telah berlangsung, atau pemakaian prostaglandin telah mencapai 24 jam (Saifuddin, 2002).
Menurut Varney (2004) cervidil adalah preparat prostaglandin yang dimasukkan ke dalam mesh insert yang harus ditempatkan dalam forniks posterior sehingga benangnya harus terlihat dari luar vagina. Alat tersebut mengabsorbsi sekresi dan melepaskan dinoprostol dengan laju 0,3 mg/ jam selama 12 jam. Setelah cervidil dilepas, ditunggu 30 menit sebelum memulai infuse oksitosin. Ibu diminta tetap dalam posisi rekumben setidaknya selama 2 jam setelah alat tersebut diinsersi sehingga lokasi obat dipertahankan. Cervidil sebaiknya dilepas apabila terjadi persalinan aktif, distress janin, takikardia, atau hiperstimulasi. Cervidil nyaman dan aman digunakan pada ibu yang rawat jalan.
Prepidil adalah gel yang biasanya diberikan melalui spuit yang sebelumnya telah diisi dan semprotkan ke dalam serviks tepat di dalam ostium uteri internum. Spuit tersebut berisi 0, 5 mg dinoprostol dan suhunya disamakan dengan temperatur ruangan sebelum insersi. Insersi spekulum dan visualisasi serviks penting dilakukan agar dapat menempatkan gel tersebut dengan tepat. Ibu diminta tetap pada posisi dorsal selama 10 hingga 15 menit untuk meminimalkan kebocoran. Dosis maksimum yang dianjurkan untuk periode 24 jam adalah 1,5 mg atau tiga dosis. Gel prepidil sebaiknya dihapus dari vagina jika terjadi persalinan aktif, gawat janin, takikardia, atau hiperstimulasi uterus. Selain itu efek samping pemberian prepidil adalah efek gastrointestinal berupa nause dan diare, nyeri punggung, sensasi hangat pada vagina dan demam (Varney, 2004). Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
25
5. Pemasangan Kateter Foley Pemasangan Kateter foley merupakan alternatif lain disamping pemberian prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan (Saifuddin, 2002). Pemasangan kateter foley tidak diperkenankan pada kondisi riwayat perdarahan, ketuban pecah, pertumbuhan janin terhambat, atau adanya infeksi vagina. Pemasangan kateter foley dilakukan dengan menggunakan forseps desinfeksi tingkat tinggi (DTT), dan dipastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum. Setelah pemasangan kateter foley, balon kateter dikembungkan dengan pemberian 10 cc air. Ada perbedaan dari beberapa literatur tentang pengisian balon kateter. Menurut Varney (2004) pemberian cairan atau udara untuk mengisi balon kateter sebanyak 25 cc sampai 50 cc agar kateter tetap pada tempatnya. Walaupun ada perbedaan jumlah cairan atau udara pada pengisian balon kateter, tetapi yang terpenting adalah terjadinya dilatasi serviks dan kontraksi uterus. Kateter foley didiamkan sampai timbul kontraksi uterus atau sampai batas maksimal 12 jam (Saifuddin, 2002).
Menurut Gilbert (2003) pemasangan kateter foley lebih baik digunakan untuk pematangan serviks dibandingkan pemberian misoprostol. Sebuah penelitian dilakukan oleh Saptowati pada tahun 2002 tentang kefektifan penggunaan balon kateter untuk induksi persalinan pada kehamilan post term. Peneliti mengambil 110 kasus menggunakan balon kateter dan 10 kasus menggunakan Misoprostol. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata perbedaan keberhasilan menggunakan balon kateter dengan Misoprostol adalah 89,09 % dan 82,85 %. Pada nulipara Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
26 rata-rata keberhasilan penggunaan balon kateter 2,23 lebih tinggi dibandingkan menggunakan Misoprostol. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa klien yang belum pernah mengalami persalinan (nulipara) tindakan induksi persalinan yang lebih baik adalah dengan pemasangan balon kateter dibandingkan Misoprostol.
E. Akibat induksi persalinan
Tindakan induksi persalinan merupakan suatu tindakan yang bertujuan merangsang timbulnya kontraksi uterus sebelum tanda dan gejala persalinan spontan terjadi. Akibat induksi persalinan adalah klien merasakan gangguan kenyamanan berupa nyeri persalinan. Menurut Ramsey (2000, dalam Gilbert, 2003) tindakan induksi persalinan meningkatkan kebutuhan obat analgetik baik general maupun epidural berhubungan dengan nyeri yang dirasakan.
Tindakan induksi persalinan bukan hanya menimbulkan tanda dan gejala persalinan, namun tindakan induksi persalinan dapat menimbulkan dampak yang berbahaya bagi klien dan janinnya apabila tidak dilakukan pengelolaan dengan tepat. Resiko yang ditimbulkan akibat induksi persalinan tergantung dari metode induksi yang diterapkan.
Misoproston dan Dinoprostone dapat menimbulkan resiko hyperstimulasi uterus yang berakibat terjadinya ruptur uteri. Selain itu penggunaan Dinoprostone menimbulkan gangguan pada gastrointestinal berupa nausea, vomitus, diarrhea Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
27 (ACOG, 1999 dalam Gilbert, 2003). Penggunaan oksitosin untuk induksi persalinan dapat menimbulkan hyperstimulasi pada uterus, aktivitas uterus yang tidak terkoordinasi, penurunan output urine, hipotensi, edema pulmonary, kelahiran caesarea serta berakibat bahaya pada janin yaitu fetal distress pada janin dan hiperbilirubinemia.
Pemecahan ketuban sebagai induksi persalinan juga menimbulkan dampak yang tidak baik bila tidak dikelola secara tepat seperti timbulnya decelerasi variable, resiko infeksi, perubahan posisi janin. Apabila ada tali pusat terkemuka pemecahan ketuban dapat menimbulkan terjepitnya tali pusat antara kepala janin dan panggul ibu sehingga menyebabkan asfiksia intra uterine dan fetal distress. Selain itu metode pelebaran selaput janin juga dapat beresiko terjadinya perdarahan apabila terdapat kondisi placenta previa. Menurut Ramsey (2000, dalam Gilbert, 2003) tindakan induksi persalinan pada nullipara meningkatkan resiko 40 % sampai 60 % caesarea.
Selain induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin, laminaria atau synthetic dapat dipergunakan sebagai induksi persalinan dengan melebarkan serviks secara perlahan (Trofatter, 1992 dalam Gilbert, 2003). Namun demikian, laminaria atau synthetic dapat beresiko terjadinya chorioamnionitis yang disebabkan oleh karena lamanya penggunaan alat tersebut yaitu 4 jam sampai 16 jam (Chua, 1997 & Krammer, 1995 dalam Bobak, 2005).
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
28 Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tindakan induksi persalinan dapat membahayakan ibu dan janin. Perawat atau tenaga kesehatan yang memberikan asuhan pada klien harus melakukan pengkajian yang cermat agar dampak negatif dari induksi persalinan dapat dihindarkan.
F. Peran perawat Maternitas Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memberikan asuhan keperawatan setiap hari baik di rumah sakit, rumah bersalin, puskesmas dan sebaginya dituntut untuk meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotornya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Klien sebagai anggota masyarakat akan memilih tempat dimana klien merasa nyaman dan aman dalam menerima asuhan. Klien dalam menentukan tempat memperoleh pelayanan kesehatan akan mempertimbangkan bagaimana sikap dan perilaku tenaga kesehatan yang ada di tempat tersebut.
Perilaku caring perawat yang diinginkan klien sesuai hasil penelitian Dedi (2007) yang berjudul Studi Grounded Theory perilaku caring perawat pelaksana di rumah sakit Immanuel Bandung adalah: (1) sikap peduli terhadap pemenuhan kebutuhan klien, (2) bertanggung jawab memenuhi kebutuhan klien, (3) ramah dalam melayani, (4) sikap tenang dan sabar dalam melayani klien, (5) selalu siap sedia memenuhi kebutuhan klien, (6) memberikan motivasi kepada klien, (7) sikap empati dengan klien dan keluarganya.
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008
29 Perawat berperan penting dalam memberikan asuhan keperawatan klien yang mengalami kecemasan akibat dilakukan induksi persalinan. Perawat harus bersikap empati terhadap klien dan keluarganya. Sikap empati dapat ditunjukkan dengan seringnya melakukan interaksi, melakukan komunikasi terapeutik, respon nonverbal dengan memberikan sentuhan. Perilaku caring ini harus menjadi dasar dalam memberik asuhan. Perawat harus mengidentifikasi kebutuhan dalam mengatasi masalah klien, sebagai contoh masalah klien yang dilakukan induksi persalinan dengan menggunakan oksitosin drip: masalah keperawatan yang terjadi yaitu resiko tinggi cedera pada maternal, resiko tinggi cedera pada janin, serta nyeri berhubungan dengan efek induksi persalinan (Melson dan Jaffe, 1995).
Pengalaman primipara..., Emi Nurlaela, FIK UI, 2008