BAB II TARAF SINKRONISASI ANTARA UU NO 22 TAHUN 2001 TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI DAN UU NO 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH TERKAIT BADAN PELAKSANA PENGELOLAAN MIGAS ( BPMIGAS )
A. Ruang Lingkup Sinkronisasi Sinkronisasi adalah penyelarasan atau penyelerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. 51 Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpah tindih, saling melengkapi ( suplementer ), saling terkait dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Sedangkan tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggara bidang tersebut secara efisien dan efektif. 52
51
http://www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4, diakses pada tanggal 20 Juli 2010 52 http://www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4, diakses pada tanggal 20 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
Sinkronisasi juga berkaitan langsung dengan penentuan materi suatu UndangUndang, dimana Menurut A. Hamid S. Attamimi dijelaskan bahwa : 53 Materi muatan sebuah peraturan perundang-undangan negara dapat ditentukan atau tidak, bergantung pada sistem pembentukan peraturan perundang-undangan negara tersebut beserta latar belakang sejarah dan sistem pembagian kekuasaan negara yang menentukannya dan di Belanda soal-soal politiklah yang menentukan lingkup materi wet, karena itu tidak dapat ditentukan batas-batasnya. Penyinkronisasian suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UndangUndang ditentukan oleh penentuan batas materi muatan Undang-Undang dimaksud. Pembentukan
suatu
Undang-Undang
bilamana
ditinjau
dari
aspek
substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum. 54 Lebih jauh aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode, proses dan teknik perundang-undangan. 55 Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan secara timbal balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenis-jenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk 53
A. Hamid S. Attamimi, Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Jakarta : Fakultas Hukum UI, 1993 ), hlm. 119 54 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,2009 ), hlm.222. 55 Ibid.hlm.222
Universitas Sumatera Utara
peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan atau dikonkretkan memiliki legitimasi dan daya laku efektif dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.56 Demikian sebaliknya dimana sebah produk perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/ prosedural yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil/ substansial. 57 Melalui proses sinkronisasi materi muatan Undang-Undang akan mendukung pelaksanaan harmonisasi sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar berbagai Undang-Undang. Untuk memudahkan sinkronisasi supaya lebih terarah antara UU No. 22 Tahun 2001 dengan UU No. 11 Tahun 2006 terkait dengan BPMIGAS, maka dapat digunakan sinkronisasi vertikal dan horisontal. 1. Sinkronisasi vertikal Singkronisasi vertikal dapat diselesaikan dengan asas hukum Lex Superiori derogat legi Inferiori(Peraturan/Undang-Undang yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan/Undang-Undang yang rendah), sehingga singkronisasi vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat
56 57
Ibid.hlm. 222 Ibid.hlm 223
Universitas Sumatera Utara
dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada. 58 Misalnya, Jenis dan hierarki perundang-undangan menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–Undangan adalah sebagai berikut : (1)Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; b. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ; c. Peraturan Pemerintah ; d. Peraturan Presiden ; e. Peraturan Daerah ; (2)Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi : a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh dewan perwakilan daerah propinsi bersama gubernur ; b. Peraturan daerah Kabupaten / kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten / kota bersama bupati/ walikota ; c. Peraturan desa / peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan peraturan desa/ peraturan yang setingkat diatur dengan peraturan daerah/ kota yang bersangkutan. (4)Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (5)Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Disamping harus memperhatikan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut diatas, maka dalam singkronisasi vertikal harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
58
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 28
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari substansinya UU No. 10 Tahun 2004 tidak hanya mengatur tata cara (proses formal ) pembentukan Undang-Undang sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22A UUD 1945, tetapi juga mengenai kaidah pembentukan peraturan perundangundangan sebagai landasan yuridis dalam pembuatan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah. 59 Disamping itu juga UU ini juga mengatur sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan ( sosialisasi ) serta partisipasi masyarakat dalam pembentukan Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah,peraturan presiden dan peraturan daerah. Terhadap taraf sinkronisasi antara Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka berhubung 2 produk tersebut merupakan Undang-Undang, untuk itu sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan disebutkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar dalam peraturan perundang-undangan atau dapat dikatakan bahwa UUD 1945 sebagai hukum dasar dan konstitusi tertulis. Konstitusi merupakan konsensus nasional mengenai tata kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat sekaligus sebagai dokumen pemersatu dan perekat, apalagi bagi masyarakat bangsa yang majemuk dan heterogen. 60 Konsensus nasional yang dimaksud meliputi : 61
59
Yuliandri. op.cit. hlm.3 M. Solly Lubis, Sistem Nasional, ( Bandung ; Mandar Maju, 2002 ), hlm.129 61 Ibid.hlm. 129 60
Universitas Sumatera Utara
1.
2. 3. 4.
Konsensus tentang nilai-nilai dasar atau paradigma yang melandasi tatanan hidup bernegara itu, baik paradigma pada tataran filosofis, maupun paradigma pada tataran politis dan yuridis. Konsensus mengenai struktur organisasi kekuasaan dan mekanisme kerja lembaga-lembaga kekuasaan. Konsensus mengenai tujuan nasional ( alinea ke-4 Pembukaan UUD ). Dasar-dasar konstitusional bagi garis kebijakan ( politik ) dalam negeri dan luar negeri ( Aline Pembukaan UUD 1945 ), yang merupakan amanat dan pesanpesan politik ( political messages ) bagi aparat penyelenggaraan pemerintahan negara. Konstitusi merupakan jenjang tertinggi hukum positif. Disini konstitusi
dipahami dalam pengertian material yakni memahami konstitusi sebagai sekumpulan norma positif yang mengatur penciptaan norma-norma hukum umum. Konstitusi bisa diciptakan oleh adat atau dengan tindakan tertentu yang dilakukan oleh satu atau kelompok individu yakni melalui tindakan legislatif. 62 Menurut K.C Wheare bahwa isi konstitusi sebagai resultante atau kesepakatan politik lembaga yang berhak menetapkannya sesuai dengan situasi poleksosbud ketika dibuat dan oleh sebab itu konstitusi dapat diubah kalau ada perubahan yang menghendaki. 63 Teori resultante tersebut mengandung 2 ( dua ) hal pokok yang penting yaitu : 64 1. Teori tak harus ikut teori. Tidak ada keharusan mengikuti atau tidak mengikuti teori tertentu atau sistem yang berlaku di negara lain. Kita dapat membuat UUD sesuai dengan kebutuhan kita sendiri. Jadi tidak dapat diterima pernyataan bahwa kita harus mengubah UUD karena isinya tidak jelas, tidak sama dengan sistem yang umum, tidak sama dengan teori tertentu seperti trias politika. Konstitusi itu 62
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasari Ilmu Hukum Normatif, ( Bandung ; Nusamedia & Nuansa, Cetakan II Juni 2007), hlm. 244. 63 Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam kontroversi Isu (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2009). hlm. 188 64 Ibid.hlm. 188-189
Universitas Sumatera Utara
adalah pilihan politik yang disepakati oleh lembaga yang berhak atau berwenang membuat, bukan karena tidak sesuai dengan teori atau yang berlaku di negara lain. Oleh sebab itu teori yang paling penting dari teori hukum tata negara adalah bahwa Hukum Tata Negara itu adalah apapun yang ditulis di dalam konstitusinya oleh bangsa yang bersangkutan tanpa harus ikut teori tertentu atau sistem yang berlaku di negara lain. Teori hanyalah kerangka berpikir yang tidak harus diikuti dan yang berlaku adalah yang disepakati sebagai resultante; terlepas dari soal sama atau tidak sama dengan teori yang berlaku di negara lain. Sebab jika benar kata kelompok tertentu maka tidak benar kata kelompok lain. Setiap pilihan politik pasti menjadi perdebatan, tetapi yang pasti apapun yang telah ditetapkan secara prosedural demokratis itulah yang mengikat untuk diberlakukan. 2. Tidak ada teori murni. Dalam kenyataannya tidak ada satu teori yang benar-benar murni. Trias politika misalnya, selain kemurniannya dapat dipertanyakan ( apakah digagas oleh Locke, Montesquieu,Kant), implementasinya juga berbeda-beda. Montesquieu mendukung Inggris, sementara Amerika Serikat mengklaim dirinya penganut Trias Politika yang benar. Perancis tempat lahir Montesquieu menganut sistem hibrid. Jadi tidak ada yang benar-benar murni melainkan selalu ada sentuhan domestik sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Dengan demikian, kalau kita akan mengubah isi konstitusi bukanlah karena tidak sesuai dengan teori atau karena tidak sama dengan negara lain. Tetapi karena ada kebutuhan kita sesuai dengan logika-logika kita sendiri. Meski begitu kita boleh mengikuti suatu teori atau variannya atau sistem yang berlaku di negara lain, tetapi harus ditegaskan bahwa kita boleh juga tidak mengikuti dan sepenuhnya membuat sendiri. Yang penting mengikuti atau tidak haruslah sesuai dengan kebutuhan kita. Selain itu konstitusi dalam pengertian material harus dibedakan dari konstitusi dalam pengertian formal yakni sebuah dokumen yang dinamakan konstitusi yang sebagai konstitusi tertulis bisa berisi tidak hanya norma-norma yang mengatur penciptaan norma hukum ( yakni legilasi ). Namun juga norma-norma tentang subyek-subyek lain yang penting secara politis dan regulasi yang menurutnya normanorma yang terkandung di dalam dokumen ini dapat dihapus atau diubah tidak sama
Universitas Sumatera Utara
dengan Undang-Undang biasa, namun dengan prosedur khusus dan dengan persyaratan yang lebih ketat. 65 Regulasi ini mempresentasikan bentuk konstitusi dan dokumen yang isinya menjadi acuan dari regulasi ini mempresentasikan konstitusi dalam pengertian formal yang bisa saja mencakup muatan yang dikehendaki. 66 Tujuan utama dari regulasi yang menjadikan lebih sulitnya penghapusan atau perubahan isi konstitusi dalam pengertian formal adalah menstabilkan norma-norma yang disini disebut “ konstitusi matterial” dan yang merupakan landasan hukum positif dari keseluruhan tatanan hukum nasional. 67 UUD 1945 sebagai hukum dasar dan konstitusi tertulis mengandung dua kelompok aturan dasar yakni sebagai berikut : 68 1. Aturan-aturan mengenai keorganisasian yang meliputi struktur dan mekanisme pemerintahan negara, termasuk kedudukan dan hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga negara sebagai organ-organ perencanaan dan penyelenggara pengelolaan kehidupan bangsa. 2. Aturan-aturan mengenai lingkup dan bidang tugas pengelolaan itu yang sekaligus merupakan hukum dasar yang menjamin hak-hak serta kepentingan rakyat sekaligus patokan-patokan dasar mengenai kewajiban mereka sebagai warga negara di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Dengan adanya dua kelompok aturan hukum dasar yang demikian maka menandakan secara konseptual bahwa negara ini bukan negara kekuasaan ( Power
65
Hans Kelsen. Op.cit. hlm. 245 Ibid.hlm.245 67 Ibid.hlm.245 68 M. Solly Lubis, op.cit.hlm. 11. 66
Universitas Sumatera Utara
state ) tetapi adalah negara pelayanan yang terikat suatu sistem. 69 Untuk itu UndangUndang Dasar 1945 yang merupakan dokumen bersejarah mengenai cita-cita luhur bangsa pada hakekatnya telah memuat kesepakatan mengenai Garis-Garis besar kepentingan Nasional. Garis-Garis besar kepentingan nasional ini dapat dilihat dari 2 ( dua ) sudut yaitu antara lain : 70 1.
Dari sudut faktor-faktor yang mengunsuri eksistensi dan identitas nasional kita, yakni : a. Ideologi negara ( state ideologi ) dan identitas bangsa ( national identity), sebagai landasan filosofis sistem nasional. b. Wahana kenegaraan ( organisasi, sistem dan mekanisme pemerintahan), sebagai landasan struktural sistem nasional ). c. Tujuan nasional ( national goal ), sebagai landasan operasional sistem nasional. Dari sudut pembidangan kehidupan nasional, yakni antara lain : a. Kehidupan politik. b. Kehidupan ekonomi. c. Kehidupan sosial budaya. d. Kehidupan Hankam.
2.
Oleh karena itu UUD 1945 sebagai rumusan dasar kepentingan nasional memberi pengakuan dan dasar pengelolan kepentingan-kepentingan nasional di bidang kehidupan nasional tersebut. 71 Salah satu yang berkaitan dengan kepentingan nasional dan berkaitan dengan penelitian ini adalah diundangkannya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana Undang-Undang tersebut dasar hukum konstitusi dan filosofisnya adalah Pasal 18A dan Pasal 18 B UUD 1945 yang isi Pasal tersebut adalah :
69
Ibid.hlm. 11 Ibid.hlm. 47. 71 Ibid, hlm. 51. 70
Universitas Sumatera Utara
Pasal 18 A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota , atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undangundang. Pasal 18 B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-undang. Selain Pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945 yang berkaitan dengan penelitian ini, maka yang berkaitan dengan penelitian ini adalah yang berkaitan dengan kepentingan nasional di bidang ekonomi, dimana didalam Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 disebutkan bahwa : 2) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terlandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 tersebut merupakan kaidah penuntun dalam pembuatan politik hukum yang lahir dari Pancasila sebagai dasar negara, dimana kebijakan umum dan politik hukum haruslah didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan itulah sebabnya dalam pembangunan sosial dan ekonomi kita menganut ekonomi kerakyatan, kebersamaan,
Universitas Sumatera Utara
gotong royong dan toleransi sebagaimana ditegaskan prinsipnya di dalam Pasal 33 UUD 1945. 72 Pengelolaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta pengelolaan cabang kegiatan ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak , terutama yang menyangkut aspek produksinya dilakukan oleh sektor negara dengan tujuan menjamin pemenuhan kebutuhan orang banyak sesuai dengan tuntutan kepentingan nasional menurut Pasal 33 UUD 1945. Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 ayat (3) menyatakan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir “hak menguasai oleh negara” atas sumber daya alam yang ada di bumi. Istilah “dikuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti “dimiliki” oleh negara, melainkan memberikan arti kewenangan sebagai organisasi atau lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi penggunannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 73 Penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dapat dilihat juga dalam Pasal 2 UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang isi Pasal tersebut adalah sebagai berikut : (1) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan halhal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ‘ruang angkasa’, 72
Mubyarto, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, ( Yogyakarta : Aditya Media,1997), hlm. 28 73 http://www.ruu.lapan.go.id/doc/bab diakses pada tanggal 14 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa. c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. (4) Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. 2
Sinkronisasi Horisontal Sinkronisasi horisontal dapat diselesaikan / dibantu dengan 2 asas hukum
yaitu : Lex Posteriori derogat legi lex Priori ( Peraturan/Undang-Undang baru mengesampingkan peraturan/Undang-Undang yang lama) dan Lex Specialis derogat legi Generali ( Peraturan/ Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Peraturan/Undang-Undang yang bersifat umum). 74 Dengan demikian sinkronisasi horisontal dilakukan dengan melihat berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga
74
Ibid.hlm 28
Universitas Sumatera Utara
harus dilakukan secara kronologis yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 75 Dalam penelitian mengenai taraf sinkronisasi secara horisontal, maka mulamula harus terlebih dahulu dipilh bidang yang akan diteliti. Setelah bidang tersebut ditentukan seperti didalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ), maka dicarilah peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur segala aspek tentang Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ) tersebut. Aspek-aspek tersebut merupakan suatu kerangka untuk menyusun klarifikasi peraturan perundang-undangan yang telah diseleksi untuk kemudian dianalisa. Jika kita mengacu kepada salah satu asas Lex Specialis derogat legi Generali (Peraturan
/
Undang-Undang
yang
bersifat
khusus
mengesampingkan
Peraturan/Undang-Undang yang bersifat umum), maka dalam hal ini UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan Undang-Undang yang bersifat khusus artinya Pemerintahan Aceh tidak tunduk pada ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
75
http://www.penataanruang.net//ta/lapan04/P2/singkronisasiUU/Bab.4, diakses pada tanggal 20 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
Akan halnya dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah yang merupakan satu paket dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, dimana dalam Pasal 14 dan Pasal 19 Undang-Undang No.33 Tahun 2004 disebutkan bahwa : Pasal 14 Pembagian penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut : a. Penerimaan kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan ( IHPH ) dan Provisi Sumber Daya Hutan ( PSDH ) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20 % ( dua puluh persen ) untuk Pemerintah dan 80 % ( delapan puluh persen ) untuk Daerah. b. Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60 % ( enam puluh persen ) untuk Pemerintah dan 40 % (empat puluh persen ) untuk Daerah. c. Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20 % ( dua puluh persen ) untuk pemerintah dan 80 % ( delapan puluh persen ) untuk Daerah. d. Penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20 % ( dua puluh persen ) untuk Pemerintah dan 80 % ( delapan puluh persen ) untuk seluruh Kabupaten / Kota. e. Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan : 1. 84,5 % ( delapan puluh empat setengah persen ) untuk Pemerintah; 2. 15,5 % ( lima belas setengah persen ) untuk Daerah f. Penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan : 1. 69,5 % ( enam puluh sembilan setengah persen ) untuk Pemerintah; 2. 30,5 % ( tiga puluh setengah persen ) untuk Daerah. g. Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi
Universitas Sumatera Utara
dengan imbangan 20 % ( dua puluh persen ) untuk Pemerintah dan 80 % ( delapan puluh persen ) untuk daerah. Pasal 19 (1) Penerimaan pertambangan minyak dan gas bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dan gas bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. (2) Dana bagi hasil dari pertambnagan minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf e angka 2 sebesar 15 % ( lima belas persen ) dibagi dengan rincian sebagai berikut : a. 3 % ( tiga persen ) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan. b. 6 % ( enam persen ) dibagikan untuk Kabupaten/ Kota penghasil. c. 6 % ( enam persen ) dibagikan untuk Kabupaten / Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. (3) Dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi sebagaiman dimaksud dalam pasal 14 huruf f angka 2 sebesar 30 % ( tiga puluh persen ) dibagi dengan rincian sebagai berikut : a. 6 % ( enam persen ) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan ; b. 12 % ( dua belas persen ) dibagikan untuk Kabupaten/ Kota penghasil ; c. 12 % ( dua belas persen ) dibagikan untuk Kabupaten/ Kota lainnya dalam provinsi bersangkutan. (4) Bagian Kabupaten/ Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) uruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua Kabupaten/ Kota dalam provinsi yang bersangkutan. Gambaran diatas menunjukkan bahwa untuk sektor pertambangan minyak bumi, maka daerah memperoleh bagi hasil setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah sebesar 15,5%. Sedangkan untuk pertambangan gas bumi, maka daerah memperoleh sebesar 30,5 %. Pembagian hasil minyak dan gas bumi tersebut diatas tidak berlaku untuk Pemerintah Aceh dan Provinsi Papua dimana untuk Pemerintah Aceh diatur secara khusus dalam UU No. 11 Tahun 2006 ( Lex Specialis derogat legi Generali ). Artinya
Universitas Sumatera Utara
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah tidak berlaku di Pemerintahan Aceh dan Provinsi Papua. Pengaturan bagi hasil untuk pertambangan minyak dan gas bumi di Pemerintahan Aceh dapat dilihat didalam ketentuan Pasal 181 ayat (1) huruf b, ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang isinya antara lain : (1) Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf terdiri atas : b. Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain, yaitu : 1) Bagian dari kehutanan sebesar 80 % ( delapan puluh persen ). 2) Bagian dari perikanan sebesar 80 % ( delapan puluh persen ). 3) Bagian dari pertambangan umum sebesar 80 % ( delapan puluh persen). 4) Bagian dari pertambangan panas bumi sebesar 80 % (delapan puluh persen ). 5) Bagian dari pertambangan minyak sebesar 15 % ( lima belas persen). 6) Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 30 % (tiga puluh persen ). (2) Pembagian dana perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Selain dana bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b, Pemrintah Aceh mendapat tambahan dana bagi hasil minyak dan gas bumi yang merupakan bagian dari penerimaan Pemerintah Aceh yaitu : a. Bagian dari pertambangan minyak sebesar 55 % ( lima puluh lima persen ). b. Bagian dari pertambangan gas bumi sebesar 40 % ( empat puluh persen). Dengan demikian pembagian hasil yang diterima oleh Pemerintahan Aceh sangat besar dibandingkan dengan daerah lain, sehingga keadilan yang selama ini dituntut oleh Pemerintahan Aceh sudah diwujudkan oleh Pemerintah Pusat. Hal ini sesuai dengan pendapat Bagir Manan yang menjelaskan bahwa : 76 Salah satu landasan pembentukan perundang-undangan adalah landasan sosiologis, dimana landasan sosiologis berkaitan dengan rechtsidee yang 76
Yuliandri,op.cit.hlm.135.
Universitas Sumatera Utara
artinya semua masyarakat mempunyainya yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Cita hukum rechtsidee tersebut tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik atau buruk, pandangan terhadap hubungan individual dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, kedudukan wanita dan sebagainya. Semua itu bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan mengenai hakikat sesuatu.
B. Kedudukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS) UU No. 8 Tahun 1971 memberikan hak monopoli negara atas minyak dan gas bumi yang dilaksanakan melalui Pertamina. Oleh karena itu semua perusahaan minyak yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib bekerja sama dengan Pertamina. Pertamina bertindak sebagai regulator bagi mitra yang menjalin kerja sama melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja (WK) Pertamina. Di sisi lain Pertamina juga bertindak sebagai operator karena juga menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya. 77 Pertamina sebagai pemegang kuasa pertambangan dan didukung oleh struktur hukum yang kuat menjadikan Pertamina besar, namun secara institusional dinilai tidak terjangkau kontrol rutin dan menggiringnya sebagai salah satu sumber besar KKN. 78 Untuk itu perlu dilakukan pembenahan dan sejalan dengan dinamika industri migas dunia serta era globalisasi dengan masuknya Negara Indonesia sebagai keanggotaan WTO, maka beberapa pikiran dasar pemerintah Indonesia yang relevan dengan pengusahaan migas adalah : 79 77
http://www.pertamina-ep.com/id/tentang-pep/sejarah-kami, diakses tanggal 1 Mei 2010. Achmad Zen Umar Purba, Ibid. 79 Achmad Zen Umar Purba,Ibid. 78
Universitas Sumatera Utara
1. Penghapusan situasi monopolistik berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971. 2. Pencabutan hak kuasa pertambangan dari Pertamina dan dikembalikan kepada Pemerintah. 3. Pembentukan badan baru sebagai kuasa untuk melaksanakan kegiatan pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. 4. Pengurangan subsidi BBM dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar. 5. Pengalihan status Pertamina berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971 menjadi PT. Pertamina ( Persero ), yang berarti kedudukannya sama dengan badan hukum lain dalam kesempatan berusaha di bidang migas. 6. Pemberian kesempatan yang sama kepada perusahaan swasta. 7. Penerapan konsep otonomi daerah dalam kaitan dengan pengusahaan migas dan diterapkannya penerimaan seimbang bagi Pemerintah Pusat dan Daerah. 8. Penciptaan bentuk kerja sama lain selain Production Sharing Contract. Sejalan dengan pikiran dasar pemerintah tersebut diatas, maka dikeluarkanlah UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Menurut Pasal 4 ayat 3 disebutkan bahwa pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan membentuk Badan Pelaksana atau BPMIGAS yang selanjutnya pembentukan BPMIGAS tersebut dilakukan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002. BPMIGAS bertindak sebagai kuasa pemerintah, bukan selaku pemegang kuasa pertambangan seperti halnya Pertamina. Artinya sekalipun penandatanganan Kontrak Production Sharing adalah BPMIGAS namun BPMIGAS mewakili Pemerintah Jenis kegiatan usaha minyak dan gas bumi dibagi menjadi dua macam yaitu : kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. 80 Kegiatan usaha hulu diatur dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 5 sampai dengan Pasal 6 dan Pasal 9 sampai dengan Pasal 22 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
80
Pasal 5 UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan usaha hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha yaitu usaha eksplorasi dan usaha eksploitasi. 81 Tujuan kegiatan eksplorasi antara lain sebagai berikut : 82 1. Memperoleh informasi mengenai kondisi geologi. 2. Menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi. 3. Menentukan tempat wilayah kerja. Sedangkan eksplotasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas : 83 1. Pengeboran dan penyelesaian sumur. 2. Pembangunan sarana pengangkutan. 3. Penyimpanan. 4. Pengolahan untuk pemisahan dan pemurnia minyak dan gas bumi. 5. Kegiatan lain yang mendukung. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama / KKS. Kontrak Kerja Sama paling sedikit memuat persyaratan sebagai berikut :
81
Pasal 5 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Salim HS, op.cit.hal.284. 83 Ibid, hlm. 286 82
Universitas Sumatera Utara
1. Kepemilikan sumber daya alam tetap ditangan pemerintah sampai pada titik penyerahan. 2. Pengendalian manajemen operasi berada pada Badan Pelaksanan. 3. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Lembaga yang berwenang untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu adalah Badan Pelaksana, sedangkan yang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyediaan dan pendistribusian bahan bakar minyak dan gas bumi pada kegiatan usaha hilir adalah Badan Pengatur. Ketentuan hukum yang mengatur tentang Badan Pelaksana adalah Pasal 1 angka 23, Pasal 44 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kedudukan Badan Pelaksana merupakan badan hukum milik negara dan badan hukum milik negara mempunyai status sebagai subyek hukum perdata dan merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara profesional. Pembentukan Badan Pelaksana ini sendiri diatur didalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan bahwa Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis dan tenaga administratif. Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden.
Universitas Sumatera Utara
Fungsi Badan Pelaksana ini atau sekarang disebut BPMIGAS adalah melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sehingga terhadap seluruh perusahaan migas yang akan melakukan pengambilan migas di wilayah Republik Indonesia harus melakukan Kontrak Kejasama dengan BPMIGAS. Tugas Badan Pelaksana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi Jo. Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Tugas Badan Pelaksana yaitu antara lain sebagai berikut: 1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta kontrak kerjasama. 2. Melaksanakan penandatanganan kontrak kerjasama. 3. Mengkaji dan menyempaikan pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. 4. Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan selain yang tercantum pada angka 3 diatas. 5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran. 6. Melaksanakan
pengawasan
dan
melaporkan
kepada
Menteri
mengenai
pelaksanaan kontrak kerjasama.
Universitas Sumatera Utara
7. Menunjuk penjual minyak dan/ atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. Dari ketujuh tugas diatas maka tugas penandatangan Kontrak Production Sharing ( Kontrak Kerjasama ) merupakan tugas yang paling penting karena dengan adanya penandatangan kontrak itu akan menimbulkan hak dan kewajiban para pihak dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi.
C. Taraf Sinkronisasi Antara UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS) Minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara dan tujuan penguasaan oleh negara adalah agar kekayaan nasional tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian baik perseorangan, masyarakat maupun pelaku usaha sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah dipermukaan namun tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung dibawahnya. Penguasaan oleh negara diselenggarakan oleh pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan dan kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Selanjutnya pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang lembaga ini berwenang melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan hukum yang mengatur tentang Badan Pelaksana adalah Pasal 1 angka 23, Pasal 23, Pasal 22 sampai dengan Pasal 45 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kedudukan Badan Pelaksana merupakan badan hukum milik negara dan badan hukum milik negara mempunyai status sebagai subyek hukum perdata serta merupakan institusi yang tidak mencari keuntungan serta dikelola secara profesional. Berkaitan dengan badan hukum milik negara, maka berdasarkan rumusan Pasal 1653 KUH Perdata terdapat tiga jenis badan hukum ditinjau dari sudut pembentukannya yang terdiri atas : 84 1.
Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah.
2.
Badan hukum yang diakui oleh pemerintah.
3.
Badan hukum dengan konstruksi keperdataan. Rumusan Pasal 1653 KUH Perdata tersebut tidak secara tegas dan jelas
bentuk yuridis landasan hukum pendirian badan hukum yang khususnya dilakukan oleh pemerintah seperti BPMIGAS yang ada sekarang ini. Untuk itu rumusan Pasal 1653 KUH Perdata mengenai landasan hukum pendirian badan hukum, khususnya untuk badan hukum yang diadakan oleh pemerintah tersebut jelas menunjukkan sistem terbuka dalam arti badan hukum yang didirikan oleh pemerintah dapat dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan pemerintah, seperti pembentukan BPMIGAS yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 Jo. PP No. 42 Tahun 84
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada Cetakan 2, 2010), hlm 128.
Universitas Sumatera Utara
2002. 85 Dengan demikian pemerintah bebas memilih jenis landasan hukum yang akan dijadikan dasar hukum mendirikan suatu badan hukum yang tentu didasarkan pada pertimbangan subyektif yang sesuai dengan kebutuhan yang dianggap cukup alasan untuk memilih jenis peraturan perundang-undangan tertentu. Antara badan hukum milik negara ( BHMN ) dengan badan usaha milik negara ( BUMN) terdapat perbedan yang signifikan ditinjau dari tujuan dan sifat usaha atau kegiatannya. Tujuan BUMN adalah mencari laba dan bersifat komersial, sedangkan tujuan BHMN adalah idiil dan bersifat nirlaba. Persamaannyaantara BUMN dan BHMN adalah terletak pada modal badan hukum tersebut yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan . Selanjutnya dari sudut doktrin kedua badan hukum tersebut telah memenuhi persyaratan materiil seperti kekayaannya yang terpisah dari kekayaan anggota organ badan hukum, tujuan tertentu, mempunyai kepentingan tertentu, maupun organisasi yang teratur. 86 Namun dengan keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dimana di dalam Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 disebutkan bahwa : 1) Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut diwilayah kewenangan Aceh. 2) Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. 3) Kontrak kerjasama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan ekploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan
85 86
Ibid.hlm.129 Ibid.hlm 130
Universitas Sumatera Utara
jika seluruh isi perjanjian kontrak kerjasama telah disepakati bersama oleh pemerintah dan Pemerintah Aceh. 4) Sebelum melakukan pembicaraan dengan pemerintah mengenai kontrak kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Aceh harus mendapat persetujuan DPRA. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari rumusan pasal tersebut, maka pemerintah dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat membentuk suatu Badan Pelaksana yang mengatur untuk pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi
seperti Badan Pelaksana
Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ) yang ada sekarang ini yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ada beberapan tahapan yang dapat dilakukan dalam proses sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS ), yaitu sebagai berikut : 1. Tahap inventarisasi, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut : a. Mengumpulkan peraturan perundang-undangn yang terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ), khususnya yang berbentuk Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. b. Mengevaluasi peraturan perundanga-undangan yang telah diinventarisasi dalam rangka mendapatkan peraturan yang paling relevan dengan dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ). 2. Tahap Analisa Substansi, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a. Memastikan
kedudukan
peraturan
perundang-undangan
yang
akan
disingkronisasikan yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS ). b. Memastikan strutur Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Badan Pelaksana Pengelolaan Migas Pemerintahan Aceh apakah sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. c. Mengkaji Rancangan Peraturan Pemerintah Pemerintah tentang Badan Pelaksana Pengelolaan Migas Pemerintahan Aceh berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan. d. Memahami jenjang dokumen perencanaan terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ). e. Mengkaji kemungkinan kaitan dengan dokumen-dokumen yang sudah ada. f. Mensinkronkan peristilahan dan definisi. g. Menelaah peristilahan dan definisi yang sudah dibuat oleh peraturan perundang-undangan yang lain. 3. Tahap hasil analisa, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut: a. Pasal-pasal yang terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS ) yang mencakup aspek kewenangan, tugas dan tanggung jawab, pengawasan dan pengendalian.
Universitas Sumatera Utara
b. Keterkaitan anatar pasal-pasal yang telah diidentifikasi dengan peraturan perundang-undangan terkait dengan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS ). c. Identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan peraturan perundangundangan mengenai Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ). 4. Tahap pelaksaan sinkronisasi, yang terdiri dari kegiatan antara lain sebagai berikut: a. Merumuskan dan mensingkronkan substansi rancangan Peraturan Perundangundangan b. Merinci substansi teknis rancangan peraturan perudang-undangan yang disusun. Selain itu untuk menganalisis taraf sinkronisasi peraturan dipergunakan asas perundang-undangan, dimana menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terdapat beberapa asas perundang-undangan yaitu : 87 1. Undang-Undang tidak berlaku surut ; 2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi ; 3. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum ( lex spesialis derogat lex generali ) ; 4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu ( lex posteriore derogat lex priori ) 5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.
87
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, (Bandung : Alumni, 1979 ), hlm. 15.
Universitas Sumatera Utara
6. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spritual dan materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaruan atau pelestarian ( asas welvaarstaat ). Asas yang kelima perundang-undangan yaitu undang-undang tidak dapat diganggu gugat, maka berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945 hal ini sudah tidak berlaku lagi dimana menurut Pasal 24C ayat 1 UUD 1945 yang isinya menjelaskan bahwa: “ Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihaan tentang hasil pemilihan umum “. 88 Isi Pasal 24C UUD 1945 tersebut sangat jelas bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai hak pengujian UU terhadap UUD 1945, sedangkan Mahkamah Agung menurut Pasal 24A UUD 1945 melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. 89 Meski fungsi pengujian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebenarnya sama-sama merupakan judicial review tapi secara teknis pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi biasa disebut constitutional review, sedangkan pengujian peraturan
perundang-undangan
dibawah
undang-undang
terhadap
peraturan
88
Pasal 24C UUD 1945 merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001. 89 Pasal 24A UUD 1945 merupakan perubahan ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10 November 2001.
Universitas Sumatera Utara
perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung biasa disebut judicial review , akan tetapi keduanya secara umum disebut judicial review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial. 90 Dari asas perundangan tersebut juga, maka pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ) di Pemerintahan Aceh sebagai konsekuensi adanya Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sudah sesuai dengan asas perundangan, dimana digunakan asas hukum yakni Lex Posteriori derogat legi lex Priori ( Peraturan/Undang-Undang baru mengesampingkan Peraturan/UndangUndang yang lama ). Dari asas perundangan tersebut maka Undang- Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan Undang-Undang yang baru dan mengatur mengenai BPMIGAS Pemerintahan Aceh mengesampingkan UndangUndang yang lama yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Artinya pembentukan BPMIGAS yang ada sekarang ini merupakan amanah UU No. 22 Tahun 2001 sedangkan pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh merupakan amanah UU No. 11 Tahun 2006, sehingga pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan Aceh mengesampingkan ketentuan UU No. 22 Tahun 2001. Menurut Pasal 160 ayat 5 UU No. 11 Tahun 206 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ) di Pemerintahan Aceh selanjutnya akan ditur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Makmur Ibrahim sebagai Kepala Biro Hukum dan Humas Sekda 90
Moh. Mahfud MD.op.cit .hlm. 64
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan Aceh bahwa Rancangan Peraturan Pemerintahan tentang Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ) Pemerintahan Aceh saat ini sudah di bahas di kementrian terkait yaitu : Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum & HAM, Kementerian BUMN. 91 Menurut hasil wawancara dengan Bapak Makmur Ibrahim bahwa pembahasan terakhir Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut dibahas antara Pemerintah Pusat melalui Kementrian terkait bersama Pemerintahan Aceh yang diwakili oleh timnya yang dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur No. 542/110/2010 tentang Pembentukan Tim Advokasi Migas Aceh tanggal 29 Maret 2010 adalah pada tanggal 14 Juli 2010. 92 Namun hasil wawancara yang dilakukan dengan Bapak Ridwan Nyakbaik sebagai salah satu anggota tim advokasi Migas yang juga merupakan staf ahli Direktur Hulu PT. Pertamina ( Persero ) dijelaskan bahwa rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan BPMIGAS di Pemerintahan aceh sudah sangat berlarut-larutdan terkesan Pemerintah Pusat tidak konsisten terhadap apa yang terdapat di dalam pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Beliau mengatakan apabila Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut tidak cepat 91
Hasil wawancara dengan Bapak Makmur Ibrahim sebagai Kepala Biro Hukum & Hukum Sekda Pemerintahan Aceh pada tanggal 21 Juli 2010 di ruang Kepala Biro Hukum & Humas Sekda Pemerintahan Aceh Kantor Gubernur Pemerintahan Aceh. Pembahasan dengan kementrian terkait ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden. 92 Hasil wawancara dengan Bapak Makmur Ibrahim sebagai Kepala Biro Hukum & Hukum Sekda Pemerintahan Aceh pada tanggal 21 Juli 2010 di ruang Kepala Biro Hukum & Humas Sekda Pemerintahan Aceh Kantor Gubernur Pemerintahan Aceh
Universitas Sumatera Utara
disahkan maka akan membuat tidak adanya kepastian hukum, sehingga investor migas banyak yang ragu-ragu untuk menanamkan inventasinya di Pemeritahan Aceh. 93 Terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas ( BPMIGAS ) Pemerintahan Aceh, maka ada beberapa hal substansi yang dapat dikemukan apabila dikaitkan dengan taraf sinkronisasi secara horisontal, yaitu antara lain sebagai berikut : 1. Pasal 2 ayat 1 dan 2, dimana didalam ayat 1 disebutkan bahwa sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan ayat 2 menyebutkan bahwa penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan yang digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari isi Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut sangat jelas bahwa rancangan tersebut sudah sangat sinkron secara horisontal dengan Pasal 4 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang isi Pasal tersebut adalah sebagai berikut : (1) Minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara. 93
Hasil wawancara dengan Bapak Ridwan Nyakbaik sebagai salah satu anggota tim advokasi yang dibentuk berdasarkan Keputusan gubernur No. 542/110/2010 tentang Pembentukan Tim Advokasi Migas Aceh dan beliau saat ini juga sebagai staf ahli Direktur Hulu PT. Pertamina ( Persero). Wawancara dilakukan pada tanggal 8 Juli 2010 di ruangan staf ahli Direktur Hulu PT. Pertamina (Persero ) Gedung PT. Pertamina ( Persero ) Lt. 23 Jl. Medan Merdeka Timur, Jakarta
Universitas Sumatera Utara
(2) Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan. Apabila dikaitkan dengan teori berjenjang ( Stufen Theory ) dari Hans Kelsen, dimana melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida, dimana norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu norma yang lebh tinggi maka semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya akan semakin kongkrit. Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida yang disebut norma dasar. Norma dasar yang dimaksud adalah Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945. Hal ini juga ditegaskan lagi di dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan dimana secara hierarki UUD 1945 merupakan norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida. 2.
Pasal 3 ayat 1 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dilaksanakan oleh Menteri melalui penetapan kebijakan usaha hulu minyak dan gas bumi. Isi pasal rancangan Peraturan Pemerintah tersebut sudah sangat sesuai apabila dilaksanakan oleh Menteri karena di dalam Pasal 12 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi juga menyebutkan demikian, dilain pihak atas dasar filosofis Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Sehingga apabila Pemerintah Aceh menginginkan dilibatkan Gubernur, maka hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Universitas Sumatera Utara
3.
Pasal 89 huruf e yang menyebutkan bahwa Perjanjian Kontrak Kerjasama bagi hasil sebagaimana dimaksud pada huruf c yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya masa Perjanjian Kontrak Kerjasama. Isi pasal tersebut sudah sangat sesuai dengan asas perundang-undangan, dimana Undang-Undang tidak berlaku surut dan juga dalam hal ini Pemerintah Aceh menjunjung tinggi asas kepastian hukum dimana didalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang “. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dari Rancangan Peraturan
Pemerintah terkait dengan pembentukan Badan Pelaksana Pengelolaan Migas (BPMIGAS ) Pemerintahan Aceh yang merupakan amanah dari Pasal 160 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan secara substansi sudah singkron secara vertikal dan horisontal dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Selain itu harus dimaklumi bahwa hal yang mendasari diundangkannya UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh khususnya yang terkait dengan Pasal 160 adalah bahwa masyarakat Aceh ingin menuntut keadilan dalam hal pengelolaan minyak dan gas bumi. Apabila dikaitkan dengan pendapat Thomas Aquinas yang menyebutkan bahwa keadilan yang dituntut oleh masyarakat aceh termasuk kategori keadilan distributif, dimana berdasarkan keadilan ini negara ( secara konkret
berarti
Universitas Sumatera Utara
pemerintah ) harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para angggota masyarakat. 94 Dalam bahasan indonesia bisa dipakai nama keadilan membagi. Sehingga diantara hal-hal yang dibagi oleh Negara kepada warga ada hal-hal yang enak untuk di dapat dan ada hal-hal yang justru tidak enak kalau kena.95 Untuk
itu
dapat
dimaklumi
juga
bahwa
pembentukan
BPMIGAS
Pemerintahan Aceh akan meinmbulkan kecemburuan sosial terhadap daerah-daerah lainnya yang juga ingin membentuknya. Namun Pemerintah dalam hal ini mempunyai alasan tersendiri dan hal tersebut dapat dilihat didalam pertimbangan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh didalam point d dan e disebutkan antara lain sebagai berikut : 96 d)
Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsipprinsip kepemerintahan yang baik. e ) Bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apabila diperhatikan isi poin e pertimbangan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh tersebut diatas, maka sangat jelas bahwa diundangkannya UU No. 11 tahun 2006 ini merupakan semangat dari UUD 1945 sebagai pengawal integrasi dan demokrasi serta mengikat bangsa dalam satu ikatan integrasi yang kuat.
94
K. Bertens,Op.cit.Hlm. 27 Ibid.hlm. 27 96 Pertimbangan dari Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh 95
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut secara spesifik dapat dilihat dari UUD 1945 yaitu antara lain : 97 1.
2.
3.
Pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik. Pilihan politik ini dimaksudkan agar bangsa indonesia selalu terikat dalam persatuan dan kesatuan ( integrasi ). Memang secara teoritis persatuan ( integrasi ) itu tidak harus disusun dalam bentuk negara kesatuan, sebab integrasi itu dapat tumbuh kuat baik di dalam negara kesatuan maupun di dalam negara federal. Bahkan dalam kenyataannya integrasi tumbuh lebih kuat di negara federal seperti Amerika serikat. Sementara di beberapa negara kesatuan justru diganggu oleh gerakan separatis seperti Indonesia, Malaysia. Akan tetapi pandangan dari pilihan politik kita menengaskan bahwa persatuan dan kesatuan (integrasi) itu harus dibangun dalam bentuk negara kesatuan. Sebagai isi konstitusi hal ini harus diterima dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.Ada beberapa pasal lain di dalam UUD 1945 yang memagari agar bentuk negara kesatuan ini dipertahankan dengan sungguh-sungguh yaitu Pasal 18, Pasal 37 ayat (5), dll. Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa “ kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”, ini menunjukkan bahwa sebagai negara kebangsaan indonesia menganut prinsip dan sistem demokrasi agar semua aspirasi masyarakat dapat dikontestasikan untuk dijadikan keputusan bersama. Dengan demikian jika Pasal 1 ayat (1) lebih menekankan pada pentingnya “ integrasi “, maka Pasal 1 ayat (2) ini lebih menekankan pada pentingnya demokrasi sehingga demokrasi dan integrasi dapat berjalan secara seimbang tanpa saling berbenturan. Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”, yang berarti bahwa setiap kegiatan bangsa dan negara haruslah berdasar hukum (nomokrasi). Demokrasi tidak dapat dilaksanakan semau-maunya. Misalnya hanya didasarkan pada kemenangan jumlah pendukung. Demokrasi harus berjalan diatas prosedur hukum dengan segala falsafah dan tata urutan perundang-undangan yang mendasarinya. Demokrasi tanpa nomokrasi dapat menjadi anarki ; demokrasi tanpa ketaatan pada kaidah penuntun hukum dapat mengancam integrasi.
97
Moh. Mahfud MD, Op.cit. hlm. 40
Universitas Sumatera Utara