BAB II LANDASAN TEORITIS
2.1 Kecelakaan Kerja 2.1.1 Pengertian Kecelakaan Kerja Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang kembali. Menurut Suma’mur. (2009), World Health Organization (WHO) mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dipersiapkan penanggulangan sebelumnya sehingga menghasilkan cedera yang riil. Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda (Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor: 03/Men/1998). Menurut OHSAS, (18001, 1999) (dalam Shariff, 2007), kecelakaan kerja adalah suatu kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda atau kerugian waktu. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian baik korban manusia maupun harta benda. Sedangkan menurut UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan sejak berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
2.1.2 Teori Kecelakaan Kerja Teori kecelakaan kerja adalah suatu kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian, luka-luka, kerusakan harta milik atau kerugian waktu. Salah satu teori yang berkembang untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan kerja menurut H.W. Heinrich. (1980) yang dikenal sebagai teori Domino Heinrich. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan, yaitu: (1) kondisi kerja, (2) kelalaian manusia, (3) tindakan tidak aman, (4) kecelakaan, dan (5) cedera. Kelima faktor ini tersusun seperti kartu domino yang diberdirikan. Jika satu kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama. Ilustrasi ini mirip dengan efek domino, jika satu bangunan roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang menyebabkan robohnya bangunan lain. Menurut
Heinrich,
kunci
untuk
mencegah
kecelakaan
adalah
dengan
menghilangkan tindakan tidak aman yang merupakan poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan yang menyumbang 98% terhadap penyebab kecelakaan. Jika dianalogikan dengan kartu domino, maka jika kartu nomor 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomor 1 dan 2 jatuh maka tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu. Dengan adanya jarak antara kartu kedua dengan kartu keempat, maka ketika kartu kedua terjatuh tidak akan sampai menimpa kartu nomor 4. Akhirnya kecelakaan pada poin 4 dan cedera pada poin 5 dapat dicegah. Teori Frank E. Bird Petersen. (1985) mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian jiwa serta kerusakan harta benda dan biasanya terjadi sebagai akibat dari adanya kontak dengan sumber energi yang melebihi ambang batas atau struktur. Teori ini memodifikasi teori Domino Heinrich dengan mengemukakan teori manajemen yang berisikan lima faktor dalam urutan suatu kecelakaan, antara lain: a. Manajemen kurang control b. Sumber penyebab utama c. Gejala penyebab langsung
d. Kontak peristiwa e. Kerugian gangguan (tubuh maupun harta benda)
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja yang terjadi Suma’mur. (2009) disebabkan oleh dua faktor, yaitu: 1.
Faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan meliputi aturan kerja, kemampuan pekerja (usia, masa kerja/pengalaman, kurangnya kecakapan dan lambatnya mengambil keputusan), disiplin kerja, perbuatanperbuatan yang mendatangkan kecelakaan, ketidakcocokan fisik dan mental. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh pekerja dan karena sikap yang tidak wajar seperti terlalu berani, sembrono, tidak mengindahkan instruksi, kelalaian, melamun, tidak mau bekerja sama, dan kurang sabar. Kekurangan kecakapan untuk mengerjakan sesuatu karena tidak mendapat pelajaran mengenai pekerjaan. Kurang sehat fisik dan mental seperti adanya cacat, kelelahan dan penyakit. Diperkirakan 85% darikecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh faktor manusia. Hal ini dikarenakan pekerja itu sendiri (manusia) yang tidak memenuhi keselamatan seperti lengah, ceroboh, mengantuk, lelah dan sebagainya.
2.
Faktor mekanik dan lingkungan, letak mesin, tidak dilengkapi dengan alat pelindung, alat pelindung tidak pakai, alat-alat kerja yang telah rusak. Faktor mekanis dan lingkungan dapat pula dikelompokkan menurut keperluan dengan suatu maksud tertentu. Misalnya di perusahaan penyebab kecelakaan dapat disusun menurut kelompok pengolahan bahan, mesin penggerak dab pengangkat, terjatuh di lantai dan tertimpa benda jatuh, pemakaian alat atau perkakas yang dipegang dengan manual (tangan), menginjak atau terbentur barang, luka bakar oleh benda pijar dan transportasi. Kira-kira sepertiga dari kecelakaan yang menyebabkan kematian dikarenakan terjatuh, baik dari tempat yang tinggi maupun di tempat datar. Lingkungan kerja berpengaruh besar terhadap moral pekerja. Faktor-faktor keadaan lingkungan kerja yang penting dalam kecelakaan kerja terdiri dari pemeliharaan rumah tangga (house keeping), kesalahan disini terletak pada rencana tempat kerja, cara menyimpan bahan baku dan alat kerja tidak pada tempatnya, lantai yang kotor dan licin.
Ventilasi yang tidak sempurna sehingga ruangan kerja terdapat debu, keadaan lembab yang tinggi sehingga orang merasa tidak enak kerja. Pencahayaan yang tidak sempurna misalnya ruangan gelap, terdapat kesilauan dan tidak ada pencahayaan setempat.
2.1.4 Klasifikasi Kecelakaan Kerja Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tahun 1962 dalam Suma’mur, (1987), klasifikasi kecelakaan kerja sebagai berikut: 1. Berdasarkan jenis pekerjaan a) Terjatuh b) Tertimpa benda jatuh c) Tertumbuk atau terkena benda-benda d) Terjepit oleh benda e) Gerakan-gerakan melebihi kemampuan f) Pengaruh suhu tinggi g) Terkena arus listrik h) Kontak bahan berbahaya atau radiasi 2. Berdasarkan penyebab a) Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik, mesin penggergajian kayu, dan sebagainya. b) Alat angkut dan angkat, misalnya mesin angkat dan peralatannya, alat angkut darat, udara dan air c) Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin, alat-alat listrik, bejana bertekanan, tangga, scaffolding dan sebagainya. d) Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak, debu, gas, zat-zat kimia, dan sebagainya. e) Lingkungan kerja (diluar bangunan, didalam bangunan dan dibawah tanah).
3. Berdasarkan sifat luka atau kelainan a) Patah tulang b) Dislokasi (keseleo) c) Regang otot d) Memar dan luka dalam yang lain e) Amputasi f) Luka di permukaan g) Gegar dan remuk h) Luka bakar i) Keracunan-keracunan mendadak j) Pengaruh radiasi 4. Berdasarkan letak kelainan atau luka di tubuh a) Kepala b) Leher c) Badan d) Anggota atas e) Anggota bawah f) Banyak tempat g) Letak lain yang tidak dapat dimasukan klasifikasi tersebut
2.1.5 Kerugian oleh karena Kecelakaan Korban kecelakaan kerja mengeluh dan menderita, sedangkan sesama pekerja ikut bersedih dan berduka cita. Kecelakaan seringkali disertai terjadinya luka, kelainan tubuh, cacat bahkan juga kematian. Gangguan terhadap pekerja demikian adalah suatu kerugian besar bagi pekerja dan juga keluarganya serta perusahaan tempat ia bekerja.
Tiap kecelakaan merupakan suatu kerugian yang antara lain tergambar dari pengeluaran dan besarnya biaya kecelakaan. Biaya yang dikeluarkan akibat terjadinya kecelakaan seringkali sangat besar, padahal biaya tersebut bukan sematamata beban suatu perusahaan melainkan juga beban masyarakat dan negara secara keseluruhan. Biaya ini dapat dibagi menjadi biaya langsung meliputi biaya atas P3K, pengobatan, perawatan, biaya angkutan, upah selama tidak mampu bekerja, kompensasi cacat, biaya atas kerusakan bahan, perlengkapan, peralatan, mesin dan biaya tersembunyi meliputi segala sesuatu yang tidak terlihat pada waktu dan beberapa waktu pasca kecelakaan terjadi, seperti berhentinya operasi perusahaan oleh karena pekerja lainnya menolong korban, biaya yang harus diperhitungkan untuk mengganti orang yang ditimpa kecelakaan dan sedang sakit serta berada dalam perawatan dengan orang baru yang belum biasa bekerja pada pekerjaan di tempat terjadinya kecelakaan. Suma’mur. (2009).
2.1.6 Pencegahan Kecelakaan Kerja Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan tentang penyebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan pada suatu perusahaan diketahui dengan mengadakan analisis setiap kecelakaan yang terjadi. Metode analisis penyebab kecelakaan harus benar-benar diketahui dan diterapkan sebagaimana mestinya. Selain analisis mengenai penyebab terjadinya suatu peristiwa kecelakaan, untuk pencegahan kecelakaan kerja sangat penting artinya dilakukan identifikasi bahaya yang terdapat dan mungkin menimbulkan insiden kecelakaan di perusahaan serta mengases besarnya risiko bahaya. Pencegahan kecelakaan kerja Suma’mur. (2009) ditujukan kepada lingkungan, mesin, peralatan kerja, perlengkapan kerja dan terutama faktor manusia. 1. Lingkungan Syarat lingkungan kerja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: a. Memenuhi syarat aman, meliputi higiene umum, sanitasi, ventilasi udara, pencahayaan dan penerangan di tempat kerja dan pengaturan suhu udara ruang kerja
b. Memenuhi syarat keselamatan, meliputi kondisi gedung dan tempat kerja yang dapat menjamin keselamatan c. Memenuhi penyelenggaraan ketatarumahtanggaan, meliputi pengaturan penyimpanan barang, penempatan dan pemasangan mesin, penggunaan tempat, dan ruangan 2. Mesin dan peralatan kerja Mesin dan peralatan kerja harus didasarkan pada perencanaan yang baik dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Perencanaan yang baik terlihat dari baiknya pagar atau tutup pengaman pada bagian-bagian mesin atau perkakas yang bergerak, antara lain bagian yang berputar. Bila pagar atau tutup pengaman telah terpasang, harus diketahui dengan pasti efektif tidaknya pagar atau tutup pengaman tersebut yang dilihat dari bentuk dan ukurannya yang sesuai terhadap mesin atau alat serta perkakas yang terhadapnya keselamatan pekerja dilindungi. 3. Perlengkapan kerja Alat pelindung diri merupakan perlengkapan kerja yang harus terpenuhi bagi pekerja. Alat pelindung diri berupa pakaian kerja, kacamata, sarung tangan, yang kesemuanya harus cocok ukurannya sehingga menimbulkan kenyamanan dalam penggunaannya. 4. Faktor manusia Pencegahan kecelakaan terhadap faktor manusia meliputi peraturan kerja, mempertimbangkan batas kemampuan dan ketrampilan pekerja, meniadakan halhal yang mengurangi konsentrasi kerja, menegakkan disiplin kerja, menghindari perbuatan
yang mendatangkan
kecelakaan
serta
menghilangkan
adanya
ketidakcocokan fisik dan mental.
2.2 Pengertian Bahaya Bahaya adalah segala termasuk situasi atau tindakan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia, kerusakn atau gangguan lainnya. Karena
hadirnya bahaya maka diperlukan upaya pengendalian agar bahaya tersebut tidak menimbulkan akibat yang merugikan. Ramli. (2010).
2.2.1 Jenis-Jenis Bahaya Ditempat umum banyak terdapat sumber bahaya seperti perkantoran, tempat rekraasi, mal, jalan raya, sarana olahraga dan lain-lain. Di tempat kerja juga banyak jenis bahaya seperti di pertambangan, pabrik kimia, kilang minyak, pengecoran logam dan lainnya. Kika tidak dapat mencegah kecelakaan jika tidak dapat mengenal bahaya dengan baik dan seksama. Jenis bahaya dapat diklasifikasikan antara lain. Ramli, (2010). a) Bahaya Mekanis Bahaya mekanis bersumber dari peralatan mekanis atau benda bergerak dengan gaya mekanika baik yang digerakkan secara menual maupun dengan penggerak. Misalnya mesin gerinda, bubut, potong, press, tempat, pengaduk, mesin pengecekan ban, alat berat. b) Bahaya Listrik Sumber bahaya yang berasal dari energy listrik. Energi listrik dapat mengakibatkan berbagai bahaya seperti kebakaran, sengat listrik, dan hubungan arus pendek. Dilingkungan kerja banyak ditemukan bahaya listrik, baik dari jaringan listrik, maupun peralatan kerja atau mesin yang menggunakan energi listrik. c) Bahaya Kimiawi Bahan kimia mengandung berbagai potensi bahaya sesuai dengan sifat dan kandungannya. Banyak kecelakaan terjadi akibat bahan kimiawi. d) Bahaya Fisik Bahaya yang berasal dari faktor fisik diantaranya: karena getaran, tekanan, gas, kebisingan, suhu panas atau dingin, cahaya penerangan, radiasi dari bahan radioaktif.
2.2.2 Sejarah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara filosofi didefinisikan sebagai “Upaya dan pemikiran untuk menjamin keutahan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohaniah dari manusia pada umumnya dan tenaga kerja pada khususnya beserta hasil karyanya dalam rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera”. Secara keilmuan, K3 didefinisikan sebagai “Ilmu dan penerapan secara teknis dan tenologis untuk melakukan pencegahan terhadap munculnya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dari setiap pekerjaan yang dilakukan”. Dari sudut pandang illmu hukum, K3 didefinisikan sebagai “Suatu upaya perlindungan agar setiap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja senantiasa dalam keadaan yang sehat dan selamat serta sumber-sumber proses produksi dapat dijalankan secara aman, efisien dan produktif”. Tarwaka. (2008). Dari berbagai literature yang ada, dapat diberikan gambaran secara ringkas tentang sejarah perkembangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai berikut:
Sekitar tahun 1700 Sebelum Masehi, Raja Hamurabai dari kerjaan Babylonia dalam
kitab Undang-Undangnya,
salah satu
pasalnya
menyatakan bahwa “Bila seorang ahli bangunan membuat rumah untuk seseorang dan pembuatannya tidak dilaksanakan dengan baik, sehingga rumah itu roboh dan menimpa pemilik rumah hingga mati, maka ahli bangunan tersebut akan dibunuh.
Pada zaman Mozal lebih kurang 5 abad setelah Raja Hamurabi, dalam Undang-Undangnya dinyatakan bahwa “Ahli bangunan bertanggung jawab atas keselamatan para pelaksana dan pekerjanya, dengan menetapkan pemasangan pagar pengaman pada setia sisi luar dari atap rumah”.
Setikar tahun 80 sesudah Masehi, seorang ahli Encyclopedia dari bangsa Roma yang bernama PLINIUS, mensyaratkan agar para pekerja tambang harus memakai tutup hidung atau masker karena banyaknya debu ditempat kerja tambang tersebut.
Pada tahun 1450 Masehi, Dominico Fontana diserahi tugas penting untuk membangaun Obelisk di tengah lapangan St. Pieter Roma. Untuk hal tersebut ia selalu mensyaratkan agar para pekerjanya memakai topi baja
untuk melindungi kepalanya. Demikian seterusnya, komitmen para ahli terus berlajut untuk memberikan perlindungan keselamatan dana kesehatan bagi orang yang terlibat dalam setiap usaha yang dilakukannya.
Sejak terjadinya revolusi industry di Negara Inggris Raya, dimana begitu banyak terjadi kasus-kasus kecelakaan yang membawa banyak korban, maka para pengusaha pada waktu itu berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bagian dan pekerjaan yang harus ditanggung oleh para pekerja itu sendiri. Pada mulanya tidak ada langkah yang diambil untuk mengurangi dan penderitaan para korban.
Pada tahun 1931, Heinrich, H.W. dalam bukunya yang sangat terkenal berjudul “INDUSRIAL ACCIDENT PREVENTION”, mempelopori dan memperkenalkan prinsip-prinsip mendasar bagi program keselamatan kerja yang berlaku hingga saat sekarang ini. Berangkat dari pemikiran Heinrich tersebut, maka gerakan keselamatan dan kesehatan kerja selanjutnya dapat dilakukan secara terorganisir dan terarah.
Pada tahun 1970, pemerintah Indonesia mengundangkan suatu UndangUndang yaitu Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Hal ini menunjukan bahwa perlindungan hak untuk dapat bekerja secara aman, sehat dan produktif merupakan hak semua orang yang harus dijunjung tinggi.
Pada tahun 1991, Amerika Serikat memverlakukan undang-undang Worl’s Compensation Law, dimana dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa tidak memandang apakah kecelakaan terjadi akibat kesalahan korban atau tidak, dan yang bersangkuran akan mendapat ganti rugi, bila kecelakaan yang menimpanya terjadi dalam pekerjaan. Sementara itu, pemerintah Indonesia pada tahun 1992, melakukan hal serupa dengan mengeluarkan undang-undang tentang Jaminan Sosial Tenanga Kerja.
2.2.3 Keselamatan dan Kesehatan Kerja Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah ilmu dan penerapannya secara tekhnis dan tekhnologi untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya kecelakaan akibat kerja dan penyakit akibat kerja dari proses perusahaan. K3 adalah
upaya dan pemikiran untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani dan rohani tenaga kerja beserta hasil karyanya dalam rangka menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Tarwaka. (2008). Paparan dan ruang lingkup secara menyeluruh dari setiap aspek Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja dijabarkan sebagai berikut: a)
Keselamatan Kerja.
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berhubungan dengan aktifitas saat melakukan pekerjaan di tempat kerja. Aktifitas tersebut berhubungan dengan bahan dan proses pengolahan, mesin, pesawat, alat kerja, prosedur kerja dan lingkungan kerja serta cara-cara melakukan pekerjaan dalam proses produksi. Tarwaka, (2008). Tujuan dari keselamatan kerja adalah melindungi tenaga kerja dan semua orang yang berada di tempat kerja agar terhindar dari bahaya sehingga tercapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Undang-undang nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja adalah peraturan peundangan dasar dalam penerapan keselamatan kerja di tempat kerja. Ruang lingkup berlakunya undang-undang ini ditentukan oleg tiga unsur, yaitu: 1. Tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha. 2. Adanya tenaga kerja yang bekerja disana. 3. Adanya bahaya kerja di tempat kerja. Dengan terpenuhinya peraturan perundangan keselamatan kerja akan tercipta keamanan, kenyamanan dan keselamatan kerja di tempat kerja. Syarat-syarat keselamatan kerja seperti tersebut pada Pasal 3 (1) UU Keselamatan kerja dimaksudkan untuk: 1. Mencegaha dan mengurangi kecelakaan 2. Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran 3. Memberi kesempatan atau jalan penyelematan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang membahayakan 4. Memberi pertolongan pada kecelakaan 5. Memberi alat pelindung diri pada para pekerja
6. Mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, aliran udara, cuaca, sinar radiasi, kebisingan dan getaran 7. Mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik maupun psikis, peracunan, infeksi dan penularan 8. Memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai 9. Menyelenggarakan suhu dan kelembaban udara yang baik 10. Menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup 11. Memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban 12. Menerapkan ergonomic ditempat kerja 13. Mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan 14. Mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar muat perlakukan dan penyimpanan barang 15. Mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya 16. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi b. Kesehatan Kerja. Kesehatan kerja menurut Suma’mur. (1993), adalah sebagai spesialisasi dalam ilmu kesehatan atau kedokteran beserta praktiknya, agar masyarakat tenaga kerja memperoleh derajat kesehatan setinggi- tingginya, baik fisik atau mental dan sosial dengan usaha-usaha preventif dan
kuratif
terhadap
penyakit-penyakit
atau
gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit-penyakit umum.
2.3 Pengertian Perilaku Keselamatan (Safety) Membedakan perilaku keselamatan di tingkat individu ke dalam dua kategori, yaitu kepatuhan keselamatan (safety compliance) dan partisipasi keselamatan (safety participation). Kepatuhan keselamatan didefinisikan sebagai aktivitas utama yang harus dilakukan individu untuk mempertahankan keselamatan di tempat kerja, termasuk didalamnya kepatuhan akan prosedur kerja dan menggunakan peralatan pelindung diri (personal protective equipment-PPE). Di sisi lain partisipasi keselamatan didefinisikan sebagai perilaku yang tidak secara langsung
berkontribusi terhadap aktivitas keselamatan, tetapi akan membantu lingkungan kerja untuk tetap selamat. Beberapa contoh partisipasi keselamatan adalah mengikuti rapatrapat keselamatan, dan membantu rekan kerja untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan keselamatan kerja. Borman dan Motowidlo. (1993). Keselamatan kerja atau yang dikenal dengan istilah safety adalah upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja yang berhubungan dengan mesin, alat kerja, bahan, proses pengolahan, landasan tempat kerja, lingkungan serta cara melakukan pekerjaan agar menghindarkan karyawan terhadap terjadinya kecelakaan kerja. Geller. (1942) keselamatan kerja (safety) dapat ditinjau dari dua segi yaitu segi engineering/fisikal dan segi behavior/psikologis. Pada penelitian ini akan dibatasi pembahasannya mengenai safety secara psikologis. Pelaksanaan safety yang profesional ditanggapi dengan mengingatkan karyawan terus menerus atas resiko dengan pemberian memo, berita, pertemuan keselamatan, dan tanda-tanda.
2.4 Tiga macam Strategi Intervensi Safety 1. Instructional Intervention. Tujuannya adalah untuk memperoleh perhatian dari orang tersebut dan menginstruksikannya untuk bergerak dari tidak sadar (unconscious) ke kemampuan(competence). Intervensi ini akan efektif jika dilakukan secara spesifik dan satu lawan satu. 2. Supportive Intervention. Intervensi ini memfokuskan pada penerapan konsekuensi positive. Ketika kita memberikan feedback pada perilaku safety seseorang berarti kita menunjukan penghargaan kita atas usahanya untuk meningkatkan perbaikan atas perilaku yang safety. 3. Motivational Intervention. Tujuannya adalah memotivasi orang lain untuk merubah perilakunya dari kemampuan kesadaran menuju disadari. Implementasi jangka panjang dari
motivasional intervensi disertai dengan dukungan yang konsisten terhadap proses intervensi itu dapat mengarah pada kebiasaan yang baik.
2.5 Pengertian Iklim Keselamatan Kerja Konstruk iklim adalah “individu melampirkan makna dan menafsirkan lingkungan diman amereka bekerja. Makna ini untuk dan persepsi kemudian mempengaruhi cara di mana individu berperilaku dalam organisasi melalui sikap, norma, dan persepsi perilaku”. Hofmann dan Stetzer. (1996)
2.5.1 Faktor-faktor Iklim Keselamatan Kerja Griffin and Neal mengukur keselamatan yang terdiri dari lima sistem meliputi: 1) Management Value (Nilai Manajemen) Nilai manajemen menunjukkan seberapa besar manajer dipersepsikan menghargai keselamatan di tempat kerja, bagaimana sikap manajemen terhadap keselamatan, dan persepsi bahwa keselamatan penting. 2) Safety Communication (Komunikasi Keselamatan) Komunikasi keselamatan diukur dengan menanyakan dimana isu-isu keselamatan dikomunikasikan. 3) Safety Practices (Praktek Keselamatan) Yaitu sejauh mana pihak manajemen menyediakan peralatan keselamatan dan merespon dengan cepat terhadap bahaya-bahaya yang timbul. 4) Safety Training (Pelatihan Keselamatan) Pelatihan adalah aspek yang sangat krusial dalam sistem personalia dan mungkin metode yang sering digunakan untuk menjamin level keselamatan yang memadai di organisasi karena pelatihan sangat penting bagi pekerja produksi. 5) Safety Equipment (Peralatan Keselamatan) Peralatan keselamatan mengukur tentang kecukupan peralatan keselamatan, seperti alat-alat perlengkapan yang tepat disediakan dengan mudah.
2.5.2 Pengaruh Sikap Pengetahuan Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Dari hasil penelitian yang dilakukan Griffin dan Neal, (2000) yang mengacu pada beberapa teori mengenai perilaku, suatu model yang menggambarkan antara iklim keselamatan kerjadengan perilaku keselamatan (safety performance). Walaupun terdapat banyak faktor, baik dari individu maupun lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi perilaku kerja seperti keahlian dan kepribadian individu, serta iklim organisasi. Griffin & Neal. (2000), tetapi pada model ini iklim keselamatan kerja menjadi antiseden utama yang data berpengaruh secara positif terhadap perilaku keselamatan. Mediasi iklim keselamatan kerjadan sikap pengetahuan keselamatan didalam kerangka kerjamemberikan suatu proses individual yang menghubungkan iklim keselamatan kerjadengan hasil kerja spesifik. Hasil-hasil tersebut mendukung usulan bahwa sikap pengetahuan keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerjaterhadap perilaku keselamatan sangatlah penting. Pembedaan ini penting karena mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme dimana iklim keselamatan kerjacenderung mempengaruhi perilaku keselamatan.
2.6 Pengertian Alat Pelindung Diri (APD) Alat Pelindung Diri (APD) adalah seperangkat alat keselamatan yang digunakan oleh pekerja untuk melindungi seluruh atau sebgaian tubuhnya dari kemungkinan adanya pemaparan potensi bahaya lingkungan kerja terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Secara teknis APD tidaklah dapat melindungi tubuh secara sempurna terhadap paparan potensi bahaya. Namun demikian, dapat ditegaskan bahwa meskipun telah menggunkan alat pelindung diri, tetapi upaya pencegajan dan pengendalian risiko kecelakaan secara teknis teknologis merupakan langkah yang utama dan terus harus selalu diupayakan sampai tingkat risiko dapat ditekan sekecil mungkin dalam batas yang diperkenankan. Tarwaka, (2008).
2.6.1 Pemenuhan Terhadap Peraturan Perundangan Kewajiban dalam penggunaan alat pelindung diri di tempat kerja yang mempunyai risiko terhadap timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja telah diatur di
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Pasal- pasal yang mengatur tentang penggunaan alat pelindung diri antara lain:
Pasal 3 (1:f): Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk memberikan alat-alat pelindung diri pada pekerja.
Pasal 9 (1:c): Pengurus diwajibkan menunjukan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang alat-alat pelindung diri bagi tenanga kerja yang bersangkutan.
Pasal 12 (b): Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk memakai alat-alat pelindung diri yang diwajibkan.
Pasal 14 (c): Pengurus diwajibkan secara Cuma-Cuma, semua alat pelindung diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.
2.6.2 Pemilihan APD di Perusahaan Potensi bahaya yang terdapat di setiap perusahaan berbeda-beda. Sesuai dengan jenis, bahan dan proses produksi yang dilakukan. Dengan demikian, sebelum melakukan pemilihan alat pelindung diri mana yang tepat untuk digunakan, diperlukan adanya suatu inventarisasi potensi bahaya yang ada ditempat kerja masing-masing. Tarwaka, (2008). Secara lebih detail pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri harus memperhatikan aspek-aspek sebagai barikut: 1.
2.
Aspek Teknis, meliputi:
Pemilihan berdasarkan jenis dan bentuknya
Pemilihan berdasarkan mutu atau kualitas
Penentuan jumlah APD
Teknik penyimpanan dan pemeliharan
Aspek Psikologis Di samping aspek teknis, maka aspek psikologis yang menyangkut masalah kenyamanan dalam penggunaan alat pelindung diri juga sangat penting untuk diperhatiakn. Timbulnya masalah baru bagi pemakai harus dihilangkan, seperti
terjadinya gangguan terhadap kebebasan gerak pada saat memakai alat pelindung diri. Penggunaan alat pelindung diri tidak menimbulkan alergi atau gatal-gatal pada kulit, pekerja tidak malu memakainya karena bentuknya.
2.6.3 Jenis-jenis APD Dalam konsep K3, penggunaan APD merupakan pilihan terakhir atau last resort dalam pencegahan kecelakaan. Hal ini disebabkan karena alat pelindung diri bukan untuk mencegah kecelakaan (reduce likelihood) namun hanya sekadar mengurangi efek atau keparahan kecelakaan (reduce consequences). Sebagai contoh, seseorang yang menggunakan topi keselamatan bukan berarti bebas dari bahaya tertimpa benda. Namun jika ada benda jatuh, kepalanya akan terlindung sehingga keparahan dapat dikurangi. Akan tetapi, jika benda yang jatuh sangat berat atau dari tempat yang tinggi, topi tersebut mungkin akan pecah karena tidak mampu menahan beban. Alat keselamatan ada berbagai jenis dan fungsi yang dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Alat pelindung kepala (Headwear), untuk melindungi bagian kepala dari benda yang jatuh atau benturan misalnya topi keselamatan baik dari plastik, aluminium, atau fiber. Topi pelindung (Safety Helmets) Tutup kepala Topi (Hats/Cap)
Gambar 2. 1 Contoh Safety Helmets (Sumber: www.technoavia.com)
2. Alat pelindung muka (Face Shield), untuk melindungi percikan benda cair, benda padat atau radiasi sinar dan panas misalnya pelindung muka (face shield) dan topeng las.
Gambar 2. 2 Contoh Eyes Protection (Sumber: dir.indiamart.com) 3. Alat pelindung mata (Eyes Protection), untuk melindungi dari percikan benda, bahan cair, dan radiasi panas, misalnya kacamata keselamatan, dan kacamata las. Kacamata (Spectacles) Goggles
Gambar 2. 3 Contoh Eyes Protection (Sumber: www.blinsodt.com)
4. Alat pelindung pernafasan (Respiratory Protection), untuk melindungi dari bahan kimia, debu uap dan asap yang berbahaya dan beracun. Alat pelindung pernafasan sangat beragam seperti masker debu, masker kimia, respirator dan Breathing Apparatus (BA).
Masker
Respirator
Gambar 2. 4 Contoh Respiratory Protection (sumber: www.avalonsafetytraining.com)
5. Alat pelindung pendengaran (Ear Muff), untuk melindungi organ pendengaran dari suara yang bising misalnya sumbat telinga (ear plug) dan katup telinga (ear muff).
Gambar 2. 5 Contoh Ear Muff (Sumber: www.directindustry.com)
6. Alat pelindung badan (Body Protection), untuk melindungi bagian tubuh khususnya dada dari percikan benda cair, padat, radiasi sinar dan panas misalnya appron dari kulit, plastik, dan asbes.
Gambar 2. 6 Contoh Body Protection (Sumber: www.bangaloreindustialaids.com)
7. Alat pelindung tangan (Hand Protection), untuk melindungi bagian jari dan lengan dari bahan kimia, panas, atau benda tajam misalnya sarung tangan kulit, PVC, asbes, dan metal.
Gambar 2. 7 Contoh Body Protection (Sumber: www.bangaloreindustialaids.com) 8. Sabuk Pengaman (Safety Belt) untuk melindungi ketika terjatuh dari ketinggian misalnya ikat pinggang keselamatan (safety belt), harness, dan jaring.
Gambar 2. 8 Contoh Safety Belt (Sumber:dir.indiamart.com)
10.Alat pelindung kak (Safety Shoes), untuk melindungi bagian telapak kaki, tumit, atau betis dari benda panas, cair, kejatuhan benda, tertusuk benda tajam dan lainnya misalnya sepatu karet, sepatu kulit, sepatu asbes, pelindung kaki dan betis. Untuk melindungi dari kejatuhan benda, sepatu keselamatan dilengkapi dengan pelindung logam dibagian ujungnya (steel to cap).
Gambar 2. 9 Contoh Safety Shoes (Sumber:Bataindustials.com.au)
2.7 Manajemen Risiko Manajemen risiko K3 adalah suatu upaya mengelola risiko K3 untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif, terencana dan terstruktur dalam suatu kesisteman yang baik. Meurut Ramli. (2010). Namun menurut Webb. (1994) manajemen risiko adalah “suatu kegiatan yang dilakukan untuk menanggapi risiko yang telah diketahui (melalui rencana analisis risiko atau bentuk observasu lain) untuk meminimalisasi konsekuensi buruk yang munkin muncul”. Untuk itu risiko harus didefinisikan dalam bentuk suatu rancana atau prosedur yang reaktif. Pengertian manajemen risiko sebagai semua rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan risiko, dimana didalamnya termasuk perencanaan (planning), penilaian (assessment) (identifikasi dan dianalisa), penanganan (handling), dan pemantauan (monitoring) risiko.
2.7.1 Tujuan Manajemen Risiko Tujuan manajemen risiko menurut Australian Standard / New Zealand Standard 4360 (1990), yaitu: 1. Membantu meminimalisasi meluasnya efek yang tidak diinginkan terjadi 2. Memaksimalkan pencapaian tujuan organisasi dengan meminimalkan kerugian
3. Melaksanakan program manajemen secara efisien sehingga memberikan keuntungan bukan kerugian 4. Melakukan peningkatan pengambilan keputusan pada semua level 5. Menyusun program yang tepat untuk meminimalisasi kerugian pada saat terjadi kegagalan 6. Menciptakan manajemen yang bersifat proaktif bukan bersifat reaktif 2.8 Hazard Identification, Risk Assessment and Risk Control (HIRARC) HIRARC merupakan satu persyaratan yang harus ada dalam menerapkan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001:2007 Klausal 4.3.1 pada OHSAS 18001:2007 mengharuskan organisasi/perusahaan yang akan menerapkan SMK3 berdasarkan OHSAS 18001:2007 melakukan penyususnan HIRARC pada perusahannya. HIRARC dibagai menjadi 3 tahap yaitu identifikasi bahaya (Hazard Identification), penilaian risiko (risk assessment), dan pengendalian risiko (risk control). (OHSAS 18001:2007)
2.8.1 Pendekatan Manajemen Risiko Sistem dan proses untuk manajemen keselamatan dan kesehatan potensi bahaya di tempat kerja harus dibangun kedalam suatu sistem bisnis yang terintegrasi dengan manajemen lainnya. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) harus ditangani secara sistematik. Sistem manajemen K3 akan sangat tergantung pada komitmen perusahaan
PENGURUS
KONSULTASI
WAKIL PEKERJA
IDENTIFIKASI
I
I PENGENDALIAN
I
RISIKO ELIMINASI SUBSTITUSI REKAYASA TEKNIK
I
EVALUASI SARANA
HAZARDS I PENILAIAN RISIKO
ISOLASI APD
IMPLEMENTASI SARANA PENGENDALIANI Gambar 2. 10 Bagan Pendekatan Manajemen Risiko K3 (Sumber: Tarwaka, [2008]) Pengaturan konsulatsi harus di tempatkan pada posisi dimana dapat terjadi kerjasama yang efektif anatar pengusaha dan pekerja di dalam pengembangan dan promosi K3 untuk menjamin keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan para pekerjanya. Konsultasi yang dilakukan harus melibatkan manajer dan supervasior sebagai wakil pengurus dan pemilihan perwakilan pekerja atau ahli K3 adalah melalui komite K3 atau penitia Pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3) yang ada di perusahaan.
2.8.2 Identifikasi Bahaya (Hazard Identification) Identifikasi bahaya merupakan langkah awal dalam mengembangkan manajemen risiko K3. Identifikasi bahaya adalah upaya sistematis untuk mengetahui adanya bahaya dalam aktivitas organisasi. Identifikasi risiko merupakan landasan dari manajemen risiko. Tanpa memlakukan identifikasi bahaya tidak mungkin
melakukan pengelolaan risiko dengan baik. Menurut Stuart Hawthron cara sederhana adalah dengan melakukan pengamatan. Melalui pengamatan maka kita sebenernya telah melakukan suatu identifikasi bahaya. Sumber bahaya yang ditemukan akan dijabarkan menjadi 5 faktor yaitu, man, method, material, machine, dan environment. Identifikasi bahaya merupakan landasan dari program pencegahan kecelakaan atau pengendalian risiko. Tanpa mengenal bahaya, maka risiko tidak dapat ditemukan sehingga upaya pencegahan dan pengendalian risiko tidak dapat dijalankan. Ramli. (2010). Identifikasi bahaya memberikan berbagai manfaat antara lain: a) Mengurangi bahaya memberikan berbagai manfaat antara lain: Identifikasi bahaya dapat mengurangi peluang terjadinya kecelakaan, karena identifikasi bahaya berkaitan dengan faktor penyebab kecelakaan. b) Untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak mengenai potensi bahaya dari aktivitas perusahaan sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan dalam menjalankan operasi perusahaan. c) Sebagai
landasan sekaligus
masukan untuk
menentukan
strategi
pencegahan dan pengamanan yang tepat dan efektif. Dengan bahaya yang ada, manajemen dapat menentukan skala prioritas penanganannya sesuai dengan tingkat risikonya sehingga diharapkan hasilnya akan lebih efektif. d) Memberikan informasi yang terdokumentasi mengenai sumber bahaya dalam perusahaan kepada semua pihak khususnya pemangku kepentingan. Dengan demikian mereka dapat memperoleh gambaran mengenai risiko suatu usaha yang akan dilakukan.
Gambar 2. 11 Bagan Proses Identifikasi Hazards (Sumber: Tarwaka, [2008]) 2.8.3 Inspeksi Umum Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa inspeksi sebaiknya dilakukan bersama-sama antar ahli K3 atau perwakilan tentang kerja dengan pihak manajemen, sehingga apa yang dihasilkan dari inspeksi lapangan segera dapat ditindak lanjuti nyata. Inspeksi umu terhadap sumber-sumber bahaya di tempat kerja atau kegiatan identifikasi terhadap tugas-tugas, proses operasional, peralatan dan mesin-mesin yang mempunyai risiko tinggi harus dilakukan secara regular. Namun demikian, seberapa sering inspeksi secara rutin dilakukan sangatlah tergantung dari keadaan dan kondisi lingkungan kerja masing-masing. Tarwaka. (2008).
2.8.3.1 Objek yang Harus Diinspeksi Untuk membantu menentukan aspek-aspek apa saja yang ada di tempat kerja yang akan diinspeksi, perlu dipertimbangankan dan dipahami hal-hal sebagai berikut:
Hazard yang berpotensi menyebabkan cedera atau sakit dan masalahmasalah K3 yang ada di tempat kerj
Peraturan perundang-undangan bidang K3 dan standar yang diterapkan di masing-masing perusahaan
Masalah-masalah K3 yang terjadi sebelumnya, meskipun risikonya kecil perlu dipertimbangankan.
2.8.3.2 Langkah-langkah Inspeksi Meskipun diketahui banyak jenis inspeksi, namun secara umum prosedur inspeksi hamper sama. Tarwaka. (2008). Dimana langkah-langkah inspeksi meliputi: 1. Tahap Persiapan, yaitu persiapan inspeksi yang baik harus selalu dimulai dengan sikap perilaku positif dan berfikir positif untuk keberhasilan tugas inspeksi, merencanakan inspeksi secara baik, menentukan apa-apa yang akan dilihat, mengetahui apa-apa yang dicari, mrmbuat checklist yang relevan mempelajari laporan inspeksi sebelumnya dan menyiapkan alat dan bahan untuk inspeksi. Secara umum, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam tahap persiapan inspeksi adalah:
Mulailah dengan sikap perilaku positif
Renacanakan Inspeksi
Tentukan apa yang akan dilihat
Pahami apa yang akan dicari
Buatlah Checklist
Tabel 2. 1 Contoh Tabel Checklist Inspeksi Umum No Inspeksi Tanggal Inspeksi Lokasi Inspeksi URAIAN INSPEKSI UMUM URAIAN OBJEK YANG DIINSPEKSI FOTO LAPANGAN URAIAN TEMUAN
LOKASI INSPAKSI Kondisi Lantai Kondisi Lokasi Work Shop : Kondisi Lantai: Jalur Lalu Lintas untuk Orang dan Alat Bantu Angkut: Mesin-Mesin: Kebakaran: Gudang Penyimpanan:
(Sumber: Tarwaka,[ 2008])
2. Pelaksanaan Inspeksi Di bawah ini diuraikan beberapa kunci penting yang dapat membantu pelaksanaan isnpeksi menjadi lebih efektif:
Berpedoman pada pete pabrik (Workplaces Mapping) dan Checklist
Carilah sesuatu sesuai poin-poin dalam Checklist
Ambil tindakan perbaikan sementara
Jelaskan dan tempatkan setiap hal dengan jelas
Klasifikasikan Hazard (Likelihood) atau (Severity)
Tentukan faktor penyebab utama adanya tindakan dan kondisi yang tidak aman
2.8.4 Inspeksi Khusus Inspeksi
Khusus
merupakan
kegiatan
inspeksi
yang
dilakukan
untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi Hazard terhadap objek-objek kerja tertentu yang mempunyai risiko tinggi yang hasilnya sebagai dasar untuk pencegahan dan pengendalian risiko di tempat kerja. Objek-objek khusus dimaksud mencakup; mesin-mesin dan komponennya; peralatan kerja, bahan berbahaya dan
beracun; dan lokasi tempat kerja tertentu yang membahayakan keselamatan dan kesehatan kerja termasuk peledak, kebakaran dan pencemaran lingkuangan. Tarwaka, (2008). Contoh lembar kerja untuk membuat daftar inventarisasi objek inspeksi ini dapat dilihat seperti pada Tabel 2.2 Tabel 2. 2 Contoh Tabel Inventarisasi Objek Penting DAFTAR INVENTARIS OBJEK KERJA (DIOK) Objek Spesifik: Departemen/Bagian: Lokasi Objek: No Komponen/Objek Penting Alasan untuk Klasifikasi Kategori Penting
(Sumber: Tarwaka, [2008])
Agar kegiatan inventarisasi menjadi lebih efektif, perlu dipahami lengkah-langkah di dalam membuat daftar inventarisasi objek inspeksi khusus sebagai berikut:
Kategorikan objek-objek yang dianggap penting dan krusial yang ada di perusahaan
Rangcanagan atau gambarkan area yang menjadi tanggung jawab masingmasing bagian kerja atau unit kerja
Daftar semua objek penting dan krusial pada masing-masing kategori (Kategori mesin/alat kerja/ bahan/lokasi/ alat transportasi/dll). Pada setiap bagaian tempat kerja.
Susunan daftar asuransi, inventarisasi gudang penyimpanan barang
Daftar selurh bagian objek di dalam suatu sistem pencatatan yang tepat (Recordkeeping)
2.8.5 Penilaian Risiko (Risk Assessment) Risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu. Sedangkan tingkat risiko merupakan
perkalian antar tingkat kekerapan (Likelihood/probability) dan keparahan (Consequence/severity) dari suatu kejadian yang dapat menyebabkan timbul dari pemaparan suatu Hazards di tempat kerja.
Keparahan
Kekerapan Tingkat Risiko
=
Kemungkinan
X
Tingkat
Keparahan
terjadinya kecelakaan
kecelakaan atau sakit:
atau sakit: dinilai dari
dinilai dari jumlah
frekuensi dan durasi
orang yang terpapar
paparan Hazards
Hazards pada periode
tertentu Gambar 2. 12 Bagan Penentuan Tingkat Risiko (Sumber: Tarwaka. [2008]) Potensi bahaya ditemukan pada tahap identifikasi bahaya akan dilakukan penilaian risiko guna menentukan tingkat risiko (risk rating) dari bahaya tersebut (AS/NZS 4360:2004). Penilain resiko dilakuan untuk menetukan risiko yang dihasilkan dari 2 macam parameter yaitu frekyensi kejadian (Likelihood) dan dampak risiko (severity) yang ditimbulkan. Hasil perkalian nilai likelihood dan severity dapat dilihat pada tabel 2.3 Dan tabel 2.5 Tabel 2. 3 Skala “Probability” Likelihood
Tingkat 5 4 3 2 1
Deskripsi Almost Certain Likely Posibble Unlikely Rare
(Sumber: standar AS/NZS 4360)
Keterangan Dapat terjadi setiap saat Sering terjadi Dapat terjadi Sekali-sekali Jarang Terjadi Hampir tidak pernah, sangat jarang terjadi
Tabel 2. 4 Keterangan Nilai dari tingkatan
Nilai 1 2 3 4 5
Penjelasan Frekuensi (Tahun) Kemungkinan Terjadi Hanya terjadi dalam kondisi luar biasa Dalam Kasus Khusus <10 Dapat terjadi suatu kali Setiap 10 tahun 10%-20% Terjadi dalam beberapa khasus Setiap 3 tahun 20%-55% Hampir selalu terjadi Setiap tahun 55%-90% Selalu terjadi Setiap saat 90%-100%
(Sumber dari: Prosedur Identifikasi Aspek dan Dampak Lingkungan Keselamatan & Kesehatan Kerja (002-SHD-201))
Tabel 2. 5 Skala “Consequence” Severity
Tingkat 1 2 3 4
Deskripsi Insignificant minor Moderate Major
5
Catastrophic
Keterangan Tidak terjadi cedera, kerugian finansial sedikit Cedera ringan, kerugian finansial sedikit Cedera sedang, perlu penanganan medis Kerugian finansial besar, cedera berat>1 orang. Kerugian besar, gangguan produksi fatal > 1 orang, kerugian sangat besar dan dampak sangat luas, terhentinya seluruh kehiatan
(Sumber: standar AS/NZS 4360)
Tabel 2. 6 Keterangan Nilai dari tingkatan Nilai 1 2 3 4
5
Nilai uang Kesehatan & Keselamatan
Lingkungan Lingkungan sosial Poliso ringan Tingkat rendah, gangguan ringan kerusakan lingkuan kecil Gangguan jangka pendek Polutan yang dilepaskan cukup Masalah sosial lebih panjang gangguan 1 Rp 1 juta-Rp 10juta Luka LTI s/d Permanen signifikan minggu Luka menyebabkan cacat memiliki dampak penting jangka Gangguan dan dampak sosial sangat Ro 10 juta- Rp 100 juta atau fatalitas tunggal panjang serius gangguan operasi 1 bulan kerusakan tidak dapat bencana dampak penting pada > Rp 100 juta Multyle fatality ditunggu,gangguan operasi beberapa lingkungan jangka panjang bulan
(Sumber dari: Prosedur Identifikasi Aspek dan Dampak Lingkungan Keselamatan & Kesehatan Kerja (002-SHD-201))
Tabel 2. 7 Skala “Risk Matriks” Likelihood 5 4 3 2 1
1 H M L L L
(Sumber: standar AS/NZS 4360)
Keterangan Risk Matriks: L=Low M=Medium H=High E=Extrem
2 H H M L L
Severity 3 E E H M M
4 E E E H H
5 E E E E H
2.8.6 Proses Penilaian Risiko
Estimasi Tingkat Kekerapan Estimasi terhadap tingkat kekerapan atau keseringan terjadinya kecelakaan atau sakit akibat kerja, harus mempertimbangkan tentang berapa seting dan berapa lama seorang tenaga kerja terpapar potensi bahaya. Dengan demikian kita harus membuat keputusan tentang tingkat kekerapan atau sakit yang terjadi untuk setiap potensi bahaya yang diidentifikasi Tarwaka. (2008). Untuk dapat membuat estimasi terbaik maka kita harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Jumlah orang yang terpapar potensi bahaya
Berapa sering mereka terpapar dan berapa lama waktu pemaparan dalam setiap harinya
Laporan kecelakaan yang lalu, laporan kerjadian hamper celaka, dan laporan yang dibuat oleh tenaga kerja supervior
Laporan pertolongan pertama pada kecelakaan
Laporan kompensasi jaminan social tentang kerja yang berhubungan dengan kecelakaan dan sakit akibat kerja
Sarana pengendalian risiko yang telah diimplementasikan di tempat kerja
Informasi yang didapat selama proses identifikasi potensi bahaya
1.Estimasikan Proses Penilaian Risiko
kekerapan
terjadinya
kecelakaan atau sakit di tempat kerja
2.Estimasikan keparahan
dari
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan sakit yang terjadi 3. Tentukan Tingkat Risikonya
4.Buat skala prioritas risiko yang telah dinilai untuk
pengendalian
risiko 5.Buatcatatan penilaian risiko Gambar 2. 13 Bagan Proses Penilaian Risiko (Sumber: Tarwaka, [2008]) 2.9 Job Safety Analisis (JSA) Menurut Canadian Center for Occupational Health and Safety, Job Safety Analisi (JSA) adalah prosedur yang membantu untuk mengintegrasikan diterimanya prinsip dan praktek keselamatan dan kesehatan untuk tugas tertentu atau operasi kerja. Dalam JSA, setiap langkah dasar dari pekerjaan adalah untuk mengidentifikasi potensi bahaya dan merekomendasikan cara paling aman untuk melakukan pekerjaan. Istilah lainnya yang digunakan untuk menggambarkan prosedur ini adalah Job Hazard Analysis (JHA) 2.9.1 Perhitungan Job Safety Analisis (JSA)
Metode Penghitungan Tingkat kekerapan (Frequency Rate), digunakan untuk mengidentifikasi jumlah cidera yang menyebabkan tidak bias bekerja sejuta orang jam kerja. Menurut Jurnal Sains, Teknologi dan Industri (dalam buku Tarwaka, 2008) 𝐹𝑅 =
Banyak Kecelakaan x 1.000.000 Total Jam kerja Manusia
Metode Penghitungan Hilang Waktu Kerja (Severate Rate), Indikator hilangnya hari kerja akibat kecelakaan kerja untuk per sejuta jam kerja orang. 𝑆𝑅 =
Hilang Hari Kerja x 1.000.000 Total Jam kerja Manusia
Metode Penghitungan safety score kecelakaan kerja, adalah nilai indicator untuk menilai tingkat perbedaan antara dua kelompok yang dibandingkan. Score positif dari safety score mengindikasikan score negative menunjukkan peningkatan record terdahulu. 𝑆𝑇𝑆 =
FR kini x FR Lampau FR Lampau
2.9.2 Pelaksanaan Job Safety Analisis (JSA) Menurut OSHAcedemy Course 706 Guide. (2002), terdapat empat langkah melaksanakan JSA: 1.
Memilih (menyeleksi) pekerjaan yang akan dianalisis
JSA dapat menganalisis semua pekerjaan yang ada di tempat kerja, namun harus diprioritaskan. Rausand. (2005): a) Pekerjaan yang memiliki tingkat kecelakaan yang tinggi b) Pekerjaan yang memiliki tingkat keparahan kecelakaan yang tinggi, berdasarkan banyaknya hilang hari kerja atau kebutuhan medis c) Pekerjaan yang memiliki potensi menyebabkan luka berat d) Pekerjaan yang dapat menyebabkan kecelakaan atau luka berat, akibat kesalahan manusia yang sederhana e) Pekerjaan baru, pekerjaan tidak rutin, atau pekerjaan yang mengalami perubahaan prosedur
2.
Membagi pekerjaan dalam langkah-langkah pekerjaan
Sebelum membagi pekerjaan dalam berbagai langkah, terlebih dahulu dilakuakn deskripsi terhadap pekerjaan yang akan dianalisis. Setiap pekerjaan dapat dibagai dalam beberapa langkah. Siapa yang bekerjaa, berapa jumlah pekerja, dan apa yang dilakukan pekerja menjadi dasar deskripsi masing-amsing langkah. Geigle. (2002). Setiap langkah menunjukan satu rindakan yang dilakukan. Patikan cukup informasi untuk menggambarkan langkah-langkah pekerjaan. Hindari membuat rincian terlalu
panjang dan luas. Tindakan perlu menulisakn langkah-langkah dasar. Informasi dari pekerja lain yang pernah melaukan pekerjaan tersebut sangat berguna sebagai masukan dalam membagi tahapan pekerjaan. Peninjau ulang langkah-langkah kerja dilakukan bersama karyawan lain yang melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini untuk memastikan tidak ada langkah yang hilang. Gamabar foto dan video dapat membantu pelaksanaan kegiatan ini. Geigle. (2002). Deskripsi pekerjaan berfungsi untuk membangun analisis Hazard yang ada pekerjaan tersebut. Hasil analisis di laporkan melalui lembar kerja (worksheet). Format lembar kerja JSA umumnya terdiri dari tiga kolom, yaitu langkah-langkah pekerjaan, keberadaan Hazard, dan tindakan pencegahan atau rekomendasi prosedur kerja selamat. Adapun contoh lembar JSA dapat dilihat di bawah ini. Geigle. (2002):
Tabel 2. 8 Contoh Form JSA 1 Jenis Pekerjaan Divisi Departemen Bagian/Lokasi TAHAPAN POTENSI NO PEKERJA BAHAYA AN
RISIKO
No Tanggal Dianalisis Oleh Ditujukan Kepada TINDAKAN PENGENDALIAN YANG SUDAH
REKOMEN DASI
(Sumber: Tarwaka, [2008])
3. Melakukan identifikasi Hazard dan kecelakaan yang potensial Setelah meninjau ulang langkah-langkah pekerjaan selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap kondisi yang berbahaya dan perilaku tidak selamat. Material Safety Data Sheets (MSDSs), pengalaman para pekera, laporan kecelakaan, laporan pertolongan perta, dan Behavior Base Safety (BBS) dapat membantu penyelidikan Hazard dan perilaku tindak selamat yang ada pada masing-masing langkah
pekerjaan. Selain itu data-data tersebut, identifikasi Hazard dapat ditelusuri melalui beberapa pertanyaan seperti. Menurut Rausand. (2005): a) Apakah kebakaran atau ledakan dapat terjadi jika pekerjaan dilaksanakan? b) Apakah ada benda (rantai, sling, kait, dan sebagainya) yang dapat menghantam pekerjanya? c) Apakah pekerja dapat terhimpit di antara/ di dalam/ pada benda? d) Apakah pekerja dapat terekspos oleh Hazard kesehatan, seperti radiasi, asap beracun, bahan kimia, gas panas, kekurangan oksigen, dan lain sebagainya? e) Apakah pekerja dapat terkena aliran listrik, logam panas, acid, air panas, dan sebagainya? f) Jika terjadi keselahan mengoperasikan peralatan, apakah peralatan tersebut akan rusak? g) Kaji ulang setiap langkah, sehingga semua Hazard teridentifikasi
4. Mengembangkan prosedur kerja yang aman OSHAcademic
Course
706
study.
(2002)
menjelaskan
bahwa
setelah
mengidentifikasikan Hazard masing-masing langkah pekerjaan, selanjutnya ditentukan metode pengendalian Hazard untuk mengeliminasi atau mereduksi Hazard. Ada beberapa metode untuk mengendalikan Hazard. Masing-masing metode memiliki keefektifan yang berbeda-beda. Dapat dilakukan kombinasi dari beberapa metode, sehingga perlindungan terhadap karyawan menjadi lebih baik.
2.10 Kerja Bergilir atau Kerja Shift National Occuptional Health and Safety Comitte mendefinisikan kerja bergilir atau kerja shift adalah bekerja di luar jam kerja normal dari hari senin sampai dengan hari jumat termasuk hari libur dan bekerja dimulai dari jam 07.00 sampai jam 19.00 atau lebih. NOHSC, (1997), dalam buku Health and Safety Executive. (2006). Berdasarkan pedoman teknis upaya kesehatan kerja di rumah sakit yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (1996) kerja shift merupakan pekerjaan yang pada
dasarnya dilakukan di luar jam kerja normal. Ciri khas shift adalah adanya kontinuitas, pergantian, gilir dan jadwal kerja khusus. Kerja bergilir dikatakan kontinue apabila dikerjakan selama 24 jam setiap hari termasuk hari minggu dan hari libur. Berdasarkan NOHSC, (1997) mendefinisikan bahawa shift kerja merupakan jadwal kerja yang berada diluar jam kerja normal yang dimulai dari sekitar pukul 07.00 sampai pukul 18.00 dengan lamanya jam kerja untuk seorang pekerja 7-8 jam dalam setiap shift. Tujuan diberlakukannya kerja bergilir ini adalah untuk mempertahankan produksi agar dapat tetap berlangsung secara continue melalui serangkaian kelompok kerja yang berkerja bergiliran. Adapun alasan utama kontinuitas kerja di Rumah Sakit adalah karena lamanya waktu yang dibutuhkan untuk beroperasi dan melayani kline atau pasien adalah 24 jam sehingga proses kerja harus dilaksanakan terus menerus.
2.10.1 Tipe Penggolahan Kerja Shift Penggolongan kerja shift ini, di Indonesia belum ada Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang mengatur jadwal shift kerja secara permanen. Hal ini disebabkan karena sulit menentukan secara akurat jadwal shift kerja mana yang terbaik untuk dipergunakan. Sehingga biasanya jadwal kerja shift disusun berdasarkan pekerjaan dari perusahaan yang beroperasi. NOHSC, (1997) menyebutkan bahwa ada beberapa karakteristik dalam penyusunan jadwal kerja, antara lain: a) Waktu Shift Untuk perusahaan yang beroperasi 24 jam, biasanya membagi waktu kerja shift menjadi 2 atau 3 shift. Sedangkan pengaturan jadwal mulai dan akhir tergantung dari lamanya shift. Pembagian jadwal kerja dapat dilihat sebagai berikut: 1) Shift pagi (Shift pertama) dimulai antara Pukul 07:00 berakhir pada Pukul 14:00.
2) Shift Sore (Shift kedua) dimulai antara Pukul 14:00 dan berakhir pada Pukul 21:00. 3) Shift Malam (Shift ketiga) dimulai antara Pukul 21:00 berakhir pada Pukul 07:00.
b) Jadwal Kerja Shift Permanen atau Rotasi Untuk pekerja yang mengalami kerja malam permanen tidak seluruhnya yang dapat beradaptasi, tetapi memang dalam beradaptasi ini pekerja yang menjalani kerja malam permanen mempunyai cara atau metode untuk melawan kelelahan pada malam hari. Namun, walau bagaimanapun pekerja malam tersebut masih merasakan lelah dan mengantuk pada malam hari berikutnya. c)
Kecepatan Arah Rotasi Adaptasi terhadap shift dipengaruhi oleh kecepatan rotasi dana rah dari rotasi. Kecepatan rotasi artinya jumlah shift pagi, siang dan malam yang berturut-turut sebelum terjadinya perubahan shift. Sedangkan arah rotasi berarti: 1) Rotasi maju adalah perubahan menurut arah jarum jam yaitu mulai dari shift pagi ke siang kemudian malam.
d) Rasio Istirahat Kerja Orang yang bekerja selama 8 jam mempunyai 16 jam untuk istirahat dan melakukan aktivitas lainnya, sedangkan yang bekerja selama 12 jam hanya mempunyai tanggung jawab dan tugas di rumah seperti merawat anak-anak yang tidak dapat digantikan, sehingga mereka mengalami ketidakpuasan dengan waktu istirahat dan tidurnya. e)
Shift yang dapat diprediksikan Melakukan penyusunan jadwal kerja shift yang teratur dan dapat diprediksikan maka akan memudahkan bagi pekerja untuk membuat jadwal kegiatan di luar jam kerja, seperti halnya melakukan kegitan bersama keluarga.
La Don, (2004) dalam buku Health and Safety Executive. (2006), menggolong kerja shift berdasarkan beban kerja dengan dengan rincian sebagai berikut: 1) Kontinue, dengan cakupan seimbang 24 jam sehari 365 hari setahun dengan beban kerja yang continue seperti pada pembangkit tenaga nuklir. 2) Kontinue, dengan cakupan tidak seimbang 24 jam sehari, 365 hari per tahun memiliki beban kerja yang tidak seragam dengan cakupan lebih banyak dibutuhkan pada shift pagi, seperti pada industry jasa, rumah sakit dan pos polisi. 3) Cakupan shift sesuai kebutuhan ekonomis, tidak selalu 24 jam per hari, 7 hari per minggu, seperti pada industry mobil, manufaktur. Shift dapat dihentikan tergantung pada iklim bisnis bila pada jam atau hari tertentu tidak perlu dilakukan. 4) Kerja shift yang tidak teratur dikarenakan kerja shift hanya diperlukan sewaktu-waktu dan jadwalnya tidak bias diperkirakan seperti pada sopir, truk dan kru kereta api.
2.10.2 Efek Kesehatan Dari Kerja Shift Berbagai macam jenis kerja shift yang di berlakukan oleh pihak perusahaan, mulai dari hasil negosiasi dengan pekerja atau jadwal kerja shift yang disusun menurut penyusunan kerja shift dari perusahaan-perusahaan yang terdahulu. Dahulu para ahli menganggap tidur yang kurang tidak akan menjadi masalah yang berarti namun sekarang pandangan tersebut telah berubah. Jam biologis seseorang membutuhkan jumlah waktu tidur tertentu setiap harinya. Jika kebutuhan tersebut kurang dan berlangsung secara terus menuruts maka dirinya akan mengalami kondisi yang disebut dengan sleep debt (hutang tidur). Hutang tidur merupakan gambaran kurangnya kebutuhan tidur seseorang yang terakumulasi dalam kurun waktu tertentu. Misalnya, jika kebutuhan tidur seseorang
adalah 8 jam, namun hanya tidur selama 6 jam dalam sehari. Maka dalam 1 minggu hutang tidur sekitar 14 jam. DR Eva Van Cauter, salah seorang peneliti di universitas Chicago telah menemukan beberapa dampak pada kesehatan tubuh yang berkaitan dengan hutang tidur. Menurut penelitian yang dia lakukan, dampak kondisi tersebut sangat berbahaya bagi tubuh. Misalnya, sekelompok laki-laki muda yang sehat setelah tidur hanya 4 jam selama 6 hari berturut-turut, hasil tes kesehatan mereka cukup mengkhawatirkan. Kemampuan mereka untuk melakukan proses penyimpanan glukosa berkurang hingga 30%, karena kemampuan insulin yang mereka miliki sangat jauh berkurang. Selain itu kadar hormone stress (kortisol) meningkat, padahal hormone tersebut dapat mengakibatkan hipertensi dan gangguan kemampuan mengingat jika kadarnya tinggi dalam waktu lama. Hutang tidur juga dapat menurunkan kemampuan berfikir. Kolonel Grogory belenky, salah seorang dokter militer Amerika yang memperdalam masalah tidur, melakukan penelitian untuk mengetahui dampak dari kurang tidur pada tentara Amerika Serikat. Berdasarkan penelitian, diketahui terjadi penurunan fungsi otak menggunakan teknologi canggih, ditemukan bahwa kerusakan yang lebih parah terjadi pada daerah yang bertanggung jawab terhadap perhatian, perencanaan yang rumit, proses mental yang kompleks dan pada wilayah pengambilan keputusan. Kundi, (1999) dalam buku Health and Safety Executive. (2006), menemukan bahwa kerja shift berpengaruh terhadap kesehatan pada masa 5 (lima) tahun pertama yang ditimbulkan dari kerja shift: A. Efek dalam waktu singkat 1. Perubahan pada irama sirkadian Harold, (1997) dalam buku Health and Safety Executive. (2006), Irama sirkandian adalah fluktuasi fungsi tubuh manusia maupun hewan yang mengikuti siklus 24 jam. Circadian berasal dari Bahasa latin yaitu circa (kurang lebih) dan dies (hari). Irama circadian dipengaruhi oleh “body clock” yang
diatur oleh supra-chiasmatic ini dari hypothalamus sebagai komponen endogen dan disesuaikan dengan dunia luar yang ditampakkan oleh perubahan dari gelap ke terang dan sebaliknya, kontak social, pekerjaan dan kesadaran tentang waktu yang merupakan komponen eksogen. Petunjuk ini disebut zeithebers (Bahasa jerman, zeit: waktu, gebers: petunjuk). Fungsi tubuh yang mengikuti irama sirkadian adalah tidur, kesiapan untuk bekerja, metabolism, pernafasan, fungsi tubuh ini bekerja aktif pada siang dan sore hari, sedangkan pada malam hari fungsi tubuh tersebut istirahat. Itulah sebabnya mengapa orang merasa lebih aktif pada pukul 16.00-18.00 dan mengantuk pada pukul 04.00-06.00. Fungsi tubuh tersebut diatas tidak mencapai nilai maksimum dan minimum pada saat bersamaan. Terdapat perbedaan fase yang jelas diantara mereka. Secara keseluruhan fungsi tubuh tersebut mengikuti aturan sebagai berikut: a)
Saat siang hari, seluruh organ dan fungsi tubuh dalam keadaan siap
untuk berfungsi (fase egotropic). b)
Saat malam hari, organ dan fungsi tubuh mengalami fase rekuperaktif
(istirahat) dan pengisian kembali energy (fase trophotropic). Fungsi tubuh yang berhubungan dengan irama sirkadian yang paling dikenal (karena paling mudah diukur) adalah irama suhu tubuh, yang berfrekuensi sekitar 0,5 C dengan nilai rata-rata sekitar 37 C. titik terendah suhu tubuh adalah sekitar pukul 04.00, dan meambat naik pada pukul 06.00 (biasanya sebelum orang bangun tidur) lalu merambat naik dengan cepat samapi tengah hari kemudian akan melambat. Puncak suhu tubuh terjadi antara pukul 18.00 dan 22.00, suhu tubuh mulai turun dengan cepat. Menurut penelitian Minors & Waterhouse, (1999) terjadi perubahan siklus pada fungsi jantung, pernafasan, ginjal, tekanan darah, dan penyakit lainnya. 2. Rasa Mengantuk Suatu perasaan lelah dan mengantuk paling terasa antara jam 2-5 pagi, dengan puncaknya kira-kira jam 4 pagi. Menjelang pukul 10 malam kurva lelah dan
mengantuk juga sedikit naik, tetapi tidak seberapa bila dibandingkan dengan waktu dini hari. 3. Gangguan pemenuhan Kebutuhan Tidur Tidur adalah komponen paling penting dalam mempertahankan keseimbangan fisiologi tubuh manusia, menurut Bullock, (1996). Jumlah tidur yang dibutuhkan berbeda-beda antar manusia. Tidur adalah kebutuhan dasar manusia, sedangkan kesehatan fisik dan mental manusia tergantung padanya. B. Efek dalam waktu lama Setelah menjalankan kerja shift yang lama kemungkinan akan berdampak terhadap kesehatan. Sulit untuk meneliti maslah kesehatan yang berhubungan dengan kerja shift, sebab secara nyata masalah kesehatan bukan hanya disebabkan oleh kerja shift. Tapi dari beberapa penelitian mengatakan bahwa sebagian besar pekerja yang telah berhenti mengatakan bahwa sebagian besar pekerja yang telah berhenti dari kerja shift sekarang mempunyai masalah kesehatan. Menurut Secant Agregat masalah kesehatan yang berhubungan dengan shift antara lain: 1. Gangguan Pencernaan 2. Gangguan Jantung