BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Sirih Merah (Piper Crocatum Ruiz. & Pav.)
Gambar 1. Tanaman Sirih Merah
1.
Klasifikasi ( Tjitrosoepomo, 2005) Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Piperales
Genus
: Piper
Spesies
: Piper cf. Fragile, Benth.
Sinonim
: Piper crocatum, Ruiz. & Pav.
2. Deskripsi Tanaman Tanaman sirih merah tumbuh menjalar seperti halnya sirih hijau. Batangnya bulat bertangkai berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai membentuk jantung dengan bagian atas meruncing. Bertepi rata dan permukaannya mengkilap atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai 15–20 cm. Warna daun bagian atas hijau bercorak putih keabu–abuan, bagian bawah daun berwarna merah hati cerah. Batangnya bersulur dan beruas dengan jarak buku 5–10 cm, disetiap buku tumbuh bakal akar. Hal yang membedakannya dengan sirih lain terutama dengan sirih hijau adalah selain daunnya berwarna merah keperakan, bila daunnya disobek maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi. Sirih merah dapat beradaptasi dengan baik di setiap jenis tanah dan tidak terlalu sulit dalam pemeliharaannya. Selama ini umumnya sirih merah tumbuh tanpa pemupukan. Selama pertumbuhannya yang paling penting adalah pengairan yang baik dan cahaya matahari yang diterima sebesar 60-75% 3.
Nama Daerah dan Nama Asing Tanaman sirih merah memiliki banyak sebutan, diantaranya Sirih Pait
(Maluku), Tali Pait (Maluku), Gumi Momadi (Ternate), Sulamu Tali (Ternate) (Heyne,1987). Di luar negeri dikenal dengan nama Guan Shang Jiao (Cina) dan Ornamental Pepper (Inggris) (Mardiana, 2004).
4.
Distribusi/Penyebaran tanaman Tanaman sirih merah adalah tanaman yang dapat tumbuh dengan baik
ditempat yang teduh dan tidak terlalu banyak terkena sinar matahari. Jika terkena sinar matahari langsung pada siang hari secara terus menerus warna merah daunnya bisa menjadi pudar, buram, dan kurang menarik. Tanaman sirih merah akan tumbuh baik jika mendapatkan 60–75 % cahaya matahari (Sudewo, 2008). 5.
Kandungan Kimia Daun sirih merah memproduksi atau menghasilkan berbagai macam
senyawa kimia yang sering disebut metabolit sekunder. Fungsi metabolit sekunder bagi tanaman adalah untuk melindungi diri atau untuk berkompetisi dengan makhluk hidup lainnya. Metabolit sekunder yang terkandung dalam sirih merah adalah flavonoid, alkaloid, terpenoid, cyanogenic, glikosida, isoprenoid, nonprotein amino acid, eugenol (Sudewo, 2008). Pada umumnya senyawa yang termasuk dalam jenis glikosida yang banyak terdapat pada tumbuhan adalah flavonoid. Flavonoid merupakan metabolit yang diproduksi oleh tanaman sebagai salah satu respon yang dihasilkan terhadap infeksi mikroba pada tanaman. Hal tersebut merupakan dasar untuk menjadikan senyawa flavonoid sebagai bahan antimikroba. Aktivitas yang dimiliki flavonoid sebagai antimikroba adalah karena kemampuan dari flavonoid dalam membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler dari mikroba sehingga akan menghambat aktivitas dari bakteri tersebut. Selain membentuk kompleks dengan protein ekstraseluler bakteri,
flavonoid juga dapat merusak dinding sel bakteri. Beberapa flavonoid yang lipofilik juga juga dapat merusak membran sel bakteri dengan cara membentuk kompleks dengan adesin yang terdapat di permukaan sel, merusak polipeptida pada dinding sel dan merusak enzim yang terikat pada membran sel. 6. Manfaat dan Penggunaan Tanaman Tanaman sirih merah adalah salah satu tanaman yang memiliki banyak manfaat dalam membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Selain itu, terdapat nilai-nilai spiritual yang dimiliki oleh tanaman sirih merah pada daerah tertentu di Indonesia, salah satunya adalah di Keraton Yogyakarta dalam upacara adat “ngadi saliro”. Daun sirih merah secara empiris digunakan untuk mengatasi diabetes melitus, jantung koroner, radang prostat tuberkulosis, hiperurisemia, kanker payudara dan kanker rahim, penyakit ginjal, hepatitis (Sudewo, 2008). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa sirih merah memiliki khasiat membunuh bakteri (Haryadi, 2010) yang menyatakan bahwa ekstrak daun sirih merah pada konsentrasi 18% dan sirih hijau 10% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Kandungan senyawa kimia dari sirih merah yang bermanfaat sebagai antibakteri adalah flavonoid. Senyawa flavonoid di dalam sirih merah inilah yang berfungsi sebagai anti mikroba (Samudera, 2010). Berdasarkan penelitian secara in vitro diketahui bahwa sirih merah mempunyai aktivitas sebagai antibakteri (Juliantina, 2009), antiproliferatif (Wicaksono, 2009), antioksidan (Suratmo, 2010). Sedangkan
dalam penelitian in vivo, aktivitas farmakologis sirih merah yaitu sebagai antihiperlipidemia (Safitri, 2008), antiinflamasi (Arbianti et al, 2008) dan penyembuhan luka pada diabetes (Astuti, 2010; Fimani, 2010). B. Ekstraksi Ekstraksi adalah metode penyarian atau penarikan komponen senyawa kimia yang terdapat di dalam tumbuhan atau simplisia dengan bantuan pelarut atau solven. Terdapat dua jenis senyawa aktif yang terkandung dalam simplisia yang diekstraksi, yaitu senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa aktif yang tidak larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain (Ditjen POM, 2000). Hasil dari proses ekstraksi disebut ekstrak. Menurut Voigt (1995), Ekstrak dikelompokkan berdasarkan sifatnya, yaitu : a.
Ekstrak encer (Extractum tenue). Sediaan ini memiliki konsistensi yang mudah untuk dituang.
b.
Ekstrak kental (Extractum spissum). Sediaan ini pada keadaan dingin bersifat liat dan sulit untuk dituangkan.
c.
Ekstrak kering (Extractum siccum). Sediaan ini memiliki konsistensi kering. Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah maserasi.
Maserasi merupakan proses penarikan zat-zat aktif yang terkandung pada simplisia dengan cara merendam simplisia tersebut ke dalam cairan pelarut atau solven (Syamsuni, 2006). Selain itu, maserasi juga didefinisikan sebagai sebuah proses ekstraksi dengan merendam simplisia ke dalam pelarut yang dilakukan dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan yang dilakukan pada suhu ruang (Ditjen POM, 2000). Hasil penarikan dari proses maserasi disebut maserat. Proses penarikan senyawa-senyawa aktif atau maserat adalah pelarut yang digunakan akan menembus dinding sel dari tanaman dan masuk ke dalam rongga sel pada tanaman yang didalamnya mengandung zat aktif. Dari peristiwa tersebut, maka akan ada perbedaan konsentrasi antara zat aktif dalam sel tumbuhan dengan pelarut yang berada di luar sel, sehingga memungkinkan zat aktif yang larut pada pelarut akan terdesak untuk keluar dari sel. Proses keluarnya zat aktif yang larut akan terjadi berulang-ulang sampai mencapai keseimbangan antara larutan yang terdapat di dalam sel dan di luar sel tumbuhan tersebut. Untuk membantu proses maserasi, biasanya dilakukan pengadukan. Proses maserasi membutuhkan waktu 3–5 hari dan dilanjutkan pada suhu kamar (Ansel, 1989). Setelah proses maserasi biasanya dilanjutkan dengan proses remaserasi dengan tujuan untuk menarik zat aktif yang masih ada yang tidak dapat diambil dalam proses maserasi. Setelah zat aktif atau maserat diambil, maka proses selanjutnya adalah proses pemisahan antara zat aktif dan pelarut dengan cara penguapan. Pelarut tersebut akan menguap dan yang tertinggal adalah zat aktif dalam bentuk filtrat pekat. Pelarut yang biasa digunakan adalah etanol, air dan campuran lainnya. Maserasi memiliki kelebihan yaitu mudah dilakukan, murah dan tidak memerlukan banyak peralatan.
C. Pemilihan Pelarut Kriteria Pelarut
1.
Faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses ekstraksi adalah dalam pemilihan pelarut atau solven. Menurut Guenther (1987), pelarut sangat berperan dalam proses ekstraksi. Hal yang harus diperhatikan dalam memilih pelarut yang akan digunakan, yaitu : a.
Mempunyai kemampuan melarutkan solut tetapi sedikit atau tidak sama sekali melarutkan diluen.
b.
Mempunyai perbedaan titik didih yang cukup besar dengan solut.
c.
Bersifat inert.
d.
Mempunyai kemurnian tinggi.
e.
Tidak beracun.
f.
Tidak meninggalkan bau.
2. Pelarut Yang Sering Digunakan Etanol adalah pelarut alkohol yang paling sering digunakan sebagai pelarut untuk ekstraksi bahan alam karena selain memiliki sifat yang tidak beracun, etanol juga memiliki polaritas yang tinggi sehingga dapat menarik senyawa dari bahan alam lebih banyak dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Etanol merupakan jenis pelarut polar. Karakteristik etanol: Rumus molekul
: C2H5OH
Berat Molekul
: 46,07 kg/mol
Spesific gravity
: 0,789
Melting point
: - 112 oC
Boiling point
: 78,4 oC
Kelarutan di dalam air
: larut sempurna
Density
: 0,7991 gr/cc
Temperatur kritis
: 243,1 oC
D. Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan senyawa yang menggunakan fase gerak atau pelarut yang sesuai, fase gerak akan bergerak disepanjang fase diam. Sedangkan fase diam adalah lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang didukung oleh pelat plastik, pelat alumunium, atau lempeng kaca. KLT dilakukan di dalam bejana pemisah yang mampu menampung pelat dan tertutup rapat, jumlah cuplikan atau bercak yang ditotolkan biasanya 1- 10 l (Gandjar dan Abdul Rohman, 2007). Untuk mendeteksi senyawa hasil KLT biasa dilakukan dengan bantuan sinar ultra violet (UV) dengan panjang gelombang pendek atau panjang (Stahl, 1985). Proses yang terdapat pada KLT adalah partisi dan adsorbsi. Lempeng KLT sudah banyak tersedia dipasaran dengan berbagai ukuran dengan penambahan reagen fluoresen untuk mendeteksi bercak dan ada juga ditambah agen pengikat berupa kalsium sulfat (Gandjar dan Abdul Rohman, 2007). Fase diam yang biasa digunakan pada penelitian adalah selulosa dan silika, sedangkan fase gerak yang sering
digunakan adalah fase gerak yang sudah pernah atau sering digunakan pada penelitian terdahulu, tetapi untuk lebih mudah biasanya dipilih dari pustaka. Sistem yang biasa digunakan dan paling sederhana adalah campuran dua pelarut organik. Hal tersebut dikerenakan oleh daya elusi campuran kedua pelarut ini mudah untuk diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan berlangsing secara optimal (Gandjar dan Abdul Rohman, 2007). Keuntungan menggunakan KLT dalam proses ini adalah : a.
KLT banyak digunakan pada penelitian untuk tujuan analisis.
b.
Proses pemisahan komponen berlangsung cepat, kepekaan yang tinggi, dapat dilakukan menggunakan pereaksi warna, fuoresensi atau radiasi menggunakan sinar UV. Dalam buku karangan Gandjar dan Abdul Rohman (2007), KLT dapat
digunakan untuk analisis kualitatif, kuantitatif dan preparatif. Analisis kualitatif adalah analisis mengenai identifikasi senyawa baku yang menjadikan nilai
Rf
sebagai parameternya. Analisis kuantitatif adalah analisis dengan tujuan mencari kadar dari senyawa yang diamati. Cara yang dilakukan ada dua yaitu bercak diukur langsung pada lempeng dengan mengukur luas yang diperoleh atau dengan teknik densitometri atau dengan mengerok bercak lalu menetapkan kadar senyawa tersebut menggunakan metode analisis lain, seperti spektrofotometri. Sedangkan analisis preparatif adalah analisis yang bertujuan untuk memisahkan analit dalam jumlah yang banyak dilanjutkan dengan analisis lebih lanjut, seperti spektrofotometri atau teknik kromatografi yang lainnya.
E. Mikroorganisme pada Kulit Manusia Kulit manusia walaupun terlihat bersih secara visual namun pada kenyataannya
tidak selalu bebas dari mikroorganisme, terlebih lagi untuk flora
normal yang ada di kulit maupun di lingkungan sekitar manusia. Flora normal adalah mikroorganisme yang tidak akan menimbulkan penyakit pada inang bagian luar yang ditempatinya, seperti kulit. Kulit normal biasanya ditempati oleh mikroorganisme dengan ukuran antara 102-106 cfu/cm2 (Trampuz et al., 2004). Flora normal yang terdapat pada kulit terbagi menjadi dua jenis, yaitu mikroorganisme sementara ( transient microorganism) dan mikroorganisme tetap (resident microorganism). Mikroorganisme sementara ( transient microorganism)
adalah flora non
pathogen atau potensial pathogen yang akan tinggal di kulit selama kurun waktu tertentu (tidak selalu ada pada kulit). Flora ini biasanya berasal dari lingkungan yang terkontaminasi. Menurut
Rahmawati dan Triyana (2008), flora ini tidak akan
menimbulkan penyakit karena memiliki patogenitas lebih rendah pada kondisi perubahan keseimbangan yang dapat menimbulkan penyakit. Mikroorganisme pathogen yang berada pada kulit sebagai mikroorganisme sementara adalah E. coli, Salmonella sp, shigella sp, Giardia lambia , virus hepatitis A dan virus Norwalk (Rahmawati dan Triyana, 2008). Mikroorganisme tetap (resident microorganism) adalah flora yang tinggal pada kulit pada sebagian besar orang sehat dan ditemukan pada celah kulit maupun pada epidermis kulit (Rahmawati dan Triyana, 2008). Flora ini merupakan flora tetap dan terdiri dari mikroorganisme jenis tertentu yang biasanya dijumpai pada bagian
tubuh tertentu dan pada usia tertentu. Flora ini sulit lepas dari kulit walaupun dengan surgical scrub karena adanya lemak dan kulit yang mengeras. Mikroorganisme tetap yang sering dijumpai pada kulit adalah Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus coagulase (Trampuz et al., 2004). Mikroorganisme tetap tidak bersifat pathogen , kecuali Staphylococcus aureus. Bakteri ini dapat mengakibatkan penyakit apabila telah mencapai jumlah 1.000.000 per gram. Karena dengan jumlah tersebut bakteri ini dapat memproduksi toksin yang berbahaya bagi tubuh manusia (Rahmawati dan Triyana, 2008). F. Gel Gel merupakan suatu sediaan semipadat yang bersifat jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif dan merupakan dispersi koloid yang mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berkaitan pada fase terdispersi (Ansel, 1989). Zat-zat pembentuk gel berfungsi sebagai zat pengikat dalam granulasi, koloid pelindung dalam suspensi, pengental untuk sediaan oral. Sediaan gel banyak digunakan terutama untuk produk obat, kosmetik dan makanan. Formula umum gel pada umumnya terdiri dari bahan aktif, bahan dasar (zat pembuat gel), humektan (penahan lembab), pelarut. Berdasarkan komposisinya, basis gel dapat dibedakan menjadi : 1. Basis gel hidrofobik Basis ini terdiri dari fase anorganik, interaksi antara basis gel dan fase pendispersi hanya sedikit sekali dan bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar (Ansel, 1989). Basis ini sering juga disebut basis oleogels atau formali
gel yang terdiri dari basis paraffin liquid dengan polyethylene atau minyak serta penyabunan dengan silikia, zink dan alumunium. 2. Basis gel hidrofilik Basis gel ini pada umumnya terdiri dari fase organik yang besar. Basis ini dapat larut dari molekul dari fase pendispersi ( Ansel, 1989). Gel ini juga sering disebut hydrogels atau suatu formulasi gel air, gliserol atau propilen glikol dan sebagai gelling agent yang biasa digunakan adalah derivat selulosa dan karbomer. Keuntungan dari basis ini adalah daya sebar pada kulit yang dihasilkan baik, mudah dicuci dengan air, pelepasan obat yang lebih baik, tidak menyumbat pori-pori kulit, tidak melapisi kulit secara kedap menimbulkan efek dingin dan memungkinkan pemakaian pada bagian kulit yang berambut (Voigt, 1984). Berdasarkan sistem fase yang membentuk, gel digolongkan menjadi dua macam, yaitu gel satu fase dan gel dua fase. Gel satu fase adalah gel yang terbentuk dari makromolekul organik yang tersebar secara merata pada suatu cairan sehingga tidak terlihat adanya ikatan antara makromolekul terdispersi dalam cairan. Terbuat dari makromolekul sintetik seperti karbomer atau tragakan dan fase pembawa dalam gel satu fase ini adalah etanol, air, dan minyak (Depkes,1994). Sedangkan gel dua fase adalah gel yang memiliki massa yang terdiri dari jaringan partikel kecil yang terpisah. Pada sistem ini apabila ukuran dari zat terdispersi terlalu besar, maka gel yang dihasilkan sering disebut magma. Magma ini dapat bersifat tigsotropik, apabila didiamkan akan membentuk sediaan semipadat dan apabila dilakukan pengocokan akan menjadi cair. Sebelum digunakan, gel dua fase
harus dikocok terlebih dahulu untuk agar tercampur dengan merata dan mudah saat dituangkan ke tangan (Depkes, 1994). G. Kontrol Kualitas Sediaan Gel Kontrol kualitas suatu sediaan adalah hal yang harus diperhatikan dalam pembuatannya. Pada sediaan gel, kontrol kualitas yang harus dilakukan berupa pengujian terhadap karakteristik yang dimiliki seperti pengujian organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, daya sebar dan daya lekat. Sediaan gel yang baik berciri swelling dan tidak ada sineresis dan memberikan tampilan visual yang stabil dan baik. Swelling adalah kemampuan gel untuk mengembang. Hal tersebut terjadi karena komponen yang digunakan sebagai bahan pembuat gel mampu mengabsorbsi larutan dan membuat volume bertambah. Pelarut yang digunakan akan berpenetrasi dengan matriks dari gel, sehingga pelarut dapat berinteraksi dengan gel. Sineresis adalah proses yang terjadi karena adanya kontraksi didalam massa gel. Cairan yang terjerat di dalamnya akan keluar dan berada dan berada pada permukaan gel. Kontrol karakterisktik sediaan gel yang baik, antara lain : 1. Uji Organoleptis Pengamatan dilakukan secara langsung berkaitan dengan bentuk, warna dan bau dari sediaan gel yang telah dibuat. Tujuan dilakukannya uji organoleptis pada sediaan gel adalah untuk mengetahui kualitas sediaan secara visual.
2. Uji Homogenitas Pengujian ini dilakukan dengan cara sampel gel antiseptik ekstrak daun sirih merah dioleskan pada kaca preparat, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen POM, 1985). Manfaat dilakukannya uji homogenitas adalah untuk mengetahui keseragaman partikel dari sediaan gel. Penyebaran partikel yang merata membuktikan bahwa zat aktif terdispersi secara merata pada sediaan. Sehingga apabila digunakan akan memberikan hasil yang maksimal. 3. Uji pH Pengujian pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter. Cara pengujian yaitu probe pH meter dicelupkan pada sediaan dan hasil pH dapat dilihat langsung pada alat yang telah terhubung pada probe pH meter. Uji pH dilakukan untuk mengetahui keamanan dari sediaan gel apabila digunakan. Sediaan gel yang terlalu asam atau terlalu basa akan menyebabkan iritasi pada kulit pengguna. Nilai pH ideal untuk sediaan gel adalah sama dengan pH kulit, yaitu berkisar antara 4,5 – 6,0 (Draelos dan Lauren, 2006). 4. Uji Viskositas Penentuan viskositas dan sifat alir dilakukan dengan viskometer Brookfield. Sediaan dimasukkan dalam gelas beaker 100 ml, spindel diturunkan ke dalam sediaan hingga batas yang ditentukan, jalankan spindle, dan amati viskositasnya. Tujuan dilakukannya uji viskositas adalah untuk mengetahui kekentalan gel. Kekentalan dari sediaan gel akan mempengaruhi sifat alir dari sediaan gel. Sediaan gel yang baik
memiliki sifat alir yang baik. Nilai viskositas ideal untuk sediaan gel berkisar antara 2000-4000 cPause (Septiani dkk., 2011). 5. Uji Daya Lekat Uji ini berkalitan dengan kemampuan gel untuk melapisi permukaan kulit secara kedap dan tidak menyumbat pori-pori kulit serta tidak menghambat fungsi fisiologi kulit dengan penghantaran obat yang baik. Daya lekat berhubungan langsung dengan viskositas sediaan, semakin tinggi daya lekat yang dihasilkan, maka viskositas atau kekentalan sediaan akan semakin tinggi. Hal tersebut akan berdampak pada susah untuk dituangkannya gel tersebut dari wadah, daya lekat yang baik sebaiknya lebih dari 1 detik (Lieberman et al., 1998). 6. Uji daya Sebar Daya sebar suatu sediaan berkaitan dengan kenyamanan suatu sediaan apabila digunakan. Gel yang baik akan memiliki daya sebar baik apabila diaplikasikan pada kulit. Daya sebar yang baik untuk sediaan gel memiliki diameter antara 3-5 cm (Garg et al., 2002). H. Deskripsi Bahan Formulasi Gel Berikut ini merupakan bahan-bahan yang digunakan formulasi sediaan gel antiseptik ekstrak sirih merah (ESM). a.
Karbomer Karbomer adalah sebuah polimer sintetis yang stabil, higroskopis, dan
dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi dalam sediaan gel, krim, lotion, dan salep. Bentuk pemerian dari bahan ini berupa serbuk halus, berwarna putih,
bersifat asam, larut dalam air hangat, etanol, dan gliserin, higroskopis, material koloid hidrofilik, tidak toksik dan tidak mengiritasi kulit, dapat meningkatkan viskositas sediaan kosmetik, dan sifat gelling agen yang kuat (Rowe et al., 2009). Struktur karbomer terdapat pada gambar 2.
H
H
C
C
H
C OH
O
n
Gambar 2. Struktur Karbomer (Rowe et al., 2009) Karbomer dipilih karena memiliki bentuk basis yang bening transparan dan dengan tekstur yang baik, memikiki stabilitas yang baik seperti dapat mengikat air dengan cepat
sedangkan pelepasan cairan lambat, memiliki
viskositas yang paling baik, tidak mengiritasi kulit, memiliki karakteristik dan stabilitas fisik yang terbaik dalam formulasi gel dengan konsentrasi gelling agent sebesar 0,5-2 % (Rowe et al., 2009). pH optimum sediaan gel dengan menggunakan karbomer sebagai gelling agent adalah 6-11 (Rowe et al., 2009). Inkompatibel dengan senyawa fenol, polimer kationik, asam kuat dan elektrolit kuat. Viskositas sediaan dapat menurun akibat adanya ion-ion dan mikroba, oleh karena itu perlu ditambahkannya bahan preservatif seperti metil paraben dengan konsentrasi 0,18% w/v dan propil paraben dengan konsentrasi 0,02%. Pembuatan dilakukan
dengan cara mendispersikan atau melarutkan serbuk karbomer kedalam air panas atau dingin atau pelarut organik sambil diaduk untuk mencegah adanya gumpalan. Setelah pengadukan dilakukan sampai terbentuknya larutan dengan viskositas yang baik, maka dilanjutkan dengan penambahan zat penetral atau zat alkali (Rowe. et al. 2009). b. Trietanolamin (TEA) Bentuk pemerian dari TEA adalah cairan kental, berwarna kuning pucat hingga tidak berwarna, dapat dicampur dengan aseton, larut dalam kloroform dan etanol (Rowe et al., 2009). Bahan ini sering digunakan pada formulasi sediaan topikal sebagai agen penetral, agen pengemulsi, dimana dengan adanya gliserol akan bereaksi dengan membentuk sabun anionic dengan pH sekitar 8 – 10,5 dan bersifat stabil. HO
OH N
OH
Gambar 3. Struktur TEA (Rowe et al., 2009) Apabila terkena udara dan sinar cahaya langsung, maka TEA akan mengalami discoloration atau berubah warna menjadi coklat. Pada formulasi gel, TEA berfungsi sebagai agen penetral pH dengan mengurangi tegangan
permukaan dan meningkatkan kejernihan, pada konsentrasi 2-4 % w/v (Rowe et al., 2009). c. Metil Paraben (Nipagin) Nipagin biasanya digunakan sebagai bahan pengawat atau preservatif, mencegah kontaminasi, perusakan dan pembusukan oleh bakteri atau fungi dalam formulasi sediaan farmasetika, produk makanan dan kosmetik. Rentang pH berkisar antara 4-8. Dalam sediaan topikal, konsentrasi nipagin yang umum digunakan adalah 0,02-0,3%. Bahan ini dapat larut pada air panas, etanol dan methanol (Rowe et al., 2009). O
OCH3
OH
Gambar 4. Struktur Metil Paraben atau Nipagin (Rowe et al., 2009). d.
Propil Paraben (Nipasol) O CH3 O
HO
Gambar 5. Sruktur Propil Paraben (Rowe et al., 2009).
Konsentrasi nipasol yang digunakan sebagai bahan pengawet sediaan topical, bahan makanan dan kosmetik adalah 0,01- 0,6 % w/v (Rowe et al., 2009). Biasanya digunakan dengan kombinasi antara metil dan propil paraben dengan tujuan untuk meningkat efek preservatif, metil paraben lebih efektif pada jamur sedangkan propil paraben lebih efektif pada bakteri. e.
Gliserin atau Gliserol Pada sediaan topikal, gliserin memiliki fungsi sebagai humektan
(menjaga kelembaban sediaan) dan emollient (menjaga kehilangan air dari sediaan. Konsentrasi gliserin yang dapat digunakan sebagai humektan dan emollient adalah < 30% (Rowe et al., 2009). Bahan ini juga berfungsi sebagai levigating agent atau mengurangi ukuran partikel dalam sediaan. OH
OH OH
Gambar 6. Struktur Gliserin (Rowe et al., 2009). f.
Aquadest Aquadest dalam sediaan farmasi digunakan sebagai bahan pelarut dan
medium pendispersi. Aquadest merupakan air murni yang bebas akan kotoran dan mikroba jika dibandingkan dengan air biasa (Ansel, 1989). Air murni biasanya digunakan untuk pembuatan sediaan farmasi yang mengandung air, kecuali sediaan injeksi (Ansel, 1989).
I. Antiseptik Antiseptik adalah agen kimia yang mencegah, memperlambat atau menghentikan pertumbuhan mikroorganisme (kuman) pada permukaan luar tubuh dan membantu mencegah infeksi (Sari dan Isadiartuti, 2006). Beberapa antiseptik mampu membunuh kuman (bakteriosida), sedangkan yang lain hanya mencegah atau menghambat pertumbuhan mereka (bakteriostatik). Antiseptik berbeda dengan antibiotik, yang menghancurkan kuman di dalam tubuh, dan dari disinfektan, yang menghancurkan kuman pada benda mati. J. Uji antiseptik Uji antiseptik yang dilakukan adalah dengan metode replika sebelum dan sesudah pemakaian gel antiseptik. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui efektifitas daya antiseptik yang dihasilkan dari gel antiseptik sebelum dan sesudah penggunaan. K. Kerangka Konsep Berdasarkan pengalaman empirik masyarakat Indonesia , daun sirih merah dapat digunakan sebagai antiseptik. Senyawa yang bermanfaat sebagai antiseptik adalah senyawa flavonoid. Untuk membuktikan adanya kandungan flavonoid dalam sirih merah, maka dilakukan pengujian menggunakan KLT dan densitometer terhadap ekstrak daun sirih merah. Disamping itu, terdapat banyak mikroorganisme (flora normal) yang menempel pada kulit tangan manusia. Beberapa diantaranya berpotensi sebagai patogen di kulit. Akan tetapi, kesadaran mencuci tangan yang masih kurang
dan gaya hidup serba praktis menjadikan gel antiseptik hand sanitizer sebagai alternatif dan gaya hidup dikalangan menengah ke atas. Setelah diketahui kandungan flavonoid, proses selanjutnya adalah pembuatan sediaan antiseptik menggunakan ekstrak tumbuhan. Sediaan gel ini kemudian dilakukan dua pengujian, yaitu pengujian terhadap karakteristik formula gel dan pengujian daya antiseptik untuk mengetahui penurunan jumlah koloni bakteri yang dihasilkan sebelum dan sesudah penggunaan gel ekstrak daun sirih merah.
Tanaman sirih merah ( Piper crocatum, Ruiz and Pav.) banyak digunakan masyarakat sebagai tanaman obat
Terdapat banyak mikroorganisme (flora normal) yang menempel pada kulit tangan manusia. Beberapa diantaranya berpotensi sebagai patogen di kulit.
Bagian tanaman yang sering digunakan sebagai antiseptik adalah daun
Identifikasi senyawa flavonoid pada ekstrak daun sirih merah yang bermanfaat sebagai antiseptik
Kesadaran mencuci tangan yang masih kurang dan gaya hidup serba praktis menjadikan gel antiseptik hand sanitizer sebagai alternatif dan gaya hidup dikalangan menengah ke atas.
Gel merupakan sediaan antiseptic yang mudah, nyaman dan praktis digunakan
Gel ( Zat aktif + gelling agent + zat tambahan)
Optimasi Sediaan gel antiseptik ESM
Uji Antiseptik Sediaan Uji organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, daya sebar dan daya lekat.
Formulasi sediaan Gel Antiseptik ESM
Uji karakteristik sediaan gel yang baik
Gambar 7. Kerangka Konsep Penelitian.
L. Hipotesis a.
Ektrak daun sirih merah memiliki kandungan flavonoid yang memiliki manfaat sebagai antiseptic agent.
b.
Adanya pengaruh antara konsentrasi ekstrak sirih merah terhadap karakteristik dari gel antiseptik ekstrak daun sirih merah.
c.
Adanya penurunan jumlah koloni secara signifikan antara sebelum dan sesudah menggunakan gel antiseptik ekstrak sirih merah.