BAB II PENYALAHGUNAAN BIAYA PERJALANAN FIKTIF OLEH APARAT NEGARA A. Pengertian Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan Strafbaar feit itu sendiri. Andi ainal Abidin tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak pidana, adapun alasannya sebagaimana dikutip oleh Erdianto Effendi yaitu:21 a. Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana; b. Ditinjau dari segi Bahasa Indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat, perempuan cantik, dan lainlain; Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van hetwelk een persoon strafbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana.stilah criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukan sifat kriminalnya perbuatan. Mulyatno menerjemahkan istilah stafbaar feit dengan perbuatan pidana dan berpendapat mengenai perbuatan pidana, yang dikutip oleh Teguh Prasetyo, yang berpendapat bahwa:22
21
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 97
27
28
“perbuatan pidana, menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.” Berbeda dengan Mulyatno yang menafsirkan strafbaar feit dengan tindak pidana, Wirjono Prodjodikoro menafsirkan strafbaar feit dengan “persitiwa pidana”. Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam perundang-undangan formal Indonesia dan pernah digunakan secara sermi dalam UUD sementara 1950, yaitu dalam pasal 14 ayat (1). Secara substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-hari sering didengar ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam. Sedangkan simons menerangkan bahwa:23 “Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggun jawab.” Van hamel merumuskan strafbaar feit sebagaimana dikutip oleh I Made Widnyana bahwa:24
22
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, jakarta, 2010, hlm. 48 I Made Widyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Fikahati Aneska, Jakarta, 2010, hlm. 34 24 I Made Widyana, Ibid, hlm. 35 23
29
“Van Hamel merumuskan strafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Pompe Berpendapat bahwa: “strafbaar feit secara teoretis dapat merumuskan sebagai suatu: “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak disengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.” Menurut E. Utrecht Bahwa: “strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu)” Strafbaar feit diterjemahkan dengan berbagai istilah, karena pemerintah tidak menetapkan terjemahan resmi atas istilah Strafbaar feit yang berasal dari Belanda tersebut. Sehingga timbulah pandangan yang bervariasi terhadap istilah tersebut. Menurut I made Widyana, bahkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan pun dipergunakan istilah yang tidak sama, yaitu:25 a. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 di dalam Pasal ayat (1) menggunakan isitlah “Peristiwa Pidana”; b. Undang-Undang No. 1/Drt/1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, di dalam Pasal 5 ayat (3b), memamaki istilah “Perbuatan Pidana”;
25
I Made Widayana, Ibid, Hlm. 32-33
30
c. Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1951 tentang Perbuatan Ordonantie Tijdelijke Bijzondere Straf Bepalingen Stb. 1948 No. 17, memakai istilah “perbuatan-perbuatan yang dapat diukum”; d. Undang-Undang No. 16/Drt/1951 tentang Penyelesaian Perseisihan Perburuhan, menggunakan istilah “hal yan diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman”; e. Undang-Undang No. 7/Drt/1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidanan Ekonomi, menggunakan istilah “tindak pidana”; f. Undang-Undang No 7/Drt.1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, menggunakan istilah “tindak pidana” g. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, menggunakan istilah “ tindak pidana”; h. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, sesuai dengan judulnya, menggunakan istilah “tindak pidana” Perbedaan penggunaan istilah terjemahan dari strafbaar feit dalam hukum pidana Indonesia, Soedarto memberikan pendapatnya yaitu:26 “Pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadi soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang penting adalah isi dari tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah lain sudah dapat diterima oleh masyarakat. Jadi mempunyai “Sociologische gelding”. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Setiap Tindak Pidana pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur tindak pidana. Dalam hal ini mengenai unsur-unsur tindak pidana terdapat berbagai pendapat diantara para sarjana hukum. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dibagi menjadi dua macam unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur Objektif menurut Teguh Prasetyo yaitu:27
26 27
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1996, hlm. 23-24 Teguh Prasetyo, Op Cit, Hlm. 50
31
“Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan” Sedangkan Unsur subjektif menurut Teguh Prasetyo:28 “Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.” Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak Pidana menurut Lamintang adalah:29 a. Kesengajaan atau ketidakjujuran (dolus/culpa); b. Maksud atau vornemeni pada suatu percobaan atau poging; c. Macam-macam maksud atau oogmerk, misalnya seperti yang terdapat didalam kejahatan-kejahatan; d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad; misalnya seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP Ad. a. Kesengajaan atau ketidakjujuran Artinya
bahwa
pelaku
tindak
pidana
benar-benar
menghendaki atau secara sadar melakukan suatu tindak pidana Ad. b. Maksud atau vornemeni pada suatu percobaan atau poging
28
Teguh Prasetyo, Ibid, Hlm. 51 Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Kekayaan, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm.11 29
32
Artinya bahwa pelaku tersebut memiliki maksud dalam melakukan suatu tindak pidana Ad. c. Macam-macam maksud atau oogmerk Artinya bahwa pelaku memiliki berbagai macam maksud contohnya sepertinya yang terdapat didalam kejahatankejahatan Ad. d. Merencanakan Terlebih Dahulu atau voorbedachte raad Artinya bahwa pelaku telah merencanakan segalanya untuk memperlancar tindak pidana yang akan dilakukannya Ad. e. Perasaan Takut atau vress Artinya bahwa pelaku melakukan tindak pidana karena didasari rasa takut contohnya seperti dalam pasal 308 KUHPidana Unsur-Unsur Objektif dari suatu indak pidana itu adalah: a. Sifat melangar hukum atau wederrechtelijkeheid; b. Kualitas dari si pelaku; c. Kausalitas.
Ad. a. Sifat Melanggar Hukum Artinya bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah Ad. b. Kualitas Dari sipelaku
33
Kondisi atau posisi si pelaku yang medorong untuk melakukan suatu tindak pidana, contohnya adalah pelaku seorang aparatur sipil negara kemudian karena memiliki kewenangan
dia
melakukan
korupsi
dengan
menyalahgunakan kewenangannya. Ad. c. Kausalitas Artinya bahwa hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat Dibawah ini merupakan pandangan beberapa sarjana hukum mengenai unsur-unsur tindak pidana. Menurut Muljatno, yang kemudian dikutip oleh Erdianto Effendi, dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:30 a. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan manusia; b. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang; c. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum (melawan hukum); d. Harus dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan; e. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada si pembuat. B. Pengertian Aparatur Negara Aparatur Negara merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Governance) bersama dengan dunia usaha (Corporate Governance) dan masyarakat (Civil Society). Ketiga unsur tersebut harus berjalan selaras dan serasi dengan peran dan tanggung jawab masing-masing. 30
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm. 98
34
Ratna Hartati dalam tulisannya menyatakan bahwa:31 “Aparatur Negara adalah keseluruhan lembaga dan pejabat Negara yang meliputi aparatur kenegaraan dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bertugas dan bertanggung jawab atas peneyelnggaraan Negara dan pembangunan serta senantiasa mengabdi dan setia kepada kepentingan, nilai-nilai dan cita-cita perjuangan bangsa dan UndangUndang Dasar 1945.” Aparatur Negara adalah keseluruhan lembaga dan pejabat yang meliputi kenegaraan dan pemerintahan yang memiliki tugas dan tanggung jawab atas penyelenggaraan Negara dan pembangunan. Berikut adalah pendapat dari Dharma Setyawan mengenai aparatur negara: 32 “Aparatur Negara adalah pekerja yang digaji pemerintah, untuk melaksanakan tugas-tugas teknis pemerintahan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan ketentuan yang berlaku.” Berdasarkan pendapat dharma Setyawan maka dapat diartikan bahwa Aparatur Negara adalah pekerja yang digaji oleh pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat sesuai depan ketentuan yang berlaku. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan:
31
Ratna Hartati, Membangun Aparatur Sipil Negara (ASN) yang Handal Dalam Menjalankan Revolusi Mental, http://bdksemarang.kemenag.go.id/membangun-aparatur-sipilnegara-asn-yang-handal-dalam-menjalankan-revolusi-mental/, diakses pada Kamis, 06 April 2017 pukul 22:08 WIB 32 Dharma Setyawan, Manajemen Pemerintahan Indonesia,Djambatan, Jakarta, 2004, Hlm. 169
35
“Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah.” Instansi pemerintah sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terbagi menjadi 2 (dua) yaitu instansi pusat dan instansi daerah. Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara bahwa: “Instansi
Pusat
adalah
kementerian,
lembaga
pemerintah
nonkementreian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariaran lembaga nonstruktural. Dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara juga berisikan mengenai instansi daerah, yang berisi: “Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.” Aparatur Negara sebagai penyelenggara pemerintahan diberikan tanggun jawab untuk merumuskan langklah-langkah strategis dan upaya-
36
upaya kreatif guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara adil, demokratis, dan bermartabat. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara terdapat 13 asas dalam penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Asas Kepastian Hukum Asas Profesionalitas Asas Proporsionalitas Asas keterpaduan Asas Delegasi Asas Netralitas Asas Akuntabilitas Asas Efektif dan Efisien Asas Keterbukaan Asas Nondiskriminatif Asas Persatuan dan Kesatuan Asas Keadilan dan Kesetaraan Asas Kesejahteraan
Ad. a. Asas Kepastian Hukum Dalam setiap penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN, mengutamakan
landasan
peraturan
perundang-undangan,
kepatutan dan keadilan; Ad. b. Asas Profesionalitas Mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan; Ad. c. Asas Proporsionalitas Mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban pegawai ASN; Ad. d. Asas Keterpaduan
37
Pengelolaan Pegawai
ASN didasarkan pada satu sistem
pengelolaan yang terpadu secara nasional; Ad. e. Asas Delegasi Sebagian
kewenangan
pengelolaan
pegawai
ASN
dapat
didelegasikan pelaksanaannya kepada kementerian; Ad. f. Asas Netralitas Setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun; Ad. g. Asas Akuntabilitas Setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan pegawai ASN harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Ad. h. Asas Efektif dan Efisien Dalam menyelenggarakan Manajemen ASN sesuai dengan target atau tujuan dengan tepat waktu sesuai dengan perencanaan yang ditetapkan; Ad. i. Asas Keterbukaan Dalam penyelenggaraan Manajemen ASN bersifat terbuka untuk publik; Ad. j. Asas Nondiskriminatif Bahwa dalam penyelenggaraan Manajemen ASN, KASN tidak membedakan perlakuan berdasarkan jender, suku, agama, ras, dan golongan;
38
Ad. k. Asas Persatuan dan Kesatuan Bahwa pegawai ASN sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia; Ad. l. Asas Keadilan dan Kesetaraan Bahwa Pengaturan penyelenggaraan ASN harus mencerminkan rasa keadilan dan kesamaan untuk memperoleh kesempatan akan fungsi dan peran sebagai pengawas ASN; Ad. m. Asas Kesejahteraan Penyelenggaraan ASN diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kualitas hidup pegawai ASN; C. Pengertian, Unsur-Unsur, Penyebab, dan Aturan Mengenai Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Korupsi Istilah Korupsi berasal dari Bahasa Latin yaitu, Corruptio. Secara harfiah korupsi merupakan perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur, dan dikaitkan dengan keuangan. Korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Korupsi adalah produk dari sikap hidup suatu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan sebagai kekuasaan mutlak, akibatnya kaum koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang dapat masuk ke dalam golongan elite yang berkuasa dan sangat dihormati dan menduduki status sosial yang tinggi.
39
Korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Kartini Kartono berpendapat bahwa:33 “Jadi, korupsi merupakan suatu gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan demi kepentingan pribadi, salah urus terhadap sumbersumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri.” Dalam Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkn sebagai kejahatan biasa, tetapi telah menjadi kejahatan lua biasa (extraordinary crime). Istilah korupsi selama ini mengacu kepada berbagai asktivitas atau tindakan secara sembunyi-sembunyi dan ilegal untuk mendapatkan keuntungan demi kepentingan pribadi atau golongan, tetapi pada perkembangan selanjutnya terdapat penekanan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau kedudukan publik untuk kepentingan pribadi. Tindak Pidana korupsi
yang popular didefinisikan sebagai
penyalahgunaan kekuasaan (publik) untuk keuntungan pribadi pada dasarnya merupakan masalah ketidakadilan sosial, tetapi tidak ada teori
33
Kartini Kartono, Patologi Social Jilid I, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, Hlm. 90
40
keadilan ataupun litelatur tentang korupsi yang membahas korupsi sebagai bentuk ketidakadilan. Tindak Pidana korupsi adalah tindak pidana yang dimotivasi oleh kepentingan pribadi dan mengakibatkan tidak terwujudnya kesejahteraan umum. Tindak pidana korupsi mengancam pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial, konsolidasi demokrasi dan moral bangsa. Korupsi juga
mengikis
perwakilan
program-program
pembangunan
dan
mengurangi masalah-masalah kemanusiaan. Meluasnya tindak pidana korupsi
menimbulkan persepsi
masyarakat
bahwa
korupsi
dapat
menjatuhkan legitimasi dan kepercayaan terhadap pemerintahan. Banyak ragam definisi tentang korupsi, dari beragam definisi tersebut korupsi disimpulkan sebagai perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal yang menyangkut tindakan seseorang yang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan, dan status. Dilihat dari ragamnya, korupsi sebagaimana dinyatakan Yves Meny yang kemudian dikutip oleh Muhammad Yamin ada empat macam yaitu:34 a. Korupsi jalan pintas; b. Korupsi-upeti; c. Korupsi-kontrak; d. Korupsi –pemerasan. 34
210
Muhammad Yamin, tindak Pidana Khusus, Pustaka Setia, Bandung, 2012, Hlm. 209-
41
Ad. a. Korupsi Jalan Pintas. Banyak dipraktikan dalam kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik, sektor ekonomi membayar untuk keuntungan politik. Termasuk dalam kategori ini adalah kasus para pengusaha
menginginkan
agar
UU
perburuhan
tertentu
diberlakukan; atau peraturan-peraturan yang menguntungkan usaha tertentu untuk tidak direvisi, dan partai-parai poklitik mayoritas memperoleh uang sebagai balas jasa; Ad. b. Korupsi-upeti. Bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Berkat jabatan tersebut, seseorang mendapatkan persentase dari berbagai kegiatan, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, bahkan upeti dari bawahan, kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara, termasuk dalam upaya mark up. Jenis korupsi yang pertama dibedakan menjadi dari yang kedua karena sifat institusional politiknya lebih menonjol. Money politics termasuk dalamkategori pertama meskipun pertukarannya bukan langsung dari sektor ekonomi; Ad. c. Korupsi-kontrak. Korupsi ini tidak bisa dilepaskan dari upaya mendapatkan proyek atau pasar. Termasuk dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas pemerintah;
42
Ad. d. Korupsi-pemerasan. Korupsi ini sangat terkait dengan jaminan keamanan dan urusanurusan gejolak intern maupun dari luar; perekrutan perwira menengah Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau poklisi menjadi manajer human resource departement atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris perusahaan. Penggunaan jasa keamanan seperti di Exxon Mobil di Aceh atau Freeport di Papua adalah contoh yang mencolok. Termasuk dalam kategori ini membuka kesempatan pemilikan saham kepada “orang tua” tertentu. Dengan penyebutan ragam yang hampir sama, Amien Rais membagi jenis korupsi yang harus diwaspadai dan dinilainya telah merajalalea menjadi empat tipe, sebagaimana diktuip oleh Muhammad Yamin yaitu:35 a.
Kourpsi ekstortif (extortive corruption);
b.
Korupsi manipulatif (manipulative corruption);
c.
Korupsi neopotistik (neopotistic corruption);
d.
Korupsi subversif.
Ad. a. Korupsi ekstortif (extortive corruption). Korupsi ini merujuk pada situasi yang menyebabkan seseorang terpaksa menyogok untuk memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Sebagai contoh, seorang pengusaha terpaksa memberikan 35 35
Muhammad Yamin, Ibid, Hlm. 210-211
43
sogokan (bribery) pada pejabat tertentu agar bisa mendapat izin usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan sampai miliaran rupiah; Ad. b. Korupsi manipulatif (manipulative corruption). Jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan setinggi- tingginya. Sebagai contoh, seorang atau sekelompok konglomerat memberi uang pada bupati, gubernur, menteri, dan sebagainya agar peraturan yang dibuat dapat menguntungkan mereka. Jika peraturan-peraturan yang keluar akan merugikan rakyat banyak, tentu bukan urusan para koruptor tersebut; Ad. c. Korupsi neopotistik (neopotistic corruption). Korupsi jenis ini merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak-anak, keponakan, atau saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan preferential treatment itu, para anak, menantu, keponakan dan istri sang pejabat dapat memperoleh untung sebanyak-banyaknya. Korupsi neopotistik pada umunya berjalan dengan melanggar turan main yang sudah ada. Akan tetapi, pelanggaran-pelanggaran itu tidak dapat dihentikan karena dibelakang korupsi neopotistik itu berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum.
44
Ad. d. Korupsi subversif. Korupsi ini berbentuk pencurian terhadap kekayaan negara yang dilakukan okeh para pejabat negara. Dengan menyalahgunakan wewenang dan kekuasaanya, mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif atau destrktif terhadap negara karena negara telah dirugikan secara besarbesaran dan dalam jangka panjang dapat membahayakan eksistensi negara. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi Dalam setiap tindak pidana terdapat unsur-unsur yang dapat diajabarkan, begitupun dengan tindak pidana korupsi yang memiliki unsurunsur tindak pidana korupsi. Muhammad Yamin berpendapat mengenai unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: 36 a.
36
Pelaku (subjek), sesuai dengan Pasal 2 ayat (1). Unsur ini dapat dihubungkan dengan pasal 20 ayat (1) sampai (7), yaitu: 1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya; 2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersevut baik sendiri maupun bersama-sama; 3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus; 4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain;
Muhammad Yamin , Ibid, Hlm. 211-212
45
5.
b. c. d. e.
Hakim dapat memerintah supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintah supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan; 6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor; 7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Melawan hukum baik formil maupun materil; Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara; Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam keadaan terntentu, pidana mati dapat diajatuhkan.
Ad. a. Pelaku Pelaku adalah mereka yang melakukan, mereknya yang menyuruh lakukan, dan turut serta melakukan dan mereka yang menganjurkan orang lain melakukan perbuatan. Ad. b. Melawan hukum baik formil ataupun materil Artinya bahwa tindakan yang dilakukan oleh pelaku merupakan perbuatan yang melawan hukum baik formil ataupun materil. Ad. c. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi Artinya bahwa setiap tindakan yang dilakukannya dapat memberikan keuntungan bagi diri sendiri ataupun orang lain atau korporasi Ad. d. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara
46
Artinya bahwa tindakannya itu dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Ad. e. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat diajatuhkan. Artinya bahwa yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” yaitu dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindakan tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undangundang yang berlaku, pada bwaktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. Mengenai penyalahgunaan wewenang/ kekuasaan, diatur dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang berisi:37 “Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri ataupun orang lain atau suatu korporasi, meyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara paling sedikit 1(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (Satu milar rupiah)”
37
Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana korupsi, Citra Umbara, Bandung, 2016, hlm. 3
47
Berdasarkan rumusan Pasal 3 diatas maka dapat diketahui bahwa unsur-unsur
tidak
pidana
korupsi
“penyalahgunaan
kewenangan/
kekuasaan yaitu: a. Dengan maksud; b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan; c. Menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan d. Dapat merugikan keuangan/ perekonomkian Negara. Adapun
penjelasan
mengenai
unsur-unsur
diatas
yang
dikemukakan oleh Ledeng Marpung adalah:38 a. Dengan maksud Rumusan tersebut adalah rumusan dolus (dengan sengaja). Dalam ilmu hukum pidana dikenal 3 (tiga) bentuk sengaja yakni: 1) Sengaja sebagai maksud; 2) Sengaja dengan keinsyafan pasti; 3) Sengaja dnegan keinsyafan kemungkinan yang lazim disebut dolus eventualis. Karena unsur “sengaja” dirumuskan didepan maka dolus tersebut mencakup semua unsur-unsur lainnya; b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan. Keuntungan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi merupakan keuntungan yang dapat dihitung dengan uang karena akibat yang ditimbulkanm berupa kerugian keuangan negara, meskipun akibat lebih jauh dapat berupa kerugian perekonomian negara tetapi karena pemakaian uang yang tidak jujur. Berdasarkan rumusan “diri sendiri; atau orang lain atau suatu korporasi” maka rumusan tersebut bermakna secara 38
Ledeng Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan, Jakarta, 2009, Hlm. 37-40
48
alternatif artinya salah satu yang diuntungkan maka unsur tersebut telah dipenuhi. Namun secara realita memerlukan pengungkapan agar kenyataan yang sebenarnya diketahui berapa keuntungan sendiri, berapa keuntungan orang lain, berapa keuntungan korporasi; c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan Pengertian “jabatan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia antara lain:39 1) Pekerjaan tugas dalam pemerintahan atau organisasi; 2) Fungsi; 3) Dinas jawatan; Sedang “kedudukan” dimuat artinya:40 Kata “jabatan” dan “kedudukan” jika dikaitkan dengan pengertian “keuangan Negara” atau “perekonomian negara” maka tidak dapat terlepas dari “managemen” sehingga “jabatan” dan “kedudukan" berada dalam ruang lingkup perencanaan dan pengawasan. Tetapo “pengawasan” dalam hal ini tidak dapat dimasukkan karena pasal 3 tidak termasuk unsur kelalaian, melainkan unsur “sengaja”. Itulah sebabnya Kepala Jawatan/Kepala Dinas yang berperan selaku pengawas jika dijadikan terdakwa sering dibebaskan oleh Pengadilan. d. Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dimaksudkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban, misalnya: 1) A diwajibkan melaksanakan suatu pekerjaan. Ternyata pekerjaan baru selesai 40%, telah dinyatakan 100%; 2) B ditugaskan membeli 100 mesin baru, ternyata yang dibeli 100 mesin bekas. e. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara. Pengertian “keuangan/perekonomian negara” telah dimuat pada penjelasan umum dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Kata “dapat” sebagaimana dimuat pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) antara lain sebagai berikut:
39
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/jabat, diakses pada kamis, tanggal 25 Mei 2017 pada pukul 14:56 WIB 40 Ledeng Marpaung Op cit, hlm. 38
49
“dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa merugikan keuangan negara menunjukan bahwa tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.” Hal ini memang merupakan hal yang selalu diperdebatkan pada penerapan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, yang sering ditafsirkan adanya pembuktian nyata tentang “kerugian keuangan/ perekonomian negara” artinya harus dibuktikan bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan/perekonomian negara. 3. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi Secara garis besar penyebab korupsi dapat dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal, menurut peni Nurhidayati dalam artikelnya yaitu:41 a. Faktor internal, merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri, yang dapat dirinci menjadi: 1) Aspek Perilaku Individu a) Sifat tamak/ rakus manusia; b) Moral yang kurang kuat; c) Gaya hidup yang konsumtif. 2) Aspek Sosial Perilaku korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya. b. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku. 1) Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap
41
Peni Nurhidayati,Korupsi, https://peninurhidayati.wordpress.com/makalah/korupsi/, diakses pada Jumat 5 Mei 2017, pukul 14:45 Wib
50
masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena : 2) Aspek ekonomi Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada kemung-kinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi. 3) Aspek Politis Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi. 4) Aspek Organisasi a) Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan; b) Tidak adanya kultur organisasi yang benar; c) Kurang memadainya sistem akuntabilitas; d) Kelemahan sistem pengendalian manajemen; e) Lemahny apengawasan. Ad a) Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal
mempunyaipengaruh
penting
bagi
bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya. Ad b) Tidak adanya kultur organisasi yang benar
51
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi. Ad c) Kurang memadainya sistem akuntabilitas Institusi pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan
dengan
jelas
visi
dan
misi
yang
diembannya, dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi. Ad d) Kelemahan sistim pengendalian manajemen Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi
tindak
organisasi.
pelanggaran Semakin
korupsi
longgar/lemah
dalam
sebuah
pengendalian
manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka
52
perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya. Ad e) Lemahnya pengawasan Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan
pada
berbagai
instansi,
kurangnya
profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh pengawas sendiri. 4. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi a.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Keberadaan tindak pidana korupsi dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama, yaitu sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (wetboek van Strafcrecht) 1 Januari 1918. Keberadaan tindak pidana tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435. Delik korupsi yang merupakan delik jabatan tercantum dalam Bab XXVIII Buku II KUHP, sedang delik korupsi yang ada kaitannya
53
dengan delik jabatan seperti dalam pasal 209 dan 210 (orang yang menyuap pegawai negeri atau lazim disebut (active omkoping), berada dalam bab yang lain. b.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Penyelenggara Negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Sayangnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme selalu melibatkan penyelenggara Negara, baik dilakukan oleh antar penyelenggara Negara dan juga antara penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni dan pengusaha. Hal ini berakibat pada rusaknya sendi-sendi kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara serta membahayakan eksistensi negara. Undang-undang nomor 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dibentuk untuk menyelamatkan dan menormalisasi kehidupan nasional sesuai dengan tuntutan reformasi. Sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 1 angka 1 sampai dengan 6 Undang-undang nomor 28 Tahun 1999, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara, Penyelenggara Negara yang Bersih, Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik, adalah sebagai berikut:42
42
Undang-undang No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Citra Umbara, Bandung, 2016, hlm. 150-151
54
1) “Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislative atau yudikaif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peratuan perundang-undangan yang berlaku; 2) Penyelenggara yang Bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan Negara dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta perbuatan tercela lainnya. 3) Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 4) Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara Negara sbeagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-UndangNegara atau penyelenggara Negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, bangsa dan Negara. 5) Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenngara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan keluarganya dan atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, bagsa, dan Negara. 6) Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik adalah asas yang menjunjung tinggi norma klesusilaan, kepatutan, dan nomra hukum, untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang Bersih, dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Bahwa didalam Pasal 1 angka 1 sampai dengan 6 UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 menjelaskan mengenai pengertianpengertian
apa
yang
dimaksud
dari
istilah-istilah
seperti
Penyelenggara Negara, Penyelenggara Negara yang Bersih, Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Asas Umum Pemerintahan yang baik. Penyelenggara Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 , meliputi:43 1) “Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara 2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara 3) Menteri 43
Citra Umbara Ibid, hlm. 151
55
4) Gubernur 5) Hakim 6) Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku 7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999, terdapat 7 (tujuh) asas yang merupakan asas-asas umum penyelenggara Negara, Yakni:44 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
“Asas kepastian hukum; Asas tertib penyelenggara; Asas kepentingan umum; Asas keterbukaan; Asas proposionalitas; Asas profesionalitas; Asas akuntabilitas.”
Ad 1) Asas Kepastian Hukum Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan
dan
keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggara negara; Ad 2) Asas tertib Penyelenggara Asas tertib penyelenggara Negara adalah asas yang menjadi
landasan
keteraturan,
keserasian
dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara. Ad 3) Asas Kepentingan Umum
44
Citra Umbara, Ibid, hlm.152
56
Asas
kepentingan
hukum
adalah
asas
yang
mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif. Ad 4) Asas Keterbukaan Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dngan tetap mempertahankan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara. Ad 5) Asas proposionalitas Asas Proposionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara Ad 6) Asas Profesionalitas Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandasan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Ad 7) Asas Akuntabilitas Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap
kegiatan
dan
hasil
akhir
dari
kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggunjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
57
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan indak Pidana Korupsi dimaksudkan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi dan diharapkan mampu untuk memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan Negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya. Penjelasan umum undang-undang ini merumuskan bahwa keuangan Negara adalah seluruh kekayaan Negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak terpisahkan, termasuk didalamnya segala bagian keakyaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: 1) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat negara, baik di tingkat pusat maupun daerah; 2) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggunjawaban Badan Usaha Milik Negara/Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.
58
d.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara luas tidak saja menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai
(extraordinary
crime)
yang
pemberantasannya
harus
dilakukan secara luar biasa. Salah satu pertimbangan dirubahnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentnag Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam meberantas tindak pidana korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut: 1) Tindak pidana korupsi dirumuskan secara lebih tegas sebagai delik formil, dengan demikian unsur perbuatan lebih utama dibuktikan daripada unsur akibat dari perbuatan tersebut. Hal ini sangat penting dalam proses pembuktian, oleh karena itu dalam tindak pidana korupsi, pengmebalian hasil tindak pidana korupsi
59
tidak mengesampingkan pengajuan pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan dan juga tidak mengesampingkan penjatuhan pidana kepada pelaku. 2) Perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum adalam pengertian formil dan materil, dalam hal ini perbuatan tecela dan yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. 3) Subjek tindak pidana korupsi adalah perseorangan dan korporasi 4) Adanya perluasan pengertian pegawai negeri dari dimasukkannya orang yang menerima gaji dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyrakat 5) Ancaman pidana terhdap pelaku tindak pidana korupsi adalah adanya pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi dan pidana mati sebagai pengganti ketidakmampuan 6) Dimasukannya unsur keadaan tertentu sebagai unsur oemberta dalam penjatuhan kepada pelaku tindak pidana korupsi terhadap dana yang diperuntukan bagi penanggulangan keadaan bahaya/ bencana alam, penanggulangan terhadap kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter dan penanggulangan terjadap korupsi. Unsur ini dapat dijadikan pertimbangan penjatuhan hukuman mati Beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentnag
60
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah sebagai berikut: 1) Perbuatan melawan hukum, yaitu memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koprporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara; 2) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk tujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau koprporasi; 3) Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya; 4) Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim atau advokat; 5) Perbuatan curang yan gmembahayakan keamanan orang atau barang berkaitan dengan perbuatan bangunan dan penjualan bahan bangunan; 6) Menggelapkan uang atau surat berharga; 7) Memalsukan
buku-buku
atau
daftar-daftar
khusus
untuk
pemeriksaan administrasi; 8) Dan lain-lain perbuatan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 - 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentan Pembberantasan Tindak Pidana Korupsi
61
e.
Undang-Undang
Nomor
30
Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana koruspi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan, untuk itu diperlukan metode pendekatan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang memiliki kewenangan independen serta bebas dari kekuasaan maupun dalam
upaya
pemberantasan
tindak
pidan
akorupsi
yang
pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Badan khusus tersebut dibentuk berdasarkan ketentuan dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa:45 1) Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undangundang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 2) Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervise, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; 3) Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat; 4) Ketetuan mengenai pembentukan, susunan oraganisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimakusd dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan undang-undang. 45
Citra Umbara, Ibid, hlm. 17
62
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan bersifat tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Tujuan dibentuknya KPK adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantsan tindak pidana korupsi. f.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Convention Againts Corruption 2003 Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsipprinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas dan integritas serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia, oleh kaena itu korupsi merupakan tindak pidan ayang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh,m
sistematis
pemberantasan
tindak
dan
pidana
internasional. korupsi
Pencegahan
memerlukan
dan
dukungan
manajemn atas pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan khusus yang sudah berlaku sejak tahun 1957 dan telah diubah sebanyak lima kali, namun peraturan perundang-undangan tersebut melum memadai. Hal ini antara lain disebabkan karena belum adanya kerja sama internasional.
63
Pemerintah republik indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di
Markas
Besar
Perserikatan
Bangsa
Bangsa
telah
ikut
menandatangani Konvensi PBB tentang Anti Korupsi yang telah diadopsi oleh sidang 58 Majelis umum melalui resolusi No. 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003. Ratifikasi Konvensi PBB tersebut merupakan komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik Internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi konvensi tersebut antara lain: 1) Untuk meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan diluar negeri; 2) Meningkatkan kerjsa sama Internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik; 3) Meningkatkan kerja sama Internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana dan kerja sama penegak hukum 4) Mendorong terjadinya
kerja sama eknik dan pertukaran
inforamasi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dibawah payung kerja sama pembangunan ekonomi dan bantuan knis pada lingkup bilateral, regional dan multilateral.