9
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Teori Auditing
Berdasarkan sifatnya teori dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: teori normatif dan teori deskriptif. Teori normatif merupakan teori yang seharusnya dilaksanakan sedangkan teori deskriptif merupakan teori yang sesungguhnya dilaksanakan. Tidak seperti pada akuntansi, pada auditing tidak banyak orang yang berbicara tentang teori auditing sebagai lawan kata praktik auditing. Pada umumnya, orang menganggap auditing hanya suatu rangkaian prosedur, metode dan teknik. Auditing tidak lebih dari pada sekedar suatu cara untuk melakukan sesuatu dengan sedikit penjelasan, uraian, rekonsiliasi, dan argumentasi. Meskipun demikian telah dicoba untuk meyakinkan perlunya suatu teori normatif pada auditing. Menurut Mautz dan Sharaf (1961) dalam bukunya yang berjudul “The Philosophy of Auditing“ menyebutkan bahwa terdapat lima konsep dasar dalam teori auditing, yaitu: 1. Bukti (evidence), Tujuannya adalah untuk memperoleh pengertian sebagai adanya issue pokok tingkat kehati-hatian yang diharapkan pada auditor yang bertanggungjawab (prudent auditor).
10
2. Penyajian atau pengungkapan yang wajar (fair presentation), konsep ini menuntut adanya informasi laporan keuangan yang bebas (tidak memihak), tidak bias, dan mencerminkan posisi keuangan, hasil operasi, dan aliran kas perusahaan yang wajar. 3. Independensi (Independence), yaitu suatu sikap yang dimiliki auditor untuk tidak memihak dalam melakukan audit. Konsep independensi berkaitan dengan independensi pada diri pribadi auditor secara individual (practitionerindependence), dan independen pada seluruh auditor secara bersama-sama dalam profesi (profession-independence). 4. Etika Perilaku (Ethical Conduct), etika dalam auditing berkaitan dengan konsep perilaku yang ideal dari seorang auditor profesional yang independen dalam melaksanakan audit.
2.1.2
Theory Planned Behavior (TPB)
Theory Planned Behavior (teori perilaku yang direncanakan) adalah teori yang menghubungkan keyakinan dan perilaku. Konsep ini diusulkan oleh Ajzen (1985) untuk memperbaiki kekuatan prediksi dari teori tindakan beralasan termasuk yang dirasakan kontrol perilaku. Tujuan dan manfaat dari teori ini adalah untuk meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasi perilaku, baik kemauan individu itu sendiri maupun bukan kemauan dari individu tersebut. Teori ini terdiri dari 3 (tiga) dasar determinan, yaitu: 1.
Sikap (attitude), ini mengacu pada sejauh mana seseorang memiliki evaluasi menguntungkan atau tidak menguntungkan dari perilaku yang menarik. Hal
11
ini memerlukan pertimbangan hasil dari melakukan perilaku. Contohnya adalah sikap seorang terhadap intuisi, terhadap orang lain, atau terhadap suatu objek. Dalam hal ini, sikap auditor terhadap lingkungan dimana ia bekerja (kantor), terhadap atasannya atau terhadap penjelasan dari kliennya, dan tentunya terhadap pemberian opininya atas laporan keuangan. 2.
Norma subyektif (subjective norm), ini mengacu pada keyakinan tentang apakah kebanyakan orang menyetujui atau menolak perilaku. Hal ini terkait dengan keyakinan seseorang tentang apakah rekan-rekan dan orang-orang yang penting bagi orang berpikir dia harus terlibat dalam perilaku. Contohnya adalah etika profesi seorang auditor yang menyangkut keyakinan pada kode atau standar yang telah berlaku selama melakukan pemeriksaan.
3.
Kontrol perilaku (perceived behavioual control), ini mengacu pada persepsi seseorang dari kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku yang menarik. Dirasakan kontrol perilaku bervariasi diseluruh situasi dan tindakan, yang menghasilkan orang yang memiliki berbagai persepsi pengendalian perilaku tergantung pada situasi.
2.1.3 Skeptisisme Profesional Auditor
Tertuang dalam Standar Profesional Akuntan Publik PSA No.04, SA seksi 230.06 mendefinisikan skeptisisme profesional sebagai: “Sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit”. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) skeptisisme diartikan sebagai:
12
“Sikap atau paham yang memandang sesuatu hal dengan tidak pasti, sehingga seolah-olah bersifat kurang percaya ataupun ragu-ragu terhadap hal yang sedang dijalankan”.
Skeptisisme profesional seorang auditor menjelaskan bahwa seorang auditor harus memiliki sifat keraguan atau kecurigaan terhadap kliennya. Hal ini dimaksudkan agar seorang auditor tidak begitu saja menerima penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti dan konfirmasi mengenai obyek yang dipermasalahkan.
International Federation of Accountant (IFAC) dalam Tuanakotta (2011) mendefinisikan professional skepticism dalam konteks evidence assessment atau penilaian atas bukti audit, yaitu: “Skepticism means the auditor makes a critical assessment, with a questioning mind, of the validity of audit evidence obtained and is alert to audit evidence that contradicts or b rings into question the reliability of documents and responses to inquiries and other information obtained from management and those charged with governance”.
Dari pengertian di atas didapat unsur-unsur professional skepticism yaitu: ada penilaian yang kritis, adanya cara berfikir yang terus-menerus bertanya dan mempertanyakan, adanya kesahihan dari bukti audit yang diperoleh, waspada terhadap bukti audit yang kontradiktif, mempertanyakan keandalan dokumen dan jawaban atau pertanyaan serta informasi lain, dan yang diperoleh dari manajemen dan mereka yang berwenang dalam pengelolaan (perusahaan).
Sikap skeptis seorang auditor ini sangat diperlukan, terlebih lagi dalam hal pemberian opini atas kewajaran laporan keuangan. Karena apabila dalam
13
pelaksanaan pekerjaan lapangannya seorang auditor hanya berfokus pada prosedur audit yang telah direncanakan sejak awal saja maka akan sulit bagi seorang auditor dalam menentukan apakah opini yang nantinya akan diberikan telah tepat sesuai dengan kondisi laporan keuangan klien. Untuk itu diperlukan profesionalisme seorang auditor, dimana profesionalisme seorang auditor terdiri dari Integritas, Objektivitas, dan Independensi (Agoes, 2012).
Dalam penelitian ini skeptisisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: independensi, keahlian, etika profesi, pengalaman auditor dan situasi audit. Dimana sikap skeptis bersifat subyektif sehingga setiap auditor memiliki ukuran skeptis yang berbeda-beda bergantung dari tingkat kepercayaan auditor terhadap klien dan tipe kepribadian auditor sendiri.
2.1.4 Independensi
Independensi diartikan oleh Kode Etik Akuntan Indonesia tahun 2011 sebagai: ”Independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Menurut Mulyadi (2011) independensi auditor mempunyai tiga aspek, yaitu: 1.
Independence in fact, dapat diartikan sebagai independensi yang berupa kejujuran dalam diri auditor saat mempertimbangkan berbagai fakta yang ditemuinya dalam auditnya.
14
2.
Independence in appearance, merupakan independensi yang ditinjau dari sudut pandang pihak lain yang mengetahui informasi yang bersangkutan dengan diri auditor.
3.
Independensi ditinjau dari sudut pandang keahliannya. Seseorang dapat mempertimbangkan fakta dengan baik, jika ia mempunyai keahlian mengenai audit atas fakta tersebut. Kompetensi auditor menentukan independen atau tidaknya auditor tersebut dalam mempertimbangkan fakta yang diauditnya.
2.1.5 Keahlian
Standar umum pertama dari standar auditing PSA Seksi 210, paragraf 01 menyatakan bahwa: ”Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor”.
Sedangkan dalam penelitian Kushasyandita (2012) mendefinisikan keahlian audit sebagai keahlian profesional yang dimiliki oleh auditor sebagai hasil dari pendidikan formal, ujian profesional maupun keikutsertaan dalam pelatihan, seminar, simposium dan lain-lain seperti: 1. Untuk luar negeri (AS) ujian CPA (Certified Public Accountant) dan untuk di dalam negeri (Indonesia) USAP (Ujian Sertifikat Akuntan Publik). 2. PPL (Pelatihan Profesi Berkelanjutan). 3. Pelatihan-pelatihan intern dan ekstern. 4. Keikutsertaan dalam seminar, simposium, dan lain-lain.
15
Keahlian seorang auditor tidak hanya didapat dari pendidikan formal saja, tetapi keahlian auditor juga dapat diperoleh dari pengalaman saat melaksanakan tugas audit. Pengalaman yang lebih akan menghasilkan pengetahuan yang lebih, sehingga dalam hal ini pengalaman dan pengetahuan nantinya akan menghasilkan keahlian bagi seorang auditor.
2.1.6 Etika Profesi
Etika secara umum didefinisikan sebagai nilai-nilai tingkah laku atau aturanaturan tingkah laku yang diterima dan digunakan oleh suatu golongan tertentu atau individu (Sukamto, 1991 dalam Kusuma, 2012). Sedangkan menurut Elder dkk., (2012) etika dapat didefinisikan secara luas sebagai seperangkat prinsipprinsip moral atau nilai-nilai. Perilaku beretika merupakan hal yang penting bagi masyarakat agar kehidupan berjalan dengan tertib. Hal ini dikarenakan etika merupakan hal perekat untuk menyatukan masyarakat.
Prinsip-prinsip dasar etika profesional, yaitu: 1. Integritas. Auditor harus terus terang dan jujur serta melakukan praktik secara adil dan sebenar-benarnya dalam hubungan profesional mereka. 2. Objektivitas. Auditor harus tidak berkompromi dalam memberikan pertimbangan profesionalnya karena adanya bias, konflik kepentingan atau adanya pengaruh dari orang lain yang tidak semestinya. 3. Kompetensi profesional dan kecermatan. Auditor harus menjaga pengetahuan dan keterampilan profesional mereka dalam tingkat yang cukup tinggi, dan
16
tekun dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka ketika memberikan jasa profesional. 4. Kerahasiaan. Auditor harus menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh selama tugas profesional maupun hubungan dengan klien. Auditor tidak boleh menggunakan informasi yang sifatnya rahasia dari hubungan profesional mereka, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan pihak lain. 5. Perilaku profesional. Auditor harus menahan diri dari setiap perilaku yang akan mendiskreditkan profesi mereka, termasuk melakukan kelalaian.
Dari hal pemberian opini auditor yang bebas dari salah saji material, seorang auditor pasti sering mengalami dilema etika semasa karier bisnis mereka. Dimana disatu sisi auditor seperti mendapatkan tekanan dan terancam digantikan dengan auditor yang baru oleh pihak manajemen perusahaan apabila auditor tidak memberikan opini unqualified (opini wajar tanpa pengecualian), namun disisi lain auditor juga menemukan hal-hal yang dapat bersifat materialitas dalam laporan keuangan. Disaat inilah profesionalisme auditor dapat diuji, apakah ia akan tetap mempertahankan sifat profesionalismenya atau malah sebaliknya demi mendapatkan reward dari perusahaan klien, etika auditorpun seperti terabaikan.
2.1.7 Pengalaman
Di Indonesia, pemerintah telah menetapkan bahwa seorang auditor baru dapat melakukan praktik sebagai akuntan publik apabila auditor tersebut telah memiliki pengalaman sekurang-kurangnya tiga tahun. Ketetapan ini diatur melalui SK
17
Menteri Keuangan No.43/KMK.017/1997, tanggal 27 Januari 1997 tentang jasa akuntan publik (Mulyadi, 2011).
Kemudian tertuang dalam Standar Auditing PSA Seksi 210, paragraf 03 menyatakan: ”Asisten junior yang baru masuk ke dalam karier auditing harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan review atas pekerjaannya dari atasan yang lebih berpengalaman”.
Pengalaman Auditor sendiri didapat pada saat melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, banyaknya penugasan maupun jenis-jenis perusahaan yang pernah ditangani. Alasan yang paling umum dalam mendiagnosis suatu masalah adalah ketidakmampuan menghasilkan dugaan yang tepat. Libby dan Frederick (1990) dalam Kusuma (2012) menemukan bahwa makin banyak pengalaman auditor makin dapat menghasilkan berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit.
Pengalaman merupakan atribut yang penting bagi auditor, terbukti dengan tingkat kesalahan yang dibuat auditor, auditor yang sudah berpengalaman biasanya lebih dapat mengingat kesalahan atau kekeliruan yang tidak lazim/wajar dan lebih selektif terhadap informasi-informasi yang relevan dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman (Meidawati, 2001 dalam Kusuma, 2012). Auditor yang telah berpengalaman ini juga akan membuat judgement relatif lebih baik dalam menentukan opini audit dan dalam hal menggunakan sikap skeptisisme profesional auditor yang dimilikinya.
18
2.1.8 Situasi Audit
Situasi audit adalah dimana dalam suatu penugasan audit, auditor dihadapkan pada keadaan yang mengandung resiko audit rendah (regularities) dan keadaan yang mengandung resiko audit yang besar (irregularities) (Mulyadi, 2011). Irregularities sering diartikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat ketidaksengajaan atau kecurangan yang dilakukan dengan sengaja. Situasi irregularities antara lain, yaitu (1) related party transaction, (2) client misstate (klien melakukan penyimpangan), (3) kualitas komunikasi, (4) Klien baru pertama kali diaudit, dan (5) klien bermasalah (Suraida, 2005).
Situasi audit yang mengandung resiko audit rendah (regularities) yaitu saat ditemukan adanya kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja oleh pihak manajemen sehingga dalam hal ini auditor membutuhkan sikap skeptis dengan tingkat yang rendah. Sedangkan situasi audit yang mengandung resiko audit yang besar (irregularities) apabila dalam proses audit nantinya seorang auditor menemukan indikasi yang mengarah terhadap kecurangan yang dilakukan dengan sengaja maka seorang auditor harus menggunakan sikap skeptisnya dengan tingkat yang tinggi karena akan sangat berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor.
Menurut Shaub dan Lawrence (1996) contoh situasi audit seperti related party transaction, hubungan pertemanan yang dekat antara auditor dengan klien, klien yang diaudit adalah orang yang memiliki kekuasaan kuat di suatu perusahaan akan mempengaruhi skeptisisme profesional auditor dalam memberikan opini
19
yang tepat. Menurut Elder, dkk. (2012) situasi seperti kesulitan untuk berkomunikasi antara auditor lama dengan auditor baru terkait informasi mengenai suatu perusahaan sebagai auditee akan mempengaruhi skeptisisme profesionalnya dalam hal pemberian opini auditor.
2.1.9 Opini Auditor
Opini audit merupakan pendapat yang diberikan oleh auditor tentang kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan tempat auditor melakukan audit. Ikatan Akuntan Indonesia (2001) menyatakan bahwa laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal jika nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab auditor bersangkutan.
Auditor menyatakan pendapatnya mengenai kewajaran laporan keuangan auditan, dalam semua hal yang material, yang didasarkan atas kesesuaian penyusunan laporan keuangan tersebut dengan prinsip akuntansi berterima umum (Mulyadi, 2011). Jika auditor tidak dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup atau jika hasil pengujian auditor menunjukkan bahwa laporan keuangan yang diauditnya disajikan tidak wajar, maka auditor perlu menerbitkan laporan audit selain laporan yang berisi pendapat wajar tanpa pengecualian.
20
Terdapat lima pendapat yang mungkin diberikan oleh akuntan publik atas laporan keuangan yang diauditnya (Mulyadi, 2011). Pendapat tersebut adalah: 1. Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion) Pendapat wajar tanpa pengecualian diberikan auditor jika: a. Tidak terjadi pembatasan dalam lingkup audit dan tidak terdapat pengecualian yang signifikan mengenai kewajaran. b. Penerapan prinsip akuntansi yang berterima umum dalam penyusunan laporan keuangan. c. Auditor bersifat independen. d. Dalam pemeriksaan auditor telah menerapkan Standar Profesional Akuntan Publik. e. Konsistensi penerapan prinsip akuntansi berterima umum tersebut, serta pengungkapan memadai dalam laporan keuangan.
2. Laporan yang Berisi Pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dengan Bahasa Penjelasan (Unqualified Opinion Report with Explanatory Language) Jika terdapat hal-hal yang memerlukan bahasa penjelasan, namun laporan keuangan dari hasil usaha perusahaan klien, auditor dapat menerbitkan laporan audit bentuk baku.
3. Pendapat Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion) Auditor memberikan pendapat wajar dengan pengecualian dalam laporan audit, jika auditor menjumpai kondisi-kondisi berikut ini:
21
a. Lingkup audit dibatasi oleh klien b. Auditor tidak dapat melaksanakan prosedur audit penting atau tidak dapat memperoleh informasi penting karena kondisi-kondisi yang berada di luar kekuasaan klien maupun auditor. c. Laporan keuangan tidak disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. d. Prinsip akuntansi berterima umum yang digunakan dalam laporan keuangan tidak diterapkan secara konsisten.
4. Pendapat tidak Wajar (Adverse Opinion) Auditor memberikan pendapat tidak wajar jika: a. Laporan keuangan klien tidak disusun berdasarkan prinsip akuntansi berterima umum sehingga tidak menyajikan secara wajar posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan klien. b. Jika ada pembatasan lingkup auditnya, sehingga ia tidak dapat mengumpulkan bukti kompeten yang cukup untuk mendukung pendapatnya. c. Laporan keuangan yang dibuat oleh pihak klien tidak disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. d. Terjadi kesalahan yang cukup material sehingga dapat mempengaruhi mengenai kewajaran laporan keuangan.
Jika laporan keuangan diberi pendapat tidak wajar oleh auditor, maka informasi yang terdapat dalam laporan keuangan sama sekali tidak dapat
22
dipercaya dan tidak dapat digunakan oleh pemakai informasi keuangan untuk pengambilan keputusan.
5. Pernyataan tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion) Jika auditor tidak menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan, maka laporan audit ini disebut dengan laporan tanpa pendapat (no opinion report). Kondisi yang menyebabkan auditor menyatakan tidak memberikan pendapat adalah : a. Pembatasan yang luar biasa sifatnya terhadap lingkungan audit. b. Auditor tidak independen dalam hubungannya dengan kliennya. c. Ada ketidakpastian yang cukup material.
Opini auditor dikatakan tepat apabila dalam pemberian opini tersebut telah dipertimbangkan dengan kriteria-kriteria yang telah disampaikan di atas. Dan dalam pertimbangan pemberian opini, auditor telah menerapkan Standar Profesional Akuntan Publik, auditor dapat bersifat independen, dan laporan keuangan klien telah disajikan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan. didasarkan apabila laporan keuangan klien telah bebas dari kesalahan maupun kekeliruan yang dilakukan oleh pihak manajemen.
2.2 Penelitian Terdahulu
Sudah banyak penelitian yang telah membahas mengenai ketepatan pemberian opini auditor dan faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional
23
auditor. Berikut ini rincian beberapa penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai acuan peneliti: Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
No. 1.
Peneliti, dan Judul Penelitian Wahyudi., dkk. 2006 Judul: Hubungan Etika Profesi, Keahlian, Pengalaman, dan Situasi Audit dengan Ketepatan Pemberian Opini dalam Audit Laporan Keuangan Melalui Pertimbangan Materialitas dan Skeptisisme Profesional Auditor.
2.
Gusti dan Ali. 2008 Judul: Hubungan Skeptisisme Profesional Auditor dan Situasi Audit, Etika, Pengalaman Serta Keahlian Audit Dengan Ketepatan Pemberian Opini Auditor oleh Akuntan Publik
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Analisis data dilakukan dengan menggunakan (PLS) metode Partial Least Square dengan Smart PLS 2.0 M3 dengan data sebanyak 61 sampel hasil tanggapan kuesioner yang didistribusikan ke 18 kantor akuntan publik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa etika, keahlian, dan pengalaman memiliki hubungan yang signifikan dengan ketepatan pemberian opini audit. Sementara, etika dan skeptisisme profesional auditor berpengaruh secara signifikan melalui pertimbangan tingkat materialitas, kemudian etika dan situasi audit berpengaruh signifikan melalui skeptisisme profesional auditor.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda. Pengujian hipotesis untuk menentukan apakah ada hubungan yang signifikan antara skeptisme profesional auditor dan situasi audit, etika, pengalaman juga keahlian audit dengan ketepatan pemberian opini audit oleh akuntan publik.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan hubungan yang signifikan antara skeptisisme profesional auditor dan situasi audit terhadap ketepatan pemberian opini oleh auditor. Untuk tiga variabel lainnya, yaitu: etika, pengalaman dan keahlian audit tidak memiliki hubungan secara signifikan dengan ketepatan pemberian opini audit oleh akuntan publik.
24
3.
Kushasyandita, Sabhrina. 2012 Judul: Pengaruh Pengalaman, Keahlian, Situasi Audit, Etika, dan Gender Terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor Melalui Skeptisisme Profesional Auditor (Studi Kasus Pada KAP Big Four di Jakarta)
4.
Kautsarrmelia Tania, 2013 Pengaruh Independensi, Keahlian, Pengetahuan Akuntansi dan Auditing serta Skeptisme Profesional Auditor terhadap Ketepatan Pemberian Opini Audit oleh Akuntan Publik
Untuk mengetahui pengaruh langsung dari variabel pengalaman, keahlian, situasi audit, etika, dan gender terhadap ketepatan pemberian opini auditor serta pengaruh tidak langsung antara variabel pengalaman, keahlian, situasi audit, etika dan gender terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor. Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan Partial Least Square (PLS).
Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa gender memiliki pengaruh signifikan secara langsung terhadap ketepatan pemberian opini auditor dan situasi audit berpengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor melalui skeptisisme profesional auditor.
Pengujian Hipotesis menggunakan analisis regresi sederhana dan analisis regresi berganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independensi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor, sedangkan untuk variabel keahlian dan pengetahuan memiliki pengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor.
Sumber : Berbagai literatur pendukung penelitian
25
2.3 Model Penelitian
Berdasarkan telaah pustaka serta penelitian terdahulu, maka penelitian ini menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor yaitu independensi, keahlian, etika profesi, pengalaman, dan situasi audit terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Untuk membantu dalam memahami penelitian ini, diperlukan adanya suatu kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Penelitian Skeptisisme Profesional Auditor (X1)
Independensi (X2)
H1 (+) H2 (+)
Keahlian (X3)
Etika Profesi (X4)
H3 (+)
H4 (+) H5 (+)
Pengalaman (X5)
Situasi Audit (X6)
H6 (+)
Ketepatan Pemberian Opini Auditor (Y)
26
2.4 Pengembangan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai dapat dibuktikan melalui data-data yang telah dikumpulkan. Berdasarkan kerangka hipotesis tersebut, maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah:
2.4.1 Skeptisisme Profesional Auditor berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
Menurut Shaub dan Lawrence (1996) menyebutkan adanya hubungan antara skeptisisme profesional auditor dengan ketepatan pemberian opini auditor, diperkuat dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi skeptisisme profesional auditor tersebut seperti yang terdapat dalam penelitian ini, antara lain: independensi, keahlian, etika profesi, pengalaman, dan situasi audit. Teori auditing yang dikemukakan oleh Mautz dan Sharaf (1961) menjelaskan bahwa seorang auditor harus memiliki sifat kehati-hatian dalam proses pemeriksaannya dan selalu mengindahkan norma-norma profesi dan norma moral yang berlaku. Sama halnya dengan skeptisisme profesional auditor yang memiliki arti bahwa seorang auditor harus memiliki sifat curiga terhadap klien, agar dapat mengajukan pertanyaan untuk diperoleh bukti secara kompeten, sehingga bukti tersebut nantinya akan memperkuat dasar pengambilan kesimpulan yang tertuang dalam pendapat auditor. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Suraida (2005) dan Gusti dan Ali (2008) membuktikan secara empiris bahwa skeptisisme profesional auditor memiliki pengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini
27
auditor. Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut : H1 = Skeptisisme Profesional Auditor berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
2.4.2
Independensi berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
Elder, dkk. (2012) mengartikan independensi sebagai pandangan yang tidak memihak dalam proses pemeriksaan. Sama halnya dengan konsep independensi dan konsep penyajian atau pengungkapan yang wajar yang terdapat dalam teori auditing yang menyatakan bahwa informasi laporan keuangan yang bebas (tidak memihak), tidak bias, dan mencerminkan posisi keuangan, hasil operasi, dan aliran kas perusahaan yang wajar. Hal ini dimaksudkan agar hasil pemeriksaan nantinya yang berupa opini atas kewajaran laporan keuangan dapat bersifat tepat sesuai dengan kondisi laporan keuangan klien. Penelitian yang telah dilakukan Kautsarrahmelia (2013) membuktikan bahwa independensi tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Alim dkk. (2007) membuktikan bahwa independensi memiliki pengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut : H2 = Independensi berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
28
2.4.3 Keahlian berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
Sesuai dengan landasan teori yang telah dipaparkan pada landasan teoritis, theory planned of behavior mampu menjelaskan bagaimana keahlian audit dapat mempengaruhi ketepatan pemberian opini auditor. Teori ini mengasumsikan bahwa manusia biasanya akan berperilaku pantas dengan dasar tiga fungsi dasar determinan, yaitu: (1) attitude, (2) subjective norm, (3) behavior control. Fungsi dasar determinan attitude dan subjective norm mampu menjelaskan sikap dari diri seseorang, sesuai dengan lingkungan dan norma-norma yang diyakini orang-orang disekitarnya. Orang lain akan menilai seseorang yang berkeahlian tinggi pasti akan berperilaku baik, oleh karena itu setiap individu dengan keahlian tertentu biasanya akan bersikap sesuai dengan bagaimana persepsi orang lain terhadap dirinya. Keahlian audit mencakup seluruh pengetahuan auditor akan dunia audit itu sendiri, tolak ukurnya adalah tingkat sertifikasi pendidikan dan jenjang pendidikan sarjana formal (Gusti dan Ali, 2008). Dengan menggunakan kemahirannya untuk membuat pertimbangan dan menggunakan sikap skeptisnya dengan baik sehingga dapat memperoleh dan mengevaluasi bukti yang memadai untuk ditariknya kesimpulan audit. Penelitian yang telah dilakukan oleh Kausarrahmelia (2013) menunjukkan bahwa keahlian tidak memiliki pengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suraida (2005) membuktikan bahwa keahlian memiliki pengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor.
29
Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H3 = Keahlian berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
2.4.4 Etika Profesi berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
Pelaksanaan pekerjaan auditor tidak terlepas dari etika profesi, dimana etika dibutuhkan untuk menjadi pedoman dalam setiap pelaksanaan profesi. Etika dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dalam suatu hal dan etika inilah yang menjadikan seseorang memiliki akhlak yang baik sesuai norma-norma yang berlaku. Hal ini diperkuat dengan adanya theory planned of behavior yang didalamnya terdapat unsur norma subyektif dan adanya konsep mengenai etika perilaku yang terdapat dalam teori auditing yang menyebutkan bahwa adanya keyakinan mengenai suatu norma atau standar yang mengikat antar masyarakat, sehingga seseorang yang telah berpedoman pada norma dan etika akan lebih bersikap terbuka terhadap ketentuan profesi yang telah diatur. Penelitian yang telah dilakukan oleh Kushasyandita (2012) membuktikan bahwa etika tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Wahyudi dkk. (2006) membuktikan bahwa etika profesi berpengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H4 = Etika Profesi berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
30
2.4.5 Pengalaman berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
Theory planned of behavior menyatakan pada dasarnya sikap adalah kepercayaan postif atau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu, sehingga intensi untuk berperilaku ditentukan dari sikap. Fungsi dasar determinan perceived behavioral control berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan persepsi seseorang untuk menentukan perilakunya. Fungsi determinan ini berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan persepsi seseorang mengenai seberapa sulit untuk melakukan suatu perilaku (Kushasyandita, 2012). Pengalaman yang didapat oleh seorang auditor menjadikan auditor bersifat lebih berhati-hati saat berhadapan dengan kasus atau temuan audit. Auditor dengan pengalaman yang cukup, kinerjanya akan lebih baik dibandingkan dengan masih sedikit pengalaman. Pengalaman sebagai riwayat yang dialami oleh suatu organisme pada saat lampau atau persepsi yang sedang dialami dari situasi ketidaksadaran yang ada. Sehingga auditor yang telah memiliki pengalaman yang banyak akan lebih tau bagaimana ia harus menghadapi kasus-kasus yang telah dialami sehingga lebih bersifat hati-hati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama pada kedepannya. Penelitian yang telah dilakukan oleh Kushasyandita (2012) membuktikan bahwa pengalaman auditor tidak berpengaruh terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Winantyadi dan Waluyo (2014) membuktikan secara empiris bahwa pengalaman auditor dapat berpengaruh secara positif terhadap ketepatan
31
pemberian opini auditor. Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H5 = Pengalaman berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
2.4.6 Situasi Audit berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor
Seorang auditor di dalam melakukan audit biasanya dihadapkan pada situasi yang memiliki resiko rendah (situasi regularities) dan situasi yang memiliki resiko tinggi (situasi irregularities). Di dalam situasi tertentu, resiko terjadinya kesalahan dan penyajian yang salah dalam akun dan dalam laporan keuangan jauh lebih besar dibandingkan dengan situasi yang biasa (Gusti dan Ali, 2008). Theory of planned behavior menyebutkan bahwa adanya kontrol perilaku yang ia rasakan bergantung dari situasi dan variasi persepsi tersebut yang dapat menghasilkan berbagai pengendalian perilaku yang bergantung dari situasi yang ada. Sehingga dalam hal ini, auditor akan lebih mempertimbangkan mengenai opini apa yang nantinya akan diberikan sesuai dengan situasi yang terjadi dalam pemeriksaan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Suraida (2005) dan Wahyudi dkk. (2006) membuktikan bahwa situasi audit memiliki pengaruh secara signifikan terhadap ketepatan pemberian opini auditor. Berdasarkan uraian tersebut dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H6 = Situasi Audit berpengaruh positif terhadap Ketepatan Pemberian Opini Auditor