BAB II KONSEP BIMBINGAN KEAGAMAAN ORANG TUA DAN PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI
2.1. Bimbingan Keagamaan Orang Tua 2.1.1. Pengertian Bimbingan Keagamaan Bimbingan menurut kamus bahasa Inggris merupakan terjemahan dari kata “Guidance” yang mempunyai arti pimpinan, bimbingan, pedoman atau petunjuk (Sadely, 2003: 283). Prayitno (1999: 99) mengartikan bimbingan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa individu agar dapat mengembangkan kemampuan diri dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada serta berdasarkan norma-norma yang berlaku. Menurut Samsul Munir, bimbingan adalah bantuan yang diberikan secara sistematis kepada seseorang atau masyarakat agar mereka mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya sendiri dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan, sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya secara bertanggung jawab tanpa harus bergantung kepada orang lain, dan bantuan itu dilakukan secara terus menerus (Munir, 2010: 7). Menurut Bimo Walgito, bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu dalam menghindari atau
20 1
21
mengatasi kesulitan di dalam kehidupan agar individu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya (Walgito, 1995: 4). Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang terus menerus
dari
seorang
pembimbing
kepada
individu
yang
membutuhkannya dalam rangka mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal agar tercapai kemandiriannya dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada serta berdasarkan norma-norma yang berlaku. Pengertian agama sebagai suatu istilah yang dipakai seharihari sebenarnya dilihat dari dua aspek yaitu: 1.
Aspek subjektif (pribadi manusia). Agama mengandung pengertian tentang tingkah laku yang dapat mengatur dan mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan pola hubungan masyarakat serta alam sekitarnya.
2.
Aspek objektif (doctrine). Agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai ajaran Tuhan yang bersifat menuntun manusia ke arah tujuan yang sesuai dengan kehendak ajaran tersebut. Agama dalam pengertian ini belum masuk ke dalam batin manusia atau belum membudaya dalam tingkah laku manusia, karena masih berupa doctrine (ajaran) yang objektif berada diluar diri manusia, oleh karena itu secara
formal,
22
Agama dilihat dari aspek objektif dapat diartikan sebagai “peraturan yang bersifat Illahi (dari Tuhan) yang menuntun orang-orang berakal budi ke arah ikhtiar untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia dan memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat” (Arifin, 1982: 1). Setelah mengetahui pengertian baik mengenai bimbingan, maupun agama, maka selanjutnya akan dijelaskan tentang definisi bimbingan keagamaan. Menurut Faqih, Bimbingan keagamaan adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar dalam kehidupan keagamaannya senantiasa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Faqih, 2001: 62). Bimbingan keagamaan menurut Arifin adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami kesulitankesulitan rohaniyah dalam lingkungan hidupnya agar orang tersebut mampu mengatasinya sendiri karena timbul kesadaran atau penyerahan diri terhadap kekuasaan Tuhan sehingga timbul pada diri pribadinya suatu cahaya harapan kebahagiaan hidup saat sekarang dan masa depannya (Arifin, 1976: 24). Bimbingan keagamaan menurut Hallen adalah suatu usaha membantu individu dalam menanggulangi penyimpangan perkembangan fitrah beragama yang dimilikinya, sehingga ia kembali menyadari peranannya sebagai khalifah di bumi dan berfungsi untuk menyembah mengabdi kepada
23
Allah SWT sehingga, akhirnya tercipta kembali hubungan yang baik dengan Allah, dengan manusia dan alam semesta (Hallen, 2002: 22). Dengan demikian, bimbingan keagamaan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang membutuhkan bimbingan ke arah yang bermanfaat, proses bimbingan sebagaimana bimbingan yang lainnya tetap dalam seluruh seginya berlandaskan ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, individu dibantu dan dibimbing agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah SWT sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Jadi bimbingan keagamaan orang tua adalah proses pemberian bantuan oleh orang tua kepada anaknya secara optimal sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan AsSunnah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. 2.1.2. Landasan Bimbingan Keagamaan Landasan utama bimbingan keagamaan adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sebab keduanya merupakan sumber dari segala sumber pedoman kehidupan umat Islam, seperti disebutkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai berikut:
ِ ﺗَـﺮ ْﻛ... ِ ِ َﺔﺎب اﷲِ َو ُﺳﻨ ُ َ َ َ ْﻮا ﻣﺎ ﺗﻤﺴﻜﺘﻢ ﺑﻬﻤﺎ ﻛﺘﺖ ﻓْﻴ ُﻜ ْﻢ ﺍﻣﺮﻳﻦ ﻟَ ْﻦ ﺗﻀﻠ (ﺳ ْﻮﻝ اﷲِ ﺻﻟﻰﺍﷲ ﻋﻠﻳﻪ ﻭﺳﻠﻡ )ﺭﻭﺍﻩﺍﻻﻣﺎﻡ ﻣﺎ ﻟﻚ ُ َر
24
Artinya: “Telah aku tinggalkan ditengah kalian dua perkara, sekalikali kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya: Kitabullah dan sunnah Rasulullah SAW (H.R. Imam Malik). Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dapat diistilahkan sebagai landasan ideal dan konseptual bimbingan Islam. Dari Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul
itulah
gagasan,
tujuan,
dan
konsep-konsep
(pengertian, makna hakiki) bimbingan Islam bersumber. Jika Al-Qur’an dan Sunnah merupakan landasan utama yang diposisikan sebagai landasan naqliyah, maka landasan lain yang digunakan bimbingan keagamaan yang sifatnya aqliyah adalah filsafat dan ilmu. Falsafah disini terdiri dari falsafah tentang manusia,
kehidupan,
pernikahan
dan
keluarga,
pendidikan,
masyarakat dan kehidupan bermasyarakat dan falsafah kerja, sedangkan ilmu terdiri dari ilmu jiwa (psikologi), ilmu syariah dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi, antropologi, dan sebagainya) (Faqih, 2001: 5). 2.1.3. Tujuan dan Fungsi Bimbingan Keagamaan Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia pasti memiliki tujuan dan fungsi. Tujuan dan fungsi tersebut meliputi fungsi bagi diri sendiri maupun bagi lingkungannya. Adapun tujuan bimbingan agama menurut Daradjat adalah untuk membina moral atau mental seseorang ke arah yang sesuai dengan ajaran agama artinya, setelah bimbingan itu terjadi orang dengan sendirinya akan menjadikan
25
agama sebagai pedoman dan pengendalian tingkah laku, sikap, dan gerak-geriknya dalam hidup (Daradjat, 1982: 68). Faqih (2001: 63-64) berpendapat bahwa tujuan bimbingan keagamaan yaitu: 1.
Membantu individu mencegah timbulnya masalah-masalah dalam kehidupan keagamaan, antara lain dengan cara: a.
Membantu individu menyadari fitrah manusia.
b.
Membantu individu mengembangkan fitrahnya.
c.
Membantu individu memahami dan menghayati ketentuan dan petunjuk Allah dalam kehidupan keagamaan.
d.
Membantu individu menjalankan ketentuan dan petunjuk Allah mengenai kehidupan keagamaan.
2.
Membantu individu memecahkan masalah yang berkaitan dengan kehidupan keagamaannya antara lain dengan cara: a.
Membantu individu memahami problem yang dihadapinya.
b.
Membantu individu memahami kondisi dan situasi dirinya dan lingkungannya.
c.
Membantu individu memahami dan menghayati berbagai cara untuk mengatasi problem kehidupan keagamaannya sesuai dengan syari’at Islam.
d.
Membantu individu menetapkan pilihan upaya pemecahan problem keagamaan yang dihadapinya.
26
3.
Membantu individu memelihara situasi dan kondisi kehidupan keagamaan dirinya yang telah baik agar tetap baik dan atau menjadi lebih baik. Fungsi bimbingan keagamaan menurut pendapat Musnamar
ialah sebagai berikut : 1.
Fungsi preventif atau pencegahan, yakni mencegah timbulnya masalah pada seseorang.
2.
Fungsi
kuratif
atau
korektif,
yakni
memecahkan
atau
menanggulangi masalah yang sedang dihadapi seseorang. 3.
Fungsi preservatif dan developmental, yakni memelihara agar keadaan
yang
tidak
baik
menjadi
baik
kembali,
dan
mengembangkan keadaan yang sudah baik menjadi lebih baik (Musnamar, developmental
1992:4). adalah
Dalam
pengertian
membantu
individu
lain,
fungsi
memperoleh
ketegasan nilai-nilai anutannya, mereview pembuatan keputusan yang dibuatnya (Mappiare, 1996: 29). Menurut M. Arifin (1982: 14-16) bimbingan Islam memiliki dua fungsi utama sebagai berikut : a.
Fungsi Umum 1) Mengusahakan agar klien terhindar dari segala gagasan dan hambatan
yang
mengancam
kelancaran
proses
perkembangan dan pertumbuhan. 2) Membantu memecahkan kesulitan yang dialami oleh setiap klien.
27
3) Mengungkap tentang kenyataan psikologis dari klien yang bersangkutan yang menyangkut kemampuan dirinya sendiri, serta minat perhatiannya terhadap bakat yang dimilikinya yang berhubungan dengan cita-cita yang ingin dicapainya. 4) Melakukan
pengarahan
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan klien sesuai dengan kenyataan bakat, minat dan kemampuan yang dimilikinya sampai titik optimal. 5) Memberikan informasi tentang segala hal yang diperlukan oleh klien. b.
Fungsi Khusus 1) Fungsi penyaluran. Fungsi ini menyangkut bantuan kepada klien
dalam
memilih
sesuatu
yang
sesuai
dengan
keinginannya baik masalah pendidikan maupun pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya. 2) Fungsi menyesuaikan klien dengan kemajuan dalam perkembangan secara optimal agar memperoleh kesesuaian, klien dibantu untuk mengenal dan memahami permasalahan yang dihadapi serta mampu memecahkannya. 3) Fungsi mengadaptasikan program pengajaran agar sesuai dengan bakat, minat, kemampuan serta kebutuhan klien. 2.1.4. Materi Bimbingan Keagamaan Dalam pelaksanaan bimbingan agama bertujuan untuk memberikan bantuan seseorang yang sedang kesulitan lahir dengan
28
menggunakan pendekatan ajaran Islam. Kesulitan-kesulitan tersebut diantaranya berupa kesulitan dalam memahami mengamalkan ajaran Islam (Musnamar, 1992: 142-143). Dengan demikian, materi bimbingan
agama
haruslah
disesuaikan
dengan
kebutuhan
terbimbing yang tentu saja didasarkan pada ajaran Islam itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan Sanwar (1985: 74), materi bimbingan merupakan isi ajakan, anjuran dan ide gerakan dalam rangka mencapai tujuan. Sebagai isi ajakan dan ide gerakan dimaksudkan agar manusia mau menerima dan memahami serta mengikuti ajaran tersebut sehingga ajaran Islam ini benar-benar diketahui, dipahami, dihayati, dan selanjutnya diamalkan sebagai pedoman hidup dan kehidupannya. Semua ajaran Islam tertuang di dalam
wahyu
yang
disampaikan
kepada
Rasulullah
yang
perwujudannya terkandung di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain materi Al-Qur'an dan As-Sunnah yang perlu disampaikan dalam bimbingan agama adalah program untuk mengatasi kesulitan mengamalkan ajaran Islam yang meliputi keimanan, keislaman, dan akhlak. 1.
Keimanan Keimanan adalah ajaran tentang kepercayaan, yaitu percaya dengan yakin adanya petunjuk-petunjuk Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia, mengenai hal yang lahir (kelihatan) maupun yang batin (tidak
29
kelihatan) (Fathoni, 2001: 62). Keimanan itu hendaknya ditanamkan sejak dini kepada anak, agar menjadi dasar untuk melaksanakan ajaran agama. Iman pada hakekatnya adalah kombinasi antara aqidah, fikiran dan ibadah yang mengarahkan hati
untuk
mengerjakan
kebaikan
yang
memberikan
kemaslahatan bagi individu maupun masyarakat. Menurut Islam kepercayaan pokok itu adalah kalimat: Lâilâha illallâh, artinya: tidak ada Tuhan selain Allah. Keimanan haruslah menjadi kepercayaan mutlak dan bulat, artinya keyakinan yang mutlak kepada Tuhan. Pokok keimanan ialah Allah SWT, sebab dengan kepercayaan kepada Allah itu dengan sendirinya akan percaya pada Malaikat-Nya, Rasulrasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari kemudian dan ketentuan takdir-Nya (Razak, 1984: 122). Dengan demikian keimanan yang ditanamkan sejak kecil pada anak-anak akan menjadi bagian dari unsur-unsur kepribadian
sehingga,
dapat
menjadi
pengendali
dalam
menghadapi segala keinginan dan dorongan yang timbul, karena keyakinan
terhadap
agama
telah
menjadi
bagian
dari
kepribadiannya itu, akan mengatur sikap dan tingkah laku seseorang secara otomatis dari dalam. Ia akan melakukan sesuatu kebaikan semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT, dan tidak akan melakukan suatu kejelekan
karena takut
30
diketahui orang lain, karena dia malu kepada Allah SWT, sehingga dia menjadi orang yang bertakwa (Daradjat, 1969: 57). 2.
Keislaman Keislaman
adalah
ketentuan-ketentuan
agama
yang
merupakan pegangan bagi manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Keislaman sebagai ketentuan Allah SWT (Daradjat, 1984: 302). Keislaman atau syari’ah berarti tatanan, perundangundangan atau hukum yaitu tata aturan yang mengatur pola hubungan manusia dengan Allah secara vertikal dan hubungan manusia dengan sesamanya secara horisontal. Kaidah Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan disebut ibadah sedang kaidah Islam yang secara khusus mengatur pola hubungan horisontal dengan sesamanya disebut muamalah, dengan demikian keislaman itu meliputi ibadah dan muamalah (Fathoni, 2001 : 64). Ibadah secara sempit diartikan dengan menyembah atau mengabdi kepada Tuhan. Secara lebih luas ibadah itu mencakup segala laku perbuatan manusia untuk mengagungkan Allah. Salah satu bentuk ibadah yang paling lengkap adalah shalat. Shalat merupakan ibadah yang sangat penting dalam Islam (Uhbiyati, 2009: 57). Shalat erat kaitannya dengan latihan
31
akhlakul
karimah
karena
shalat
mengandung
landasan
pengertian shalat mencegah dari perbuatan munkar (keburukan) dan mengajak kebaikan. Ibadah puasa juga dapat melatih akhlak karena dalam ibadah puasa memiliki fungsi menjadikan orang yang bertakwa yaitu menjauhi perbuatan jahat dan melakukan perbuatan baik. Jadi, puasa tidak hanya menahan makan dan minum juga menahan diri dari berkata kotor dan perbuatan yang tidak baik, serta ibadah-ibadah lain yang memiliki manfaat terhadap diri sendiri dan orang lain (Yatimin, 2007: 6). 3.
Akhlakul Karimah Akhlak sebagaimana diucapkan Al-Ghazali dalam Quasem (1988: 81) berarti suatu kemantapan (jiwa) yang menghasilkan perbuatan atau pengalaman dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemantapan itu sedemikian, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik (yaitu amal yang terpuji menurut akal dan syari’ah) maka ini disebut akhlak yang baik. Jika amal-amal tercela yang muncul dari keadaan (kemantapan) itu, maka itu dinamakan akhlak yang buruk. Menurut ajaran Islam, bimbingan akhlakul karimah adalah faktor penting dalam membina suatu umat dan membangun suatu bangsa, oleh karena itu bimbingan akhlak harus ditanamkan sejak dini. Bimbingan akhlak
sangat penting,
32
karena menyangkut sikap dan perilaku yang seyogyanya ditampilkan oleh seorang muslim dalam hidupnya sehari-hari, baik personal (pribadi) maupun sosial. Akhlak disini diantaranya seperti berbuat baik kepada orang tua, saling hormatmenghormati,
tolong-menolong,
bersilaturrahmi,
dan
sebagainya.
2.2. Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini 2.2.1. Pengertian Akhlak Suwito (2004 :31) berpendapat bahwa akhlak adalah jamak dari Khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab, dan agama. Imam Al-Ghazali mendefinisikan akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka itu disebut akhlak yang baik, dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk (M. Ardani, 2005 :29). Akhlak adalah sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya yakni tidak dibuat-buat, dan perbuatan yang dapat kita lihat sebenarnya adalah merupakan gambaran dari sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa (Masy’ari, 1990: 4). Nata (2010: 147) mendefinisikan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan
33
sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan suatu sifat atau perangai yang tertanam dalam jiwa seseorang yang didasarkan pada ajaran agama Islam. Quraish Shihab menegaskan bahwa, akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama. Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesama manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah, misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak agama mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuhtumbuhan hingga benda-benda tak bernyawa) (Shihab, 1998: 261). 2.2.2. Ruang Lingkup Akhlak a.
Akhlak Terhadap Allah Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai khalik. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kapada Allah, diantaranya dengan tidak menyekutukan-Nya, takwa kepada-Nya, mencintai-Nya,
34
ridla dan ikhlas terhadap segala keputusan-Nya dan bertaubat, mensyukuri nikmat-Nya, selalu berdo’a kepada-Nya, beribadah, dan selalu berusaha mencari keridlaan-Nya (Nata, 2010: 149). Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dia memiliki sifatsifat terpuji, demikian agung sifat itu yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya. Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah, itu sebabnya mereka selalu bertasbih memuji nama-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran jika Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah dan sempurna (Shihab, 1998: 263). b.
Akhlak Terhadap Sesama Manusia Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Jika bertemu saling mengucapkan salam dan ucapan yang dikeluarkan adalah ucapan yang baik, setiap ucapan yang diucapkan adalah ucapan yang benar. Jangan mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan sebutan yang buruk. Selanjutnya yang melakukan kesalahan hendaknya
35
dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Selain itu dianjurkan agar menjadi orang yang pandai mengendalikan nafsu amarah, mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri. c.
Akhlak Terhadap Lingkungan Lingkungan yang dimaksud disini adalah segala sesuatu yang disekitar manusia baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. Manusia dituntut untuk mampu menghormati prosesproses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Hal yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan, bahkan dengan kata lain setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri. Binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah SWT, menjadi milik-Nya serta
36
semuanya memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan
seorang
muslim
untuk
menyadari
bahwa
semuanya adalah umat Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik (Nata, 2010: 153). Alam raya telah ditundukkan oleh Allah kepada manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya. Berapa pun harga benda-benda itu, ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak
oleh
benda-benda
sehingga
mengorbankan
kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apapun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak (Shihab, 1998: 272). 2.2.3. Tujuan Pembentukan Akhlak Akhlak dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat menentukan karena ia mengatur segala dimensi yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Tujuan akhlak ialah hendak menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya (Masy’ari, 1990: 4). Akhlak hendak menjadikan orang berakhlak baik, bertindak-tanduk yang baik terhadap manusia, terhadap sesama
37
makhluk dan terhadap Allah, Tuhan yang menciptakan kita (Rifa’i, 1993: 574). Menurut M. Ali Hasan tujuan akhlak adalah agar setiap orang berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku (tabiat), perangai atau beradat-istiadat yang baik sesuai dengan ajaran Islam (Ali, 1988: 11). Melihat dari segi tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan taqwa, yang mengandung arti melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan segala larangan agama, ini berarti menjauhi perbuatan-perbuatan jahat dan melakukan perbuatanperbuatan baik (akhlaqul karimah). Perintah Allah ditujukan kepada perbuatan-perbuatan baik dan larangan berbuat jahat (akhlaqul madzmumah). Orang yang bertaqwa berarti orang yang berakhlak mulia, berbuat baik dan berbudi luhur (Yatimin, 2007 : 5). 2.2.4. Metode Mengajarkan Akhlak Kepada Anak Usia Dini Dalam mengajarkan akhlak haruslah menjadikan iman sebagai fondasi dan sumbernya. Iman sebagai nikmat yang besar yang menjadikan manusia bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Menurut Mansur (2005: 258-265) dalam mengajarkan akhlak kepada anak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Dengan Cara Langsung Nabi Muhammad SAW adalah sebagai guru yang terbaik. Oleh karena itu, dalam menyampaikan materi ajaran-
38
ajarannya di bidang akhlak secara langsung dapat dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits dari Nabi Muhammad. 2.
Dengan Cara Tidak Langsung Dalam menyampaikan ajaran-ajaran akhlak, dapat juga menggunakan metode tidak langsung yaitu: a.
Kisah-kisah yang mengandung nilai akhlak Anak suka mendengarkan cerita atau kisah-kisah yang diberikan oleh orang tuanya. Kisah-kisah yang mengandung nilai-nilai akhlak banyak dikemukakan dalam ajaran Islam antara lain kisah Nabi-nabi dan umat mereka masing-masing.
Kisah
mempunyai
kedudukan
dan
mempunyai peranan yang besar dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Karena sangat pentingnya kedudukan kisah dalam kehidupan manusia, agama Islam memakai kisah-kisah untuk secara tidak langsung membawakan ajaran-ajaran dibidang akhlak, keimanan dan lain-lain. b.
Kebiasaan atau latihan-latihan peribadatan Peribadatan seperti shalat, puasa, zakat, haji perlu di biasakan atau diadakan latihan. Apabila latihan-latihan peribadatan ini benar-benar dikerjakan dan ditaati, maka akan lahirlah akhlak Islam pada diri orang yang mengajarkannya sehingga, orang itu menjadi orang Islam
39
berbudi luhur. Dengan kebiasaan atau latihan-latihan ibadah semacam itulah, pribadi muslim terus terbina, sehingga menjadi manusia muslim yang tangguh dan berakhlak mulia. Cara lain yang dapat ditempuh untuk pembentukan akhlak adalah pembiasaan yang dilakukan sejak kecil dan berlangsung secara kontinyu. Pembiasaan sangat diperlukan dalam bimbingan dan membutuhkan bantuan orang lain. Begitu juga dengan seorang anak sebelum seorang anak memiliki kebiasaan yang buruk maka dalam usia perkembangannya terutama disaat usia dini perlu diberikan bimbingan yang benar. Kebutuhan bimbingan bagi seorang anak disebabkan karena perkembangan budaya yang sangat pesat dan dapat mempengaruhi perkembangan pribadinya dimasa-masa mendatang baik dalam kehidupan individu maupun bermasyarakat (Yatimin, 2007 :86). Cara yang kedua adalah melalui keteladanan. Akhlak yang baik tidak dapat dibentuk hanya dengan pelajaran, instruksi dan larangan, sebab tabiat jiwa untuk menerima keutamaan itu tidak cukup dengan hanya seorang guru mengatakan kerjakan ini dan jangan kerjakan itu. Menanamkan sopan santun memerlukan pendidikan yang panjang dan harus ada pendekatan lestari. Pendidikan itu tidak akan sukses melainkan jika disertai dengan pemberian contoh teladan yang baik dan nyata. Selain itu juga dapat
40
dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina, untuk anak-anak biasanya lebih menyukai kepada hal-hal yang bersifat rekreatif dan bermain, untuk itu ajaran akhlak dapat disajikan dalam bentuk permainan (Nata 2010:166). 2.2.5. Pengertian Anak Usia Dini Anak usia dini adalah fase yang dimulai dari usia 0 tahun sampai anak berusia sekitar 6 tahun (Wibowo 2012:26). Anak usia dini
merupakan
individu
yang
sedang
mengalami
proses
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat, bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan (Mulyasa, 2012: 16). Menurut direktorat pendidikan anak usia dini, pengertian anak usia dini adalah anak usia 0-6 tahun, baik yang terlayani maupun yang tidak terlayani di lembaga pendidikan anak usia dini. Ini sesuai dengan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan
melalui
pemberian
rangsangan
pendidikan
untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Http://id.shvoong.com/social-sciences/ usiadini/blogspot date: 14 januari 2012).
2249751-pengertian-anak-
41
Usia dini merupakan momen yang penting bagi tumbuhkembang anak yang sering disebut sebagai golden age atau usia keemasan, karena itu, tepat atau tidaknya bimbingan yang diberikan kepada anak pada usia tersebut berpengaruh besar terhadap baik atau buruknya perkembangan anak dikemudian hari (Uhbiyati, 2009: 38). Banyak pakar Psikologi yang merekomendasikan optimalisasi usia dini, karena hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan anak. Usia dini juga disebut sebagai masa yang kritis bagi perkembangan anak, sebab jika dalam masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal pendidikan, perawatan, pembinaan, serta kebutuhan yang lainnya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, oleh karena itu para orang tua harus memberikan suri tauladan yang baik pada putra-putrinya sejak kecil. Segenap tingkah laku, tutur kata, bahkan gerak-gerik orang tua akan terekam secara sempurna oleh anak. Jika ingin membentuk akhlak yang baik maka, orang tua yang pertama kali baik akhlaknya, baru disusul guru atau para pengajar dan seterusnya (Wibowo 2012: 28). 2.2.6. Fase Perkembangan Anak Usia Dini Tahap-tahap perkembangan anak usia dini menjadi dasar untuk melihat keberhasilan dan kemajuan perkembangan anak. Aspek–aspek perkembangan anak merupakan satu bagian yang terintegrasi satu dengan yang lain.
42
Menurut Montessori (Asmani, 2009: 17), perkembangan anak ada beberapa tahap sebagai berikut: a.
Sejak lahir sampai usia 3 tahun, anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat menyerap pengalaman-pengalaman melalui sensorinya.
b.
Usia setengah tahun sampai kira-kira 3 tahun, anak mulai memiliki
kepekaan
bahasa
dan
sangat
tepat
untuk
mengembangkan bahasanya (berbicara, bercakap-cakap). c.
Masa usia 2-4 tahun, gerakan-gerakan otot mulai dapat dikoordinasikan dengan baik, untuk berjalan maupun untuk banyak bergerak yang semi rutin dan yang rutin, berminat pada benda-benda kecil, dan mulai menyadari adanya urutan waktu (pagi, siang, sore, malam). Selain itu, sebaiknya pada fase ini anak sebaiknya sudah diperkenalkan pada sopan-santun, serta perbuatan baik dan buruk (Wibowo, 2012: 88).
d.
Rentang usia 3-6 tahun terjadi kepekaan untuk peneguhan sensoris, semakin memiliki kepekaan indrawi. Khusus pada usia sekitar 4 tahun, anak memiliki kepekaan menulis, dan pada usia 4-6 tahun, anak memiliki kepekaan yang bagus untuk membaca (Asmani, 2009: 18). Selain itu, pada fase 4-6 tahun anak lebih penurut dan bisa diajak kerja sama, agar terhindar dari hukuman orang tua. Anak sudah bisa menerima pandangan orang lain,
43
terutama orang dewasa, bisa menghormati orang tua atau guru (Wibowo, 2012: 89). Menurut Andi Mappiare sebagaimana mengutip Elizabeth B. Hurlock
bahwa,
jika
dibagi
berdasarkan
bentuk-bentuk
perkembangan dan pola-pola perilaku yang nampak khas bagi usiausia tertentu, maka rentangan kehidupan terdiri atas sebelas masa, namun disini penulis hanya menyebutkan sampai pada masa kanakkanak saja yaitu : Prenatal
: Saat konsepsi sampai lahir.
Masa Neonatal
: Lahir sampai akhir minggu kedua setelah lahir.
Masa Bayi
: Akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
Masa kanak-kanak awal : Dua tahun sampai enam tahun. Masa kanak-kanak akhir : Enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun (Mappiare, 1982: 24 –25). Dalam pembagian rentangan usia menurut Hurlock tersebut, terlihat jelas masa kanak-kanak awal: dua tahun sampai enam tahun, dan masa kanak-kanak akhir: enam tahun sampai sepuluh atau sebelas tahun. Charlotte Buhler membagi masa perkembangan anak sebagai berikut :
44
Fase pertama, 0-1 tahun : masa menghayati obyek-obyek diluar diri sendiri, dan saat melatih fungsi-fungsi, terutama fungsi motorik yaitu fungsi yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dari badan dan anggota badan. Fase kedua, 2-4 tahun : masa pengenalan dunia obyektif diluar diri sendiri, disertai dengan penghayatan yang subyektif. Mulai ada pengenalan pada Aku sendiri, dengan bantuan bahasa dan kemauan sendiri. Anak tidak mengenal dunia luar berdasarkan pengamatan yang obyektif, melainkan memindahkan keadaan batinnya pada benda-benda diluar dirinya. Karena itu, ia bercakap-cakap dengan bonekanya, bergurau dan berbincang-bincang dengan binatang, seperti binatang dan benda-benda itu mempunyai sifat seperti diri sendiri. Fase ketiga, 5-8 tahun : masa sosialisasi anak. Pada saat ini anak mulai memasuki masyarakat luas (misalnya taman kanak-kanak, pergaulan dengan kawan-kawan sepermainan dan sekolah rendah). Ia mulai belajar mengenal arti prestasi, pekerjaan dan tugas-tugas kewajiban (Kartono, 1979: 38). Pada tulisan ini sesuai dengan tema skripsi bahwa penulis hanya akan membahas pada fase permulaan anak usia dini khususnya yang telah memasuki masa Taman Kanak-Kanak yang berkisar antara umur 3 sampai 6 tahun. Pada fase ini pendidikan dan bimbingan pada anak tidak hanya terfokus pada keluarga, tetapi
45
lebih luas lagi yaitu di sekolah dan masyarakat, yang menjadi fokus pembahasan pada bab ini adalah perkembangan anak dari aspek akhlak. Menurut Hurlock (Wibowo, 2012: 29), anak akan mengalami perkembangan akhlak dalam dua fase yaitu : 1.
Perkembangan tingkah laku yang dipilih oleh anak dalam suasana khusus. Dalam hal ini, anak dapat belajar melalui kebiasaan dan dibiasakan melalui reaksi khusus yang benar dalam situasi yang khas pula. Pada fase ini anak senantiasa belajar menyesuaikan diri dengan tingkah laku di lingkungan keluarganya. Kemudian setelah masuk sekolah, ia menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekolah, serta dengan kawan-kawan permainan.
2.
Perkembangan pengertian kesusilaan. Tingkat perkembangan ini sejalan dengan perkembangan kecerdasan anak, perkembangan sosial, emosi serta sistem nilai-nilai dari lingkungan peradaban di masa ia hidup. Berdasarkan fase perkembangan anak tersebut, maka tugas
orang tua adalah memberikan fasilitas dan membantu proses perkembangan anaknya hingga mencapai tingkat kedewasaan. Tingkat kedewasaan dalam hal ini adalah memahami norma-norma susila yang berlaku. Orang tua yang selalu mengajak anaknya untuk berfikir, selalu menerangkan mengapa sesuatu itu diperintahkan atau
46
dilarang, yang memerintah dan menegur perbuatan anaknya dengan terlebih dahulu menanyakan motivasinya, maka anak tersebut akan dapat mengembangkan ego yang kuat dan super ego yang sehat pula, oleh sebab itu sudah semestinya orang tua membimbing anak agar memiliki kesadaran tingkah laku dan sikap moral yang baik. 2.2.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Anak Usia Dini Faktor yang mempengaruhi sikap anak oleh Sjarkawi dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. 1.
Faktor Internal Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor internal biasanya merupakan faktor genetis atau bawaan. Faktor genetis maksudnya adalah faktor yang berupa bawaan sejak lahir dan merupakan pengaruh keturunan dari salah satu sifat yang dimiliki salah satu dari kedua orang tuanya (Sjarkawi, 2008: 19).
2.
Faktor Eksternal Faktor Eksternal adalah faktor yang berasal dari luar orang tersebut. Faktor eksternal biasanya merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungan seseorang mulai dari lingkungan terkecilnya, yakni keluarga, teman, tetangga, sampai dengan pengaruh dari berbagai media audiovisual seperti TV dan VCD,
47
atau media cetak seperti koran, majalah, dan sebagainya (Sjarkawi, 2008: 19). Menurut Daradjat, hubungan orang tua sesama mereka (Ayah-Ibu) sangat mempengaruhi dalam pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang, akan membawa kepada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka, mudah dididik dan dibimbing, karena ia mendapatkan kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh dan berkembang, demikian pula sebaliknya (Daradjat, 2005: 67).
2.3. Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini dengan Bimbingan Keagamaan Orang Tua 2.3.1. Bentuk Bimbingan Keagamaan Orang Tua Keluarga adalah lingkungan hidup pertama kali bagi anak dalam mendapatkan bimbingan dari orang tuanya, memperoleh pengalaman-pengalaman
pertama
yang
mempengaruhi
jalan
hidupnya, lingkungan pertama yang memberi tantangan pada anak agar dapat menyelesaikan tugas terhadap hidupnya, oleh karena itu, keluarga harus mengajarkan anak tentang akhlak mulia atau baik ( Mansur, 2005: 271). Setiap orang tua ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat dan akhlak yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan dengan melalui pendidikan, baik formal (di sekolah) maupun yang informal (di rumah oleh orang tua). Setiap pengalaman
48
yang dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya akan ikut menentukan pembinaan pribadinya (Daradjat, 2005: 66). Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina, dan pembinaan ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu-bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan dan seterusnya. Sebaliknya, jika anak-anak tidak dibina akhlaknya, atau dibiarkan tanpa bimbingan, arahan dan pendidikan, maka akan menjadi anak-anak yang nakal mengganggu masyarakat, melakukan berbagai perbuatan tercela, dan seterusnya (Nata, 2010: 157). Untuk mencapai interaksi yang baik antara orang tua dengan anak-anaknya maka dalam keluarga itu harus menjalankan peranannya sesuai dengan fungsi dan kedudukannya, baik di dalam keluarga itu sendiri maupun di lingkungan masyarakat diantara peranan-peranan tersebut yaitu: 1.
Peran Ayah Peran ayah dalam membentuk akhlak anak sangat besar artinya. Dalam pandangan anak-anak, tokoh ayah merupakan laki-laki pertama di dunia ini yang dikenalnya secara lahir batin (Sobur, 1991: 21). Mereka dapat membelai, mengadakan kontak bahasa, berbicara atau bercanda dengan anaknya. Semua itu akan sangat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.
49
Ayah juga dapat mengatur serta mengarahkan aktivitas anak misalnya,
menyadarkan
anak
bagaimana
menghadapi
lingkungannya dan situasi di luar rumah. Ia memberi dorongan, membiarkan anak mengenal lebih banyak, melangkah lebih jauh, menyediakan perlengkapan permainan yang menarik, mengajar
mereka
membaca,
mengajak
anak
untuk
memperhatikan kejadian-kejadian dan hal-hal yang menarik di luar rumah serta mengajak anak berdiskusi. Semua ini adalah tindakan ayah untuk memperkenalkan anak dengan lingkungan hidupnya dan dapat mempengaruhi anak dalam menghadapi perubahan sosial dan membantu perkembangan kognitifnya di kemudian hari (Dagun, 1990: 17). Ayah sebagai kepala keluarga merupakan penanggung jawab dalam perkembangan anak-anaknya, baik secara fisik maupun secara psikis. Dengan demikian, disamping memenuhi kebutuhan secara fisik seperti makan, minum, sandang dan sebagainya, ayah juga aktif membina perkembangan pendidikan anak. Anak memandang ayahnya sebagai pimpinan yang sangat patut dijadikan cermin bagi anaknya atau dengan kata lain ayah merupakan figur yang terpandai dan berwibawa. Setiap perilaku ayah merupakan contoh dorongan bagi anak untuk mengikutinya (Http//:anakciremai, 2012). Jika seorang ayah membiasakan yang baik-baik dan mengajarkan yang baik itu kepada anaknya,
50
anak itu akan tumbuh di atas kebaikan tersebut dan selamat di dunia dan di akhirat yaitu dengan cara melatih dan mengajari akhlak yang baik, mencegah berteman dengan anak-anak yang nakal, dan tidak membiasakan memanjakannya (Quasem, 1975: 103). 2.
Peran Ibu Seorang Ibu juga memiliki peran dan tanggung jawab yang amat penting dalam pembinaan akhlak anak dan dalam menciptakan suasana tenang dan bahagia bagi anak (Mansur, 2005: 190). Peran seorang Ibu bagi anak-anaknya juga sangat besar artinya, karena anak-anak lebih dekat hubungannya kepada ibu daripada kepada ayahnya dalam kehidupan seharihari, oleh karena itu seorang Ibu harus benar-benar berfungsi dalam menunaikan tugasnya, antara lain meliputi pemeliharaan pendidikan anak-anaknya agar mereka menjadi anak yang berguna dan menjadi anak yang shaleh (Http//:anakciremai, 2012). Pembinaan seorang Ibu terhadap anaknya merupakan pendidikan dasar yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Maka dari itu, seorang Ibu hendaknya bijaksana dan pandai mendidik anak-anaknya. Nyatalah betapa berat tugas seorang Ibu sebagai pendidik dan pengatur rumah tangga. Baik buruknya pendidikan seorang Ibu terhadap anaknya akan berpengaruh besar terhadap
51
perkembangan dan watak anaknya dikemudian hari, karena Ibu adalah seseorang yang pertama berkomunikasi langsung dengan anaknya. Pernyataan rasa kasih sayang dan perlindungan merupakan hal sangat penting bagi anak untuk mengembangkan rasa percaya diri dan terhindar dari rasa takut, gelisah yang akan mengganggu perkembangan jiwa anak. Peranan Ibu dalam pendidikan anak-anaknya adalah sumber dan pemberi rasa kasih sayang, pengasuh dan pemelihara, tempat mencurahkan isi hati pengatur kehidupan dalam rumah tangga, pendidik dalam segisegi emosional (Http//: anakciremai, 2012). 2.3.2. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Allah telah menciptakan anak dengan dibekali kekuatan pendorong alamiah yang dapat diarahkan ke arah yang baik maupun yang buruk, karena itu orang tua mempunyai tugas dan kewajiban untuk memanfaatkan kekuatan alamiah itu dengan menyalurkan kepada saluran yang baik, yakni dengan mendidik anak sejak usia dini untuk membiasakan diri dengan perilaku dan adat-istiadat yang baik, sehingga mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang kreatif dan dinamis, berguna bagi diri sendiri dan bagi pergaulan masyarakat di sekelilingnya. Dalam Al-Qur’an surat AtTahrim: 6 Allah telah menegaskan:
52
֠ !"# $ , -....
*+
֠ #
%&'() $
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Memelihara diri dan keluarga dari api neraka adalah dengan jalan memberi pelajaran dan pendidikan yang baik, membiasakan mereka untuk berakhlak mulia, serta menunjukkan kepada mereka jalan yang membawa manfaat serta keuntungan dunia dan akhirat (Mahalli, 2002: 284). Setiap anak lahir dengan suatu perbekalan, yang diterima sebagai warisan yang diturunkan dari orang tua dan nenek moyangnya. Masing-masing memperoleh perbekalan yang tidak sama, dan harus dikembangkan sebaik mungkin. Perbekalan itu berbentuk kemampuan-kemampuan yang masih belum terwujud, yang memerlukan kesempatan dan lingkungan yang memungkinkan jalannya perkembangan yang lancar. Perkembangan yang lancar dan wajar menuju individu dewasa yang bertanggungjawab atas perbuatannya hanya mungkin tercapai apabila perkembangan tersebut diberi bimbingan (Gunarsa, 2004: 112). Pada hakekatnya, para orang tua mempunyai harapan agar anak-anak mereka tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik, tahu membedakan apa yang baik dan tidak baik. Tidak mudah terjerumus dalam perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan dirinya sendiri maupun merugikan orang lain, oleh karena itu, semua orang tua berkewajiban untuk mendidik anaknya agar dapat menjadi insan
53
yang shaleh, berilmu dan bertaqwa. Hal ini merupakan suatu wujud pertanggungjawaban dari setiap orang tua kepada khaliknya (Awwad, 1995: 83). Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda:
ﻟﻤﻪ ﺍﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻭﺍﻟﺴﺒﺎﺣﺔﺑﻪ ﻭﻋ ﺍﻟﻮﻟﺪﻋﻠﻰ ﻭﺍﻟﺪﻩ ﺃﻥ ﻳﺤﺴﻦ ﺍﺍﺴﻤﻪ ﻭﺃﺪﺣﻖ ( )روﻩﺍﻟﺣﺎﻛﻢ.ﺟﻪ ﺇﺫﺍ ﺃﺩﺭﻙﺒﺎ ﻭﺃﻥ ﻳﺰﻭﻁﻴﻭﺍﻟﺮﻣﺎﻳﺔ ﻭﺃﻥ ﻻﻳﺮﺯﻗﻪ ﺇﻻ Artinya : kewajiban orangtua kepada anaknya adalah: memberinya nama yang baik, mendidiknya sopan santun, mengajarinya tulis-baca, mengajarinya berenang dan melempar panah/lembing (berolahraga), memberi rezeki kepada anak hanya yang bak-baik saja. Dan mengantarkannya ke pintu gerbang perkawinan apabila telah mendapat jodoh (H.R Al-Hakim). Berdasarkan hadits riwayat Al-hakim tersebut, orang tua berkewajiban untuk: a.
Memberi Nama Anaknya dengan Nama yang Baik Nama yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya haruslah nama yang baik, nama yang merupakan do’a dari Ibu dan Bapaknya, karena Nabi senang akan nama yang mempunyai arti yang baik.
b.
Mendidiknya dengan Sopan Santun dengan Akhlak Mulia Akhlak anak pertama kali dibentuk di rumah, dalam lingkungan rumah tangga. Akhlak dari rumah itu sebagai dasar pembentuknya selanjutnya, karenanya akhlak yang diberikan orang tua di rumah harus kokoh. Biasanya segala sesuatu yang pertama ini mempunyai kekuatan yang sukar dihilangkan, oleh
54
karena itu ajaran akhlak di rumah memegang posisi kunci pada pembentukan akhlak di luar rumah. c.
Mengajar Menulis-Membaca Dalam ajaran Islam, kewajiban mengajar menulis dan membaca pada dasarnya adalah kewajiban orang tua. Orang tua harus mempertanggungjawabkan kewajibannya di hadapan Allah, antara lain kewajiban orang tua mengajarkan menulis dan membaca. Apabila orang tua tidak mampu mengajarkan menulis atau membaca supaya minta bantuan kepada orang yang bisa mengajarnya. Guru adalah orang yang melaksanakan tugas orang tua memberikan pendidikan dan pengajaran kepada seorang anak, akan tetapi tanggung jawab utama adalah terletak pada pundak orang tua.
d.
Mendidik Kesehatan Jasmani Kewajiban orang tua yang selanjutnya yaitu mendidik agar jasmaninya sehat. Masalah macam olah raga dapat disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang mempunyai arti menyehatkan jasmani. Dalam Islam pun dianjurkan untuk mengajarkan kesehatan jasmani selain kesehatan rohani.
e.
Memberikan Konsumsi Rezeki hanya yang Baik Jenis-jenis makanan dan minuman mempunyai pengaruh pada pertumbuhan badan dan kemampuan otak seseorang, karena itu dalam Islam supaya bayi selama dua tahun disusukan
55
kepada Ibunya. Makanan atau minuman itu janganlah makanan yang bersifat haram. Makanan haram bukan saja jenis makanan yang diharamkan seperti daging babi, bangkai dan sebagainya, melainkan juga yang didapat dengan jalan yang haram seperti hasil pencurian, hasil korupsi, dan perbuatan yang diharamkan. f.
Mengawinkan Apabila Sudah Ada Jodohnya. Kewajiban orang tua bukan hanya sekedar sampai menyekolahkan dan karena sudah dewasa dibiarkannya memilih calon pasangannya menurut semaunya asal cinta, melainkan orang tua harus mengawasinya jangan sampai anak salah memilih calon pasangannya, untuk itu seharusnya orang tua selalu membimbingnya sejak dini agar anak nantinya jangan salah memilih tumpuan cinta itu (Djatnika, 1992: 223-234).
Dalam Undang-Undang juga telah disebutkan dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 tentang hak dan kewajiban antara
orang tua dan anak.
Ditentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka sebaikbaiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan terus walaupun perkawinan antara orang tua itu putus (Saleh, 1978: 34). Hubungan antara orang tua dan anak serta hak dan kewajiban masingmasing telah diatur dalam ajaran Islam. Orang tua wajib menjalin hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang dengan anak-anaknya. Orang tua berkewajiban pula memenuhi kebutuhan anak-anaknya, baik kebutuhan fisik dan material maupun kebutuhan mental dan spiritual. Kebutuhan fisik dan material yang harus
56
dipenuhi adalah makanan, pakaian, perumahan dan menjaga jasmaninya dari segala bahaya yang mengancam. Kebutuhan mental dan spiritual yang harus dipenuhi adalah berupa ilmu-ilmu yang berguna baginya baik ilmu agama maupun ilmu umum sehingga dengan ilmu yang dimiliki nantinya diharapkan ia menjadi manusia yang sempurna berilmu dan beragama, berakhlak serta dapat hidup dengan baik di tengah-tengah masyarakat.