BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kepuasan Pernikahan 2.1.1.
Pengertian Kepuasan Pernikahan Penegertian perkawinan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kepuasan pernikahan menurut Duvall & Miller, 1985 (dalam Sarwono, 2012) pernikahan adalah sebuah komitmen yang serius antar pasangan dan dengan mengadakan pesta pernikahan, berarti secara sosial diakui bahwa pasangan telah resmi menjadi suami istri. Kemudian menurut Olson dan DeFrain (2006) pernikahan sebagai emosi dan komitmen yang sah dari dua orang yang saling berbagi emosi dan keintiman fisik, berbagi tugas dan sumber ekonomi. Pernikahan menurut pemerintah merupakan hubungan yang sah secara hukum yang mengikat pasangan untuk bersama untuk reproduksi, perlindungan fisik, dan sosialisasi anak (dalam Knox & Schacht, 2013).
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
”marriage as a legal relationship that binds a couple together for the reproduction, physical care, and socialization of children”. Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(KBBI)
memberikan
pengertian kepuasan merupakan hal yang bersifat puas. kesenangan; kelegaan. Sedangkan pernikahan merupakan hal perbuatan nikah atau menikah. Kepuasan pernikahan menurut Hawkins (dalam Olson & DeFrain, 2006) adalah perasaan bahagia, puas, pengalaman menyenangkan yang sifatnya subjektif yang dimiliki seseorang berkaitan dengan keseluruhan aspek dari pernikahan. “the subjective feeling of happiness and pleasure experienced by a spouse when considering all current aspects of his marriage.”. Weis (dalam Habibi, 2015) menjelaskan bahwa kepuasan pernikahan merupakan pengalaman yang subjektif, perasaan yang kuat dan sebuah perilaku yang didasari atas faktor-faktor antara individu yang dipengaruhi oleh kualitas interaksi di dalam pernikahan yang dijalani. Olson, DeFrain, & Skogran, 2010 (dalam Mukhlis, 2015) menyatakn bahwa kepuasan pernikahan adalah perasaan yang bersifat subjektif dari pasangan suami istri mengenai perasaan bahagia , puas, dan menyenangkan terhadapa perkawinannya secara menyeluruh. Adapula pengertian kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Bernard (dalam Santrock, 2002) yaitu pernikahan digambarkan oleh bersatunya dua individu dan pada kenyataannya adalah pemersatuan
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dua sistem keluarga secara menyeluruh dan pembangunan sistem ketiga yang baru. Fizpatrick, 1988 (dalam Nihayah, 2012) mengemukakan kepuasan pernikahan diartikan sebagai bagaimana pasangan yang menikah mengevaluasi kualitas pernikahan mereka, yang merupakan gambaran yang subyektif yang dirasakan oleh pasangan tersebut, apakah individu merasa baik, bahagia, ataupun puas dengan pernikahan yang dijalaninya. Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan suatu penilaian yang bersifat subjektif mengenai kualitas dalam pernikahan yang meliputi, perasaan yang bahagia, perilaku yang dipengaruhi interaksi didalam pernikahan, menyenangkan, serta rasa puas dengan pernikaha yang dijalaninya dan juga
dalam memenuhi kebutuhan di dalam
pernikahan.
2.1.2. Alasan Menikah Alasan menikah menurut Olson dan DeFrain (2006), kebanyakan pasangan mendapatkan banyak alasan positif untuk menikah, tetapi mereka sering mengalami kesulitan mengidentifikasi alasan untuk tidak menikah. Adapun
alasan positif dan negative
sebagi berikut: Alasan positif menikah :
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
a.
Persahabatan. Berbagi kehidupan seseorang dengan orang lain adalah salah satu alasan umum untuk menikah. Persahabatan memungkinkan teman untuk berbagi perjalanan hidup. Namun, meskipun beberapa orang beranggapan bahwa pernikahan akan berakhir kesepian, jarang kedua pasangan merasa baik tentang diri mereka sendiri .
b.
Cinta dan keintiman. Kebutuhan akan cinta dan keintiman berhubungan dengan kebutuhan untuk persahabatan. Sebuah pernikahan yang baik dapat menjadi suatu hadiah yang berharga.
c.
Dukungan pasangan. Pernikahan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan sebagai manusia dan untuk memelihara pertumbuhan sebagai suatu pasangan . Sebuah pernikahan tidak dapat bertahan hidup jika pasangan hanya memikirkan pembangunan mereka sendiri, karir membutuhkan pengakuan dan prestasi. Tapi berbagi keberhasilan masing-masing dan benar-benar saling mendukung dalam upaya untuk perbaikan dan prestasi meningkatkan dan menstabilkan hubungan. Untuk mencapai hal ini, kedua orang harus mau dan mampu memberikan diri mereka sendiri. Sebuah pernikahan saling mengagumi memiliki peluang bagus untuk sukses.
d.
Pasangan seksual. Pernikahan telah lama dianggap sebagai sumber yang stabil terhadap kepuasan seksual bagi kedua pasangan. Pernikahan sering dianggap sebagai cara untuk
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
melegitimasi perasaan seksual seseorang dan perilaku. Meskipun demikian, jika seks adalah alasan utama menikah, pernikahan tidak akan memiliki kesempatan yang sangat bagus untuk bertahan. e.
Berbagi orang tua. Alas an tradisional lain untuk menikah adalah
memiliki
anak-anak,
tepi
orang
tua
bisa
mendapatkan berkah. kebanyakan orang tua membesarkan anak-anak menjadi menantang, frustasi, dan pada saat yang sama sangat memuaskan. Orang tua yang berhasil membesarkan anak-anaknya membentuk ikatan penting diantara mereka. Mendekati realistis, orang tua tetap menjadi alas an yang kuat untuk menikah. Alasan negative menikah : a.
Hamil diluar nikah. Meskipun pasangan telah melakukan hubungan seks mungkin mereka belum mengembangkan aspek-aspek lain dari keintiman sejati dan mungkin kurang pemahaman yang nyata dari mereka yang menikah. Pasangan seks belum tentu teman.
b.
Pemberontakan terhadap orang tua. Meskipun banyak orang merasa tidak nyaman mengakuinya, mereka menggunakan konflik dengan orang tua atau keluarga disfungsional mungki tampak menjadi pilihan yang rasional atau masuk akal bagi orang muda.
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
c.
Mencari kebebasan. Erat kaitannya dengan kebutuhan untuk melarikan diri atau memberontak adalah kebutuhan untuk menjadi independen. Orang dewasa muda memiliki dorongan untuk sukses. Tapi menjadi independen dari satu keluarga asal merupakan sesuatu yang hanya dapat dilakukan oleh individu. Orang tidak bisa mengandalkan pasangannya untuk melakukannya untuk mereka.
d.
Memantulkan dari hubungan orag lain. Orang cenderung untuk membingkai hubungan baru dalam hal positif, berokus pada kebahagiaan dan mengabaikan fakta bahwa mereka mungkin bereaksi terhadap hubungan mereka sebelumnya.
2.1.3.
e.
Keluarga atau tekanan social
f.
Keamanan ekonomi
Karakteristik dalam Pernikahan Karakteristik dalam pernikahan menurut Calfred Broderick (dalam Olson & DeFrain, 2006). Berikut adalah karakteristik dalam pernikahan: a.
Pernikahan adalah sebuah peristiwa demografis. Setiap pernikahan menciptakan unit sosial dalam masyarakat.
b.
Pernikahan menggabungkan dua jaringan keluarga dan sosial.
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
c.
Pernikahan adalah suatu kontrak hukum yang sah antara pasangan dan Negara. Setiap Negara menentukan hak dan tanggung jawab pasangan
d.
Pernikahan merupakan penyatuan ekonomi. Pasangan yang menikah biasanya menjadi unit keuangan tunggal untuk sebagian besar tujuan.
e.
Pernikahan adalah pengaturan tempat tinggal yang paling umum untuk orang dewasa. Beberapa orang lebih memilih untuk hidup sendiri. Pernikahan jauh lebih popular untuk pengaturan orang dewasa.
f.
Pernikahan merupakan konteks aktivitas seksual kebanyakan manusia. Kebanyakan yang menikah menilai aktivitas seksual secara positif, terutama pada tahun-tahun awal pernikahan.
g.
Pernikahan merupakan unit reproduksi. Pasangan menikah yang menjadi orang tua dan melihat orang tua sebagai tujuan penting dan tujuan yang berharga dalam hidup mereka.
h.
Pernikahan adalah unit yang mensosialisasikan anak-anak (meskipun anak-anak juga dapat dibesarkan oleh orang tua tunggal, keluarga besar, kakek nenek, dan pengasuh lainnya).
i.
Pernikahan adalah kesempatan untuk mengembangkan keintiman, berbagi dalam hubungan. Meskipun banyak pernikahan yang gagal banyak orang lain yang dilingkungan yang memberi dukungan untuk mengembangkan dan mempertahankan keintiman.
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.4. Komponen Kepuasan Pernikahan Fowers dan Olson, (dalam, Hajizah 2012) komponenkomponen yang menentukan kepuasan pernikahan, yaitu: a.
Isu kepribadian Isu kepribadian yang dimaksud disini adalah persepsi individu dan level kepuasannya dengan karakter pribadi pasangannya yang ditunjukan dengan tingkah laku. Apabila individu merasa senang dengan karakter pribadi dan pasangannya, maka hal itu akan mendukung kepuasan pernikahannya.
b. Komunikasi Kepuasan pernikahan dilihat dari perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dalam hubungannya. Orang yang memiliki sikap dan penilaian positif terhadap komunikasi dalam hubungannya, merasa dimengerti oleh pasangannya, dan melihat diri mereka sendiri dapat menyatakan perasaan dan keyakinan-keyakinan. c. Resolusi konflik Kepuasan dalam strategi dan proses dalam menyelesaikan masalah
atau
konflik
diantara
pasangan
menndukung sebuaha kepuasan pernikahan. d.
Pengaturan keuangan
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
maka
akan
Kepuasan pernikahan dapat dilihat dari bagaimana sikap dan kepedulian seseorang tentang cara pengaturan masalah keuangan dan kepuasannya dengan keadaan ekonomi mereka. e.
Aktivitas waktu luang Seseorang yang puas dengan pengaturan aktivitasnya di waktu luang dan intensitas waktu
yang dihabiskan bersama
pasangannya maka akan menunjukkan kepuasan pernikahan yang baik. f.
Hubungan seksual Kepuasan dalam hubungan seksual ini dapat dilihat dari sejauh mana pasangan puas dengan ekspresi kasih sayang terhadap satu sama lain, level kenyamanan dalam mendiskusikan isu-isu seksual, sikap terhadap tingkah laku seksual, keputusan kelahiran anak, dan kesetiaan pasangan dalam hal seksual.
g.
Anak dan pengasuhan Kepuasan seseorang dengan pembagian peran sebagai orang tua dan cara pasangan menangani masalah pengasuhan anak juga dapat menentukan kepuasan pernikahan. Hal tersebut dapat terlihat dari penilaian pasangan tentang dampak anak terhadap hubungan mereka, kepuasan dengan bagaimana peran dan tanggung jawab orang tua dibuat, kesepakatan tentang mendisiplinkan anak, kesesuaian tujuan dan nilai-nilai yang diinginkan untuk anak, persetujuan jumlah anak yang diingingkan.
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
h.
Keluarga dan teman Penilaian seseorang mengenai hubungannya dengan saudara, orang tua, teman, mertua, ipar, serta teman dari pasangan juga menentukan kepuasan pernikahan.
i.
Kesetaraan peran Penilaian yang baik mengenai tanggung jawab dalam rumah tangga, seperti pekerjaan rumah, peran sebagai orang tua, peran pencari nafkah, dan peran dalam hubungan seksual juga mempengaruhi kepuasan seksual.
j.
Agama Sikap dan kepedulian seseorang dalam hal keyakinan dan praktek keagamaan dalam sebuah keluarga dan kepuasan dengan peran yang diharapkan dari agama terhadap pernikahan juga mendukung kepuasan pernikahan.
2.2. Religiusitas 2.2.1. Pengertian Religiusitas Religious dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan bersifat religi; bersifat keagamaan; yang bersangkut-paut dengan religi.
Religiusitas merupakan fenomena kompleks yang
memiliki dampak yang mendalam pada kehidupa sehari-hari manusia dan terkait dengan aspek pengalaman subjektif individu seperti sebagai makna, kebahagiaan pribadi, dan efek peristiwa dari traumatic hidup (Ohayon; Braun; Galinsky; & Baider, 2007)
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Religiusitas menurut Fetzer (1999) yaitu merupakan sesuatu yang menitik beratkan pada masalah perilaku, sosial, dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Glock dan Stark, 1970 (dalam Nihayah, 2012) religiusitas merupakan sistem simbol, sistem perilaku yang terlembagakan, yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Berdasarkan beberapa pengertian diatas religiusitas dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan suatu konten agama yang terlembagakan yang menitik beratkan pada masalah perilaku sosial, dan menjadi pedoman hidup berdasarkan nilai-nilai agama yang kemudian di aktualisasikan dalam perbuatan dan tingkah laku seharihari.
2.2.2. Dimensi – dimensi Religiusitas Dimensi-dimensi religiusitas menurut Fetzer J.E, adalah sebagai berikut : a.
Daily experiences merupakan persepsi individu dari transenden (Tuhan, yang ilahi) dalam kehidupan sehari-hari dan persepsi interaksi dengan, atau keterlibatan, transenden dalam hidup, sehingga
daily
experiences
lebih
kepada
pengalaman
dibandingkan kognitif b.
Meaning dijelaskan oleh Pragment (dalam fetzer, 1999) konsep meaning dalam religiusitas adalah sebagaimana konsep
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
meaning yang dijelaskan oleh viktor frankl yang biasa disebut sebagai “kebermaknaan hidup”. Adapun meaning yang dimaksud disini adalah yang berkaitan dengan religiusitas atau disebut religion-meaning yaitu sejauh mana agama dapat menjadi tujuan hidupnya. c.
Value menuurut idler (dalam fetzer) pengaruh keimananan pada nilai-nilai kehidupan sehari-hari.
d.
Belief menurut idler (dalam fetzer, 1999) fitur utama keberagamaan adalah dimensi kognitif keyakinan. Religiusitas merupakan keyakinan-keyakinan akan konsep-konsep yang dibawa oleh suatu agama.
e.
Forgiveness menurut idler (dalam Fetzer) mencakup lima dimensi pengampunan atau forgiveness yaitu pengakuan dosa (confession), merasa diampuni oleh Tuhan (feeling forgiven by others), merasa telah dimaafkan oleh orang lain (feeling forgiven by others), memaafkan orang lain (forgiving others), dan memaafkan diri sendiri (forgiving one self).
f.
Private religious practice Levin
(dalam Fetzer, 1999)
merupakan perilaku keagamaan dalam praktik keagamaan dan spiritual, meliputi mempelajari kitab suci, beribadah, dan kegiatan keagamaan lainnya yang dapat meningkatkan religiusitasnya. g.
Religious/spiritual
coping
Pargament
(dalam
Fetzer)
merupakan coping stress dengan menggunakan metode
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
religious yang dapat mempengaruhi psikologis, social, fisik, dll.
Menurut
Pargament
1988
(dalam
Fetzer,
1999)
menjelaskan bahwa terdapat tiga religious style dalam mencapai control dalam pemecahan masalah, yaitu: 1.
Deffering style: mencari control dari Tuhan; individu meminta pertolongan pada Tuhan yakni dengan cara berdoa dan meyakini bahwa Tuhan akan menolong dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan
2.
Collaborative style: mencari kontrol dengan Tuhan; individu memohon pertolongan pada Tuhan dan juga individu juga berusaha melakukan coping
3.
Self-directing style: control terletak dalam diri individu; individu mengambil tanggung jawab untuk mengatasi dirinya sendiri.
h.
Religious support
Krause (dalam Fetzer, 1999) aspek
hubungan social antara individu dengan pemeluk agama sesamanya. i.
Religious/spiritual history George (dalam Fetzer, 1999) seberapa jauh individu berpartisipasi
untuk agama selama
hidupnya dan seberapa jauh agama telah mempengaruhi hidupnya. j.
Commitment
Williams
(dalam
Fetzer,
1999)
seberapa
pentingnya dan komitmen beragama bagi seseorang, serta
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berkontribusi dalam agamanya. Seperti menghadiri acara keagamaan k.
Organizational religiousness Idler (dalam Fetzer, 1999) seberapa jauh keterlibatan individu dengan institusi atau lembaga keagamaan yang ada didalam masyarakat dan berkegiatan atau beraktivitas di dalam lembaga tersebut.
l.
Religious preference Ellison (dalam Fetzer, 1999) seberapa jauh individu membuat pilihan serta memastikan pilihan agamanya. Yang menekankan pada kedekatan pada sebuah komunitas beragama.
2.3. Guru 2.3.1.
Pengertian guru Pengertian guru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
merupakan
orang
yang
pekerjaannya
(mata
pencahariannya, profesinya) mengajar; guru sekolah merupakan orang yang mengajar di sekolah. Sedangkan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS mendefinisikan guru atau Pendidik
merupakan
tenaga
profesional
yang
bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.4. Pengaruh religiusitas terhadap kepuasan pernikahan pada guru Berdasarkan data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama, angka perceraian di Indonesia pada tahun 2010-2014 dari sekitar 2 jta pasangan yang menikah 15% diantaranya bercerai. Angka perceraian pada tahun 2010 sebanyak 251.208 kasus sedangkan pada tahun 2014 mencapai 382.231 kasus. Pernikahan adalah sebuah komitmen yang sangat serius daintara dua individu yang dipersatukan dengan upacara pernikahan dan secara social telah diakui bahwa pasangan tersebut sah menjadi pasangan suami istri. Dari pernikahan tersebut pasangan suami istri dapat berbagi emosi serta kasih sayang satu sama lain. Serta dari hubungan pernikahan, pasangan suami istri terutama para guru yang sudah menikah dapat mengevaluasi kualitas pernikahan mereka berdasarkan gambaran subyektif yang dirasakan oleh pasangan suami istri. Apakah mereka merasa baik, bahagia, ataupun puas dalam hubungan pernikahan mereka. Kepuasan pernikahan memilki dampak yang sangat besar bagi kehidupan pernikahan bagi pasangan suami istri dan dapat menentukan pernikahan akan berlanjut selamanya atau bahkan sementara. Menurut Olson, DeFrain, & Skogran (dalam Mukhlis, 2015) kepuasan pernikahan adalah perasaan yang bersifat subjektif dari pasangan suami istri mengenai perasaan bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap perkawinannya secara menyeluruh. Salah satu factor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan adalah religiusitas. Religiusitas menurut Fetzer (1999) adalah sesuatu yang
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menitik beratkan pada masalah perilaku, social, dan merupakan sebuah doktrin dari setiap agama atau golongan. Religiusitas atau peran keagamaan yang dimiliki oleh pasangan suami istri yaitu dengan menyadari
serta
meyakini diri sendiri serta pasangan bahwa sesungguhnya Tuhan Maha Kuasa atas segala sesuatu yang ada dimuka bumi ini, serta menjadikan ajaran agama dan nilai-nilai agama dapat menjadi pedoman
atau
pembimbing hidup yang kemudian dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari serta dalam hubungan pernikahan. Dengan religiusitas di dalam sebuah hubungan pernikahan dapat mendorong para guru meningkatkan kepuasan pernikahan mereka. Religiusitas dapat membantu pasangan yang sudah menikah dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dalam beragama. Dimana pasangan dapat saling mendorong serta mengingatkan satu sama lain untuk taat pada agama dan mereka merasakan bahagia satu sama lain karena dengan cara tersebut dapat membentuk suatu interaksi yang melibatkan emosi, perhatian, serta bentuk kasih sayang dari pasangannya. Dalam kehidupan pernikahan selalu terdapat masalah baik masalah dengan diri sendiri, pasangan, maupun dengan orang lain. Dengan cara pasangan saling memaafkan satu sama lain, memaafkan kesalahan diri sendiri serta orang lain dan meminta ampunan kepada Allah dapat membuat peraasaan individu menjadi tenang dan tidak menyimpan perasaan marah, benci serta dendam yang dapat mengganggu kondisi fisik, psikologis serta kondisi dengan hubungan pernikahan. Keharmonisan dalam pernikahan juga dapat meningkatkan kepuasan pernikahan pada psangan yang menikah.
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh religiusitas terhadap kepuasan pernikahan pada guru SMK karena banyak sekali aspek-aspek yang dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, ditambah lagi dari beberapa kasus yang menjelaskan perceraian yang berarti mereka kurang puas dengan pernikahannya. Dengan demikian berikut skema kerangka berpikir penelitian dapat di gambarkan sebagi berikut:
Kepuasan pernikahan guru
Religiusitas
Gambar 2.1: Kerangka Pemikiran
2.5. Hipotesis a.
Hipotesis Nol (Ho) : tidak ada pengaruh yang signifikan antara religiusitas dengan
kepuasan pernikahan pada guru SMK di
kecamatan Pesanggrahan
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
b.
Hipoteses Alternatif (Ha) : ada pengaruh yang signifikan religiusitas terhadap kepuasan pernikahan pada guru SMK di kecamatan Pesanggrahan
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/