BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RERANGKA PEMIKIRAN
A. Kajian Pustaka 1.
Pengertian Pajak Ada berbagai macam batasan atau definisi tentang pajak yang dikemukan oleh
para ahli. Dalam membahas definisi perpajakan akan dijelaskan makna yang terkandung di dalam definisi menurut Nurmantu (2005: 1), definisi pajak adalah: “...iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasar undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum“ Menurut Mardiasmo (2007: 20), pajak adalah: “...kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Menurut Undang-Undang Perpajakan No.36 Tahun 2008, pajak merupakan: “...iuran rakyat yang dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya” Selanjutnya menurut Sumarsan (2010:4), definisi pajak adalah:
11
12
“...suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar
pemerintah
dapat
melaksanakan
tugas-tugasnya
untuk
menjalankan
pemerintahan.” Dari empat definisi yang telah disajikan dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat dalam pengertian pajak antara lain sebagai berikut: a.
Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari sektor
swasta
(Wajib
Pajak
membayar
pajak)
ke
sektor
negara
(pemungut
pajak/administrator pajak). b.
Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah
dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik secara rutin maupun pembangunan. c.
Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual oleh
pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para Wajib Pajak. d.
Pajak digunakan untuk keperluan negara bagi kemakmuran rakyat.
e.
Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya. f.
Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan pelaksanaannya. Tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka
13
pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Menurut Sumarsan (2010:7), agar tidak menimbulkan masalah pemungutan pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Pemungutan pajak harus adil, 2) Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian, 3) Pemungutan pajak harus efisien, 4) Sistem pemungutan pajak harus sederhana. 2. Fungsi Pajak Fungsi pajak berarti kegunaan atau manfaat pokok dari pajak itu sendiri. Menurut Nurmantu (2005: 2) dikenal dua macam fungsi pajak, yaitu. a. Fungsi budgetair (Penerimaan) Fungsi budgetair disebut juga fungsi utama pajak, atau fungsi fiskal yaitu suatu fungsi dalam mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana ke kas negara secara optimal berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku. Fungsi ini disebut fungsi utama karena fungsi inilah yang mempunyai historis pertama kali timbul b. Fungsi regulerend (Mengatur) Fungsi regulerend atau fungsi mengatur disebut juga fungsi tambahan yaitu fungsi dimana pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Disebut sebagai fungsi tambahan karena hanya sebagai fungsi pelengkap dari fungsi utama. Untuk mencapai tujuan tertentu maka pajak digunakan sebagai alat kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut.
14
3. Jenis Pajak Marsyahrul (2006: 4) menyatakan bahwa perbedaan jenis pajak yang dibagi dalam golongan-golongan dapat didasarkan atas sifat-sifat tertentu yang ada dalam masing-masing pajak ataupun atas ciri-ciri tertentu yang ada dalam masing-masing pajak ataupun atas ciri-ciri tertentu pada setiap pajak. Ciri-ciri tertentu bersamaan dari setiap jenis pajak dimasukkan dalam satu golongan sehingga dapat digolongkan sebagai berikut: a.
Pajak Langsung dan Tidak Langsung
Pajak langsung adalah pajak-pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain, dan dikenakan berulangulang pada waktu tertentu. Contoh dari pajak ini adalah Pajak Penghasilan Pasal 25, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan lain-lain. Sedangkan pajak tidak langsung adalah pajak-pajak yang tidak dikenakan berulangulang pada waktu tertentu dan pada akhirnya dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya dari pajak ini adalah Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa. b.
Pajak Pusat (Negara)
Pajak Pusat (Negara) yaitu pajak-pajak yang wewenang pemungutannya ada ditangan pemerintah pusat, di mana dari hasil pemungutannya tersebut akan digunakan untuk kepentingan pembiayaan negara pada umumnya. Yang termasuk dalam Pajak Pusat (Negara) ini adalah Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Bea Materai.
15
c. Pajak Subyektif dan Pajak Obyektif Pajak Subyektif yaitu pajak yang pemungutannya berpangkal kepada diri orangnya, dimana keadaan diri Wajib Pajak yang bersangkutan dapat mempengaruhi besar kecilnya pajak yang harus dibayar. Contoh keadaan status perkawinan dari Wajib Pajak yang telah kawin atau belum dan jumlah anak yang menjadi tanggungannya akan memengaruhi besar kecilnya pajak yang harus dibayar. Sedangkan Pajak Obyektif adalah pajak-pajak yang pemungutannya berpangkal pada obyeknya, di mana pajak-pajak ini dipungut karena keadaan, perbuatan-perbuatan, dan kejadian yang dilakukan atau yang akan terjadi dalam wilayah negara dengan tidak mengindahkan tempat kediamannya ataupun sifat subyeknya. Contoh dari pajak ini adalah cukai rokok, pajak undian-undian berhadiah, dan lain-lain.
B. Penghasilan Penghasilan menurut Harcrisnowo (2008: 12) adalah: “... jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan oleh perorangan, badan dan bentuk usaha tetap yang digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsi dan atau menimbun serta menambah kekayaan” Penghasilan menurut Standar Akuntansi Keuangan (2009: PSAK No 46) adalah: “... kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aset atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Penghasilan
16
(income) meliputi pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gain)”. Dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) adalah: “... setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.” Mansyuri (2002: 7) mengemukakan penghasilan untuk keperluan pajak harus menekankan kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai sebagai konsumsi. Terdapat tiga hal penting dalam batasan penghasilan, yaitu: 1.
Menentukan bahwa suatu penghasilan adalah objek pajak bertujuan agar wajib
pajak mendapatkan kepastian apakah suatu jenis penghasilan merupakan objek pajak sehingga tidak terdapat keragu-raguan dalam menentukan suatu objek pajak. 2.
Mendefinisikan penghasilan adalah mencari benang merah dari suatu pengertian
sehingga didapatkan suatu pemahaman yang sama oleh setiap orang tentang definisi dari penghasilan. 3.
Contoh-contoh penerimaan atau perolehan yang termasuk dalam pengertian
penghasilan kena pajak. Pemberian contoh merupakan cara yang efektif agar Wajib Pajak tidak dirugikan dalam melakukan pemotongan pajak, selain itu juga dapat memperkecil celah
loophole sehingga tidak ada lagi alasan Wajib Pajak untuk
menghindar dari pemotongan pajak”
1. Penghasilan Kena Pajak (PKP) Dalam peraturan pajak No.KEP – 57/PJ/2009, yang termasuk penghasilan kena
17
pajak antara lain: a.
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainya. b.
Hadiah dan undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
c.
Laba usaha.
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak. f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian uang. g. Deviden, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan sisa hasil usaha koperasi. h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak. i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. j. Penerimaaan atau perolehan pembayaran berkala. k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu. l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing. m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. n. Premi asuransi. o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
18
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah. r. Imbalan bunga Menurut Waluyo (2006: 79), perihal penghasilan yang dapat dikenakan pajak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut a. Tambahan kemampuan ekonomis. Yang dimaksud dengan tambahan kemampuan ekonomis adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhannya. b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh. Yang dimaksud penghasilan yang diterima terkait dengan konsep akuntansi mengenai pengakuan pendapatan antara cash basis (sudah diterima) dengan accrual basis (belum ada realisasi baru dicatat saja). c. Berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia Karena Indonesia menganut sistem world wide income maka seluruh penghasilan yang diterima baik berasal dari dalam maupun luar negeri wajib dikenakan pajak. d. Untuk kepentingan konsumsi atau menambah kekayaan. Penghasilan yang diterima atau diperoleh yang akan digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib dikenakan pajak. e. Dalam nama dan bentuk apapun. Yang dimaksud dengan nama dan bentuk apapun adalah hakekat ekonomis lebih
19
penting dari jenis penghasilan tetapi jika maksud dan tujuan dari nama tersebut adalah suatu penghasilan maka wajib dikenakan pajak penghasilan. Dasar pengenaan pajak dan pemotongan PPh Pasal 21 menurut Diana (2009: 423) adalah sebagai berikut : 1) Pegawai Tetap PKP pegawai tetap dihitung dengan menggunakan PTKP dari Penghasilan Neto (PN). Sedangkan penghasilan netto dihitung dengan mengurangkan Biaya jabatan dan Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan (Iuran pensiun) dari Penghasilan Bruto (PB) PKP = PB – Biaya jabatan – Iuran pensiun – PTKP 2) Penerima Pensiun Berkala PKP penerima pensiun berkala dihitung dengan mengurangkan PTKP dari Penghasilan Netto (PN) Sedangkan Penghasilan Neto dihitung dengan mengurangkan Biaya pensiun dari Penghasilan Bruto (PB) PKP = PB – Biaya pensiun – PTKP 3) Pegawai Tidak Tetap PKP dihitung dengan mengurangkan PTKP dari Penghasilan Bruto (PB). PKP = PB – PTKP 4) Bukan Pegawai, yang meliputi: a) distributor multilevel marketing atau direct selling b) petugas dinas luar asuransi yang tidak berstatus sebagai pegawai
20
c) penjaja barang dagangan yang tidak berstatus sebagai pegawai, dan d) penerima penghasilan bukan pegawai lainnya yang menerima penghasilan dari Pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 tahun kalender. PKP dihitung dengan mengurangkan PTKP yang dihitung secara bulanan dari Penghasilan Bruto (PB) PKP = PB – PTKP yang dihitung secara bulanan
2. Penghasilan Dari Pekerjaan Penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu penghasilan dari menjalankan usaha (businessincome) dan penghasilan dari kegiatan melakukan pekerjaan (employment income). Penghasilan dari menjalankan usaha dapat dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum, sedangkan penghasilan dari kegiatan melakukan pekerjaan hanya dapat dilakukan oleh orang pribadi Employment income merupakan penghasilan yang diperoleh orang pribadi sehubungan dengan kegiatan dalam melakukan pekerjaan, jasa dan kegiatan lain. Jenis employment income dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a.
penghasilan sebagai pegawai atau penghasilan dari penyerahan jasa orang pribadi
tidak bebas atau penghasilan sebagai karyawan. b.
penghasilan dari pekerjaan bebas, misalnya penghasilan dari jasa profesional
yang independen.
21
Apabila diperhatikan pengertian employment income pada intinya menyangkut semua penghasilan yang diterima karyawan termasuk fasilitas dan penggantian yang diterima sehubungan dengan adanya hubungan pekerjaan.
C.Efisiensi 1. Efisiensi Secara Umum Menurut Cendiman dalam Elen Berlianti (2009:36) efisiensi adalah perbandingan terbaik antara suatu kegiatan dengan hasilnya. Menurut definisi ini, efisiensi terdiri atas 2 unsur yaitu kegiatan dan hasil dari kegiatan tersebut. a. Unsur Kegiatan Suatu kegiatan dianggap mewujudkan efisiensi kalau suatu hasil tertentu tercapai dengan kegiatan terkecil. Unsur kegiatan terdiri dari 5 sub unsur berikut : pikiran, tenaga, bahan, waktu dan ruang b. Unsur Hasil Suatu kegiatan dianggap mewujudkan efisiensi kalau dengan suatu kegiatan tertentu mencapai hasil yang terbesar. Unsur hasil terdiri dari 2 subunsur berikut : Jumlah (kuantitas) dan Mutu (kualitas) Menurut Danfar dalam Elen Berliyanti (2009:36) efisiensi merupakan suatu ukuran dalam membandingkan rencana penggunaan masukan dengan penggunaan yang direalisasikan atau perkataan lain penggunaan yang sebenarnya
22
. 2.
Efisiensi Beban Pajak Secara finansial, pajak dapat mengurangi laba yang diperoleh oleh seseorang
atau suatu badan usaha. Pajak yang harus ditanggung oleh Wajib Pajak merupakan beban yang dapat mempengaruhi besarnya laba bersih yang diperoleh. Jika beban suatu penurunan atau berkurangnya nilai modal akibat penggunaan asset, maka hal tersebut seharusnya dapat ditekan seminimal mungkin. Penurunan nilai modal karena dapat mempengaruhi laba yang akan diperoleh. Efisiensi
bertujuan untuk
menghindari pemborosan-pemborosan sumber
daya yang dapat mempengaruhi laba usaha. Penghindaran pemborosan tersebut merupakan upaya optimalisasi alokasi sumber daya dengan melakukan aktivitas dengan benar disamping melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan. Salah satu cara efisiensi beban pajak yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perencanaan pajak.
D. Perencanaan Pajak Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak (Mangonting, 1999: 43). Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan dengan maksud menyeleksi jenis tindakan penghematan pajak apa yang akan dilakukan. Pada umumnya penekanan perencanaan pajak adalah meminimumkan kewajiban perpajakan. Menurut Zain (2008: 23), perencanaan pajak (tax planning) adalah langkah awal dari
23
manajemen pajak yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen stratejik perusahaan secara keseluruhan. Sebab itu, tidak salah jika perencanaan pajak turut menentukan berhasil tidaknya manajemen stratejik yang dibuat oleh perusahaan. Perencanaan pajak perlu dilakukan agar Wajib Pajak dapat membayar pajaknya secara efektif dan efisien. Pengelolaan pajak dikatakan efektif bila penafsiran Wajib Pajak mengenai hak dan kewajiban perpajakan tidak berbeda dengan fiskus. Pengelolaan pajak dikatakan efisien bila pembayaran pajak dilakukan sesuai dengan jumlah yang dibebankan dan dibayar tepat waktu, sehingga terhindar dari denda atau bunga karena terlambat membayar atau kurang membayar pajak atau kehilangan kesempatan memperoleh penghasilan (opportunity loss) karena terlalu cepat membayar. Menurut Suandy (2008: 13), perencanaan pajak dapat berupa penghindaran pajak (tax avoidance) maupun penggelapan pajak (tax evasion). Tetapi dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, yang dibolehkan berupa perencanaan pajak yang tidak menyimpang dari ketentuan dan peraturan perpajakan yaitu berupa penghindaran pajak. Sedangkan penggelapan pajak tidak diperbolehkan karena tindakan ini merupakan pelanggaran undang-undang perpajakan, tindakan pidana dan bersifat melawan hukum. Pada umumnya perencanaan pajak dilakukan dengan mengatur usaha Wajib Pajak atau kelompok Wajib Pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya baik pajak penghasilan (PPh) maupun pajak-pajak lainnya berada pada posisi paling minimal
24
sepanjang itu dimungkinkan baik oleh peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial. Oleh sebab itu, perencanaan pajak penting untuk diterapkan oleh Wajib Pajak dalam rangka meminimalisasi pajak yang harus dibayar dengan tidak melanggar peraturan perpajakan yang berlaku.
1. Pengertian Perencanaan Pajak Suatu perencanaan pajak yang tepat merupakan hasil dari tindakan penghematan atau tax saving dan penghindaran pajak atau tax avoidance. Muljono (2009: 15) mengidentifikasi pajak dengan perencanaan pajak dan mendefinisikan sebagai berikut: “Perencanaan pajak adalah tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensi jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah, melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiskal yang tidak akan ditoleransi.” Dari pengertian tersebut terlihat bahwa perencanaan pajak melalui penghindaran pajak merupakan satu-satunya cara legal yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak dalam rangka mengefisienkan pembayaran pajaknya. Ide dasarnya adalah usaha mengatur lebih dahulu semua aktivitas perusahaan guna menghindarkan dampak perpajakan sebanyak mungkin, atau dengan kata lain peluang untuk perencanaan pajak yang efektif, terdapat lebih besar kemungkinannya apabila hal tersebut
25
dipertimbangkan sebelum transaksi tersebut dilaksanakan, dibandingkan dengan apabila pertimbangannya dilakukan setelah transaksi (Mangonting, 1999: 43). Dalam hal ini tentunya sangat tergantung kepada para manajer, sampai sejauh mana para manajer tersebut mewaspadai secara konstan alternatif-alternatif penghematan pajak pada setiap tindakan yang akan diambilnya. Dapat disimpulkan bahwa suatu perencanaan pajak yang efektif tidak tergantung kepada seorang ahli pajak yang profesional, akan tetapi sangat tergantung kepada kesadaran dan keterlibatan para pengambil keputusan akan adanya dampak pajak yang melekat pada setiap aktivitas perusahaannya. Perencanaan pajak berfungsi sebagai mengestimasi jumlah pajak dimasa yang akan datang yang dibayar secara formal maupun material, dan melakukan efisiensi pajak tidak semata-mata dengan menghindari pajak, tetapi juga menghindari sanksi-sanksi atas kesalahan dan kelalaian atas pelaksanaan kewajiban pajak. Fungsi pelaksanaan pajak dilakukan dengan melaksanakan hasil perencanaan pajak baik dari aspek formal maupun material sebaik mungkin.
2. Langkah–langkah Penting Perencanaan Pajak Zain (2008: 20) mengemukakan tindakan yang harus diambil dalam rangka perencanaan pajak tersebut berupa tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi pajak, maka langkah-langkah yang harus mendapatkan perhatian dalam penyusunan perencanaan pajak dan merupakan komponen-komponen sistem manajemen adalah sebagai berikut:
26
a.
Menetapkan sasaran atau tujuan perencanaan pajak yang meliputi:
1) Usaha-usaha mengefisienkan beban pajak yang masih dalam ruang lingkup pemajakan dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 2) Memahami segala ketentuan administratif, sehingga terhindar dari pengenaan sanksi-sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. 3) Melaksanakan secara efektif segala ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terkait dengan pelaksanaan pemasaran, pembelian dan fungsi keuangan, seperti pemotongan dan pemungutan pajak. b.
Situasi sekarang dan identifikasi pendukung dan penghambat tujuan, yang terdiri
dari: 1) Identifikasi faktor lingkungan perencanaan pajak jangka panjang. Faktor ini umumnya memiliki sifat permanen yang secara eksplisit terdapat dan melekat pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Faktor tersebut merupakan parameter-parameter yang berpengaruh terhadap perencanaan jangka panjang. 2) Etika kebijakan perusahaan dan ketentuan yang jelas mengenai fungsi dan tanggung jawab manajemen perpajakan serta memiliki manual tentang ketentuan dan tata cara perpajakan yang berlaku bagi seluruh personil perusahaan. 3) Strategi dan perencanaan pajak yang terintegrasi dengan perencanaan perusahaan, baik perencanaan perusahaan jangka pendek maupun jangka panjang. 4) Pengembangan rencana atau perangkat tindakan untuk mencapai tujuan, dilakukan antara lain dengan cara mengadakan:
27
5) Sistem informasi yang memadai dalam kaitannya dengan penyampaian perencanaan pajak kepada para petugas yang memonitor perpajakan dan kepastian keefektifan pengendalian pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya yang terkait, seperti pencantuman masalah-masalah perpajakan dalam setiap bisnis, sehingga tidak terjadi pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal-hal tersebut sangat erat kaitannya dengan sistem akuntansi perusahaan. 6) Mekanisme monitor, pengendalian, dan penyesuaian sedemikian rupa sehingga setiap modifikasi rencana dan tindakan dapat dilakukan tepat waktu. Agar perencanaan pajak dapat berjalan sesuai dengan tujuan menurut Suandy (2008: 18) diperlukan tahapan-tahapan terencana sebagai berikut. 1) Menganalisa informasi yang ada Pada tahap ini perencanaan pajak harus menganalisa dan mempertimbangkan semua aspek yang mungkin terlibat dalam perencanaan pajak. Pertimbangan ini
menimbang segala kemungkinan
keberhasilan maupun kegagalan dalam pelaksanaan perencanaan pajak. Faktorfaktor yang perlu diperhatikan antara lain: a) Fakta yang relevan. Dalam era globalisasi serta tingkat persaingan yang semakin ketat maka seseorang manajer pajak dalam merencanakan pajak untuk suatu organisasi dituntut harus benar-benar menguasai situasi yang dihadapi baik dari segi internal maupun eksternal dan selalu mengamati perubahan-perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat, menyeluruh terhadap situasi maupun transaksi yang mempunyai dampak perpajakan.
28
b) Faktor pajak. Dalam melakukan pembuatan perencanaan pajak perlu diperhatikan faktorfaktor pajak sebelumnya dari suatu negara untuk menjamin berhasilnya suatu perencanaan pajak, sehingga dapat dijadikan tolak ukur dalam menentukan perencanaan pajak ke depannya. 2) Membuat satu model atau lebih rencana pajak Model diperlukan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai perhitungan perencanaan pajak. Sebaiknya model dibuatkan lebih dari satu agar dapat dibandingkan dan
kerugiannya.
dan
lebih
dapat
Sehingga perencana
pajak
terukur dapat
memilih
keuntungan alternatif-
alternatif yang tersedia. 3) Evaluasi perencanaan pajak Mengevaluasi dengan analisis keuangan
suatu perencanaan pajak misalnya
bagaimana perencanaan pajak mempengaruhi beban pajak, laba kotor atau pengeluaran lain jika alternatif-alternatif dipilih atau dijalankan. 4) Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali keputusan Dari berbagai alternatif yang telah dibuat, perencana pajak harus melihat potensi kerugian atau potensi keuntungan yang akan diperoleh. Keputusan untuk menjatuhkan pilihan satu alternatif kadang membawa kondisi pada potensi kerugian yang akan diperoleh. Tugas dari perencana pajak adalah meminimalkan potensi kerugian tersebut.
29
5) Memuktahirkan rencana pajak Suatu undang-undang seringkali mengalami perubahan demikian juga dengan undang-undang perpajakan. Perubahan ini akan membawa dampak bagi perencana pajak secara keseluruhan. Tugas dari perencana pajak untuk melihat kembali rancangan yang telah dibuat untuk menyesuaikan dengan perubahan undang-undang tersebut.
E. Peraturan Perpajakan Yang Memungkinkan Terjadinya Perencanaan Pajak 1. Dasar Hukum dan Peraturan Pelaksanaan Untuk menjamin terlaksananya fungsi pajak sebagai penghimpun dana (budgetair) dari sektor pribadi ke sektor umum diperlukan perangkat pasti dan mengikat. Kepastian hukum diperlukan untuk meminimalisasi perlawanan yang timbul pada saat pelaksanaan pemungutan pajak. Dalam undang-undang diatur mengenai subjek pajak dan bukan subjek pajak, objek pajak dan bukan objek pajak, tarif pajak, pembayaran serta ketentuan lain yang diperlukan untuk Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21. Sebagaimana diketahui bahwa transaksi pemotongan pajak penghasilan (PPh) diatur dalam Undang-Undang No 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas UndangUndang No 17 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Khususnya untuk pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 pedoman yang digunakan antara lain. a.
Undang-undang No.36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-
30
undang No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. b.
Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis
Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) 21
Pasal
dan / atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan
Kegiatan Orang Pribadi. 2. Pengurang Yang Diperbolehkan Penerima penghasilan yang berstatus sebagai karyawan tetap atau penerima dana pensiun yang dibayar berkala dikenakan pajak penghasilan pasal 21. Bagi golongan penerima penghasilan tersebut berlaku pengurangan yang diperbolehkan untuk menghitung penghasilan neto atau Penghasilan Kena Pajak (PKP). Untuk mengetahui besarnya penghasilan netto pegawai tetap, penghasilan bruto pegawai tersebut dikurangi dengan : a.
Biaya jabatan.
Biaya jabatan adalah biaya untuk menagih, mendapatkan dan memelihara penghasilan dari suatu pekerjaan, tanpa memandang apakah pegawai tersebut memiliki jabatan atau tidak. Biaya jabatan ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.250/PMK.03/2008 Tentang Besarnya Biaya Jabatan atau Biaya Pensiun Yang Dapat Dikurangkan Dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap Atau Pensiunan sebesar 5 % dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 6.000.000 setahun atau Rp 500.000 sebulan. b.
Iuran pensiun
Iuran pensiun yang dibayarkan karyawan yang terkait pada gaji, yang dibayarkan
31
kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto. c.
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 pasal 7 dan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 162/PMK.011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 2012, maka dengan berlakunya peraturan PTKP ini, maka mulai tahun 2013, masyarakat Indonesia yang memiliki penghasilan sampai dengan Rp. 24.300.000,- tidak dikenakan pajak. Adapun besarnya PTKP adalah sebesar tarif yang tercantum dalam tabel 2.1 TABEL 2.1 PENGHASILAN KENA PAJAK (PTKP) No. Keterangan 1 Untuk diri Wajib Pajak Pribadi 2 Tambahan untuk Wajib Pajak Kawin 3 Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami 4
Setahun Rp 24.300.000,-
Sebulan Rp 2.025.000,-
Rp 2.025.000,-
Rp 168.750,-
Rp 24.300.000,-
Rp 2.025.000,-
Tambahan untuk anak (paling Rp 2.025.000,Rp 168.750,banyak 3 orang) Sumber : Undang-undang No 36 Tahun 2008, PMK-162/PMK.011/2012
32
TABEL 2.2 PTKP BERDASARKAN STATUS Kode
Status PTKP Setahun TK/0 WP Tidak kawin, tidak Rp. 24.300.000,memiliki tanggungan TK/1 WP Tidak kawin, Rp. 26.325.000,memiliki tanggungan 1 orang TK/2 WP Tidak kawin, Rp. 28.350.000,memiliki tanggungan 2 orang TK/3 WP Tidak kawin, Rp. 30.375.000,memiliki tanggungan 3 orang K/WP Kawin, penghasilan Rp. 26.325.000,istri dipisah, tidak memiliki tanggungan K/1 WP Kawin, penghasilan Rp. 28.350.000,istri dipisah memiliki tanggungan 1 orang K/2 WP Kawin, penghasilan Rp. 30.375.000,istri dipisah memiliki tanggungan 2 orang K/3 WP Kawin, penghasilan Rp. 32.400.000,istri dipisah memiliki tanggungan 3 orang K/I/0 WP kawin, penghasilan Rp. 50.625.000,istri digabung, tidak memiliki tanggungan K/I/1 WP kawin, penghasilan Rp. 52.650.000,istri digabung, memiliki tanggungan 1 orang K/I/2 WP kawin, penghasilan Rp. 54.675.000,istri digabung, memiliki tanggungan 2 orang K/I/3 WP kawin, penghasilan Rp. 56.700.000,istri digabung, memiliki tanggungan 3 orang Sumber : Undang-undang No 36 Tahun 2008, PMK-162/PMK.011/2012
33
Pengurang yang diperbolehkan bagi wajib pajak badan untuk menentukan penghasilan
neto
sebagai
mana
yang
diatur
dalam
Undang-
Undang No.36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) adalah sebagai berikut. 1) Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha. 2) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. 3) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 4) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. 5) Kerugian selisih kurs mata uang asing 6) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia. 7) Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan. 8) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat tertentu. 9) Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dalam peraturan pemerintah. 10) Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah. 11) Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan peraturan pemerintah.
34
12) Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dalam peraturan pemerintah
3. Tarif Pajak Tarif pajak adalah persentasi tertentu yang ditentukan oleh undang-undang dalam rangka menentukan besarnya pajak terhutang. Sehubungan dengan kewajiban untuk membayar pajak, dalam menghitung besarnya pajak terhutang yang harus dibayarkan ditetapkan tarif pajak bagi wajib pajak orang pribadi berdasarkan Pasal 17 UU PPh Tahun 2008. TABEL 2.3 TARIF PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI No. Keterangan 1 Rp. 0 s/d Rp. 50.000.000,2 Rp. 50.000.000,- s/d Rp. 250.000.000,3 Rp. 250.000.000,- s/d Rp. 500.000.000,4 diatas Rp. 250.000.000,Sumber : Undang-undang PPh No.36 Tahun 2008
Tarif 5% 15% 25% 30%
Bagi penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 yang tidak memiliki No Pokok Wajib Pajak (NPWP), akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap
Wajib
Pajak
yang
memiliki
NPWP. Sehingga, jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar 120% (seratus dua puluh persen) dari jumlah PPh Pasal 21 yang seharusnya dipotong dan bersifat tidak final.
35
Dalam hal pegawai tetap atau penerima pensiun berkala, sebagai penerima penghasilan yang telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif yang lebih tinggi, disarankan untuk segera mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 untuk masa pajak Desember, PPh Pasal 21 yang telah dipotong atas selisih pengenaan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) lebih tinggi tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan-bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP. TABEL 2.4 TARIF PPh PASAL 21
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp. 50 juta Diatas Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 250 juta Diatas Rp. 250 juta sampai dengan Rp. 500 juta Diatas Rp. 500 juta
Tarif Pajak ber NPWP 5%
Tarif Pajak Non NPWP 6%
15%
18%
25%
30%
30%
35%
Sumber : Undang-undang PPh No.36 Tahun 2008
4. Metode Perhitungan PPh Pasal 21 Saat diluncurkannya program reformasi perpajakan di tahun 1983, sejak itu pula berkembang pemikiran dari wajib pajak untuk mengefisiensikan pajak yang harus menjadi beban perusahaan.
36
Ada 3 metode yang digunakan dalam perhitunagn Pasal 21 oleh perusahaan dalam menjalankan perencanaan pajak, yaitu : a.
Gross Method (PPh Pasal 21 ditanggung oleh Karyawan)
Merupakan metode pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajaknya, yang biasanya dipotong langsung dari gaji yang bersangkutan. Biasanya dilakukan pada perusahaan yang baru berdiri. b. Net Method (PPh Pasal 21 ditanggung oleh Perusahaan) Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung pajak karyawannya. Sebagaimana dimaksud dalam Kep. Dirjen Pajak No.31/PJ/2008 Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (I), Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat final; atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit). Selanjutnya pada Pasal 8 ayat 2 menegaskan bahwa Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan.
c.
Gross-up Method (Tunjangan pajak yang di gross-up)
Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari karyawan. Perhitungan tunjangan pajak diformulasikan untuk menyamakan jumlah
37
pajak yang akan dibayar dengan tunjangan pajak diberikan perusahaan terhadap karyawannya. Perbedaan principal antara Net Method dengan Gross-up Method adalah sebagai berikut : 1) Bahwa pada Metode Net besarnya PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh perusahaan tersebut tidak dimasukkan sebagai tunjangan pajak di SPT PPh Pasal 21, sedangkan pada Metode gross-up, bersarnya tunjangan pajak PPh Pasal 21 tersebut dimasukkan sebagai elemen penghasilan dari tunjangan pajak yang dicantumkan di SPT PPh Pasal 21. 2) Bahwa pada Metode Net, besarnya PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Perusahaan tidak bisa dibiayakan (non deductible) sedangkan pada Metode gross-up seluruh tunjangan pajaknya bisa dibiayakan (deductible). 5. Kepastian Hukum Metode Gross-up Terminologi Metode gross-up ini yang terkait dengan metode perhitungan PPh Pasal 21 memang tidak dimuat dalam Undang-undang Pajak Penghasilan maupun Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri Keuangan. Kalaupun istilah ini dipakai, hanya penggunaannya terbatas pada pengenaan pajak penghasilan yang terkait dengan PPh Pasl 23. a.
Peraturan Dirjen Pajak No.64/PJ2009 Penetapan jumlah Pajak Penghasilan
Ditanggung Pemerintah atas Penghasilan berupa Kompensasi Terminasi Dini Hak Ekslusif Telkom yang harus dibayarkan Pemerintah kepada Telkom merupakan Objek Pajak, yang dihitung dengan metode gross-up.
38
b.
Private ruling Surat Dirjen Pajak No.S.1149/PJ.312/2004 tentang Pajak
Penghasilan atas bunga (kupon) tetap Obligasi Negara Dalam Valas dengan metode gross-up yang pengenaannya dengan melakaukan gross-up terhadap pembayaran bunga tersebut. Hingga saat ini tidak ada ketentuan yang mengatur konsistensi perhitungan PPh Pasal 21 dengan metode gross-up dimaksud padahal aplikasi metode ini sudah menjadi salah satu model dan opsi kebijakan perpajakn yang ditetapkan di banyak perusahaan. Semua pihak, baik fiskus maupun wajib pajak telah meyakini dan bahkan banyak yang sudah hapal di luar kepala tentang prinsip taxability-deductibility yang dijabarkan dalam Pasal 4 ayat 1 (taxable income) dan Pasal 4 ayat 3 (nontaxable income) serta Pasal 6 ayat 1 (deductible expense) dan Pasal 9 ayat 1 (nondeductible expense). Dalam hubungan kerja antar perusahaan dengan karyawan, mekanisme prinsip tersebut berlaku, jika dikaryawan merupakan penghasilan (taxable income), maka di perusahaan boleh menjadi biaya (deductible expense), atau sebaliknya jika di karyawan merupakan bukan penghasilan (non-taxable income), maka diperusahaan menjadi bukan biaya (non-deductible expense). Semua penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sudah dikenakan pajak (bukan PPh final) dapat dibiayakan menjadi pengurang penghasilan dalam laporan keuanagn fiskanl atau SPT PPh Badan. Dalam pengertian yang menjadi objek pajak penghasilan tersebut termasuk tunjangan. Jadi sebenarnya landasan hukum pemberian tunjangan pajak yang dalam perlakukan pajaknya diakui sebagai biaya deductible itu sudah jelas, secara eksplisit tertuang dalam Pasal 4 UU
39
PPh, sesuai dengan makna prinsip taxability-duductibility. Artinya bilamana penghasilan (dari tunjangan pajak) karyawan tersebut sudah dipajaki dan disetorkan ke Kas Negara serta sudah dilaporkan dalam SPT PPh Pasal 21, maka bagi pemberi kerja atas pengeluaran (biaya tunjangan pajak) tersebut dapat dibiayakan menjadi pengurang penghasilan dalam laporan keuangan fiskal atau SPT PPh Badan. Tentu dengan catatan, transaksi tersebut didukung dengan adanya penjurnalan biaya tunjangan pajak didalam pembukuan wajib pajak serta juga tercantum dalam slip gaji karyawan. 6. Rumus Perhitungan Gross-up Berikut ini adalah rumus untuk menentukan besaran tunjangan pajak yang di gross-up seperti terlihat pada table 2.5 dibawah ini . TABEL 2.5 RUMUS GROSS-UP UNTUK PERHITUNGAN TUNJANGAN PPh PASAL 21 PKP s/d Rp. 50.000.000,-
PKP di atas Rp. 50.000.000 s.d Rp.
= PKP X 5% 0,9525 = (PKP X 15%) – 5 Juta 0,85
250.000.000 PKP di atas Rp. 250.000.000 s.d Rp.
= (PKP X 25%) – 30 Juta 0,75
500.000.000 PKP di atas Rp. 500.000.000
= (PKP X 30%) – 55 Juta 0,70
Sumber : Indonesia Tax Review II/Edisi14/2009,Cara Legal Siasati Pajak hal. 80
40
F. Penelitian Terdahulu Perencanaan pajak penghasilan telah diteliti oleh peneliti lain diantaranya Wijayani (2006) dalam skripsi berjudul “Analisis Perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 Kantor Pusat PT (Persero) Pelabuhan Indonesia IV Makassar”, Harcrisnowo (2008) dalam Tesis yang berjudul “Perencanaan Pajak Penghasilan (PPh) Dalam Upaya Meminimalisasikan Biaya Pajak Pada PT. Bank Internasional Indonesia (BII)”, dan Gloritho (2008) pada penelitian berjudul “Pengaruh Penerapan Perencanaan Pajak Biaya Pegawai Pada PT. XYZ Untuk Meminimalkan Beban Pajak dan Hubunganya Dengan Kinerja Perusahaan”. Dalam
penelitian
Wijayani
(2006)
dan
Harcrisnowo
(2008),
peneliti
menganalisis metode-metode yang tersedia dalam perencanaan pajak dengan cara menghitung kembali pajak terhutang dengan metode-metode tersebut kemudian menentukan metoda mana yang menghasilkan tax saving yang paling baik. Dalam penelitian tersebut, adanya perbedaan tarif dan lapisan kena pajak terhadap Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi menjadi salah satu pertimbangan untuk menyarankan pemberian tunjangan pajak kepada pegawai tetap perusahaan dibanding menanggung PPh Pasal 21 terutang. Penelitian Gloritho (2008) bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dilakukan perencanaan pajak dan setelah dilakukan perencanaan pajak dengan membandingkan jumlah pajak terhutang. Perbedaannya dengan penelitian ini adalah undang-undang yang digunakan sebagai dasar
41
perencanaan pajak. Dalam penelitiannya, Gloritho menyimpulkan bahwa setelah dilakukannya perencanaan pajak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah pajak terhutang. Penelitian Gloritho menggunakan Undang-undang Pajak Penghasilan No 17 tahun 2000 sebagai dasar perencanaan pajak. Perbedaan mendasar antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah undangundang yang digunakan. Penelitian terdahulu menggunakan Undang-undang Pajak Penghasilan No 17 tahun 2000 sedangkan penelitian ini menggunakan Undangundang Pajak Penghasilan (PPh) No 36 tahun 2008 sebagai dasar perencanaan pajak dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No: PER-31/PJ/2009 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. G. Rerangka Pemikiran Menurut Hamid (2010:15), Rerangka pemikiran merupakan sintesa dari serangkaian teori yang tertuang dalam tinjauan pustaka, yang pada dasarnya merupakan gambaran sistematis dari kinerja teori dalam memberikan solusi atau alternatif solusi dari serangkaian masalah yang ditetapkan. Penelitian ini berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Zain (2008;54) tentang perencanaan pajak. Menurut Zain, Perencanaan pajak adalah suatu proses mendeteksi catat teoritis dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan, untuk kemudia diolah sedemikian rupa sehingga ditemukannya satu cara penghindaran
42
pajak yang dapat menghemat pajak akibat cacat teoritis tersebut. Berdasarkan teori ini, penulis melakukan penelitian tentang Analisis Perencanaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Atas Biaya Tenaga Kerja Dengan Metode Gross, Net, Dan Gross-up Dan Hubungannya Dengan Perencanaan Pajak PPh Badan Pada PT X. Rerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam gambar 2.1. Perencanaan PPh Pasal 21 berdasarkan UU PPh Perbandingan Perhitungan PPh Pasal 21
Metode Gross
Metode Net
Metode Gross up
Perhitungan PPh Badan
PPh
Badan
yang
Lebih Efisien
SPT PPh Badan
GAMBAR 2.1 RERANGKA PEMIKIRAN