BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Extra Ordinary Crime Dan White Collar Crime Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Dalam KUHP tidak diberikan definisi terhadap istilah tindak pidana atau strafbaar feit. Oleh karena itu, para ahli hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah tindak pidana atau strafbaar feit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana karena perbuatannya melanggar ketentuan hukum dan terhadap pelakunya terdapat kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan (Frans Maramis, 2013:7). Menurut D. Simons yang menganut aliran monolistik sebagaimana dikutip Sudarto mengungkapkan bahwa Strafbaar feit adalah “een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar person”. (Suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung-jawab) (Sudarto, 2013:67-70). Pandangan Simons yang menganut aliran monolistik tidak memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, karena menganggap bahwa perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan seseorang telah melekat kesalahan pada diri orang tersebut. Menurut W.P.J. Pompe yang menganut aliran dualistik sebagaimana dikutip oleh Sudarto berpendapat bahwa strafbaar feit adalah tidak lain daripada 18
19
feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang. (Volgens ons positieve recht is het straf bare feit niets anders dat een feit, dat in oen wettelijke strafbepaling als strafbaar in omschreven). Menurut teori strafbaar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Dalam penjatuhan pidana tidak cukup dengan adanya tindak pidana, akan tetapi harus ada orang yang dapat dipidana. Orang ini tidak ada, jika tidak ada sifat melawan hukum atau kesalahan. Memisahkan tindak pidana dari orangnya yang dapat dipidana (Sudarto, 2013:67-70). Tindak pidana korupsi adalah salah satu jenis tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana khusus atau perundang-undangan di luar KUHP. Menurut Pompe sebagimana dikutip Andi Hamzah mengungkapkan bahwa hukum pidana khusus dapat dipahami dalam dua kriteria yaitu orang-orang yang khusus, maksudnya subjek atau pelakunya yang khusus dan perbuatannya yang khusus. Disamping itu kekhususan hukum pidana tersebut tidak hanya secara materiilnya yang menyimpang dari buku I KUHP tetapi juga hukum acaranya yang menyimpang dari hukum pidana umum (KUHAP) (Andi Hamzah, 1991:1-2). Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang mengalami perkembangan yang pesat di Indonesia, Romli Atmasasmita mengungkapkan bahwa korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960 sementara pemberantasannya sangat lambat hingga sekarang, hal ini dikarenakan korupsi berkaitan dengan kekuasaan dan dengan kekuasaannya itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga serta kroninya (Romli Atmasasmita, 2004:1). Tindak pidana korupsi tidak pernah habis bahkan tumbuh subur, semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian keuangan negara, maupun kualitasnya. Modus operandinya semakin terpola dan tersistematis, lingkupnya
20
pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, sehingga korupsi secara nasional disepakati sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) (Mahmud Mulyadi, 2011:218). Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes), maka dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut cara-cara yang luar biasa” (extraordinary enforcement), misalnya dengan melakukan penuntutan terhadap korporasi yang terlibat dan melakukan tindak pidana korupsi yang pada era globalisasi menjadi fenomena yang berkembang pesat, mengingat kerugian keuangan negara yang besar dan dapat berdampak pada pembangunan nasional (Ermansyah Djaja, 2009:28). Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa karena korban yang diakibatkan oleh korupsi adalah sangat masif karena dengan korupsi kerugian yang diderita oleh suatu negara dapat menjadi begitu gradual. Dalam pertimbangan The United Nations Concvention Against Corruption (UNCAC) dikemukakan dengan tegas bahwa negara-negara didunia prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta mengacaukan pembangunan
yang
berkelanjutan
dan
penegakan
hukum.
Dengan
memperhatikan dampak luar biasa yang ditimbulkan, seperti yang terjadi di Indonesia bahwa korupsi telah masuk ke dalam cabang-cabang kekuasaan yaitu lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, sebagaimana banyak terungkap kasus korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara yang begitu besar yang melibatkan cabang-cabang kekuasaan tersebut, oleh sebab itu tindak pidana korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime (Kristian dan Yopi Gunawan, 2015: 52-53).
21
Selanjutnya, sebagaimana tertuang dalam konsideran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan bahwa korupsi yang terjadi secara sistematis dan meluas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat luas, sehingga korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Korupsi di Indonesia yang sudah diyakini meluas dan mendalam (widespread and deep-rooted) akhirnya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self destruction). Korupsi sebagai parasit yang menghisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan di saat pohon itu mati maka para koruptor pun akan ikut mati karena tidak ada lagi yang bisa dihisap, artinya korupsi akan mengakibatkan kerusakan yang begitu hebat di dalam kehidupan terutama kehidupan ekonomi yang nantinya semakin lama akan menghancurkan ekonomi suatu negara dan membuat rakyat semakin menderita termasuk koruptornya sendiri (Satjipto Rahardjo, 2006:136). Perilaku korupsi didefinisikan sebagai perbuatan negatif yang meliputi penggelapan uang, penerimaan uang suap atau sogok, dan sejenisnya. Bentukbentuk perilaku korupsi menurut Komisi Pemberantasan Korupsi meliputi kerugian keuangan negara, yaitu perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada. Bentuk lain korupsi adalah suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Perilaku korupsi memiliki dampak luas dalam kehidupan. Dampak perilaku korupsi dapat dibedakan menjadi dampak ekonomi, dampak sosial dan kemiskinan masyarakat, dampak runtuhnya otoritas pemerintah, dampak terhadap penegakan hukum, dampak terhadap politik dan demokrasi, dampak terhadap pertahanan dan keamanan, dampak kerusakan lingkungan (Listyo Yuwanto, 2015:3).
22
Korupsi sudah berada pada tingkat yang sangat membahayakan bagi keberlangsungan bangsa. Tingkat bahayanya korupsi digambarkan dengan tegas oleh Athol Noffitt sebagaimana dikutip oleh Nyoman Serikat Putra Jaya yang mengungkapkan: “Sekali korupsi dilakukan apalagi kalau dilakukan oleh pejabatpejabat yang lebih tinggi, maka korupsi itu akan tumbuh lebih subur. Tiada kelemahan yang lebih besar pada suatu bangsa dari pada korupsi yang merembes ke semua tingkat pelayanan umum. Korupsi melemahkan garis belakang, baik dalam damai maupun dalam perang” (Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008:70). Tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime karena pelakunya sebagian besar merupakan orang-orang berintelektual dan memiliki pengaruh dalam kekuasaan. White collar crime secara sederhana dapat didefiniskan sebagai kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan dipandang terhormat, karena mempunyai kedudukan penting, baik didalam pemerintahan atau perekonomian, jadi menitikberatkan pada kedudukan status ekonomi pelakunya yang tinggi (Kristian dan Yopi Gunawan, 2015:48). Indriyanto Seno Adji mengungkapkan bahwa tidak dapat dipungkiri korupsi merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisible crime karena perbuatannya
nampak
seperti
perbuatan
yang
sah,
oleh
karena
itu
penanganannya memerlukan kebijakan hukum pidana (Indriyanto Seno Adji, 2006:374). Terkait dengan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan kerah putih atau white collar crime, Harkristuti Harkrisnowo sebagaimana dikutip Kristian dan Yopi Gunawan mengungkapkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan tindak pidana korupsi tersebut, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatankesempatan atau sarana yang ada padanya, sehingga tidak jarang pelakunya sulit
23
untuk tersentuh oleh hukum karena memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang tinggi (Kristian dan Yopi Gunawan, 2015:49). Fenomena yang berkembang di Indonesia tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi, dengan berbagai modus, menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku dengan tujuan menguntungkan perusahaan. Perbuatan korupsi yang dilakukan korporasi tersebut membawa dampak kerugian pada perekonomian dan keuangan negara, yang berdampak pada pembangunan dan kesejahteraan (Henry Donald, 2014:398). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengantisipasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dengan mengatur korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1), Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 18 dan Pasal 20, sehingga korporasi yang terlibat dan atau melakukan tindak pidana korupsi yang membawa dampak bahaya dan kerugian yang besar bagi masyarakat sebagai extra ordinary crime dan white collar crime dapat dijatuhi hukuman (Edi Yunara, 2012:10-12). 2. Kejahatan Korporasi Sebagai White Collar Crime Sutan Remi Sjahdeini menyatakan bahwa dalam mendefinsikan apa yang dimaksud dengan korporasi dapat dilihat dari artinya secara sempit, maupun melihat artinya yang luas. Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi korporasi dan memberikan hidup untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” suatu korporasi. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum (Sutan Remi Sjahdeini, 2006:43).
24
Lalu secara luas, sebagai pengertian korporasi Sutan Remi Sjahdeini mendefinisikan korporasi dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum perdata, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum (Sutan Remi Sjahdeini, 2006:45). Dalam literatur sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk white collar crime yang muncul karena adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kejahatan korporasi dapat didefinsikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi yang dapat dikenakan sanksi terhadap korporasinya sendiri maupun terhadap orang yang memerintahkan atau dapat menentukan arah kebijakan korporasi (Mahrus Ali, 2008:17). Sutherland sebagaimana dikutip oleh Arif Amrullah mengungkapkan bahwa white collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang terhormat dengan status sosial yang tinggi dalam kaitannya dengan okupasinya. White collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh upper class atau orang yang memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang tinggi dan berbeda dengan kejahatan yang dilakukan oleh lower class atau orang yang memiliki kedudukan sosial dan ekonomi yang rendah, misalnya kejahatan-kejatan konvensional seperti pencurian, pencopetan dan lain sebagainya (Arif Amrullah, 2006:23). Marshaal B.Clinard dan Peter C.Yeager sebagaimana dikutip oleh Setiyono memberikan pengertian kejahatan korporasi sebagai “A corporate crime is any act committed by corporation that is punsished by the state, regardless of whetther it is punished under administrative, civil, or criminal law”. (kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah hukum administrasi negara, hukum perdata maupun hukum pidana) Melihat perkembangan kejahatan
25
korporasi di era globalisasi ini, walaupun hukum pidana memiliki fungsi sebagai ultimum remidium, namun penggunaan hukum pidana tentunya lebih untuk mencegah
dan
memberantas
kejahatan
korporasi
(Setiyono,
2003:20).
Selanjutnya, David O. Friedrichs sebagaimana dikutip oleh Mahrus Ali mendefinisikan kejahatan korporasi sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi atau orang yang memiliki hubungan erat dengan korporasi yang mampu menentukan arah kebijakan korporasi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri (Mahrus Ali, 2013:9). Kekhasan dari kejahatan korporasi adalah dia dilakukan oleh korporasi atau manajer, pengurus, pemilik korporasi dan orang yang berhubungan erat dengan korporasi terhadap anggota masyarakat, lingkungan, kreditur, investor ataupun terhadap para saingan-saingannya. Kerugian yang ditimbulkan kejahatan korporasi lebih besar dibandingkan dengan kerugian dalam kejahatan individu (Mahrus Ali dan Aji Pramoto, 2011:300). Terdapat beberapa istilah yang agak mirip dengan istilah kejahatan korporasi, yang tentunya memiliki arti dan ruang lingkup yang berbeda satu dengan yang lain, oleh karena itu harus dibedakan arti dari crimes for corporation, crimes againts corporation, dan criminal corporation, yaitu: a. Crimes for corporation merupakan sebutan lain dari kejahatan korporasi (corporate crimes), yang dalam hal ini dapat dikatakan bahwa kejahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi dan bukan sebaliknya; b. Crimes againts corporation atau kejahatan terhadap korporasi, yang sering dinamakan dengan employee crimes, merupakan kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi;dan c. Criminal corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal corporation hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan, sebagai
26
“topeng” untuk menyembunyikan wajah asli dari suatu kejahatan (Mahrus Ali, 2013:18-19). Kejahatan korporasi sebagai white collar crime harus dilakukan oleh korporasi yang memiliki lingkup kegiatan usaha yang besar atau terkait dengan proyek dengan nilai yang besar agar memenuhi unsur-unsur kejahatan korporasi yaitu kejahatan, yang dilakukan oleh orang terpandang atau terhormat, dari status sosial yang tinggi, dalam hubungan dengan pekerjaannya, dan dengan melanggar kepercayaan publik (Mahrus Ali, 2008:19). 3. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi a. Perkembangan Korporasi Sebagai Subjek Tindak Pidana Pengakuan korporasi (rechtspersoon) sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek hukum pidana pada manusia. Terdapat dua alasan mengapa kondisi tersebut terjadi. Pertama, begitu kuatnya pengaruh teori fiksi yang dicetuskan oleh Von Savigny, yakni kepribadian hukum sebagai kesatuankesatuan dari manusia merupakan hasil suatu khayalan. Kepribadian sebenarnya hanya ada pada manusia (Hamzah Hatrik, 1996:30). Kedua, masih dominannya asas societas delinquere non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Asas ini merupakan hasil pemikiran dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan dan sesungguhnya hanya kesalahan dari manusia sebagai bentuk pengakuan bahwa tindak pidana hanya dapat dilakukan manusia alamiah yang memiliki sikap batin, sehingga erat kaitannya dengan individualisasi dalam KUHP (Mahrus Ali, 2011:112). Dalam perkembangannya, dua alasan diatas lama kelamaan mulai melemah pengaruhnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya usaha untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, yaitu adanya hak dan kewajiban yang melekat padanya. Usaha tersebut
27
dilatarbelakangi oleh fakta bahwa tidak jarang korporasi mendapat keuntungan yang banyak dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh pengurusnya. Begitu juga dengan kerugian yang dialami oleh masyarakat yang disebabkan oleh tindakan-tindakan pengurus-pengurus korporasi. Oleh karenanya dianggap tidak adil apabila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya manusia sehingga korporasi juga dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan (Mahrus Ali, 2013:66). Berikut adalah tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana, yaitu: 1) Tahap pertama ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Sejak KUHP tahun 1886 dibentuk, pembuat undang-undang telah mulai memasukkan laranganlarangan dan perintah-perintah terhadap para pengurus yang bertanggung jawab, berupa kewajiban-kewajiban dalam beberapa peraturan dan undang-undang khusus tertentu, dengan maksud supaya mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut terhadap badan atau perusahaan yang dipimpinnya. Pada tahap ini, pengurus yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggung jawab. 2) Tahap kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam perumusan undang-undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi. Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus korporasi, artinya belum terdapat pembebanan pertanggungjawaban pidana secara langsung kepada korporasi. 3) Tahap ketiga merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung korporasi. Dalam tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana
28
yang dapat dilakukan penuntutannya bersama-sama dengan pengurus korporasi (Mahrus Ali, 2013:66-68). Di Indonesia pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di luar KUHP, baik undang-undang pidana khusus maupun undang-undang pidana administrasi (Mahrus Ali, 2013:69). b. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana korupsi yang ditunjukkan pada Pasal 1 sub 1 yang memberi arti korporasi sebagai berikut: “Kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum” Selanjutnya Pasal 1 sub 3 memperluas pengertian “setiap orang” termasuk juga korporasi yang menyebutkan sebagai berikut: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi” Dengan demikian, kata “setiap orang” yang dalam berbagai perumusan ketentuan pasal-pasal pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi harus diartikan sebagai orang alamiah atau korporasi. Pada intinya, semua perumusan delik yang menyangkut setiap orang yang tercantum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mencakup pula korporasi. Diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana memberikan konsekuensi bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, artinya korporasi dapat dijatuhi pidana apabila melakukan tindak pidana korupsi. Pihak yang dapat dijatuhi pidana adalah baik pemimpin yang memberi perintah maupun mereka yang memimpin sendiri perbuatan korupsi itu bersama-sama dengan korporasinya atau salah satunya (Andi Hamzah, 2012:94-95).
29
Ketika korporasi dinyatakan bertanggung jawab secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan, maka secara umum dikenal bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi, yaitu sebagai berikut: 1) Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurus harus bertanggung jawab secara pidana; 2) Korporasi sebagai pembuat, namun pengurus yang harus bertanggung jawab secara pidana; 3) Korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggung jawab secara pidana;dan 4) Pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula yang harus bertanggung jawab secara pidana (Kristian, 2014:73). Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada prinsipnya melalui Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) menentukan pengaturan mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Kedua ayat pertama dari Pasal 20 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikatakan mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Pasal 20 ayat (1) menyatakan mengenai tanggung jawab yang bisa dimintakan kepada korporasi dan atau pengurusnya, bilamana ada suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan untuk kepentingan korporasi. Pasal 20 ayat (2) memberikan pengertian dari suatu tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama (Hasbullah F.Sjawie, 2015:148). Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi peluang diajukannya suatu korporasi ke muka pengadilan akibat dari tindak pidana yang dilakukannya, bersama dengan pengurus korporasinya. Rumusan dalam ayat ini memberikan pilihan bagi Penuntut Umum untuk hanya mendakwa dan menuntut pengurusnya saja atau
30
korporasinya saja atau kedua-duanya secara bersama-sama (Hasbullah F.Sjawie, 2015:148). c. Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi yang telah dikenal dalam studi hukum pidana di Indonesia, penulis akan memaparkan dalam dua bagian yaitu prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang tidak mengakomodasi adanya unsur mens rea pada korporasi dan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang mengakomodasi adanya unsur mens rea pada korporasi, yaitu sebagai berikut: 1) Prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang tidak mengakomodasi adanya unsur mens rea pada korporasi, diantaranya: a) Strict Liability Strict libability atau yang disebut dengan pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan atau disebut dengan liability without fault. Dalam prinsip ini, pertanggungjawaban pidana dapat dimintakan tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan dari pelaku tindak pidana. Dengan demikian dapat dilihat dengan jelas bahwa strict liability tidak hanya mengesampingkan asas kesalahan tetapi meniadakan asas kesalahan (Kristian, 2014:58). Dasar pemikirannya bahwa dalam perkara strict liability seseorang yang telah melakukan perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang sudah dapat dipidana tanpa mempersoalkan apakah si pelaku mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak (Kristian, 2014:49). b) Vicarious Libaility Vicarious libaility adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain.
31
Pertanggungjawaban demikian terjadi dalam hal perbuatan yang dilakukan oleh orang lain dalam lingkup pekerjaan atau jabatan. Pengertian vicarious liability pada intinya menyatakan walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tepat dapat dipertanggungjawabkan secara pidana (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:109-110). Prinsip ini hanya dibatasi pada keadaan tertentu, dimana korporasi hanya bertanggung jawab atas kesalahan pekerja yang masih dilakukan dalam ruang lingkup pekerjaannya. Rasionalitas penerapan prinsip ini adalah korporasi memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh korporasi (Kristian, 2014:67). 2) Prinsip-prinsip yang mengakomodasi adanya unsur mens rea pada korporasi, diantaranya: a) Teori Identifikasi (direct corporate criminal liability) Menurut prinsip ini, korporasi dapat melakukan tindak pidana secara langsung melalui “pejabat senior” atau senior officer dan diidentifikasi sebagai perbuatan perusahaan atau korporasi itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa perbuatan senior officer dipandang atau dikategorikan sebagai perbuatan korporasi. Dalam prinsip ini, agar suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana maka orang yang melakukan tindak pidana tersebut harus dapat diidentifikasi terlebih dahulu. Pertanggungjawaban pidana baru benar-benar dibebankan kepada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut (Kristian, 2014:55).
32
b) Teori Pelaku Fungsional Menurut prinsip ini, perbuatan korporasi yang selalu diwujudkan
melalui
pertanggungjawaban
perbuatan perbuatan
manusia, manusia
maka
pelimpahan
menjadi
perbuatan
korporasi, sepanjang tindakan yang dilakukan berkaitan dengan korporasi maka dapat dilakukan pelimpahan pertanggungjawaban dari manusia kepada korporasinya (Hasbullah F.Sjawie, 2015:55). Menurut teroi pelaku fungsional, perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan korporasi, apabila dilakukan oleh orang yang ada didalam korporasi dan melakukannya dalam rangka fungsi dan tugasnya didalam korporasi, dan masih dalam lingkup kewenangan korporasi, maka tindakan orang tersebut secara umum dipandang sebagai tindakan korporasi (Hasbullah F.Sjawie, 2015:55). c) Teori Aggregasi Prinsip ini memperhatikan kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yaitu orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama suatu korporasi atau orang-orang yang bertindak untuk kepentingan korporasi yang bersangkutan, jadi fokus utama prinsip ini bahwa suatu langkah yang tepat bagi suatu korporasi untuk dipersalahkan walaupun tanggung jawab pidana tidak ditujukan kepada satu orang individu, melainkan pada beberapa individu (Kristian, 2014:70). Tindak pidana yang dilakukan seseorang digabungkan dengan kesalahan orang lain, atau hal tersebut adalah akumulasi kesalahan atau kelalaian yang ada pada tiap-tiap individu untuk diatributkan terhadap korporasi (Mahrus Ali, 2013:125). Menurut prinsip ini, apabila terdapat sekelompok orang yang melakukan tindak pidana namun orang tersebut bertindak untuk dan atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, maka
33
korporasi tersebut dibebankan pertanggungjawaban secara pidana. Jadi dalam hal ini, orang-orang yang bersangkutan dan korporasi dapat dibebankan pertanggungjawaban secara pidana. Pada intinya, semua perbuatan dan unsur mental atau sikap batin atau kesalahan sekumpulan orang tersebut dianggap sebagai dan dilakukan oleh suatu
korporasi,
sehingga
korporasi
layak
dibebankan
pertanggungjawaban secara pidana (Kristian, 2014:71). Dalam melakukan kajian terhadap permasalahan dalam penelitian ini sehubungan dengan penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi, penulis mengkaji permasalahan tersebut dengan menggunakan pisau analisis prinsip
pertanggungjawaban
pidana
korporasi
yang
mempertanggungjawabkan korporasi secara langsung yang terdapat dalam prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang mengakomodasi mens rea yaitu dengan menerapkan teori identifikasi dan teori aggregasi. d. Pemidanaan Terhadap Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Keberadaan korporasi ketika terbukti melakukan tindak pidana dan dipersalahkan atas perbuatannya, teori pemidanaan yang relevan dijadikan sebagai basis teori penjatuhan sanksi pidana atau sanksi tindakan bagi korporasi harus dilakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan dampak putusan terhadap korporasi yang sangat luas, karena yang menderita tidak hanya yang berbuat salah tetapi juga orang-orang tidak berdosa seperti buruh, sehingga penting untuk dipikirkan mencegah dampak negatif pemidanaan terhadap korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143). Menurut Clinard dan Yeager sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno yang mengemukakan kriteria kapan sanksi pidana diarahkan pada korporasi, kriteria tersebut adalah sebagai berikut: (1) The degree of loss to the public; (2) The level of complicity by high corporate managers; (3) The duration of violation;
34
(4) The frequency of the violation by the corporation; (5) Evidence of inten to violate; (6) Evidence of extortion, as in bribery cases; (7) The degree of notoriety engendered by the media; (8) Precedent in law; (9) The history of serius, violation the corporation; (10) Deterrence potential;and (11) The degree of cooperation evinced by the corporation (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:143-144). Menurut Tim Pengkaji Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam laporan hasil pengkajian Bidang Hukum Pidana tahun 1980/1981 sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan dasar pemidanaan korporasi adalah jika dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi, terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi, atau bahwa keuntungan yang didapat korporasi karena delik itu cukup besar atau kerugian yang ditimbulkan dalam masyarakat atau saingan-saingannya sangat berarti. Dengan demikian, dipidananya pengurus tidak dapat memberikan jaminan bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga pemidanaan terhadap korporasi harus didasarkan kepada atau mengandung tujuan pemidanaan baik yang bersifat preventif dan represif (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:146). Secara
lebih
global,
tujuan
pemidanaan
terhadap
korporasi
menyangkut tujuan pemidanaan yang bersifat integratif, yang mencakup: (1) Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus) Tujuan pemidanaan korporasi, bahwa dengan dipidananya korporasi agar korporasi itu sendiri tidak akan melakukan tindak pidana lagi dan korporasi lainnya tercegah untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan demi pengayoman masyarakat;
35
(2) Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat Tujuan pemidanaan ini memiliki dimensi yang luas karena merupakan tujuan semua pemidanaan, secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui pemidanaan agar masyarakat terlindungi bahaya pengulangan tindak pidana. Bila dikaitkan dengan pemidanaan korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi melakukan tindak pidana; (3) Tujuan pidana adalah melahirkan solidaritas masyarakat Dengan pemidanaan korporasi, kompensasi terhadap korban untuk memelihara solidaritas sosial dilakukan oleh korporasi yang diambil dari kekayaan korporasi;dan (4) Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau pengimbangan Adanya keseimbangan antara pidana dengan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana yang memperhatikan pada beberapa faktor, sehingga pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa dengan alasan-alasan prevensi general apapun (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:147-149). Menurut Mahrus Ali, teori pemidanaan yang sesuai digunakan bagi korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana dan dipersalahkan atas pebuatannya adalah teori pencegahan (deterrence) dan teori rehabilitasi (rehabilitation). Alasan digunakannya teori pencegahan didasarkan pada motivasi dan orientasi korporasi ketika melakukan tindak pidana adalah atas dasar motivasi ekonomis atau orientasi untung rugi, pada prinsipnya korporasi ketika melakukan suatu aktivitas tertentu berpikir secara rasional dengan tujuan utama untuk memaksimalkan keuntungan yang diharapkan. Ketika keuntungan lebih besar dibandingkan dengan ongkos yang dikeluarkan, maka korporasi akan melakukan tindak pidana, ongkos ini meliputi waktu yang diperlukan baik sebelum atau pada saat melakukan kejahatan, biaya untuk membeli alat, kemungkinan pengurus korporasi
36
ditangkap, ditahan, ongkos dipidana, mata pencaharian atau bisnis yang hilang jika ditangkap. Sementara keuntungan berupa keuntungan yang berbentuk fisik berupa harta atau kekayaan dan keuntungan yang berbentuk psikis seperti prestige serta keuntungan dalam hal ini tidak selalu keuntungan hanya didapat oleh korporasi tetapi juga keuntungan pribadi dari pengurus atau orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi (Mahrus Ali, 2013:264). Alasan digunakannya teori rehabilitasi sebagai basis teoritis penjatuhan pidana bagi korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan adalah karena tidak jarang tindak pidana yang dilakukan korporasi menghasilkan efek negatif terhadap lingkungan hidup, orientasinya adalah rehabilitasi lingkungan yang rusak akibat aktivitas korporasi (Mahrus Ali, 2013:265). e. Stelsel Pidana Bagi Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Sehubungan dengan stelsel pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, Sudarto sebagaimana dikutip Muladi dan Dwidja Priyatno mengungkapkan bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai subjek tindak pidana, secara teori korporasi bisa melakukan delik apa saja, akan tetapi ada pembatasannya yaitu terkait dengan delik-delik yang satu-satunya ancaman pidana hanya bisa dikenakan kepada orang biasa atau manusia alamiah, misalnya pembunuhan, bigami dan perkosaan. Maka korporasi yang melakukan tindak pidana tersedia pidana pokok denda, pidana tambahan dan sejumlah tindakan (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:152). Menurut Muladi dan Dwidja Priyatno yang mengemukakan bahwa pidana penjara dan pidana mati tidak dapat dijatuhkan dan dikenakan pada korporasi, sehingga sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yaitu pidana denda, pidana tambahan berupa pengumuman putusan pengadilan, pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian
37
perusahaan, tindakan administratif berupa pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas tertentu yang telah atau dapat diperoleh perusahaan dan tindakan tata tertib berupa penempatan perusahaan dibawah pengampuan yang berwajib serta sanksi perdata berupa ganti kerugian (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:155). Karena korporasi tidak mempunyai wujud badan secara lahiriah, maka sanksi pidana yang bisa diterapkan bukan sanksi pidana klasik kecuali sanksi pidana denda, pada umumnya pengenaan denda sebagai hukuman pokok kepada korporasi akan optimal mengingat pengeksekusiannya cukup mudah apalagi sebelumnya telah diadakan penyitaan terhadap harta korporasi (Hasbullah F.Sjawie, 2015:91). Dapat juga dikenakan hukuman tambahan berupa pencabutan sementara izin tertentu atau izin operasional korporasi, agar lebih efektif perlu dipertimbangkan oleh hakim yang memutuskan mengenai biaya dan potensi keuntungan yang hilang akan memberikan efek jera dan pencegahan bagi korporasi lainnya untuk melakukan tindak pidana. Selanjutnya, perlu diperhatikan penjatuhan hukuman berupa pencabutan izin operasional tertentu korporasi terkait dengan bidang usaha yang memberikan kontribusi keuntungan bagi korporasi, misalnya suatu korporasi selama ini mendapat banyak pekerjaan dan keuntungan dari proyek-proyek pemerintah maka pencabutan izin operasional korporasi untuk berbisnis atau mengikuti tender pemerintah akan mengakibatkan korporasi kehilangan bisnisnya yang selama ini menghidupinya (Hasbullah F.Sjawie, 2015:92). Menurut Mahrus Ali terdapat sanksi pidana maupun tindakan yang dapat diterapkan atau dijatuhkan terhadap korporasi. Pertama, terkait dengan pidana denda bagi korporasi, sistem pengancaman pidana denda kepada korporasi untuk mencegahnya melakukan tindak pidana menggunakan sistem pengancaman denda kalilipat dan tidak merumuskan jumlah nominal denda dalam rumusan tiap-tiap pasal sebagaimana dalam sistem minimum khusus
38
dan maksimum khusus. Sistem denda kalilipat sebagai konkretisasi digunakannya teori pencegahan sebagai basis teoritis penjatuhan pidana kepada korporasi, pada intinya adalah pidana yang dijatuhkan kepada korporasi harus lebih berat daripada tingkat keseriusan tindak pidana. Misalnya korporasi yang terbukti melakukan kejahatan dan mendapatkan keuntungan sebesar 50 miliar, maka pidana denda yang harus dijatuhkan minimal 100 miliar dan maksimal 200 miliar (Mahrus Ali, 2013:268). Kedua, sanksi berupa perampasan keuntungan korporasi dari melakukan tindak pidana, diharapkan dapat mencegah korporasi untuk melakukan tindak pidana. Sanksi perampasan keuntungan mengandung kelemahan, yakni sulitnya memperkirakan secara tepat jumlah keuntungan sebenarnya yang diperoleh korporasi mengingat kompleksitas kejahatan korporasi yang akan menggunakan bermacam cara untuk lolos dari jerat hukum dan kelambatan penanganan perkara mengakibatkan dengan mudah korporasi akan menyamarkan keuntungan hasil kejahatan sebagai keuntungan yang sah (Mahrus Ali, 2013:272). Ketiga, sanksi tindakan berupa penutupan seluruh atau sebgaian korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana. Secara tidak langsung suatu korporasi yang ditutup baik seluruh maupun sebagian, akan dianggap oleh masyarakat sebagai korporasi yang sakit dan bermasalah. Masyarakat akan mengecapnya sebagai entitas yang telah melanggar norma-norma yang berlaku. Penutupan sebagian atau seluruh korporasi harus dilakukan oleh hakim dengan mempertimbangkan banyak hal, agar penutupan korporasi tidak menimbulkan ekses negatif terhadap buruh atau karyawan, dan agar tercipta kepastian hukum dan keadilan, penutupan sebagian atau seluruh korporasi perlu juga diatur mengenai jangka waktu penutupan korporasi (Mahrus Ali, 2013:274-277).
39
Telah disampaikan sebelumnya bahwa hukuman pokok yang relevan bagi korporasi adalah hukuman denda. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui Pasal 20 ayat (7) menyatakan secara tegas bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum pidananya ditambah 1/3, jadi tidak ada alternatif pidana pokok lain selain denda (Hasbullah F.Sjawie, 2015:153). Terkait dengan pidana tambahan bagi korporasi yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melalui Pasal 18 ayat (1) dapat berupa: 1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; 2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; (Pasal 18 ayat (2) menjelaskan bahwa jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti) 3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;dan (pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan) 4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. 4. Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 53 ayat (1) dijelaskan bahwa dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya, lalu ayat (2) penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
40
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusan. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya (Ahmad Rifai, 2010:102). Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; b. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;dan c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana (Sudarto, 1986:74). Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 195 KUHAP semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum. Syarat sah nya suatu putusan hakim mencakup dua hal yaitu memuat hal-hal yang diwajibkan dan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu harus dipenuhi oleh hakim dalam setiap proses pengambilan keputusan. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang menentukan bahwa:
41
“jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 (empat) kriteria dasar pertanyaan (the four way test) yaitu benarkah putusanku ini, jujurkah aku dalam
mengambil
keputusan,
adilkah
bagi
pihak-pihak
putusan
dan
bermanfaatkah putusanku ini, melalui kriteria tersebut dapat menjadi pedoman bagi hakim dalam mengadili suatu perkara harus dilakukan dengan penuh pertimbangan dengan mendengarkan hati nuraninya ketika akan memutus suatu perkara yang kemudian berdasarkan keyakinan yang diperoleh dari kemantapan hati nuraninya tersebut barulah dicari peraturan atau dasar hukum yang tepat untuk digunakan dalam mengadili suatu perkara (Lilik Mulyadi, 2007:136). Pedoman
pemberian
pidana
(strafftoemeting-leidraad)
akan
memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dengan meperhatikan hal-hal yang bersifat subjektif yang ada pada diri pelaku, sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu (Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1998:67). Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana, menurut Moeljatno sebagaimana dikutip Ahmad Rifai dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : a. Tahap menganalisis perbuatan pidana pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan tersebut sebagai dalam rumusan suatu aturan pidana; b. Tahap menganalisis tanggungjawab pidana jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya;dan
42
c. Tahap penentuan pemidanaan hakim akan menjatuhkan pidana bila unsurunsur telah terpenuhi dengan melihat pasal undang-undang yang dilanggar oleh pelaku. Dengan dijatuhkannya pidana, pelaku sudah jelas sebagai terdakwa (Ahmad Rifai, 2010:96). Menurut Mackenzie sebagaimana dikutip Ahmad Rifai mengemukakan ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut: a. Teori Keseimbangan, yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara; b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi, pejatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana. Penjatuhan putusan oleh hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh insting atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim; c. Teori Pendekatan Keilmuwan, titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim; d. Teori Pendekatan Pengalaman, pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari; e. Teori Ratio Decindendi, teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan perkara kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan perkara sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan;dan f. Teori Kebijaksanaan, aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya (Ahmad Rifai, 2010:102). Salah satu pertimbangan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan kepada terdakwa selalu didasarkan kepada asas
43
keseimbangan antara kesalahan dengan perbuatan melawan hukum. Dalam putusan hakim harus disebutkan alasan juga bahwa pidana yang dijatuhkan sesuai dengan sifat dari perbuatan, keadaan meliputi perbuatan itu, keadaan diri terdakwa, sehingga yang diperhatikan adalah terkait dengan unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana. Dengan demikian putusan pidana tersebut mencerminkan sifat futuristik dari pemidanaan itu (Soedjono, 1995:41). Menurut Rusli Muhammad yang mengemukakan bahwa pertimbangan hakim dapat dibagi menjadi 2 (dua) kategori, yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis. Pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan misalnya dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, dan pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana. Sedangkan pertimbangan non yuridis dapat dilihat dari latar belakang terdakwa, akibat perbuatan terdakwa, kondisi terdakwa dan agama terdakwa (Rusli Muhammad, 2007:212-221). Menurut Lilik Mulyadi terkait dengan tanggapan hakim atas unsur-unsur delik, setelah diuraikan mengenai unsur-unsur delik yang didakwakan, ada tiga bentuk tanggapan dan pertimbangan hakim, yaitu pertama, ada majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan secara detail, terperinci dan substansial terhadap tuntutan pidana dari penuntut umum dan pledoi dari terdakwa atau penasihat hukum. Kedua, ada pula majelis hakim yang menanggapi dan mempertimbangkan secara selintas terhadap tuntutan pidana dari penuntut umum dan pledoi dari terdakwa atau penasihat hukum. Ketiga, ada majelis hakim yang sama sekali tidak menanggapi dan mempertimbangkan tuntutan pidana dari penuntut umum dan pledoi dari terdakwa atau penasihat hukum (Lilik Mulyadi, 2007:196).
44
Terlepas dari bagaimana hakim memberikan pertimbangan dalam suatu putusan, pada intinya dalam memutus suatu perkara pidana, seorang hakim harus memutus dengan seadil-adilnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut
Van
Apeldoorn
sebgaimana
dikutip
Moch
Saleh
Djindang
mengemukakan bahwa hakim haruslah menyesuaikan undang-undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat dan menambah undang-undang apabila perlu serta memperhatikan doktrin-doktrin hukum pidana (Moch Saleh Djindang, 1983:204).
45 B. Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mengakomodadi korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana korupsi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM
Terungkap fakta hukum PT GJW melakukan penyimpangan pengelolaan Pasar Sentra Antasari dan penyimpangan penggunaan kredit modal kerja.
Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst
Perbuatan PT GJW secara melawan hukum memberikan manfaat dan keuntungan serta memperkaya PT GJW dan orang lain.
PT GJW ditempatkan sebagai terdakwa dalam korupsi pengelolaan Pasar Sentra Antasari dan dipertanggungjawabkan secara pidana.
Terungkap Fakta Hukum bahwa tujuan didirikannya PT Imaji Media untuk melakukan tindak pidana korupsi pengadaan videotron.
Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi
Perbuatan melawan hukum Direktur Utama PT Imaji Media telah memperkaya PT Imaji Media dan orang lain.
Tidak ada jerat hukum atas perbuatan dan keterlibatan PT Imaji Media (korporasi) dalam terjadinya tindak pidana korupsi videotron.
Prinsip-Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang telah dikenal dalam studi Hukum Pidana Indonesia
Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang mempertanggungjawabkan pidana korporasi secara langsung: 1. Teori Identifikasi 2. Teori Aggregasi
Gambar. 1 Skematik Kerangka Pemikiran
Pemidanaan Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi.
46
Keterangan : Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam menggambarkan alur penelitian hukum, yaitu mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi yang menempatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/BJM dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan perundang-undangan pidana diluar KUHP yang telah mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana. Dengan diakuinya korporasi sebagai subjek tindak pidana, membawa konsekuensi bahwa korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin, PT Giri Jaladhi Wana ditempatkan sebagai terdakwa ke hadapan persidangan, sebab PT Giri Jaladhi Wana yang diwakili oleh Direktur Utamanya Stevanus Widagdo melakukan penyimpangan dalam pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari dengan sengaja tidak membayar uang pengelolaan kepada kas daerah Kotamadya Banjarmasin, disamping itu PT Giri Jaladhi Wana juga melakukan penyimpangan atas penggunaan kredit modal kerja yang diberikan oleh PT Bank Mandiri, Tbk., untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari. Dengan mempedomani pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar untuk mengadili kejahatan yang dilakukan PT Giri Jaladhi Wana, dengan memanfaatkan diakuinya korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan menerapkan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam Undang-Undang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi,
sehingga
47
menempatkan
PT
Giri
Jaladhi
Wana
sebagai
terdakwa
dan
dipertanggungjawabkan secara pidana, putusan ini patut diapresiasi ditengah kurangnya penegakan hukum atas tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi. Dengan menggunakan undang-undang yang sama yaitu UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk mengadili tindak pidana korupsi pengadaan videotron, dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst yang sebenarnya sejak awal terjadinya tindak pidana korupsi pengadaan videotron telah terungkap peran penting korporasi yaitu PT Imaji Media dalam terjadinya tindak pidana korupsi, akan tetapi tidak ada jerat hukum atas tindak pidana korupsi yang dilakukan PT Imaji Media. Terungkap fakta hukum bahwa tujuan didirikannya PT Imaji Media adalah untuk melakukan kejahatan korupsi atas pengadaan videotron, dan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT Imaji Media yang diwakili oleh Direktur Utamanya, memberikan keuntungan terhadap PT Imaji Media dan Riefan Avrian (dilakukan penuntutan secara terpisah). Dalam hal penempatan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi akan membawa koneskuensi yang meliputi siapa yang melakukan tindak pidana korupsi dan siapa yang dipertanggungjawabkan secara pidana, pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah si pembuat, tetapi tidak selalu demikian, karena tergantung pada sistem pertanggungjawan pidananya. Untuk mengetahui siapa pelaku tindak pidana korupsi yang melibatkan korporasi dan dipertanggungjawabkan secara pidana harus mengacu pada sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
48
Selanjutnya, dengan menerapkan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang telah dikenal dalam studi hukum pidana di Indonesia yang mempertanggungjawabkan korporasi secara langsung maka terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi dapat diterapkan untuk dimanfaatkan dalam pemidanan terhadap korporasi dengan menempatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan dipertanggungjawabkan korporasi secara pidana.