BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salat adalah Ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Dalam Agama Islam salat menempati kedudukan yang sangat penting, karena salat merupakan tiang Agama, sehingga Agama seseorang tidak akan tegak kalau salatnya tidak ditegakkan. Kemudian yang dimaksud dengan salat di sini adalah salat maktubah atau salat fardhu, yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam (Subuh, Duhur, Ashar, Maghrib, dan Isya‟).
Untuk melaksanakan salat maktubah tersebut,harus berdasarkan waktu yang telah ditentukan, sebagaimana Firman Allah SWT :
اِم ِوقِ ِوتِا ِيِِكِِتاابِ ا ِلااِةِِ اِكاِناتِِ اِعِلاىِالِمِ ِؤمِنِ ا ِ ِإِنِِالص Artinya : “Sesungguhnya salat itu adalah fardhu/wajib yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. ( QS. An Nisa‟ (4) : 103)1 Konsekuensi logis dari surat An-Nisa‟ ayat 103 adalah bahwa salat lima waktu tidak bisa dilakukan dengan sembarang waktu, akan tetapi harus mengikuti waktu-waktu yang telah ditentukan berdasarkan Al-Qur‟an dan AlHadis. Namun dalam realitanya, banyak masyarakat dalam beribadah, terutama
1
Ahmad Hatta,Tafsir Qur’an Perkata,(Jakarta: Maghfiroh Pustaka,2009),hlm.95
1
2
salat masih terpaku dengan pendapat para ulama‟, sedangkan para ulama‟ juga masih banyak perbedaan pendapat tentang waktu salat.2 Maka untuk melaksanakan salat harus berdasarkan waktu yang telah ditentukan oleh Syariat Islam. Hal ini dijelaskan dalam ayat sebagai berikut :
ِفِالنِ اِهارِِاِوِزِلافِاِمِ اِنِالِيِل ِلااِةِ ِطاِار ا ِ ِاِوِاقِمِِالص Artinya : “ Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang ( pagi dan petang ) dan pada bagian permulaan dari pada malam” ( QS. Huud (11):114)3 Dalam ayat lain ditegaskan :
ِ سقِِالِيِلِِ اِوقِِرآ اِنِالِ اِفجِرِِاِنِِقِِرآ اِنِالِ اِفجِرِِكِا اِنِ اِمشِهِ ِودِا ِلِ اِغ ا ِلاِةاِلِدِلِ ِوكِِالشِمِسِِاِ ا ِ ِِاقِمِِالص Artinya : “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) Subuh sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. (Q.S. Al- Isra‟ (17) : 78)4 Kemudian Rasulullah SAW juga merincikan ketentuan waktu salat itu beserta pedomannya :
ِاِزالات ِعلايو اِو اسل امِ قا اال اِوقت ِالظهرِ ا اذ ا صلىِالل ا اعنِ اعبدِاللِ ِابنِ اعمرِ ان اِرسوال ِاللِ ِ ا ِ َِِيضر ِال اعصرِ ِ اواوقت ِال اعصرِ ِ اما اَِل تاص افر ِالشمس الشمسِ ِ اواكا ان ِظ ُّل ِالرجل ِ اكطولوِ ِ اما اَل ا ِِصلاة ِالع اشاءِ ِا ال ِنصف ِالليل ِاْلاو اسط ِص لاة ِال امغ رب اِما اَل ِياغب ِالش اِفقِ ِ ِ اواوقت ا اواوقت ا ِِِعن ِص الة ِالصبحِ ِمن ِطلوع ِال افجر ِ اما اَل ِتاطلع ِالشمس ِ فاا اذاِطالا اعت ِالشمس ِفاأامسك ا اواوقت ا )ِِشيطاانِِِ(رواهِمسلم يِِقار اَن ا الص الةِِِفاان اهاِِِتاطلعِِبا ا 2
Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, (Yogyakarta : Lazuardi, 2001), hlm. 73 Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata, Op Cit. hlm.97 4 ibid. hlm.290 3
3
Artinya : Dari Abdullah bin Umar ra, “bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda, “Waktu Dhuhur ialah bila matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang orang itu sama panjang dengan badannya, yakni sebelum datangya waktu Ashar, waktu Ashar ialah sampai matahari belum sampai kuning cahayanya, waktu Salat Maghrib selama syafak / awan merah belum lagi lenyap, waktu Isya‟ sampai tengah malam kedua, sedang waktu Subuh mulai fajar sampai terbitnya matahari. Jika matahari telah terbit, maka hentikanlah salat,karena ia terbit antara kedua tanduk setan”(H.R Muslim)5 Dilihat dari dalil Al-Qur‟an dan Hadis di atas, telah dijelaskan tentang kapan waktu-waktu salat, di antaranya:
1. Waktu Dhuhur : dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya sampai bayang-bayang seseorang sama panjang dengan badannya. 2. Waktu Ashar : dimulai saat panjang bayang-bayang suatu benda sama dengan panjang bendanya, sampai matahari belum sampai kuning cahayanya. 3. Waktu Maghrib : dimulai sejak matahari terbenam sampai selama syafak / awan merah belum lagi lenyap. 4. Waktu Isya‟ : dimulai saat berakhirnya waktu Maghrib, hingga hilang mega merah sampai separuh malam kedua dan akhir salat Isya‟ adalah sebelum terbitnya fajar shadiq. 5. Waktu Shubuh : dimulai sejak terbit fajar shadiq sampai terbitnya matahari.
5
juz.5
Imam Muslim, Shahih Muslim (Beirut - Lebanon; Dar al-Kutub al-Ilmiyah,2010), hlm.95
4
Di dalam hadis lain dinyatakan
ِصلِّو ِِفا اق ا،ِ ِجاءاه ِجْبيل ِصلى ِالل ا ال قم ِفا ا ِأان ِالنِب ا،ِ اعن ِ اجابرِبِن ِعبد ِاللاو ِعلايو اِو اسل ام ا ِِصا ار صلىِال اعصار ِح ا صلىِالظُّهار ِح ا ي ا صلِّو ِِفا ا ِفا اق اال ِقم ِفا ا،ِ ِجاءاه ِال اعصر فا ا ُِث ا،ِ ي اِزالات ِالشمس ِب ِحي اِو اجبات ظ ُّل ِكِ ِّل ا صلِّو ِ ِفا ا ِفا اق اال ِ ِ ِقم ِفا ا،ِ ِجاءاه ِال امغرب صلى ِال امغر ا ُِث ا،ِ ِشيء ِمث لاو ِ ُِثِ اجاءاه،ِ اب ِالش افق ِ ِفا اق ا،ِ ِجاءاه ِالع اشاءا صلى ِالع اشاءا ِح ا صلِّو ِ ِفا ا ال قم ِفا ا ي ِ اغ ا ُِث ا،الشمس ِِجاءاهِف ِِفا اق ا،ال افجار ِحيِبار اقِال افجرِأاوِقا االِِح ا صلىِال افجار ا صلِّوِِفا ا ال قِمِفا ا ُِث ا،ِِسطا اعِال افجر ي ا ِ،ِجاءاه ِال اعصر ِِفا اق ا،الغاد ِالظُّهر ِص اار ِظ ُّل ِك ِّل ا صلىِالظُّهار ِح ا ي ا صلِّو ِِفا ا ال قم ِفا ا ُِث ا،ِ ِشيء ِمث لاو ِاِواحداِ اَل ِفا اق ا ِص اار ِظ ُّل ِك ِّل ا صلىِال اعصار ِح ا ي ا صلِّو ِِفا ا ال قم ِِفا ا ِجاءاه ِال امغر ا ُِث ا،ِ ِشيء ِمث لايو ب اِوق ت ا ِِِجاءاه ياازل ا ِجاءاهِالع اشاءاِح ا بِنصفِالليلِأاوِقا االِِث لثِالليلِفا ا ُِثِ ا،ِصلىِالع اشاءا ُِث ا،ِِعنو يِذا اى ا ِ ِِالوق تاِي اِوقت يا ِِِماِبا ا ال افجارِح ا صلِّوِِفا ا ِفا اق االِِِقمِفا ا،ِيِأاس افرِجدًّا ُِثِقا اال ا،ِصلىِال افجار ِى اذين ا Artinya : Dari Jabir bin „Abdillah ra, bahwasanya Nabi SAW, pernah didatangi oleh Jibril as lalu ia berkata kepada Nabi SAW, “ Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Dhuhur ketika matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Nabi SAW shalat Ashar ketika bayangan suatu benda sama panjang dengan bendanya. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Maghrib dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Kemudian Nabi SAW shalat Maghrib ketika matahari telah terbenam. Kemudian Jibril mendatanginya saat „Isya‟' dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat „Isya‟' ketika syafak atau awan merah telah hilang. Kemudian Jibril mendatanginya lagi saat Subuh dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Subuh ketika muncul fajar. Keesokan harinya Jibril kembali mendatangi Nabi SAW saat Dhuhur dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Kemudian Nabi SAW shalat Dhuhur ketika bayangan semua benda sama panjang dengan bendanya. Kemudian Jibril mendatanginya saat Ashar dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Ashar ketika panjang bayangan semua benda dua kali panjang bendanya. Kemudian Jibril mendatanginya saat Maghrib pada waktu yang sama dengan kemarin dan tidak berubah. Kemudian Jibril mendatanginya saat „Isya‟' ketika pertengahan malam telah berlalu atau sepertiga malam, maka Nabi SAW shalat „Isya‟'. Kemudian Jibril mendatangi Nabi SAW saat hari sudah sangat terang dan berkata, “Bangun dan shalatlah!” Maka Nabi SAW shalat Subuh. Kemudian
5
Jibril berkata, “Di antara dua waktu tersebut adalah waktu shalat” (HR. Ahmad). 6 Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua waktu salat yang berbeda di antaranya:
1. Waktu Dhuhur : ketika matahari telah tergelincir, dan ketika bayangan semua benda sama panjang dengan bendanya. 2. Waktu Ashar
: ketika bayangan suatu benda sama panjang dengan
bendanya, dan ketika panjang bayangan semua benda dua kali panjang bendanya.
Waktu salat Dhuhur dan Ashar,
keduanya ditentukan oleh panjang
bayang-bayang matahari (sinar matahari yang menyinari ke bumi, dengan melihat bayangan suatu benda yang ada), dengan merujuk hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Salat Dhuhur dan Ashar adalah sebagian salat lima waktu yang dalam perhitungannya secara astronomis harus menentukan ketinggian matahari setiap harinya. Selain itu, para ulama‟ fikih juga mempunyai perbedaan pendapat tentang akhir waktu Dhuhur dan masuknya awal waktu Ashar tersebut. Perbedaan yang paling menonjol adalah menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i, dimana yang menjadi perbedaan yaitu tentang bayangan dari tingginya suatu benda.
Menurut Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Mabsuth karangan Syamsudin al-Syarakhsi
6
Imam Ahmad bin Hambal al-Musnad, Sunan Al-Nasa’I (Beirut-Lebanon; Dar alFikr alArabi, TTH), hlm.25
6
َِِيرج ِ اوقت ِالظُّهر ِالا ا ِ ِ ِىِعن ِاِواِراِو ا اِص اار ِالظِّ ُّل ِقا اامة ا سنِ ِِابِ ِ اِحنِيِ اِف اِة ِِارِحاه اماِالل ِتا اع اال ِانو ِاذا ا ِ 7ِِحَّتِياصي ارِالظِّ ُّلِقا اامتا ي اواْلِيادخل اِزقتِال اعصر ا Artinya:
Diceritakan dari Hasan Abi Hanifah sesungguhnya ketika bayangan benda itu sama dengan bendanya maka telah keluar waktu Dhuhur dan belum masuk waktu Ashar sehingga bayangan dua kali dari bendanya. Dijelaskan tentang pendapat Imam Abu Hanifah bahwa ketika bayangbayang suatu benda menjadi sama panjang bendanya maka berakhirlah waktu Dhuhur, akan tetapi belum masuk waktu Ashar, sedangkan waktu Ashar sendiri ketika bayang-bayang menda menjadi dua kali panjang bendanya. Sedangkan Menurut Imam Syafi‟i dalam kitabnya al-Umm
ِئِ اِم ِا ِ ِبشي ِاِج اِاوازِِكِلِِ اِشيِئِِمِثِلِوِِ ا ِالعصِرِِفِِالصِيِفِِاِ اِذ ا ِالِ اِوقِتِِ ا ِِحاوِِاللِِتاِ اِع ا ِ ىِر ِِقا ا الِالشِافِعِ ِا
ِ 8.ِيِياِنِ اِفصِلِِمِنِِآخِرِِ اِوقِتِِالظِهِر ِلكِحِ ا ِاِكا اِنِ اِواِذ ا
Artinya : Imam Syafi‟i berkata; “Waktu Ashar dalam musim panas yaitu ketika bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda dan pada saat itulah berakhirnya waktu Dhuhur”
7
Syamsudin Sarakhsi, Kitab al-Mabsuth, juz 1, (Beirut- Lebanon; Dar al-Ma‟rifat, TT) hlm. 142 8 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Umm, juz.II (Beirut Lebanon;Dar al-Kutub,2004) Hlm.63
7
Dijelaskan juga menurut Imam Syafi‟i, bahwa jika bayang-bayang benda menjadi sama panjang bendanya maka waktu Dhuhur berakhir, dan masuklah waktu Ashar.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa ada dua pendapat yang berbeda, yaitu salat Dhuhur dimulai dari setelah matahari tergelincir sampai panjang bayang-bayang sudah mencapai panjang bendanya, dan waktu Ashar dimulai sejak panjang bayang-bayang sudah mencapai sebendanya. Pendapat lain mengatakan bahwa salat Dhuhur dimulai dari setelah matahari tergelincir sampai bayang-bayang suatu benda menjadi dua kali panjang benda aslinya. Maka panjang bayang-bayang matahari bisa dilihat dengan menggunakan Tongkat Istiwa‟, adapun Tongkat Istiwa‟ sendiri befungsi sebagai alat bantu untuk menentukan arah utara-selatan sejati dengan mengunakan bantuan sinar matahari, juga untuk menentukan waktu-waktu salat dan dilengkapi dengan menggunakan Jam Matahari (Bencet) yang digunakan untuk menentukan waktu-waktu salat dengan mengandalkan bayangan sinar matahari.9
Panjang bayang-bayang suatu benda pada saat awal waktu salat Ashar tidaklah tetap, hanya terpatok pada satu tempat saja, tergantung panjang bayang-bayang saat kulminasi, dan keadaan ini dipengaruhi oleh Lintang tempat dan Deklinasi matahari (jarak posisi matahari dengan katulistiwa ( equator ), Perata waktu (selisih antara waktu kulminasi matahari hakiki dengan waktu matahari rata-rata), dan Mer pass (saat matahari melintas pada lingkaran 9
Direktorat Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat, Ilmu Falak Praktik (Jakarta : Kementerian Agama Replublik Indonesia, 2013) Hlm.66
8
meridian) yang dikeluarkan setiap tahunnya oleh TNI angkatan laut dan juga bisa dilihat pada situs-situs online di internet.10 Waktu salat dari hari ke hari dan antara tempat satu dan lainnya bervariasi. Waktu salat sangat berkaitan dengan peristiwa peredaran matahari yang relatif terhadap bumi. Pada dasarnya untuk menentukan waktu salat diperlukan letak geografis, waktu (tanggal), dan ketinggian. Begitu juga awal waktu salat Ashar yang menjadi perbedaan para ulama„ dalam penentuannya, sehingga ketinggian matahari awal waktu Ashar akan diteliti kembali.
Akan tetapi di sini penulis lebih terfokuskan pada bayang-bayang matahari akhir waktu Dhuhur dan masuknya awal waktu Ashar. Karena bayang-bayang matahari inilah yang menjadi perbedaan pendapat para ulama‟.
Bertitik tolak dari realita tersebut dan karena tuntutan untuk menjaga waktu salat secara baik dan serta kewajiban untuk melaksanakan ibadah salat maktubah sesuai dengan waktu yang telah ditentukan itulah, maka penulis tertarik untuk membahas “RELEVANSI PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG PANJANG BAYANG-BAYANG MATAHARI DALAM MENENTUKAN WAKTU SALAT DHUHUR DAN ASHAR”
10
M.Muslih Husein, Matahari,Ka’bah dan Bulan (Pekalongan; STAIN PEKALONGAN, 2008). Hlm.4
9
B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar? 2. Bagaimana istimbat hukum yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari terhadap ketepatan waktu salat Dhuhur dan Ashar? 3. Bagaimana relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayangbayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN 1. Tujuan penelitian adalah : a. Untuk mengetahui pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayangbayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar. b. Untuk mengetahui instinbat hukum yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari terhadap ketepatan waktu salat Dhuhur dan Ashar. c. Untuk mengetahui relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar? 2. Adapun kegunaan penelitian adalah : a. Dengan diketahuinya pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan
10
Ashar, maka pendapat tersebut bisa digunakan untuk pedoman dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar. b. Dengan diketahuinya instinbat hukum yang digunakan oleh Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari terhadap ketepatan waktu salat Dhuhur dan Ashar, maka dapat dilakukan penggalian penelitian untuk menentukan ketepatan waktu salat Dhuhur dan Ashar. c. Dengan diketahuinya relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar, maka akan diketahui pula dimana relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, yang dimana letak suatu kota satu dengan yang lainya tidaklah sama lintang tempat, deklinasi matahari, perata waktu, dan mer pass-nya.
D. TINJAUAN PUSTAKA Sajauh penelusuran penulis belum ada yang menulis secara spesifik tentang relevansi pendapat imam abu hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar, namun demikian terdapat beberapa tulisan yang berhubungan dengan pendapat Imam Abu Hanifah Tentang Panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan Waktu Salat Dhuhur dan Ashar. Skripsi milik Siti Mufarrohah yang berjudul Konsep Awal Waktu Salat Ashar Imam Syafi’i Dan Hanafi
(Uji
Akurasi
Berdasarkan Ketinggian
11
Bayang-Bayang Matahari Di Kabupaten Semarang),11 menjelaskan bahwa berdasarkan fakta empiris kedudukan bayang-bayang matahari awal waktu salat Ashar antara daerah dataran tinggi dan rendah di Kabupaten Semarang, yaitu Kecamatan Ungaran dan Getasan mengalami pergeseran, akan tetapi tetap sejajar. Pergeseran ini disebabkan waktu penelitian dengan tanggal yang berbeda dan deklinasi matahari sudah mengalami pergeseran. Dua tempat yang mempunyai ketinggian berbeda ini ketika masuknya awal waktu salat Ashar lebih condong terhadap pendapat Imam Syafi‟i Uji akurasi bayang-bayang matahari awal waktu salat Ashar yang sesuai dengan kedudukan matahari dan pengamatan secara langsung terhadap posisi matahari, menunjukkan bahwa yang sesuai adalah pendapat Imam Syafi‟i yaitu ketika bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari (kulminasi) ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya. Kedudukan bayang-bayang matahari ada di sebalah utara karena deklinasi matahari selatan negatif. Slamet Hambali, dalam Workshop Penyusunan Jadwal Waktu Salat Abadi Kabupaten Batang,12 menguraikan dimana penyusunan jadwal waktu salat, tidak hanya melihat bayang-bayang matahari setiap harinya, dikarenakan ketika cuara tidak mendukung seperti mendung, maka akan kesulitan untuk menentukan waktu salat. Dengan itu Slamet Hambali menuturkan untuk menggunakan teori hisab rukyat, guna memperhitungkan bujur lintang, lintang 11
Siti mufarrohah, Konsep Awal Waktu Salat Asar Imam Syafi’i Dan Hanafi (Uji Akurasi Berdasarkan Ketinggian Bayang-Bayang Matahari Di Kabupaten Semarang, (Semarang; INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO,2010). 12 Slamet Hambali, 31 Desember 2015,Workshop Penyusunan Jadwal Waktu Salat Abadi Kabupaten Batang.(Batang; Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Batang)
12
tempat, tinggi tempat, deklinasi matahari, equation of time, tinggi matahari awal waktu salat, dan juga sudut waktu yang dimana semua itu adalah caracara untuk menghitung waktu salat yang abadi, dimana tidak hanya mengandalkan bayang-bayang matahari. Skripsi milik Maryani berjudul Studi Analisis Metode Penentuan Waktu Salat dalam Kitab ad-Durus al-Falakiyyah Karya Ma’sum Bin Ali.13 menjelaskan bahwa hasil perhitungan antara metode kontemporer dengan data ephemeris dan metode klasik dengan data ad-Durus al-Falakiyyah, tidak signifikan, selisih keduanya antara 0 – 4 menit jam. Dan satu hal yang perlu diperhatikan, metode ad-Durus al-Falakiyyah masih menggunakan waktu istiwa (pergerakan matahai hakiki), maka harus ada konversi ke waktu daerah dan penambahan ikhtiyat yang agar besar. Jalan perhitungan waktu salat yang terdapat dalam ad-Durus al-Falakiyyah, dengan menggunakan alat bantu rubu’ mujayyab dapat digolongkan dalam metode hisab Taqribi. Mengapa demikian, karena hasil perhitungannya masih bersifat perkiraan dan jika dibandingkan dengan merode kontemporer maka akan terjadi selisih beberapa menit. Walaupun sudah banyak berkembang metode penentuan waktu salat yang lebih kontemporer, pengunaan metode dan data yang terdapat dalam kitab ad-Durus al-Falakiyyah masih relevan. Hal ini penulis jumpai masih banyak di kalangan pesantren dan masyarakat sekitar pesantren di daerah Jawa Timur khususnya Kecamatan Pare Kabupaten Kediri yang menggunakan metode dan data yang terdapat dalam kitab ad-Durus al-Falakiyyah sebagai penentu waktu salat. 13
Maryani, Studi Analisis Metode Penentuan Waktu Salat dalam Kitab ad-Durus alFalakiyyah Karya Ma’sum Bin Ali. (Semarang; INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO, 2011).
13
Tetapi kerelevanan ini hanya sebatas jika tidak ditemukan data yang lebih kontemporer. Skripsi milik Munthoha yang berjudul Analisis Terhadap Teloransi Pengaruh Perbeadaan Lintang Bujur Dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Salat.14 Skripsi ini menjelaskan pengaruh perbedaan lintang bujur tempat terhadap penentuan awal waktu salat dan berapa besar teloransinya. Skripsi milik Muhammad Hartaji yang berjudul Analisis terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Salat.15 Dalam karyanya ini Hartaji hanya menganalisis tentang bagaimana pengaruh perbedaan lintang tehadap awal waktu salat. E. KERANGKA TEORITIK Akhir waktu Dhuhur dan awal waktu Asar, berdasarkan literatur-literatur fikih tidak ada kesepakatan. Hal ini dikarenakan sumber Hadis menerangkan waktu Dhuhur dan Ashar ada dua waktu yang saling berbeda yaitu terletak pada hadis Jabir ra. Seperti halnya pendapat Imam Hanafi yang menyatakan bahwa akhir waktu Dhuhur bayangan benda dua kali seperti bendanya dan waktu Ashar dari bayangan benda dua kali seperti bendanya. Dan juga pendapat lain seperti pendapat Imam Syafi‟i, yaitu waktu Ashar dimulai dari bayangan benda sama dengan bendanya atau satu kali bayangan benda ketika
14
Munthoha.Analisis Terhadap Teloransi Pengaruh Perbeadaan Lintang Bujur Dalam Kesamaan Penentuan Awal Waktu Salat, (Semarang; INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO, 2004). 15 Muhammad Hartaji,Analisis terhadap Perbedaan Lintang Terhadap Awal Waktu Salat. (Semarang; FAI UNISSULA, 2003)
14
habisnya waktu Dhuhur. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah kerangka teoritiktik yang bisa dijadikan dasar teori dalam penelitian ini. 1. Panjang bayang-bayang matahari dalam penentuan waktu salat sendiri dengan cara melihat sinar matahari yang menyinari benda diatas bumi, dan melihat seberapa panjang bayang-bayang benda tersebut. Dalam penentuan waktu salah bayang-bayang matahari adalah salah satu patokan dalam pelaksanaanya. Sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i. Menurut Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Mabsuth karangan Syamsudin al-Syarakhsi
َِِيرج اِوقت ِ ىِعن ِص اار ِالظِّ ُّل ِقا اامة ا اواراو ا ِحني اف اة اِرِحاه اما ِالل ِتا اع اال ِانو ِاذاا ا ِالا اسن ِاب ا 16 ِِحَّتِياصي ارِالظِّ ُّلِقا اامتاي الظُّهر اِواْلِيادخل اِزقتِال اعصر ا Akhirnya waktu Dhuhur ketika bayang-bayang suatu benda menjadi sama panjang bendanya, akan tetapi belum masuk waktu Ashar, sedangkan waktu Ashar sendiri ketika bayang-bayang menda menjadi dua kali panjang bendanya. Dan juga menurut Imam Syafi‟i dalam kitabnya al-Umm
ِِشيئ ِمث لو ِج ااواز ِكل ا ِقا اال ِالشافعى اِرِحاو ِالل ِتا اع اال اِوقت ا ِالعصر ِف ِالصيف ِا اذا ا 17 ِيِيان افصلِمنِآخر اِوقتِالظهر بشيئِ اماِ اكا ان اِو اذ ا ا لكِح ا Akhir waktu Dhuhur jika bayang-bayang benda menjadi sama panjang bendanya, dan masuklah waktu Ashar. 16 17
Syamsudin Sarakhsi, Kitab al-Mabsuth, juz 1, Op,cit, hlm. 142 Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi‟i, al-Umm, juz.II Op,cit, Hlm.63
15
Dalam melihat bayang-bayang matahari penulis menggunakan Tongkat Istiwa‟,18 adapun Tongkat Istiwa‟ sendiri, sebenarnya befungsi sebagai alat bantu untuk menetukan arah utara dan selatan, dengan mengunakan bantuan sinar matahari, akan tetapi tongkat istiwa‟ ini bisa digunakan sebagai alat untuk menentukan waktu-waktu salat dengan melihat panjang bayang-bayang tongkat tersebut. Gambaran tongkat istiwa‟ Bayangan tongkat sama panjang dengan tongkat aslinya ditambah dengan ketika matahari berkulminasi (garis merah)
1 meter 1 meter
Bayangan tongkat dua kali panjang dengan tongkat aslinya ditambah dengan ketika matahari berkulminasi (garis merah)
1 meter 2 meter
18
Direktorat Pembinaan Syariah dan Hisab Rukyat, Ilmu Falak Praktik, Op.cit, hlm.66
16
2. Teori hisab waktu salat digunakan dalam penelitian ini karena seperti yang telah dijelaskan bahwa akhir waktu Dhuhur dan awal waktu Ashar adalah panjang bayang-bayang sudah mencapai sebendanya maupun dua kali lipat bendanya, maka panjang bayang-bayang suatu benda pada saat awal waktu salat Ashar tidaklah tetap, tergantung panjang bayang-bayang saat kulminasi, keadaan ini dipengaruhi oleh lintang tempat dan deklinasi matahari.
19
Demi mengetahui relevansi pendapat Imam Abu hanifah
tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar, maka penulis menggunakan juga teori hisab waktu salat dengan menggunakan Rumus awal waktu salat Ashar; 1. Deklinasi matahari (jarak antara matahari dengan bumi) pukul 08.00 pada hari yang ditentukan 2. Tinggi matahari waktu Ashar dengan menggunakan rumus : ctg ha = tan ( p - d ) + 1 3. Equation of time (perata waktu) pukul 12.00 4. Mer pass (saat matahari melintas di lingkaran meridean) 5. Koreksi waktu daerah 6. Sudut waktu dengan mengunakan rumus sudut waktu Cos t = - tan p x tan d + (
sin
h ) Cos p x cos d
7. Rumus waktu Ashar : MP + t – kwd + 1
19
M.Muslih Husein, Matahari,Ka’bah dan Bulan, Op.cit, hlm. 9
17
Penjelasan : t : Sudut waktu p : Lintang tempat yang ditentukan d : deklinasi matahari h : tinggi matahari untuk waktu salat dan syuruk MP : Mer pass Kwd : koreksi waktu daerah
F. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research)20, yaitu suatu bentuk pengumpulan data dan informasi dengan bantuan buku yang ada di perpustakaan dan juga materi pustaka lainnya dengan asumsi segala yang diperlukan dalam pembahasan penelitian ini terdapat di dalamnya. 2. Sumber Data
Dalam
penulisan
skripsi
ini,
penulis
menggunakan
teknik
pengumpulan data library research ( study pustakaan). Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas :
a. Sumber Primer
Sumber data primer adalah sumber literatur yang memberikan penjelasan yang berkaitan dengan permasalahan di atas, Sumber ini diambil
dari data-data yang menjelaskan panjang bayang-bayang
matahari sebagai pedoman penentuan waktu salat, penulis mengambil 20
Hadhari Nawawi,Metode Penelitian Bidang Sosial,( Yogyakarta;Gajahmada University Press,1991), hlm. 24.
18
pendapat Imam Abu Hanifah dari kitab al-Mabsuth karya Syamsudin sarakhsi, kitab Bahru al-Rāiq karya Abdullah bin Ahmad bin Mahmud al-Nasa‟i dan juga kitab Radd al-Mukhtar karya Muhammad Amien Syahirban.
b. Sumber Sekunder Sumber ini diambil dari selain yang terdapat pada sumber primer, yaitu yang diperoleh
dari kitab hadis Nabi SAW yang mengenai
penentuan waktu salat, buku Matahari,Ka‟bah dan Bulan karya M.Muslih Husein, kitab Madzahib al-Arba’ah dan pendapat para ulama yang dipandang kuat dan referensi lain yang ada kaitannya dengan topik pembahasan dan kajian masalah.
3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini, diperoleh dengan cara melakukan studi literer yaitu membaca, memahami, meneliti, melakukan identifikasi dan memperbandingkan ketentuan bayang-bayang matahari untuk menentukan waktu salat yang berada dalam Al-Quran dan hadis sebagai dasarnya, kitab-kitab fiqih, buku-buku dan referensi yang relevan dengan pembahasan. Demikian juga dengan kenyataan
tentang bayang-
bayang matahari pada waktu menempati garis edarnya di wilayah garis kutub utara dan kutub selatan, sebagaimana diterapkan dalam buku-buku
19
falak, data-data tentang cara yang ditempuh melalui beberapa pendekatan mengenai obyek yang diijtihadkan. Data data tersebut di atas keseluruhannya diidentifikasi, baik data-data primer maupun data-data sekunder yang terdapat dalam sumbernya masingmasing. Apabila ternyata ada data yang sama, tetapi terdapat perbedaan pengertian, status, dan lainnya, akan dicarikan penyelesaian dengan memperhatikan latar belakang, dasar, dan alasan-alasan pendapat yang ada. Apabila memungkinkan untuk dikompromikan, maka pendapat tadi akan dilakukan penggabungan data. Apabila hal ini tidak mungkin, maka akan dicari pada perbedaan dasar-dasarnya serta alasan-alasannya untuk dinilai mana yang lebih kuat, untuk selanjutnya diambil sebagai data, sedangkan data yang tidak kuat ditinggalkan. Apabila hal ini tidak mungkin, maka data-data yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya tersebut akan tetap dipandang sebagai data yang kedua-duanya perlu diambil.
Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan pengklasifikasian sesuai dengan sifatnya masing-masing dan dikelompokkan dalam bentuk bab-bab dan sub-sub bab, sesuai dengan sifatnya masing-masing.
4. Analisa Data
Keseluruhan kesimpulan analisa data ini dilakukan dengan cara reflective thinking dengan menggunakan metode analisis yang digunakan secara simultan antara penggunaan metode-metode analisis induktif sebagaimana diuraikan berikut;
20
Data sekunder dideskripsikan dalam bab II skripsi ini. Data-data tersebut diidentifikasi, diperbandingkan dan pemaparannya dideskripsikan secara sintetik induktif, dengan merangkaikan antara data sekunder dengan data sekunder yang lain, untuk diarahkan pada terbentuknya gambaran induktif yang bulat dan padu tentang syariat islam yang final tentang penetapan waktu salat.
Pada bab III dipaparkan konsep Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar dengan mengeditifikasi dan memperbandingkan data primer dengan datadata skunder. Kemudian diklasifikasi dengan menghubung-hubungkan data yang satu dengan data yang lain dan diarahkan pada terbentuknya kesimpulan yang menggambarkan tentang teori bayang-bayang mengenai ketentuan waktu salat.
Selanjutnya pada bab IV, data tersebut di atas diuji dan dinilai secara hipotetik deduktif, berdasar pada data sekunder yang terdapat pada bab II.
Pendeskripsiannya dipaparkan dengan uraian yang diarahkan pada terbentuknya kesimpulan dari hasil penilaian dan pengujian. Kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan hipotetik deduktif yang dipandang sebagai pemecahan masalah sebagaimana terpaparkan dalam bab I dan akan dipaparkan dalam bab V
21
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skipsi ini terdiri dari lima bab dan pada tiap-tiap bab terdiri dari sub-sub bab yang berkaitan. Adapun urutannya sebagai berikut :
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
: PENETAPAN AWAL WAKTU SALAT DENGAN PANJANG BAYANG-BAYANG MATAHARI
Di dalam bab ini terdapat beberapa sub pembahasan di antaranya pengertian dan konsepsi panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan awal waktu Dhuhur dan Ashar, dasar hukum panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan awal waktu Dhuhur dan Ashar, perbedaan pendapat ulama‟ tentang akhir waktu Dhuhur dan awal waktu Ashar, penetapan waktu salat Dhuhur dan Ashar dengan menggunakan panjang bayang-bayang matahari, metode istimbat hukum dan cara-cara pendekatannya, dan data-data perhitungan waktu salat Dhuhur dan Ashar berdasarkan pendekatan ta’lili.
22
BAB III
: BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH Bab ini mencakup beberapa hal di antaranya profil Imam Abu Hanifah, karya-karya Imam Abu Hanifah, corak pemikiran Imam Abu Hanifah, pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar,dan dasar pemikiran Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentuan waktu salat Dhuhur dan Ashar.
BAB IV
: RELEVANSI PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG PANJANG
BAYANG-BAYANG
MATAHARI
DALAM
MENENTUKAN WAKTU SALAT DHUHUR DAN ASHAR
Dalam hal ini dipaparkan tentang istimbat hukum
Imam Abu
Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari terhadap ketepatan waktu salat Dhuhur dan Ashar, dan relevansi pendapat Imam Abu Hanifah tentang panjang bayang-bayang matahari dalam menentukan waktu salat Dhuhur dan Ashar.
BAB V
: PENUTUP Di dalam bab ini memuat kesimpulan dan saran-saran dan penutup.