BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1.
Kajian Pustaka
2.1.1.
Auditing
2.1.1.1. Pengertian Auditing Auditing menurut Alvin A. Arens, Mark S. Beasley dan Randal J. Elder (2012:4) adalah sebagai berikut: “Auditing is the accumulation and evaluation of evidence about information to determine and report on the degree of correspondence between the information and established criteria. Auditing should be done by a competent, independent person”. Artinya auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan tingkat atau derajat kesesuaian antara informasi tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan.Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen. Menurut Sukrisno Agoes (2012:4), pengertian auditing adalah sebagai berikut: “Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.
15
16
Menurut American Accounting Association (AAA) dalam Rick S.Hayes dan Arnold Schilder (2012:2) : “Auditing is a systematic process of objectively obtaining and evaluating evidence regarding assertions about economic actions and events to ascertain the degree of correspondence between those assertions and established criteria and communicating the results to interested users”. Artinya auditing merupakan suatu proses yang sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif yang berhubungan dengan asersi-asersi mengenai tindakan-tindakan dan persitiwa-peristiwa ekonomi untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria-kriteria yang ditetapkan, serta mengkomunikasikan hasilnya kepada para pengguna informasi. Sedangkan menurut Mulyadi (2013:9) pengertian Auditing adalah: “Auditing adalah suatu proses yang sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan criteria-kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan”. Berdasarkan definisi-definisi auditing diatas dapat disimpulkan beberapa hal penting terkait dengan auditing, dimana yang diaudit atau diperiksa adalah laporan keuangan
yang
telah
disusun
oleh
manajemen
beserta
catatan-catatan
pembukuannya.Pemeriksaan dilakukan secara kritis dan sistematis untuk memperoleh serta mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi kegiatan dan peristiwa
ekonomi.Pemeriksaan
dilakukan
oleh
pihak
yang
professional,
berkompeten, dan independen yaitu akuntan publik.Hasil dari pemeriksaan tersebut dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa
17
agar dapat memberikan informasi yang dapat dimanfaatkan oleh para pemakai laporan keuangan.
2.1.1.2. Jenis-Jenis Audit Menurut Sukrisno Agoes (2012:4jenis audit dapat ditinjau dari luasnya pemeriksaan dan jenis pemeriksaannya. Maka dari pernyataan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Jenis Audit Ditinjau dari Luasnya Pemeriksaan: a. Pemeriksaan Umum (General Audit) Suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh KAP independen dengan tujuan untuk bisa memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik atau ISA atau Panduan Audit Entitas Bisnis Kecil dan memperhatikan Kode Etik Akuntan Indonesia, Kode Etik Profesi Akuntan Publik serta Standar Pengendalian Mutu. b. Pemeriksaan Khusus (Special Audit) Suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan auditee) yang dilakukan oleh KAP yang independen, dan pada akhir pemeriksaannya auditor tidak perlu memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pendapat yang diberikan terbatas pada pos atau masalah tertentu yang diperiksa, karena prosedur audit yang dilakukan juga terbatas. 2. Jenis Audit Ditinjau dari Jenis Pemeriksaan: a. Manajemen Audit (Operational Audit) Suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif, efisien dan ekonomis. b. Pemeriksaan Ketaatan (Compliance Audit) Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan sudah menaati peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku, baik yang ditetapkan oleh pihak intern perusahaan (manajemen, dewan komisaris) maupun pihak eksternal (Pemerintah, Bapepam LK, Bank Indonesia, Direktorat Jenderal Pajak, dan lain-
18
lain).Pemeriksaan bisa dilakukan baik oleh KAP maupun Bagian Internal Audit. c. Pemeriksaan Intern (Internal Audit) Pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen yang telah ditentukan d. Computer Audit Pemeriksaan oleh KAP terhadap perusahaan yang memproses data akuntansinya dengan menggunakan Electronic Data Processing (EDP) System.
2.1.1.3.
Jenis-Jenis Auditor Menurut Randal J. Elder, Mark S. Beasley, dan Alvin A. Arens (2012:19)
jenis auditor yang paling umum terdiri dari empat jenis yaitu: 1. Auditor independen (akuntan publik) 2. Auditor pemerintah 3. Auditor pajak 4. Auditor internal (internal auditor) Adapun penjelasan dari jenis-jenis auditor menurut Arens et.al tersebut adalah sebagai berikut 1.Auditor Independen ( Akuntan Publik) Auditor independen berasal dari Kantor Akuntan Publik (KAP) bertanggung jawab mengaudit laporan keuangan historis yang dipublikasikan oleh perusahaan.Oleh karena luasnya penggunaan laporan keuangan yang telah diaudit dalam perekonomian Indonesia, serta keakraban para pelaku bisnis dan pemakai lainnya. Sudah lazim digunakan istilah auditor dan kantor akuntan publik dengan pengertian yang sama meskipun ada beberapa jenis auditor. KAP sering kali disebut auditor eksternal atau auditor independen untuk membedakannya dengan auditor internal. 2.Auditor Pemerintah Auditor pemerintah merupakan auditor yang berasal dari lembaga pemeriksa pemerintah. Di Indonesia, lembaga yang bertanggung jawab secara fungsional atas pengawasan terhadap kekayaan dan keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga tertinggi. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Inspektorat Jenderal (Itjen) yang ada pada departemen-departemen
19
pemerintah.BPK mengaudit sebagian besar informasi keuangan yang dibuat oleh berbagai macam badan pemerintah baik pusat maupun daerah sebelum diserahkan kepada DPR.BPKP mengevaluasi efisiensi dan efektivitas operasional berbagai program pemerintah.Sedangkan Itjen melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan departemen atau kementriannya. 3.Auditor Pajak Auditor pajak berasal dari Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bertanggung jwab untuk memberlakukan peraturan pajak. Salah satu tanggung jawab utama Ditjen Pajak adalah mengaudit Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak untuk menentukan apakah SPT itu sudah mematuhi peraturan pajak yang berlaku. Audit ini murni audit ketaatan.Auditor yang melakukan pemeriksaan ini disebut auditor pajak. 4.Auditor Internal (Internal Auditor) Auditor internal dipekerjakan oleh perusahaan untuk melakukan audit bagi manajemen. Tanggung jawab auditor internal sangan beragam, tergantung pada yang mempekerjakan mereka.Akan tetapi, auditor internal tidak dapat sepenuhnya independen dari entitas tersebut selama masih ada hubungan antara pemberi kerja-karyawan.Para pemakai dari luar entitas mungkin tidak ingin mengandalkan informasi yang hanya diverifikasi oleh auditor internal karena tidak adanya independensi.Ketiadaan independensi ini merupakan perbedaan utama antara auditor internal dan KAP. 2.1.1.4.
Standar Audit Menurut PSA. 01 (SA Seksi 150), standar auditing berbeda dengan prosedur
auditing.“Prosedur” berkaitan dengan tindakan yang harus dilaksanakan, sedangkan “standar” berkenaan dengan kriteria atau ukuran mutu kinerja tindakan tersebut dan berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai melalui penggunaan prosedur tersebut.Standar auditing, yang berbeda dengan prosedur auditing, berkaitan dengan tidak hanya kualitas professional auditor namun juga berkaitan dengan pertimbangan yang digunakan dalam pelaksanaan auditnya dan dalam laporannya (Sukrisno Agoes (2012:30)).
20
Standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Institut Akuntan Publik
Indonesia
(2011:
150.1-150.2)
terdiri
atas
sepuluh
standar
yang
dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu: a. Standar Umum 1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. 2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. 3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan saksama. b. Standar Pekerjaan Lapangan 1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya 2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. 3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
21
c. Standar Pelaporan 1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. 2. Laporan auditor harus menunjukan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan standar akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan standar akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. 3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan.Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor (IAPI, 2011: 150.1 & 150.2).
22
2.1.1.5.
Tujuan Audit
Tujuan audit segala hal yang berhubungan dengan aktivitas, perusahaan mengharapkan suatu tujuan yang baik demi kelanjutan usahanya dimasa yang akan datang. Adapun tujuan pemeriksaan akuntan menurut Ikatan Akuntan Indonesia : “Untuk menyatakan pendapat kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku.” Tujuan dari pemeriksaan akuntan menurut Arens dan Loebbecke (2003:114): “Tujuan pemeriksaan akuntan umum terhadap keuangan oleh auditor yang independen adalah untuk menyatakan pendapat atas semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.” Sedangkan Tujuan Audit menurut Tuanakotta (2013:89) yaitu : “To reduce this auditrisk to an acceptably low level.” “Tujuan Audit adalah menekan risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima auditor” Berdasarkan defenisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Auditing dilakukan oleh para Auditor yang bertujuan untuk memberikan pendapat atas laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dan berlaku secara umun.
23
2.1.2. Independensi 2.1.2.1. Pengertian Independensi Menurut Standar Profesional AkuntanPublik (SPAP) definisi independen berarti akuntanpublik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun.Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidakhanya kepada manajemen dan pemilik perusahaannamun juga kepada kreditur dan pihak lain yangmeletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntanpublik (SA Seksi 220, PSA No.4). Penilaian masyarakat atas independensi auditor independen bukan pada diri auditor secara keseluruhan. Oleh karenanya apabila seorang auditor independen atau suatu kantor akuntan publik lalai atau gagal mempertahankan sikap independensinya, maka kemungkinan besar anggapan masyarakat bahwa semua akuntan publik tidak independen. Kecurigaan tersebut dapat berakibat berkurang atau hilangnya kredibilitas masyarakat terhadap jasa audit profesi auditor independen. Menurut Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M. Tuanakotta (2011:64) menyatakan bahwa independensi yaitu: “Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh tekanan atau pihak tertentu dalam mengambil tindakan dan keputusan”. Randal J. Elder, Mark S. Beasley, dan Alvin A. Arens yang dialihbahasakan Amir Abadi Jusuf (2012:74) megemukakan independensi adalah sebagai berikut :
24
“Independensi dalam audit berarti mengambil sudut pandang yang tidak biasa dalam melakukan pengujian audit, evaluasi atas hasil pengujian dan penerbitan laporan audit.” Menurut Mulyadi (2013:26-27) menyatakan independensi adalah: “Sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya”. Menurut Siti Kurnia Rahayu dan Ely Suhayati (2010:58) independensi adalah sebagai berikut: “Independen artinya tidak mudah dipengaruhi, netral karena auditor melaksanakan pekerjannya untuk kepentingan umum”. Dengan demikian, sebagaimana yang telah ditulis dalam Standar Profesional Akuntan Publik (2011:220.1) bahwa auditor tidak dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun, sebab bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang ia miliki, auditor akan kehilangan sikap tidak memihak, yang justru sangat penting untuk mempertahankan pendapatnya. Auditor mengakui kewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan,namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakan kepercayaan (paling tidak sebagian) atas laporan audit independen, seperti calon-calon pemilik dan kreditur.
25
2.1.2.2. Jenis-Jenis Independensi Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Randal J. Elder, Mark S. Beasley, dan Alvin A. Arens yang dialihbahasakan Amir Abadi Jusuf (2012:74) mengemukakan dalamindependensi terdapat dua unsur, yaitu : “1. Independensi dalam fakta Independensi dalam fakta akan muncul ketika auditor secara nyata menjaga sikap objektif selama melakukan audit. 2. Independensi dalam penampilan Independensi dalam penampilan merupakan interpretasi orang lain terhadap independensi auditor tersebut.” Selanjutnya menurut Soekrisno Agoes (2012:34-35) pengertian independen bagi akuntan publik (eksternal auditor dan internal auditor) dibagi menjadi 3 (tiga) jenis independensi: “1. Independent in appearance (independensi dilihat dari penampilannya di struktur organisasi perusahaan). In appearance, akuntan publik adalah independen karena merupakan pihak luar perusahaan sedangkan internal auditor tidak independen karena merupakan pegawai perusahaan. 2. Independent in fact (independensi dalam kenyataan/dalam menjalankan tugasnya). In fact, akuntan publik seharusnya independen, sepanjang dalam menjalankan tugasnya memberikan jasa profesionalnya, bisa menjaga integritas dan selalu menaati kode etik profesionalnya, profesi akuntan publik, dan standar professional akuntan publik. Jika tidak demikian, akuntan publik in fact tidak independen. In fact internal auditor bisa independen jika dalam menjalankan tugasnya selalu mematuhi kode etik internal auditor dan jasa professional practice framework of internal auditor, jika tidak demikian internal auditor in fact tidak independen. 1. Independent in mind (independensi dalam pikiran).
26
In mind, misalnya seorang auditor mendapatkan temuan audit yang memiliki indikasi pelanggaran atau korupsi atau yang memerlukan audit adjustment yang material. Kemudian dia berpikir untuk menggunakan findings tersebut untuk memeras auditee walaupun baru pikiran, belum dilaksanakan.In mind auditor sudah kehilangan independensinya.Hal ini berlaku baik untuk akuntan publik maupun internal auditor”. Menurut Donald dan William (1982) dalam Siti Nurmawar Indah (2010) indpendensi auditor independen mencakup dua aspek, yaitu: “a. Independensi sikap mental berarti adanya kejujuran dalam diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan yang obyektif, tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan menyatakan pendapatnya. b. Independensi penampilan berarti adanya kesan masyarakat bahwa auditor independen bertindak bebas atau independen, sehingga auditor harus menghindari kedaan atau factor-faktor yang menyebabkan masyarakat meragukan kebebasannya.” Berdasarkan jenis-jenis independensi tersebut dapat disimpulkan bahwa auditor harus mempunyai sikap tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang mengganggu
dalam
mempertimbangkan
fakta
yang
dijumpainya
dalam
pemeriksaan.Auditor harus mempunyai sikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, agar masyarakat dapat menilai sejauh mana auditor telah bekerja dan masyarakat tidak meragukan integritas dan objektifitas auditor. 2.1.2.3.Dimensi Independensi Menurut Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M. Tuanakotta (2011) menekankan tiga dimensi dari independensi sebagai berikut: “1. Programming independence Programming independence adalah kebebasan (bebas dari pengendalian atau pengaruh orang lain, misalnya dalam bentuk pembatasan) untuk memilih teknik, prosedur audit, berapa dalamnya teknik dan prosedur audit itu ditetapkan.
27
2. Investigative independence Investigative independence adalah kebebasan (bebas dari pengendalian atau pengaruh orang lain, misalnya dalam bentuk pembatasan) untuk memilih area, kegiatan, hubungan pribadi dan kebijakan manajerial yang akan diperiksa. Ini berarti tidak boleh ada sumber informasi yang legitimasi (sah) yang tertutup bagi auditor 3. Reporting independence Reporting independe adalah kebebasan (bebas dari pengendalian atau pengaruh orang lain, misalnya dalam bentuk pembatasan) untuk menyajikan fakta yang terungkap dari pemeriksaan atau pemberian rekomendasi atau opini sebagai hasil pemeriksaan." Berdasarkan ketiga dimensi independensi tersebut, Mautz dan Sharaf mengembangkan petunjuk yang mengindikasikan apakah ada pelanggaran atas independensi. Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M Tuanakotta (2011) menyarankan: “1. Programming Independence a. Bebas dari tekanan atau intervensi manajerial atau friksi yang dimaksudkan untuk menghilangkan (eliminate), menentukan (specify) atau mengubah (modify) apapun dalam audit. b. Bebas dari intervensi apapun dari sikap tidak kooperatif yang berkenaan dengan penerapan prosedur audit yang dipilih. c. Bebas dari upaya pihak luar yang memaksakan pekerjaan audit itu direview diluar batas-batas kewajaran dalam proses audit. 2. Investigative Independence a. Akses langsung dan bebas atas seluruh buku, catatan, pimpinan pegawai perusahaan
dan
sumber
informasi
lainnya
perusahaan, kewajiban dan sumber-sumbernya.
mengenai
kegiatan
28
b. Kerjasama yang aktif dari pimpinan perusahaan selama berlangsungnya kegiatan audit. c. Bebas dari upaya pimpinan perusahaan untuk menugaskan atau mengatur kegiatan yang harus diperiksa atau menentukan dapat diterimanya suatu evidential metter (sesuatu yang mempunyai nilai pembuktian). d. Bebas
dari
kepentingan
atau
hubungan
pribadi
yang
akan
menghilangkan atau membatasi pemeriksaan atas kegiatan, catatan atau orang yang seharusnya masuk dalam lingkup pemeriksaan. 3. Reporting Independence a. Bebas dari perasaan loyal kepada seseorang atau merasa berkewajiban kepada sseorang untuk mengubah dampak dari fakta yang dilaporkan. b. Menghindari praktik untuk mengeluarkan hal-hal penting dari laporan formal dan memasukkannya kedalam laporan informal dalam bentuk apapun. c. Menghindari penggunaan bahasa yang tidak jelas (kabur, samar-samar) baik yang disengaja maupun yang tidak didalam pernyataan fakta, opini dan rekomendasi dalam interpretasi. d. Bebas dari upaya untuk memveto (judgement) auditor mengenai apa yang seharusnya masuk dalam laporan audit, baik yang bersifat fakta maupun opini.” Petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Mautz dan Sharaf dalam Theodorus M Tuanakotta (2011) sangat jelas dan masih relevan untuk auditor pada hari ini.Ini
29
adalah petunjuk-petunjuk yang menentukan apakah seorang auditor memang independen. 2.1.3. Due Professional Care 2.1.3.1.
Pengertian Due Professional Care
Due Professional Care memiliki arti Kemahiran profesional yang cermat dan seksama. Auditor harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam setiap penugasan. Due professional care dapat diterapkan dalam pertimbangan profesional (professional judgment), meskipun dapat saja terjadi penarikan kesimpulan yang tidak tepat ketika audit sudah dilakukan dengan seksama. Sukrisno Agoes dan Jan Hoesada (2012:22) menyampaikan bahwa kemahiran profesional harus digunakan secara cermat dan seksama umumnya, kewaspadaan bernuansa kecurigaan profesional yang sehat (skeptisisme) khususnya selalu mempertimbangkan kemungkinan pelanggaran hukum dan kecurangan dalam pelaporan laporan keuangan. Tujuan skeptisme adalah untuk membuktikan bahwa bukti audit yang diberikan klien bebas dari kecurangan dan memang benar-benar obyektif, sehingga keyakinan yang memadai diperoleh atas bukti audit tersebut. Kecermatan dan keseksamaan auditor yang jujur dituntut agar aktivitas audit dan perilaku profesional tidak berdampak merugikan orang lain. Due Professional Care menjadi hal yang penting yang harus diterapkan oleh setiap akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya agar tercapai kualitas audit yang memadai.
30
Menurut Siti Kurnia dan Ely Suhayati (2010:42) pengertian Due Professional Care yaitu : “Penggunaan Kemahiran profesional dengan cermat dan seksama menekankan tanggungjawab setiap profesional yang bekerja dalam organisasi auditor independen untuk mengamati standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. ”
The Professional Ethics Executive Committee (PEEC) American Institute of CPAs (AICPA) Timothy J. Louwers et al (2013:596) menyatakan: “a member should Observe the profession's technical and ethical standards, strive continually to improve competence and quality of service, and discharge professional responsibility to the best of the member 's ability.”
Yang artinya: “ anggota (akuntan publik) harus amati standar teknis dan etika profesi , berusaha terus untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas layanan, dan melaksanakan tanggung jawab profesional untuk yang terbaik dari kemampuan anggota.”
Sedangkan menurut Pernyataan Standar Auditing (SPAP, 2011:150.1) dueprofessional care adalah: “Kecermatan dan keseksamaan dalam penggunaan kemahiran profesional menuntut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional, yaitu suatu sikap auditor yang berpikir kritis terhadap bukti audit dengan selalu
31
mempertanyakan dan melakukan evaluasi terhadap bukti audit tersebut. Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa due professional care merupakankecermatan seorang auditor dalam melakukan proses audit. Auditor yang cermat akan lebih mudah dan cepat dalam mengungkap berbagai macam fraud dalam penyajian laporan keuangan. Auditor yang cermat adalah auditor yang seksama, teliti dan berhati-hati dalam setiap pemeriksaan laporan keuangan.
2.1.3.2. Aspek-Aspek Due Professional Care Dalam peraturan Badan Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan pemeriksaan serta penyusunan laporan hasil pemeriksaan, pemeriksaan harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Pemeriksaan harus mempunyai kecakapan profesionalnya dengan cermat dan seksama (due profesional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam setiap penugasan. Pengukuran due professional care dapat dilakukan melalui dua aspek yaitu skeptisme profesional dan keyakinan memadai (SPAP, 2011:230.1), diantaranya: 1.
Skeptisme Profesional Alvin A. Arens, Randal J. Elder, Mark S. Beasley dialihbahasakan oleh Herman Wibowo (2008:186) menyebutkan bahwa skeptisme profesional
32
adalah sikap yang penuh dengan keingintahuan serta penilaian kritis atas bukti audit. Auditor tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen bersikap tidak jujur, tetapi kemungkinan mereka bersikap tidak jujur harus tetap dipertimbangkan. Pada saat yang sama, auditor tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen tidak diragukan lagi kejujurannya. Skeptisme profesional yaitu suatu sikap auditor yang berpikir kritis terhdap bukti audit dengan selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi terhadap
bukti
audit
tersebut.
Auditor
menggunakan
pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh profesi akuntan publik untuk melaksanakan dengan cermat dan seksama, dengan maksud baik dan integritas, pengumpulan dan penilaian bukti audit secara objektif (SPAP. 2011:230.2). Oleh karena itu, skeptisisme profesional merupakan sikap mutlak yang harus dimiliki auditor. Indikator untuk mengukur skeptisisme profesional auditor menurut (SPAP. 2011:230.2) adalah sebagai berikut: -
Adanya penilaian yang kritis, tidak menerima begitu saja;
-
Berpikir terus-menerus, bertanya dan mempertanyakan;
-
Membuktikan kesahihan dari bukti audit yang diperoleh;
-
Waspada terhadap bukti audit yang kontradiktif; dan
-
Mempertanyakan keandalan dokumen dan jawaban atas pertanyaan serta informasi lain.
33
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa skeptisisme profesional merupakan salah satu sikap yang mutlak harus dimiliki auditor terutama dalam hal penggunaan due professional care. 2.
Keyakinan yang memadai Penggunaan
kemahiran
profesional
dengan
cermat
dan
seksama
memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan. Keyakinan mutlak tidak dapat dicapai karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan tersebut. Oleh karena itu, suatu audit yang dilaksanakan berdasarkan standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia mungkin tidak dapat mendeteksi salah saji material (SPAP, 2011:230.2). Indikator untuk mengukur keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material menurut (SPAP, 2011:230.2)adalah sebagai berikut: a. Mempunyai sikap dapat dipercaya dalam mengaudit laporan keuangan. b. Mempunyai kompetensi dalam mengaudit laporan keuangan. c. Mempunyai sikap kehati-hatian dalam mengaudit laporan keuangan. Sukrisno Agoes dan Jan Hoesada (2012:22) menjelaskan bahwa batasan tanggung jawab auditor ditentukan berdasarkan penugasan audit, misalnya pada tugas audit umum (general audit) laporan keuangan tidak bertanggung jawab untuk menemukan ketidaklaziman atau kecurangan, dan auditor hanya menjadi
34
bertanggung jawab atas tidak terdeteksinya ketidaklaziman atau kecurangan bila tidak melaksanakan audit sesuai standar audit. Dalam Standar Profesional Akuntan Publik (2011:230.3) dijelaskan lebih lanjut bahwa oleh karena pendapat auditor atas laporan keuangan didasarkan pada konsep pemerolehan keyakinan memadai, auditor bukanlah penjamin dan laporannya tidak merupakan suatu jaminan. Oleh karena itu, penemuan kemudian salah saji material yang disebabkan oleh kekeliruan atau kecurangan yang ada dalam laporan keuangan, tidak berarti bahwa dengan sendirinya merupakan bukti kegagalan
untuk
memperoleh
keyakinan
memadai,
tidak
memadainya
perencanaan, pelaksanaan, atau pertimbangan, dan tidak menggunakan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama, atau kegagalan untuk mematuhi standar auditing yang ditetapkan Ikatan Akuntan Indonesia. Kecermatan profesional merupakan sikap batin pribadi, berasal dari kesadaran diri, bermuara pada intuisi kewaspadaan, kehati-hatian dan kepedulian, karena itu tidak dapat dipaksakan dan diinstruksikan.
2.1.4. Akuntabilitas 2.1.4.1.Definisi Akuntabilitas Kantor akuntan publik dituntut untuk lebih akuntabel dalam menyelesaikan pekerjaan auditnya. Tanpa adanya sikap akuntabilitas maka kesimpulan yang dibuat tidak dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan mengenai laporan keuangan perusahaan/instansi berdasarkan hasil audit yang telah dilakukan.
35
Pengertian akuntabilitas secara umum menurut Mardiasmo (2006:3) adalah sebagai berikut : “Sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik.”
Tetclock (1984) dalam Mardisar. D dan R. Nelly Sari (2007) mendefinisikan akuntabilitas sebagai bentuk dorongan psikologi yang membuat sesorang berusaha mempertanggungjawabkan semua tindakan dan keputusan yang diambil kepada lingkungannnya. Akuntabilitas dapat meningkatkan kualitas hasil kerja auditor jika pengetahuan audit yang dimiliki tinggi. Akuntabilitas auditor merupakan kewajiban untuk menjawab dan menjelaskan kinerja dari tindakan seseorang atau badan kepada pihak-pihak yang memiliki hak untuk meminta jawaban atau keterangan dari orang atau badan yang telah diberikan wewenang untuk mengelola sumber daya tertentu. Dalam konteks ini, pengertian akuntabilitas dilihat dari sudut pandang pengendalian dan tolok ukur pengukuran kinerja (Ainia dan Prayudiawan, 2011). Sedangkan menurut Supardi dan Mutakin (2008) menyatakan bahwa rasa tanggung jawab atau akuntabilitas merupakan suatu keadaan yang dirasakan oleh auditor bahwa pekerjaan yang dilakukan telah sesuai dengan prosedur dan standar akuntan publik sehingga dapat dipertanggungjawabkan mengenai kesimpulan yang dibuat untuk pihak-pihak yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung.
36
Akuntabilitas yang dimiliki auditor dapat meningkatkan proses kognitif auditor dalam mengambil keputusan. Berdasarkan definisi tersebut sampai pada permasalahan penulis bahwa Akuntabilitas adalah keadaan dimana seseorang mempertanggung-jawabkan segala tindakan yang dilakukan. Auditor bertanggung-jawab terhadap hasil penilaian buktibukti audit yang diberikan klien, sehingga hasil dari penilaian tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh klien. Jika auditor memiliki akuntabilitas yang tinggi, maka hasil audit akan berkualitas. 2.1.4.2.Bentuk-bentuk Akuntabilitas 2.1.4.2.1.Akuntabilitas Publik Menurut Mardiasmo (2006:21) akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu: “1.
2.
Akuntabilitas vertikal (vertical accountability) Akuntabilitas vertikal adalah pertanggungjawaban atas kegiatan kepada pihak-pihak yang lebih tinggi kedudukannya. Akuntabilitas Horizontal (horizontal accountability) Akuntabilitas horizontal merupakan pertanggungjawaban kepada masyarakat”.
Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk
lebih
menekankan
pada
pertanggungjawaban
horizontal
(horizontal
accountability) bukan hanya pertanggungjawaban vertikal (vertical accountability). 2.1.4.2.2 Akuntabilitas Auditor Akuntabilitas merupakan suatu tanggung jawab yang harus dilaksanakan oleh seorang auditor. Peran dan tanggung jawab diatur dalam Standar Profesi
37
Akuntan Publik (SPAP) (2011:305-306) yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) ataupun Statement on Auditing Standards(SAS) yang dikeluarkan oleh Auidting Standards Boards (ASB). Peran dan tanggung jawab auditor adalah sebagai berikut: 1.
Tanggung jawab mendeteksi dan melaporkan kecurangan (fraud), kekeliruan dan ketidakberesan. Dalam
SPAP
(seksi
316)
pendeteksian
terhadap
kekeliruan
dan
ketidakberesan dapat berupa kekeliruan dan pengumpulan dan pengolahan data akuntansi, kesalahan estimasi akuntansi, kesalahan penafsiran prinsip akuntansi tentang jumlah, klasifikasi dan cara penyajian, penyajian laporan keuangan yang menyesatkan serta penyalahgunaan aktiva. 2.
Tanggung jawab sikap independensi dan menghindari konflik. SPAP (Seksi 220) harus bersikap jujur, bebas dari kewajiban klien dan tidak mempunyai kepentingan dengan klien baik terhadap manajemen maupun pemilik.
3.
Tanggung jawab mengkomunikasikan informasi yang berguna tentang sifat dan hasil proses audit. SPAP (Seksi 341) menyatakan bahwa hasil evaluasi yang dilakukan mengindikasikan adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup perusahaan, auditor wajib mengevaluasi rencana manajemen untuk memperbaiki kondisi tersebut. Bila ternyata tidak memuaskan, auditor boleh tidak memberikan pendapat dan perlu diungkapkan.
4.
Tanggung jawab menemukan tindakan melanggar hukum dari klien. SPAP (Seksi 317) memberikan arti penting tentang pelanggaran terhadap hukum
atau
perundang-undangan
oleh
satuan
usaha
yang laporan
keuangannya diaudit. Penentuan pelanggaran tersebut bukan kompetensi auditor tetapi hasil penilaian ahli hukum. Indikasinya adalah pengaruh
38
langsung yang material terhadap laporan keuangan sehingga auditor melakukan prosedur audit yang dirancang khusus agar diperoleh keyakinan memadai apakah pelanggaran hukum telah dilakukan.
2.1.4.4.3. Dimensi Akuntabilitas Akuntabilitas sebagai bentuk dorongan psikologi yang membuat seseorang berusaha mempertanggung-jawabkan semua tindakan dan keputusan yang diambil kepada lingkungannya (Tetclock, 1984) dalam (Mardisar dan Sari, 2007). Tanggung jawab auditor terletak pada menemukan salah saji baik yang disebabkan karena kekeliruan atau kecurangan dan memberikan pendapat atas bukti audit yang diberikan klien. Tidak hanya bertanggung jawab pada klien, tapi auditor juga memiliki tanggung jawab terhadap profesinya. Auditor harus mematuhi standar profesi yang ditetapkan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Menurut SPAP (2011:110.3) auditor independen juga bertanggung jawab terhadap profesinya, tanggung jawab untuk mematuhi standar yang diterima oleh para praktisi rekan seprofesinya. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya melalui suatu media pertanggung-jawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003). Pengukuran akuntabilitas dapat dilihat dari motivasi, pengabdian pada profesi, dan kewajiban sosial Robbins (2008:222) :
39
1.
Motivasi Motivasi adalah dorongan pada diri seseorang yang menimbulkan suatu keinginan untuk melakukan sesuatu atau tindakan untuk mencapai tujuan. Auditor yang berkualitas memiliki motivasi yang tinggi. Dengan motivasi yang tinggi, seorang auditor akan melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sehingga menghasilkan hasil audit yang berkualitas. Menurut robbins (2008:222) elemen utama dalam motivasi adalah : a. Intensitas, berhubungan dengan seberapa giat orang berusaha. b. Ketekunan, ukuran mengenai berapa lama seseorang mempertahankan usahanya.
2.
Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi seorang auditor merupakan dedikasi auditor terhadap pekerjaanya yang dilakukan secara profesional dan total dengan menggunakan pengetahuan dan keahlian yang dimiliki. Profesional dan totalitas pekerjaan tidak memprioritaskan materi. Menurut Hall (1968) dalam Syahrir (2002:23) pengabdian pada profesi diceminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sedangkan menurut Robbins (2008) dalam Sarita dan Agustia (2009), pengabdian kepada profesi merupakan suatu komitmen yang terbentuk dari
40
dalam diri seseorang profesional, tanpa paksaan dari siapapun, dan secara sadar bertanggung jawab terhadap profesinya. Indikator pengabdian pada profesi dalma IAI a. Tanggung jawab profesi Prinsip tanggung jawaqb profesi menyatakan bahwa sebagai profesional, anggota IAI mempunyai peranan penting dalam masyarakat terutama kepada semua pemakai jasa profesional mereka dan bertanggung jawab dalam mengembangkan profesi akuntansi b. Penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan c. Menjalankan setiap program kegiatan profesi Setiap anggota profesi akuntan publik bertanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkan ilmu dan seni akuntansi serta mengandakan dan menjalankan setiap program dan kegiatan profesi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas jasa yang diberikan profesi.
3.
Kewajiban Sosial Kewajiban sosial merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya di mana akan memberikan kontribusi dan dampak positif bagi masyarakat dan profesinya. Dari devinisi tersebut didapakan indikator kewajiban sosial bagi auditor yaitu:
41
a. Pelayan kepentingan publik Prinsip
kepentingan
publik
menyatakan
bahwa
setiap
anggota
berkewajiban untuk selalu bertindak dalam kerangka pelayanan pada publik, menghormati kepercayaan publik dan menunjukan komitmen atas profesionalisme b. Integritas Prinsip integritas mengakui integritas sebagai kualitas yang dibutuhkan untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik. c. Menjaga kepercayaan publik terhadap profesi Semua anggota memikat dirinya untuk menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan publik yang diberikan kepadanya, anggota harus secara terus
menerus
menunjukan
dedikasi
mereka
untuk
mencapai
profesionalisme yang tinggi.
2.1.5. Kualitas Audit 2.1.5.1.Pengertian Kualitas Audit Seorang auditor harus memiliki kualitas audit agar hasil laporan keuangan yang menjadi maksimal dan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Dalam pencapaian kualitas audit yang baik harus disertakan dengan mengikuti standar yang ditetapkan yaitu standar umum, standar pekerjaan lapangan, dan standar pelaporan.Standar pengauditan mencakup mutu professional, auditor independen,
42
pertimbangan (judgement) yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan audit. Menurut Boyton, et al (2006:7) kualitas audit adalah sebagai berikut: “Kualitas audit mengacu pada standar yang berkenaan pada kriteria atau ukuran-ukuran mutu pelaksanaan serta dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan menggunakan prosedur yang berkaitan. Kualitas Jasa sangat penting untuk menghasilkan bahwa profesi bertanggung jawab kepada klien, masyarakat umum dan aturan-aturan”. Arens et al (2012:130) menyatakan bahwa: “Bagi akuntan publik, kepercayaan klien dan pemakai laporan keuangan eksternal atas kualitas audit sangat penting. Jika pemakai jasa audit tidak memiliki kepercayaan kepada kualitas audit yang diberikan oleh akuntan publik atau KAP, maka kemampuan auditor untuk melayani klien serta masyarakat secara efektif akan hilang. Namun, sebagian besar pemakai jasa audit tidak memiliki kompetensi untuk melihat kualitas audit, karena kompleksitas jasa audit tersebut”. Berdasarkan pendapat diatas mengenai definisi kualitas audit, dapat disimpulkan bahwa kualitas audit merupakan suatu proses untuk mengurangi ketidakselarasan informasi yang terdapat antara manajer dan para pemegang saham dengan penggunaan jasa pihak luar dalam memeriksa laporan keuangan serta memberikan pendapat bahwa laporan yang disajikan telah sesuai atau benar. Bagi pengguna laporan keuangan terutama para pemegang saham dapat mengambil keputusan melalui laporan yang telah diaudit tersebut. Sehingga auditor sebagai pihak ketiga mempunyai peran penting dalam proses audit dan pengesahan laporan keuangan suatu perusahaan. Oleh karena itu, kualitas audit adalah hal yang harus dipertahankan oleh seorang auditor dalam proses pengauditan serta auditor harus memperhatikan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas audit sesuai dengan standar yang belaku.
43
2.1.5.2.
Dimensi Kualitas Audit
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) menyatakan bahwa audit yang dilakukan auditor dikatakan berkualitas, jika memenuhi standar auditing dan standar pengendalian mutu. Dalam penelitian kali ini penulis menggunakan standar auditing sebagai pengukuran kualitas proses auditing.Standar Auditing menurut PSA No. 01 (SA Seksi 150) dalam Sukrisno Agoes (2012: 30-31) yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Publik Indonesia (2011: 150.1-150.2) terdiri atas sepuluh standar yang dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu : 1. Standar umum a. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan. Perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2. Standar pekerjaan lapangan a. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika dipergunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
44
c. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. 3. Standar Pelaporan a. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. b. Laporan auditor harus menunjukkan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. d. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggungjawab yang dipikul oleh auditor (IAPI, 2011:150.1 & 150.2).
45
2.1.5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Audit Kualitas audit yang dihasilkan oleh seorang audit menjadi suatu pembuktian kepada masyarakat. Pekerjaan akuntan publik biasanya dihubungkan dengan kualifikasi
keahlian,
ketepatan
wkatu
penyelesaian
pekerjaan,
kecukupan
independensinya dengan klien (Basuki, 2008). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas audit, faktor-faktor tersebut menurut Nasrullah (2009) yaitu sebagai berikut : “ 1. Tenure 2. Jumlah Klien 3. Kesehatan Keuangan Klien 4. Adanya pihak ketiga yang melakukan review atas laporan audit 5. Independen auditor uang efisien 6. Level of audit fees 7. Tingkat perencanaan kualitas audit”. Dengan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas audit tersebut, diharapkan auditor tetap menjaga sikap independensinya, karena dari berbagai faktor yang telah disebutkan diatas tidak menutup kemungkinan seseorang auditor akan terpengaruhi dalam pelaksanaan auditnya. 2.1.5.4.
Standar Pengendalian Kualitas Audit Bagi suatu kantor akuntan publik, pengendalian kualitas dari metode-metode
yang digunakan untuk memastikan bahwa kantor akuntan publik telah memenuhi tanggung jawab profesionalnya kepada klien maupun pihak lain. Menurut Rendal J. Elder, Mark S. Beasley,Alvin A. Arens dalam Amir Abadi Jusuf (2011:48) bahwa terdapat lima elemen pengendalian kualitas, yaitu: “1. Independensi, Integritas, dan Objektivitas.
46
2.
3.
4.
5.
Semua fenomena yang terlibat dalam penugasan harus mempertahankan independensi baik secara fakta maupun secara penampilan, serta mempertahankan objektivitas dalam melaksanakan tanggungjawab profesionalnya. Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam kantor akuntan publik, kebijakan dan prosedur harus disusun supaya dapat memberikan tingkat keandalan tertentu bahwa: a) Semua karyawan harus memiliki kualifikasi sehingga mampumelaksanakan tugasnya secara kompeten. b) Pekerjaan kepada mereka yang telah mendapatkan pelatihan teknis secara cukup serta memiliki kecakapan. c) Semua karyawan harus berpartisipasi dalam melaksanakan pendidikan profesi sehingga membuat mereka mampu melaksankan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka. d) Karyawan yang dipilih untuk dipromosikan adalah mereka yang memiliki kualifikasi yang diperlukan supaya menjadi bertanggung jawab dalam penyusunan berikutnya. Penerimaan dan Kelanjutan Klien dan Penugasan. Kebijakan dan prosedur harus ditetapkan untuk memutuskan apakah akan menerima klien baru atau meneruskan kerjasama dengan klien yang telah ada. Kebijakan dan prosedur ini harus mampu meminimalkan resiko yang berkaitan dengan klien yang memiliki tingkat integritas manajemen yang rendah. Kinerja Penugasan dan Konsultasi Kebijakan dan prosedur harus memastikan bahwa pekerjaan yang dilaksanakan oleh personel penugasan memenuhi standar profesi yang berlaku, persyaratan peraturan, dan mutu KAP sendiri. Pemantauan Prosedur Harus ada kebijakan dan prosedur untuk memastikan bahwa keempat unsur pengendalian mutu lainnya diterapkan secara efektif”.
Selain itu akuntan publik juga harus berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) ynag ditetapkan oleh IAPI, dalam hal ini adalah standar auditing. Berikut Standar auditing menurut Standar Profesional Akuntan Publik (2011:150:2) adalah: “1. Standar Umum. a. Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor.
47
b. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. c. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan pelaporannya, auditor wajib menggunkan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. 2. Standar Pekerjaan Lapangan. a. Pekerjaan harus direncanakan dengan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. b. Pemahaman yang memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menetukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. c. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. 3. Standar Pelaporan. a. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia. b. Laporan audit harus menunjukan atau menyatakan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. c. Pengungkapan informasi dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit. d. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat keseluruhan tidak dapat diberikan maka harus dinyatakan.Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor”.
48
2.2. Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Peneliti
Judul Penelitian
Topik Penelitian
Persamaan Penelitian
1
Herawat y, dkk (2012)
Menganalisis seberapa berpengaruh independensi, pengalaman. Due professiona care dan akuntablilitas terhadap kualitas audit.
2
Mardisar, Diani dan Ria Nelly Sari. (2007)
Pengaruh Independe nsi, pengalama n, Due profession al care dan akuntabilit as terhadap kualitas audit. Pengaruh Akuntabilit as dan Pengetahu an terhadap Kualitas Hasil Kerja Auditor
Penelitian ini samasama meneliti mengenai Indpedensi dan Due Professional Care dan Kualitas Audit Penelitian ini samasama meneliti mengenai Akuntabilita s dan Kualitas Audit
3
Rahman, Ahmad Taufik. 2009
Pengaruh Kompetens i, Independe nsi, dan Due Profession al Care terhadap Kualitas Audit.
Menganalisis dan membuktikan bagaimana persepsi auditor mengenai pengaruh Kompetensi, Independensi, dan Due Professional Care terhadap Kualitas Audit
Menganalisis seberapa berpengaruh akuntabilitas dan pengetahuan terhadap kualitas hasil kerja auditor
Penelitian ini samasama meneliti mengenai due professional care dan Kualitas Audit
Perbedaa n Penelitian Perbedaan terdapat pada variabel X2 dan tempat penelitia.
Hasil Penelitian
Perbedaan terdapat pada variabel X2 dan Y serta pada tempat penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika kompleksitas tugas rendah , akuntabilitas akan mempengaruhi kualitas pekerjaan auditor , tetapi ketika kompleksitas tugas tinggi , akuntabilitas tidak memiliki efek pada kualitas pekerjaan auditor . Selain itu, ketika kompleksitas tugas tinggi , interaksi antara Akuntabilitas dan pengetahuan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas kerja auditor
Perbedaan terdapat pada variabel X1 dan tempat penelitian.
Hasilnya membuktikan bahwa kompetensi, independensi, dan due professional care mempengaruhi kualitas audit secara parsial . Selain itu , penelitian ini membuktikan antara kompetensi, independensi, dan due professional care memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas audit
Hasil penelitian menunjukan bahwa indeendensi, pengalaman dan akuntabilitas mempengaruhi kualitas auidt secara berkelanjutan, sedangkan due Professional care tidak berpengaruh terhadap kuaitas audit.
49
4
Elisha, M. dan Icuk, R. (2010)
Pengaruh Independe nsi, Akuntabilit as,Pengala man, dan due profession al care Auditor terhadap Kualitas Audit.
Menunjukkan bagaimana Pengaruh Idependensi, Akuntabilitas,Penga laman, dan due professional care Auditor terhadap Kualitas Audit
Penelitian ini samasama meneliti mengenai Due Professional Care dan Akuntabilita s terhadap Kualitas Audit
Perbedaan terdapat pada variabel X3 dan tempat penelitian.
Hasilnya membuktikan bahwa independensi , pengalaman , perawatan profesional karena dan akuntabilitas dipengaruhi kualitas audit secara bersamaan . Selain itu , penelitian ini membuktikan bahwa independensi , perawatan profesional karena dan akuntabilitas dipengaruhi kualitas audit secara parsial, tapi pengalaman tidak mempengaruhi kualitas audit . Penelitian ini juga membuktikan bahwa independensi adalah faktor dominan yang mempengaruhi kualitas audit .
5
Saripudi n, Netty Herawat y, dan Rahayu (2012)
Pengaruh Independe nsi, Pengalama n, Due Profession al Care, dan Akuntabilit as terhadap Kualitas Audit
Mengetahui, menganalisis dan mendapatkan bukti empiris tentang pengaruh independensi, pengalaman, due professional care, dan akuntabilitas terhadap kualitas audit yang dimiliki auditor KAP
Penelitian ini samasama meneliti mengenai variabel Due Professional Care, Akuntabilita s terhadap Kualitas Audit
Perbedaan terdapat pada variable X2 dan tempat penelitian.
6
Dini Mustika wati (2013)
Pengaruh etika profesional , akuntabilit as, kompetens i dan due profession al care terhadap kualitas audit
Menguji dan menganalisis pengaruh etika profesional, akuntabilitas, kompetensi dan due professional care terhadap kualitas audit.
Penelitian ini samasama meneliti mngenai Due Profesional Care dan Akuntabilita s terhadap Kualitas Audit
Perbedaan terdapat pada variabel X2 dan X3 serta pada tempat penelitian.
Menunjukkan bahwa independensi, pengalaman, due professional caredan akuntabilitas mempengaruhi kualitas audit secara berkelanjutan. Selain itu, penelitian ini membuktikan bahwa independensi, pengalaman dan akuntabilitas secara parsial mempengaruhi kualitas audit akan tetapi due professional care tidak berpengaruh pada kualitas audit. Didapat bahwa nilai koefisien determinasi R2 (R Square) yaitu sebesar 0,691 menunjukkan bahwa etika profesional, akuntabilitas, kompetensi, dan due professional care mampu menjelaskan kualitas audit sekitar 69,1%, sedangkan sisanya sebesar 30,9% dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini. Sedangkan berdasarkan uji hipotesis didapat bahwa etika profesional, akuntabilitas, kompetensi dan due professional care berpengaruh terhadap kualitas audit.
50
2.3.
Kerangka Pemikiran
2.3.1. Pengaruh Independensi Terhadap Kualitas Audit Independensi berarti tidak mudah dipengaruhi, karena auditor melaksanakan
pekerjaannya
untuk
kepentingan
umum.Auditor
tidak
dibenarkan memihak kepada kepentingan siapapun. Karena pentingnya independensi dalam menghasilkan kualitas audit, maka auditor harus memiliki dan mempertahankan sikap ini dalam menjalankan tugas profesionalnya. Independensi merupakan suatu standar auditing yang sangat penting untuk dimiliki oleh auditor. Arens et al, (2012: 134-135) menjelaskan bahwa: “Nilai audit (kualitas audit) sangat bergantung pada persepsi publik terhadap independensi auditor.” Selanjutnya Louwers. Ramsay et al, (2008: 16-22) menyatakan bahwa: “Para auditor harus selalu menjaga independensi dalam sikap mental, dalam semua hal yang berkaitan dengan pemberian jasa audit, untuk meningkatkan kualitas audit.”
Reiner Quick (2008: 3-5) mengemukakan bahwa: “Untuk meningkatkan kualitas audit, atributnya adalah meningkatkan tingkat independensi auditor dan objektivitas auditor terhadap kliennya.”
51
Sedangkan Paino et al, (2010: 37-38) menyatakan bahwa: “Kualitas audit bergantung pada „kompetensi‟ dan “independensi” auditor untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh mulai dari rekening dalam neraca, sampai dengan mendeteksi kesalahan yang mungkin terjadi dalam laporan keuangan klien (kompetensi teknis), dan kesediaannya tanpa dipengaruhi oleh pihak lain (independensi auditor), untuk memberikan pendapat yang objektif tentang tingkat kewajaran rekening tersebut dalam laporan keuangan auditan klien.” Jamal, K. and Sunder, S. (2011) dalam penelitiannya menyatakan sebagai berikut: “Independence (infact as well as in appearance) is widelay thought to be 24 necessary for the quality of audit, and audit quality is often equated with independence.” Selanjutnya menurut Defond et al, (2000) dalam penelitiannya di China, menyatakan sebagai berikut: “There is a changes in the audit quality in Chinese audit market in response to the adoption of the new auditing standards in China, which standards provide an incentives for auditor to become more independence.”
Watt and Zimmerman (1986: 313) menyatakan sebagai berikut: “An increase in auditor independence is also consistent with increased in audit quality, whereby audit quality is defined as the probability of both detecting and reporting breach in the financial statements.”
52
2.3.2. Pengaruh Due Profesional Care terhadap Kualitas Audit Due professional care merupakan hal yang penting yang harus diterapkan setiap akuntan publik dalam melaksanakan pekerjaan profesionalnya agar dicapai kualitas audit yang memadai. Mengenai keterkaitan antara prinsip due professional care terhadap kualitas audit menurut Alvin A. Arens, Mark S. Beasley dan Randal J. Elder (2012: 43) menjelaskan bahwa: “Kecermatan seorang auditor merupakan profesional yang bertanggung jawab melaksanakan tugasnya dengan cermat dan seksama (due professional care) yang mencangkup mengenai kelengkapan dokumentasi audit, kecukupan bukti audit, serta ketepatan laporan audit”. Menurut I Gusti Agung Rai dalam buku Audit Kinerja pada Sektor Publik (20 :51) dapat dijelaskan hubungan due professional care terhadap kualitas audit yaitu: “Dasar pemikiran dari standar umum ketiga yaitu, dalam pelaksanaan audit serta penyusunan laporan hasil audit, auditor wajib menggunakan kemahiran dan profesionalnya secara cermat dan seksama (due professional care) ” Adapun menurut Kopp, Morley, dan Rennie dalam Mansur (2007:38) membuktikan bahwa: “Masyarakat mempercayai laporan keuangan jika auditor telah menggunakan sikap skeptis profesionalnya (professional skepticism) dalam proses pelaksanaan audit”. Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan Nearon (2005) dalam Mansur (2007) juga menyatakan hal serupa bahwa jika auditor gagal dalam menggunakan sikap skeptis atau penerapan sikap skeptis yang tidak sesuai dengan kondisi pada saat pemeriksaan, maka opini audit yang diterbitkannya tidak berdaya guna dan tidak
53
memiliki kualitas audit yang baik. Adapun penelitian Rahman dalam Singgih dan Bawono (2010) memberikan bukti empiris bahwa due professional care merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kualitas audit. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecermatan dan keseksamaan menurut auditor untuk melaksanakan skeptisme profesional, yaitu suatu sikap auditor yang berpikir kritis terhadap bukti audit dengan selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi terhadap bukti audit tersebut.Penggunaan dengan cermat dan seksama memungkinkan auditor untuk memperoleh keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan. Kedua hal tersebut dapat mendorong auditor untuk dapat menghasilkan hasil audit yang berkualitas.
2.3.3. Pengaruh Akuntabilitas terhadap Kualitas Audit Dalam buku Alvin A. Arens, Mark S. Beasley dan Randal J. Elder (2012:105) menjelaskan bahwa: “Akuntan publik, sebagai profesional, mengakui adanya pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat, klien, serta rekan praktisi, termasuk prilaku yang terhormat, meskipun itu berarti pengorbanan diri. Alasan utama dalam peningkatan perilaku profesional yang tinggi oleh seorang auditor adalah kebutuhan akan kepercayaan publik atas kualitas jasa yang diberikan oleh profesi, tanpa memandang individu yang menyediakan jasa tersebut. Bagi akuntan publik, kepercayaan klien dan pemakai laporan keuangan eksternal atas kualitas audit dan jasa lainnya sangatlah penting.”
54
Menurut I Gusti Agung Rai dalam buku Audit Kinerja pada Sektor Publik (2009:29) dapat dijelaskan keterkaitan antara akuntabilitas terhadap kualitas audit yaitu: “Audit berkaitan erat dengan akuntabilitas dan atestasi. Akuntabilitas berkaitan dengan kewajiban pihak dalam organisasi untuk melaporkan pertanggungjawabannya kepada pihak eksternal atau pihak lain dengan kewenangan yang lebih tinggi. Dalam menjamin kualitas hasil audit tersebut, dibutuhkan auditor yang independen”.
Diani dan Ria (2007) dalam William Jefferson Wiratama (2015) menyebutkan tanggung
jawab
(akuntabilitas)
auditor
dalam
melaksanakan
audit
akan
mempengaruhi kualitas audit yang dihasilkan. Akuntan yang memiliki kesadaran akan pentingnya peranan akuntan bagi profesi dan masyarakat, ia akan melakukan pekerjaannya dengan sebaik mungkin.
55
2.3.4. Hubungan Antar Variabel (Paradigma Penelitian) Indenpendensi -Programming
independence -Investigative
independence -Reporting
independence Mautz dan Sharaf (2011)
Kualitas Audit -
Due Professional Care Skiptisme Profesional - Keyakinan yg memadai
-
-
SPAP (2011:230.1)
Akuntabilitas -
Motivasi Pengabdian Kewajiban Sosial
Robbins (2008:222)
Gambar Penelitian 2.1
-
Standar Umum. Standar Pelaporan. Standar Pekerjaan Lapangan.
SPAP (2011:150:2)
56
2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: Hipotesis 1 :Independensi berpengaruh terhadap Kualitas Audit Hipotesis 2 :Due Professional Care berpengaruh terhadap Kualitas Audit Hipotesis 3 :Akuntabilitasberpengaruh terhadap Kualitas Audit Hipotesis 4 : Independensi,
Due
Professional
bepengaruh terhadap Kualitas Audit
Care
dan
Akuntabilitas