BAB II TAFSIR, PEMBAGIAN DAN METODENYA
A. Pengertian, Sejarah dan Pembagian Tafsir 1. Pengertian dan Sejarah Tafsir Kata tafsir atau al-tafsir, yang dalam kitab suci al-Qur’an disebut hanya sekali, adalah berwazan (timbangan) kata taf’il, yaitu dari fassarayufassiru-tafsiran. Ia musytaq (terambil) dari kata al-fasr. Kata yang disebut terakhir berarti “membuka”. Secara etimologis, tafsir berarti memperlihatkan dan membuka (al-idzhar wa al-kasyf)1 atau menerangkan dan menjelaskan (al-idlah wa al-tabyin)2. Keterangan dan penjelasan itu pada lazimnya dibutuhkan sehubungan dengan adanya ungkapan atau pernyataan yang dirasakan belum atau tidak jelas maksudnya. Penjelasan dilakukan sedemikian rupa, sehingga ungkapan yang belum atau tidak jelas itu menjadi jelas dan terang. Menurut al-Zarkasyi, kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah yang berarti sedikit air seni dari seorang pasien yang digunakan dokter untuk menganalisis penyakitnya, sebagaimana dokter dengan menggunakan air tersebut ia dapat mengetahui penyakit orang yang sakit. Demikian juga
1
Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, 1972, Jilid II, hlm. 147 2 Abd. Al-Azhim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur’an, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.th., Jilid II, hlm. 3
18
19
mufassir dengan tafsir ia dapat mengetahui keadaan ayat, kisah-kisah dan makna serta sebab-sebab turunnya.3 Tafsir menurut istilah, tafsir didefinisikan para ulama dengan rumusan yang berbeda, namun dengan arah dan tujuan yang sama. Misalnya, al-Zarkasyi menyatakan bahwa dalam pengertian syara’, tafsir adalah ilmu untuk mengetahui pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dengan menjelaskan makna-makna dan mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.4 Menurut Al-Ghandur, tafsir adalah menyingkap pengertian alQur’an dan menerangkan maksud-maksudnya mencakup lafadz musykil dan yang tidak, pengertian dzahir dan tidak dzahir. Dan menurut Abd. AlAzhim al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Qur’an al-Karim, dari segi pengertian-pengertiannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan kesanggupan manusia biasa.5 Berdasarkan pengetian-pengertian tersebut dapat dipahami bahwa tafsir adalah hasil usaha atau karya atau ilmu yang memuat pembahasan pengenai penjelasan maksud-maksud al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafal-lafalnya. Penjelasan itu diupayakan dengan tujuan agar apa yang tidak atau belum jelas maksudnya menjadi jelas; yang samar menjadi terang dan yang sulit dipahami menjadi mudah sedemikian rupa, sehingga al-Qur’an yang salah satu fungsinya utamanya adalah menjadi pedoman 3
Al-Zarkasyi, loc. cit. Lihat juga dalam, Siti Amanah, Dra. Hj., Pengantar Ilmu alQur’an dan Tafsir, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1994, hlm. 245 4 Al-zarkasyi, op. cit., Jilid I, hlm.13 5 Abd. Al-‘Azhim al-Zarqani, loc. cit.
20
hidup (hidayah) bagi manusia, dapat dipahami, dihayati, diamalkan sebagaimana mestinya, demi tercapainya kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.6 Dengan demikian, menafsirkan al-Qur’an ialah merasionalisasikan ayat-ayatnya yang belum jelas untuk dapat diterima secara wajar oleh pikiran (kognitif), dan upaya rasionalisasi itu bukan untuk mencapai pengertian secara absolut, melainkan hanya bersifat nisbi. Tafsir memiliki sejarah yang panjang berlangsung melalui berbagai tahap dan kurun waktu sehingga mancapai bentuknya sekarang ini. Sejarah tafsir telah di mulai sejak awal turunnya al-Qur’an yaitu Nabi Muhammad Saw. Orang pertama yang menguraikan maksud-maksud al-Qur’an dan menjelaskan kepada umatnya.7 Pada masa tersebut tidak seorang pun berani menafsirkan al-Qur’an karena Rasul masih berada di tengah-tengah mereka. Rasul memahami al-Qur’an secara global dan terinci dan karena kewajiban Rasul untuk menjelaskan kepada umatnya.8 Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Para sahabatnya yang mendalami al-Qur’an, mengetahui berbagai rahasia yang tersirat dan yang telah menerima tuntunan serta petunjuk dari Nabi dan berikutnya sahabatnyalah yang menerangkan dan menjelaskan apa saja yang mereka ketahui dan pahami dari al-Qur’an, dalam kata lain setelah wafatnya Nabi, para sahabat mengambil bagian ini.
6
Rif’at Syauqi Nawawi, Prof., Dr., MA, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Aqidah dan Ibadah, Jakarta: Paramadina, 2002, Cet. I, hlm. 87 7 Lihat pengertian tafsir Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir Wa Al-Mufassirun, Hadaiq Hulwan, Jilid I, 1976, hlm.15 8 KH. Moenawar Kholil, Al-Qur’an dari Masa ke Masa, Solo: Ramadhani, cet. Vi, 1985, hlm. 179
21
Para sahabat juga memahami
al-Qur’an, karena al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa mereka karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan sesuai gaya bahasanya. Karena itu orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya dengan baik, dalam kosa kata maupun susunan kalimatnya, meski demikian tidak semua orang Arab berasumsi sama dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan terkadang sahabat yang satu memahami belum banyak dalam suatu ayat dan sahabat yang telah mengetahuui maksudnya. Ahli tafsir dari kalangan sahabat Nabi banyak jumlahnya tetapi yang terkenal luas hanya sepuluh orang, yaitu empat orang Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ash-Shiddieq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib), Abdullah Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay Ibnu Ka’ab, Zaid Ibnu Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, Abdullah Ibnu Zubair. Tercatat yang paling banyak diterima tafsirnya adalah khalifah yang keempat yaitu Ali bin Abi Thalib, dan diantara sepuluh sahabat Nabi tersebut yang memiliki gelar “ahli tafsir al-Qur’an” ialah Ibnu Abbas. Ibnu Abbas juga terkenal dengan sebutan “Turjuman al-Qur’an”(orang yang mahir menjelaskan al-Qur’an) dalam periode pembukaan tafsir, Ibnu Abbas dengan pendapatnya oleh ulama dikodifikasikan dan dinamakan tafsir Ibnu Abbas.
22
Selanjutnya langkah tersebut diikuti oleh generasi berikutnya yaitu para tabi’in9 di beberapa daerah kekuasaan Islam. Pada masa ini muncul kelompok ahli tafsir di Mekkah, Madinah, Irak. Makkah merupakan paling banyak mufassir karena mereka pada umumnya adalah sahabat-sahabat Ibnu Abbas, kemudian di Irak, yakni sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud. Di Madinah ada Zaid Ibnu Aslam yang menurunkan ilmunya kepada anaknya. Ibnu Zaid, kemudian kepada muridnya, Malik Ibnu Annas ra.10 Dari tabiin ini belajarlah generasi ketiga, para tabiin meneruskan pengetahuan tafsir yang mereka dapat dari kalangan tabiin pada zaman inilah diadakan kodifikasi di mulai pada akhir dinasti Bani Umayyah dan awal dinasti Abbasiyyah. Generasi ini mengumpulkan semua semua pendapat mutaqaddimun mereka kemudian dituangkan ke dalam kitab-kitab tafsir.11 Uraian di atas menggambarkan ada tiga generasi tafsir yang masih dalam satu paham, periode pertama adalah Nabi Muhammad saw. sendiri, kedua periode sahabat Nabi, ketiga periode tabiin. Ada periode tabiit tabiin masih sama seperti periode sebelumnya. Perkembangan penulisan tafsir (kitab-kitab tafsir) dalam muqaddimah “al-Qur’an dan terjemahnya” dibagi menjadi tiga periode.
9
Tabiin adalah generasi yang bertemu dan bergaul dengan kalangan sahabat, yang beriman kepada Nabi dan meninggal dalam keadaan Iman. 10 Pendiri Madzhab Malik terkenal dengan Imam Malik, kitab haditsnya yang masyhur adalah al-Muwatta, mengenahi Imam malik lihat sejarahnya dalam Muhammad Khudlari bek, Tarikh Tasyri’ Islami, Beirut Libanon: Dar El Fikr,1967, hlm. 203 11 Rif’at Syauqi Nawawi, MA. Prof. Dr., Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah Aqidah dan Ibadah, Jakarta: Paramadina, 2002, hlm. 94
23
Pertama yaitu, periode masa Rasul Muhammad saw. sahabat dan permulaan masa tabiin dimana tafsir masih diriwayatkan dan dilafal secara lisan. Dalam “muqaddimah” tersebut diterangkan kemampuan sahabat yang berbeda-beda, diantara sebab perbedaan tersebut antara lain : a. Para sahabat mempunyai tingkatan berbeda dalam memahami bahasa arab, seperti berbedanya dalam memahami gaya bahasa, syair, sastra dan kosa kata yang ada dalam al-Qur’an. b. Ada sahabat yang sering mendampingi Nabi Saw. sehingga sahabat tersebut lebih familiar dengan maksud ayat-ayat yang dituangkan. c. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat pra Islam, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyyah. d. Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang apa yang dilakukan orang-orang Yahudi, Nasrani, Sabi’in dan Majusi masa itu.12 Kedua, periode ini bermula dari kodifikasi hadits secara resmi pada masa khalifah Umar Ibnu Abdul Aziz M (99-101 H) pada masa itu tafsir ditulis bersamaan dengan penulis hadits. Ketiga, dimulai dengan penyusunan kitab-kitab tafsir secara khusus, oleh kalangan ahli tafsir dimulai oleh al farra ( wafat 207 H) dengan kitabnya yang dikenal dengan ma’ani al-Qur’an.13 Seperti diketahui, di masa ini ilmu semakin berkembang pesat, pembukuan dan penyusunan mencapai tingkat yang relatif sempurna, cabang-cabang
bermunculan
perbedaan
pendapat
terus
meningkat.
Masalah kian kompleks ini semua menyebabkan tumbuh corak-corak penafsiran yang beragam. Banyak diantara mufassir menafsirkan al-Qur’an
12
Tim Penerjemah al-Qur’an Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1995, hlm. 30 13 Dr. Qurais Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, Bandung: Mizan 1993, cet. V, hlm. 20
24
menurut selera pribadi dan masing-masing mufassir mengarahkan penafsirannya
sesuai
keahlian
mereka
dalam
cabang
ilmu
yang
dikuasainya. Kodofikasi tafsir dengan coraknya yang beragam itu berlangsung lama sampai berabad-abad. Di kalangan mufassir muncul juga fanatisme madzhab sehingga tafsir bukan menjadi khasanah ilmu yang aktif dan dinamis, namun menjadi khasanah kejumudan.14 2. Pembagian Tafsir Tafsir menurut terminologi ilmiah dibagi 2 : a. Tafsir bi al-Riwayah Adalah apa-apa yang ada dalam al-Qur’an atau sunnah atau kalam sahabat sebagai keterangan untuk dan tujuan Allah. Tafsir ini lebih jelasnya menafsiri al-Qur’an dengan al-Quran atau tafsir bilMa’tsur yaitu menafsiri al-Qur’an dengan sunnah nabawiyah atau ma’tsur dari sahabat, contoh dari tafsir ini adalah ayat al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya :Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu…..(al-Maidah: 1)15 Ditafsirkan dengan ayat Qur’an
!" # $% & '#
14 15
#
Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA., Op. Cit. hlm. 96 Tim Penerjemah Al-Qur’an Depag, Op. Cit., hlm. 156
25
Artinya : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah….(al-Maidah: 3)”.16 Menurut al-Zarqani tafsir bi al-Ma’tsur terbagi menjadi dua : 1) Tafsir yang ma’tsur-nya sah, mutawatir untuk dijadikan landasan tafsir dan ini lebih kuat. 2) Ma’tsurnya belum bisa dikatakan valid karena mungkin karena kurang mutawatir dan kurang memenuhi syarat syahnya hadits, yang kedua ini boleh tidak dipakai bahkan tidak boleh menafsiri al-Qur’an dengan ma’tsur dengan kriteria yang kedua ini.17 b. Tafsir bi al-Dirayah Ulama banyak menyebutnya dengan tafsir bi al-Ra’yi, karena mufassir dalam kategori ini selalu bersandar tafsirannya pada ijtihad atau hasil analisis akalnya, tidak menggunakan atsar sahabat, mereka mengacu pada pendekatan bahasa arab, serta keilmuan yang meka miliki seperti nahwu, sharaf, balaghah, ushul fiqih, asababun nuzul. Maksud bi al-Ra’yi disisni adalah ijtihad yang dihasilkan dengan metode-metode yang benar, pondasi-pondasi yang syah, bukan ra’yi disini mengingkri akal yang penuh “hawwa nafsu” atau terkesan “maunya sendiri ” dalam menafsirkan ayat.
16 17
Ibid., hlm.157 Abdul al-Adzim al-Zarqani, Op. Cit., hlm. 491
26
Tafsir ini terbagi dua, yaitu : 1) Tafsir Mahmud: yaitu yang pas dan tepat dengan tujuan syari’at, jauh dari dhalalah, sejalan dengan kaidah bahasa arab, bersandar pada tata bahsa Arab dalam memahami teks-teksnya. 2) Tafsir Madzmum:
yaitu yang menafsiri
al-Qur’an dengan tanpa
ilmu, inilah yang disebut tafsir “maunya sendiri” jauh dari tuntutan syara’, jauh dari kaidah bahasa arab, mengikuti hawa nafsu, contoh dari tafsir bi al-Dirayah adalah sebagai berikut :
0./
(
)*+ ,
-&
Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-nya hanyalah ulama….(al-Faatir: 28)”. 18 Ayat tersebut tidak boleh ditafsiri (dibaca
terbalik) yaitu
menasabkan kalimat utama yang berarti maf’ul bih dan merupakan kalimat yang berarti fa’il ini kan terbalik dan menjadi kalimat arti dan maksud.
B. Metode Tafsir Definisi metode penafsiran al-Qur’an adalah seperangkat kaedah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, perkembangan al-Qur’an sejak dulu sampai sekarang jika ditelusuri, pada awalnya para ulama membagi tafsir menjadi 2 (dua) yaitu bil ma’tsur dan bil dirayah sebagaimana yang telah kami kemukakan. Kemudian dalam
18
Tim penterjemah al-Qur’an, Depag, Op. Cit., hlm. 700
27
perkembangannya Abd. Al-Hayy Al-Farmawi, bahwa metode tafsir secara garis besar terbagi 4 (empat) metode yaitu: Metode Tahlili, Metode Ijmali, Metode Muqaran, dan Metode Maudhu’i. Terlebih dahulu penulis akan mengungkapkan pembahasan dan uraian secara ringkas mengenai keempat metode tersebut. 1. Metode Tafsir Tahlili (Analitis) Metode tafsir Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam mushhaf al-Qur’an. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga mengemukakan munasabah (korelasi) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, penafsir membahas mengenai asbab al-nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan dalil-dalil yang berasal dari Rasul, atau sahabat, atau para tabi’in, yang kadang-kadang bercampur baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan diwarnai oleh latar belakang pendidikannya; dan sering pula bercampur baur dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat membantu memahami nash al-Qur’an tersebut.19
19
Dr. Abd. Hayy Al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 12
28
Para penafsir Tahlili ini ada yang terlalu bertele-tele dengan uraian panjang lebar dan sebaliknya, ada pula yang terlalu sederhana dan ringkas. Selanjutnya, mereka juga mempunyai kecenderungan dan arah penafsiran yang aneka ragam. Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode Tahlili ini dapat dibedakan kepada berbagai macam corak tafsir yaitu: Tafsir bi al-Ma’tsur, bi al-Ra’yi, al-Shufi, alFiqhi, al-Falsafi, al-‘Ilmi, al-Adab al-Ijtima’i. a. Al-Tafsir bi al-Ma’tsur Tafsir bi al-Ma’tsur adalah penafsiran ayat dengan ayat; penafsiran ayat dengan hadits SAW. yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasa sulit dipahami oleh para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para sahabat; atau penafsiran ayat dengan hasil ijtihad para tabi’in. Semakin jauh rentang zaman dari masa Nabi dan sahabatnya, maka pemahaman umat tentang makna-makna ayat al-Qur’an semakin bervariasi dan berkembang.20 Periodesasi perkembangan Tafsir bi al-Ma’tsur ada dua periode atau tahap: Pertama: Periode lisan. Periode ini lazim disebut periode periwayatan (
#
). Pada periode ini, para sahabat menukil
atau mengambil penafsiran dari Rasulullah SAW. atau oleh sahabat dari sahabat, dengan cara penukilan yang dapat dipercaya, teliti, dan
20
Muhammad Husen al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 152
29
memperhatikan jalur periwayatan. Cara semacam ini berlangsung sampai periode berikutnya dimulai. Kedua: Periode Tadwin (Kodifikasi-penulisan). Pada periode ini, Tafsir bi al-Ma’tsur, yang proses penukilannya pada periode pertama, dicatat dan dikodifikasikan. Pada mulanya kodifikasi tersebut dimuat dalam kitab-kitab hadits. Setelah tafsir menjadi ilmu yang otonom, maka ditulis dan terbitlah karya-karya tafsir yang secara khusus memuat tafsir bi al-Ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sampai kepada Nabi SAW. kepada para sahabat, tabi’in, dan tabi’i al-tabi’in. Di dalam perkembangan selanjutnya, tampil banyak tokoh tafsir
yang
mengkodifikasikan
Tafsir
bi
al-Ma’tsur
tanpa
mengemukakan sanad periwayatannya; dan kebanyakan dari mereka itu mengemukakan pendapat-pendapat tertentu didalam kitab tafsir mereka tanpa membedakan antara yang shahih dan yang keliru.21 b. Tafsir bi al-Ra’yi Tafsir bi al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad, terutama setelah seorang penafsir itu betul-betul mengetahui perihal bahasa Arab, asbab al-Nuzul, nasikh mansukh, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh lazimnya seorang penafsir.22
21 22
Ibid, hlm. 154 Ibid., hlm. 265
30
Latar belakang lahirnya corak tafsir ini yaitu tatkala ilmu keislaman berkembang pesat, di saat para ulama telah menguasai berbagai disiplin ilmu, dan berbagai karya dari berbagai karya dari bermacam disiplin bermunculan, maka karya tafsir juga ikut bermunculan dengan pesatnya dan diwarnai oleh latar belakang pendidikan masing-masing pengarangnya. Corak Tafsir bi al-Ra’yi ini ada yang diterima dan ada pula yang ditolak. Tafsir bi al-Ra’yi ini dapat diterima sepanjang penafsir menjahui lima hal berikut ini: 1). Menjahui sikap terlalu berani menduga-duga kehendak Allah di dalam kalamNya, tanpa memiliki persyaratan sebagai penafsir. 2). Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya. 3). Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu. 4). Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan mazhab semata, di mana ajaran mazhab dijadikan dasar utama sementara tafsir itu sendiri dinomor duakan, sehingga terjadilah berbagai kekeliruan. 5). Menghindari penafsiran pasti (qat’i), di mana seorang penafsir, tanpa alasan, mengklaim bahwa itulah satu-satunya maksud Allah.23 Demikianlah, selagi seorang penafsir menjahui kelima hal di atas, maka tafsir dan ide-idenya dapat diteima. Jika tidak, dalam artian tidak menghindari kelima hal tersebut, maka ia dipandang sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya tercela dan harus ditolak. c. Tafsir al-Shufy Seiring dengan semakin meluasnya cakrawala budaya dan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Tasawuf pun berkembang
23
Abd. Hayy al-Farmawi, Op. Cit., hlm. 16
31
dan membentuk kecenderungan para penganutnya menjadi dua arah yang mempunyai pengaruh di dalam penafsiran al-Qur’an al-Karim, yaitu: 1). Tasawuf Teoritis, yaitu meneliti dan mengkaji al-Qur’an berdasarkan teori-teori mazhab dan sesuai dengan ajaran mereka. 2). Tasawuf Praktis, yaitu tashawuf yang mempraktekkan gaya hidup sengsara, zuhud, dan meleburkan diri di dalam ketaatan kepada Allah SWT. Corak tafsir semacam ini bukanlah hal baru di dalam sejarah tafsir, melainkan sudah di kenal sejak turunnya al-Qur’an di masa Rasulullah SAW.24 Penafsiran semacam ini dapat diterima selama memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagai berikut: 1). Tidak menafikan arti dzahir ayat. 2). Didukung oleh dalil syara’ tertentu. 3). Tidak bertentangan dengan syara’ dan akal. 4). Penafsir tidak boleh mengklaim bahwa itulah satu-satunya tafsir yang dimaksud dan menafikan sepenuhnya arti dzahir, akan tetapi ia harus mengakui arti dzahir tersebut lebih dahulu.25 d. Tafsir al-Fiqhi Berbarengan dengan lahirnya al-Tafsir bi al Ma’tsur, lahir pula Tafsir al-Fiqhi, yaitu mencari keputusan hukum dari al-Qur’an dan berusaha menarik kesimpulan hukum syari’ah berdasarkan
24 25
Lihat firman Allah, surat al-Nisak (4): 78 Abd. Hayy al-Farmawi, Op. Cit., hlm. 18
32
ijtihad, dan sama-sama dinukil dari Nabi SAW. tanpa perbedaan antara keduanya. Tafsir al-Fiqhi ini terus tumbuh dan berkembangpesat bersama berkembang pesatnya ijtihad. Tafsir ini tersebar luas di celah-celah halaman berbagai kitab fiqih yang dikarang oleh tokoh berbagai mazhab. e. Tafsir al-Falsafi Yang dimaksud dengan tafsir falsafi (al-tafsir al-falsafi) ialah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan logika atau pemikiran filsafat yang bersifat liberal dan radikal.26 Sebagaimana telah disinggung bahwa latarbelakang lahirnya berbagai corak tafsir itu karena tersebarluasnya dan bertemunya aneka budaya. Di tengahtengah pesatnya perkembangan ilmu dan budaya ini, gerakan penerjemahan tumbuh dan giat dilaksanakan di masa Dinasti Bani Abbas. Berbagai sumber perbendaharaan ilmu digali, dan aneka macam pustaka diterjemahkan, termasuk buku-buku filsafat karya para filosof Yunani. Tokoh-tokoh Islam yang membaca buku-buku falsafat tersebut terbagi menjadi dua golongan. Pertama, golongan yang menolak falsafat, karena mereka menemukan adanya pertentangan antara falsafat dan agama. Kedua, golongan yang mengagumi dan menerima falsafat, meskipun didalamnya terdapat ide-ide yang 26
Prof. Dr. H. Muhammad amin Suma, SH., Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 134
33
bertentangan dengan nash-nash syara’. Kelompok ini berupaya mengkompromikan atau mencari titik temu antara falsafat dan agama serta berusaha untuk menyingkirkan pertentangan. Namun usaha mereka ini belum berhasil mencapai titik temu yang final.27 f. Tafsir al-Ilmi Ajakan al-Qur’an adalah ajakan ilmiah, yang berdiri di atas prinsip pembebasan akal dari takhayul dan kemerdekaan berpikir. Al-Qur’an menyuruh umat manusia memperhatikan alam. Allah SWT. disamping menyuruh kita memperhatikan wahyuNya yang tertulis,
sekaligus
menganjurkan
kita
agar
memperhatikan
wahyuNya yang tampak, yaitu alam. Manakala para ulama menyadari hal yang demikian, maka sebagian dari mereka mencoba menafsirkan terhadap ayat-ayat kawniyah berdasarkan prinsip-prinsip kebahasaan dan keunikannya, dan berdasarkan bidang ilmu serta hasil kajian mereka terhadap gejala atau fenomena alam. Dalam pembahasan corak tafsir al-Ilmi ini para ulama berbeda pendapat, ada yang menerima dan ada pula yang menolak. Meskipun sebagian ulama ada yang menolak, karya-karya tafsir corak ini mulai bermunculan, dan mendapat perhatian besar dari para peneliti dan ilmuan.
27
Op. Cit., hlm. 20
34
Menurut al-Farmawi, Kajianal-Tafsir al-Ilmi ini, adalah: Pertama, termasuk dalam katagori kajian Tafsir Tematik (Maudhu’i), yang membahas topik atau masalah-masalah menarik dewasa ini; dan hukum membahasnya adalah sama dengan hukum membahas Tafsir Tematik tersebut. Kedua, kajian al-Tafsir al-Ilmi ini dapat diterima dan dibolehkan; sepanjang tidak ada pemaksaan terhadap ayat-ayat dan tidak memperkosa lafadz-lafadznya, dan tidak memaksa diri secara berlebih-lebihan untuk mengangkat maknamakna ilmiah dari ayat tersebut. Apabila kajian tafsir al-Ilmi ini tidak dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip di atas, maka kajian tersebut harus ditolak bentuk dan isinya. g. Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i Corak
tafsir
ini
berusaha
memahami
nash-nash
al-
Qur’andengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapanungkapan al-Qur’an secara teliti; selanjutnya menjelaskan maknamakna yang dimaksud oleh al-Qu’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah berikutnya, penafsir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistim budaya yang ada.28 Metode ini mempunyai ciri tafsir bil ma’tsur atau tafsir ra’yi (pemikiran), yang termasuk dalam metode tahlili dari tafsir ma’tsur ialah : tafsir al-Qur’an al-Adhim atau terkenal dengan tafsir Ibnu Katsir karangan Ibnu al-Katsir (w. 774 H.), Jami’ al-Bazan ‘an Ta’wil ayi al-Qur’an karangan Ibnu al-Jarir al- Thabari (W. 130 H.), al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karangan Fakhrur al-Razi (W. 606 H.), dan lain-lain. Tafsir ini juga terkadang memasukkan
28
Ibid., hlm. 27
35
pendapat ahli tafsir lain dari berbagai disiplin ilmu seperti teologi, fiqih, bahasa, sastra dan lainnya. Disamping ciri demikian tafsir ini kadang diwarnai dengan kecenderungan dan keahlian mufassirnya.29 2. Metode Ijmali Yang dimaksud ialah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas tetapi mencakup dan enak dibaca. Susunanya teratur seperti mushaf al-Qur’an, jadi seperti membaca al-Qur’an, ciri-ciri metode ini mufassir langsung menafsirkan al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Kelebihan metode ini praktis dan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit pemahaman al-Qur’an langsung diserap oleh pembacanya sebagaimana contoh yang dinukilkan di atas. Tafsir ijmali bebas dari penafsiran israiliyat, lebih murni, dengan demikian pemahaman alQur’an akan dapat dijaga dari intervensi dari pemikiran-pemikiran israiliyat yang kadang tidak sepaham dengan al-Qur’an. Tafsir Ijmali juga lebih akrab dengan bahasa al-Qur’an karena uraiannya terasa sangat singkat dan padat. Sehingga pembaca seperti tidak merasa bahwa dia telah membaca kitab tafsir. Di samping kelebihannya, metode ijmali juga mempunyai kekurangan-kekurangan yang antara lain : Tafsir ini menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat persial, karena al-Qur’an merupakan
29
Dr. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 53
36
kesatuan yang utuh, tidak terpecah-pecah. Tafsir ijmali juga menjadikan tidak ada ruangan untuk mengemukakan analisis yang memadai, oleh karena itu jika menginginkan penafsiran yang lebih mendalam, tidak bisa menggunakan metode ini. Namun ini tidak bersifat negatif, karena memang metode ijmali bersifat demikian. Dengan kekurangan dan kelebihan tersebut, metode tafsir ijmali sangat efektif untuk para pemula atau efektif untuk kalangan yang tidak membutuhkan uraian yang detail tentang pemahaman suatu ayat, maka tafsir yang menggunakan metode global sangat membantu dan tepat sekali untuk digunakan. Sebaiknya tafsir yanng memberikan uraian panjang lebar membuat kalangan tersebut bosan karena tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.30 3. Metode Muqarin (Komparatif) Yang dimaksud metode ini adalah: membandingkan teks alQur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama, membandingkan ayat dengan hadits yang lahirnya terlihat bertentangan,
membandingkan
pendapat
ulama
tafsir
dalam
menafsirkan al-Qur’an.31 Ciri-ciri metode komperatif adalah membandingkan ayat sesuai dengan konotasi komperatif, namun kebanyakan yang membandingkan
30 31
Ibid., hlm. 13 Ibid, hlm. 65
37
adalah aspek terakhir yaitu pendapat para mufassir baik dari mufassir salaf atau mufassir dari kalangan mutaakhirin, disini terlihat bukan perbandingan metode dari mufassir saja, namun kecenderungan para mufassirpun ikut diperbandingkan. Ruang lingkup metode ini terdiri dari tiga aspek yaitu: a. Perbandingan ayat dengan ayat. Langkah-langkahnya secara global adalah: 1). Menghimpun redaksi yang mirip. 2). Memperbandingkan redaksi yang mirip. 3). Menganalisa redaksi yang mirip. 4). Membandingkan pendapat para mufassir. b. Perbandingan ayat dengan hadits 1). Menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan obyek studi tanpa menoleh terhadap redaksinya, mempunyai kemiripan atau tidak. 2). Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayatayat tersebut. 3). Membandingkan pendapat-pendapat mereka untuk mendapatkan informasi berkenaan dengan identitas dan pola berfikir dari masing-masing mufassir serta kecenderungan dan aliran yang mereka anut.32
32
Ibid, hlm. 101
38
Kelebihan metode ini antara lain: a. Memberikan wawasan peristiwa yang relatif lebih luas kepada para pembaca, disini setiap ayat bisa ditinjau dari berbagai aspek dan berbagai argumen pendapat. b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang jauh berbeda. c. Sangat berguna bagi kalangan yang ingin mengetahui dari berbagai pendapat tentang suatu ayat. d. Penafsir lebih hati-hatidalam mengambil kesimpulan karena mufassir harus mengetahui banyak argumen. Diantara kekurangan metode ini adalah : a. Metode ini tidak dapat diberikan kepada pemula, karena pembahasannya terlalu luas. b. Metode komperatif kurang bisa diandalkan untuk menjawab permasalahan sosial, karena metode ini lebih menggunakan perbandingan dari pada pemecahan masalah. c. Terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah ada, dari pada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru. 4. Metode tematik (maudhu’i) Yang dimaksud metode tematik adalah membahas ayat-ayat alQur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas,
39
serta
didukung
oleh
dalil-dalil
atau
fakta-fakta
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari alQur’an, hadits maupun pemikiran rasional. Ciri-cirinya adalah selalu menonjolkan tema, judul atau topik pembahasan. Jadi mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau yang berasal dari al-Qur’an. Dalam menguraikan metode-metode ini ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh mufassir, antara lain : a. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang masuk dan sebagainya. b. Menelusuri asbabun nuzulnya. c. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosa kata yang dijadikan topik pembahasan. d. Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan berbagai pendapat para mufassir. e. Dikaji secara tuntas dan seksama menggunakan peralatan yang obyektif. Kelebihan metode ini antara lain: a. Menjawab tantangan zaman. Karena metode ini mengutamakan tema yang berkembang dimasyarakat. b. Bersifat praktis dan sistematis. Karena bersifat pemecahan masalah dan langsung kepada topik masalah.
40
c. Dinamis. Tafsir model ini terkesan ubdated, karena menyangkut permasalahan tokoh, karena metode ini memang bertujuan kesana. d. Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan adanya tema-tema yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat dapat diserap secara utuh. Kekurangan metode ini adalah: a. Memenggal ayat al-Qur’an. Mengambil satu kasus yang terdapat didalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Cara ini dipandang kurang sopan terhadap ayat-ayat suci, namun selama tidak merusak pemahamannya cara ini tidak perlu dianggap negatif. b. Membatasi pemahaman ayat. Dengan adanya tema, maka pembahasan ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas, akibatnya mufassir terikat oleh judul atau tema pembahasan. Demikian keempat metodologi penafsiran ayat al-Qur’an dan tidak menutup kemungkinan akan ada teori atau metode tebaru lagi yang akan muncul.33 C. Pendapat Ulama tentang Hak Keluar Rumah bagi Perempuan Tidaklah jarang ditemukan keragaman pendapat dikalangan ulama mengenai suatu persoalan keagamaan, tidak terkecuali di bidang hukum. Sebagai perbedaan pemahaman, pendekatan, latar belakang, situasi, dan
33
Ibid, hlm. 168
41
kondisi, keragaman pendapat tentulah wajar. Dan itu terjadi juga dalam masalah pembatasan terhadap perempuan untuk keluar rumah, sekalipun pembatasan tersebut merujuk pada sumber yang sama, yaitu al-Qur’an surat al-Ahzab (33): 33:
: : 3#
"7 8 + 1,9 + 1 #, 1 2 345 6 #
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah terdahulu…..”.
Sekurang-kurangnya ada tiga aliran dikalangan ulama dalam menginterpretasikan ayat di atas. Pertama, memahaminya sebagai perintah kepada perempuan Islam secara umum untuk menetap di rumah kecuali dalam keadaan darurat. Dalam situasi normal yang tidak mengancam kehidupan jiwanya, perempuan dilarang keluar rumah, sekalipun redaksi ayat ditujukan kepada istri-istri Nabi, yang dalam beberapa hal diberi kekhususan oleh Allah. Aliran kedua, menafsirkan ayat di atas dengan lebih longgar: perempuan tidak dibanarkan keluar rumah tanpa kebutuhan yang dibenarkan oleh agama, dengan syarat dapat memelihara kesucian dan kehormatannya. Aliran ketiga, menganggap ayat ini bukan berarti larangan terhadap perempuan untuk meninggalkan rumah, tetapi hanya mengisyaratkan bahwa rumah tangga merupakan tugas pokoknya. 34 Perbedaan pendapat di atas berpangkal dari lafadz waqarna, yang menjadi kata kunci ayat di atas. Apabila dikaji dari segi kebahasaan, kata
34
K.H. Ali Yafie, Wacana Baru Fiqih sosial, Bandung: Mizan, 1997, hlm. 161
42
tersebut berasal dari kata al-waqar, yang berarti al-sukuun wal-hilm “tenang dan hormat”. Ada juga yang mengatakan bahwa waqarna berasal dari kata waqara-yaqiru-waqr-an yang berarti jalasa “duduk”.35 Menurut Al-Qurtubi ayat tersebut bisa dipahami perempuan Islam secara umum diperintahkan untuk menetap di dalam rumah. Tulisannya sebagai berikut: “Makna ayat di atas adalah perintah untuk menetap di rumah. Walapun redaksi ayat ini ditunjukkan kepada istri-istri Nabi, selain dari mereka juga tercakup dalam perintah ini.”36 Selanjutnya al-Qurthbi menegaskan bahwa: “Agama penuh dengan tuntunan agar perempuan-perempuan tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat.” 37 Bisa jadi perintah ini di karenakan istri-istri Nabi umm al-mukminin yang menjadi contoh dan teladan bagi seluruh perempuan muslimin. Oleh karena itu, perintah kepada istri Nabi Muhammad SAW. juga bermakna perintah kepada seluruh perempuan muslimin. Pendapat yang sama juga dikemukakan seorang pemikir Pakistan kontemporer al-Maududi, menganut pemahaman yang mirip pendapat di atas. Dia menjelaskan bahwa: “Tempat perempuan adalah di rumah, tidak dibebaskan mereka pekerjaan di luar rumah kecuali agar mereka berada di rumah dengan tenang dan hormat agar mereka dapat melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar rumah dengan syarat
35
Ibid. hlm. 162 Abu Abdillah Muhammad Ibnu al-Qurthubi, Al-Jamik Li Akhkam al-Qur’an, AlQahirah: Dar al-Kutub al-Arabi 1967 Jilid I, hlm. 159 37 Ibid. 36
43
memperhatikan dari kehormatannya.”38 Al-Maududi
tidak
segi
kesucian
menggunakan
diri
kata-kata
dan
memelihara
darurat
tetapi
menggunakan kata al-Haajat (kebutuhan/keperluan). Demikian juga yang dilakukan oleh para Tim penerjemah al-Qur’an Departemen Agama. “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” maksudnya istri-istri Rasul agar tetap di rumah dan keluar rumah bila ada keperluan. Perintah ini khusus dihadapkan kepada istri-istri Nabi Muhammad SAW. Prof. Dr. HAMKA menginterpretasikan waqarna sebagai berikut: “Hendaklah istri-istri Nabi memandang bahwa rumahnya yaitu rumah suaminya, itulah tempat tinggal yang tentram dan aman.”39 Menurut HAMKA, ayat ini adalah pedoman pokok yang diberikan oleh Allah dan Rasulnya terhadap seluruh istri-isri Nabi dan setiap perempuan yang beriman. Meskipun pangkal ayat dikhususkan kepada istri-istri Nabi, bukanlah berarti bahwa perintah dan peringatan ini hanya khusus kepada istri-istri Nabi saja, dan bukanlah bahwa seseorang perempuan Islam yang bukan istri Nabi boleh berhias secara jahiliyyah, agar mata orang melihatnya terpesona.40 Dalam tafsir al-Maraghi, Qarna berasal dari lafadz qarra – yaqirru yang kata perintahnya adalah Iqrarna berarti tetaplah kamu sekalian (wanita).41
38
Abu al-A’la al-Maududi, al-Hijab, Dar al-Fikr, t. t., t. th., hlm. 313 Prof. Dr. HAMKA., Tafsir al-Azhar, Surabaya: Yayasan Latimojong, Cet. II, 1982. Jilid 22, hlm 39 40 Ibid. 41 Ahmad musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (terjemahan), Semarang: CV.Toha Putra 1992, hlm. 4 39
44
Musthafa al-Maraghi menginterpretasikan ayat ini dengan larangan untuk keluar rumah tanpa hajat. Perintah ini menurut al-Maraghi merupakan perintah kepada para istri-istri Nabi dan juga para wanita-wanita lainnya.42 Prof. Dr. Hasbi al-Shiddieqi dalam tafsirnya memaknai waqarna dengan “berdiamlah kamu di rumahmu” dan menginterpretasikan ayat 33 sebagai berikut: “Dan hendaklah wahai istri-istri Nabi tetap di rumahmu maingmasing. Tidak pergi kemana-mana kalau tidak ada keperluan.”43 Hasbi menggunakan dua anak kalimat dari ayat 33 yang berkaitan dengan waqarna dan tabarruj. Beliau menanggapi dua kalimat tersebut memberi peringatan, bahawa para istri Nabi tidak dibenarkan keluar dari rumah untuk memamerkan perhiasan. Mereka boleh keluar bila hanya ada keperluan dan apabila mereka keluar rumah hendaklah mereka berlaku sederhana dan menghindari dari segala yang menjadikan buruk sangka bagi orang-orang yang memandangnya.44 Menurut para ahli fiqih klasik, seorang istri diperbolehkan meninggalkan rumah, meskipun tanpa izin suaminya, jika keadaan benarbenar darurat (memaksa). Ibnu hajar al-Haitsami ketika dimintai fatwanya mengenahi istri yang mau belajar, bekerja dan sebagainya, apakah dia boleh keluar rumah tanpa izin suaminya, ia menjawab: “Ya, dia boleh keluar rumah tanpa izin suaminya untuk kondisikondisi yang darurat, seperti takut rumahnya roboh, kebakaran, tenggelam, takut terhadap musuh, atau untuk keperluan mencari 42
Ibid. hlm. 6 Prof. Dr. Hasbi al-Shiddieqi, Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, Juz 22, 1970, hlm. 7-8 44 Ibid 43
45
nafkah karena suami tidak memberikannya dengan cukup atau juga karena keperluan keagamaan seperti istifta (belajar, bertanya tentang hukum-hukum agama) dan semacamnya.” 45
Sejalan dengan pandangan ini adalah catatan Zaenudin al-Malibari dalam kitabnya yang cukup populer Fath al-Mu’in. Ia mengatakan bahwa seorang istri diperbolehkan keluar dari rumahnya tanpa dicap sebagai istri yang nusyuz untuk hal-hal sebagai berikut: jika rumahnya akan roboh, jiwa atau hartanya terancam oleh penjahat atau maling, mengurus hak-haknya di pengadilan, belajar ilmu-ilmu fardhu ‘ain atau untuk keperluan istifta (meminta fatwa) karena suaminya bodoh, atau untuk mencari nafkah seperti berdagang atau mencari sedekah pada orang lain atau bekerja selama suaminya tidak menafkahinya. 46 Sementara itu Ibnu Katsir, seorang ulama’ fiqh melarang perempuan keluar rumah tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama seperti shalat, sedangkan Abdul al-‘A’la al-Maududi (seorang pemikir Islam kontemporer dari Pakistan) berpendapat, perempuan boleh keluar rumah apabila ada keperluan dengan syarat tetap memperhatkan kesucian dan
memelihara
kehormatan.47
Dan
masih
banyak
sekali
yang
mengomentari status hukum keluar rumah bagi perempuan.
45
Ibnu Hajar al-haitsami, al-Fatwa al-Kubra al-Fiqhiyyah, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyyah,1983, Juz IV, hlm. 205 46 KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LkiS, 2001, hlm. 128 47 Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta : PT. Intermasa, Cet. I, 1996, hlm. 1921
46
Dalam sejarah Islam awal, tidak sedikit perempuan yang bekerja bukan karena darurat. Diantaranya adalah Zainab binti Jahsy, isteri Rasulullah, yang bekerja menyamak dan menjahit kulit, yang hasilnya digunakan untuk bersedekah. Demikian juga Zainab, istri Abdulah bin Mas’ud dan Asy-Syifa’, pejabat kepala pasar pada masa khalifah Umar bin Khatab, semua perempuan tersebut bekerja di luar rumah maupun di dalam rumah bukan karena darurat, tetapi merupakan aktifitas dari keahlian yang mereka miliki.48 Masih banyak lagi para ulama memaknai atau menafsikan surat alAhzab ayat 33 tentang hak keluar rumah bagi perempuan, tetapi yang menjadi perbedaan interpretasi ayat, hanya di khususkan kepada istri-istri Nabi atau juga berlaku kepada perempuan muslimin pada umumnya. Penafsiran-penafsiran tersebut digolongkan sebagai reaksi wajar, karena ketika penafsiran dengan menggunakan metode analitis tidak bisa lepas dari latar belakang keilmuan individu, dan setiap penafsiran adalah berbeda.
48
K.H.Alie Yafi’i, op.cit., hlm. 167