BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Vitiligo merupakan penyakit yang tidak hanya dapat menyebabkan gangguan secara kosmetik tapi juga dapat menyebabkan menurunnya kepercayaan diri seseorang. Vitiligo menyebabkan bercak putih pada kulit dan mukosa seseorang sehingga dapat mempengaruhi penampilannya secara keseluruhan. Meskipun vitiligo
tidak
berbahaya
bagi
kesehatan
namun
keberadaannya
dapat
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam aktifitas sosial. Vitiligo adalah kelainan pigmentasi didapat yang tidak menular, idiopatik, progresif ditandai dengan makula depigmentasi batas tegas dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi, dimana ukuran dan jumlahnya meningkat seiring waktu. Vitiligo merupakan kelainan pigmen yang paling sering terjadi. Pada pengamatan histokimia kulit, rambut, membran mukosa dan retina tidak terdapat melanosit yang fungsional. Gambaran histologis menunjukkan hilangnya melanosit dan melanin dalam bercak depigmentasi (Birlea dkk., 2012 ; Zeng dkk., 2014). Vitiligo terjadi di seluruh dunia, dengan angka insiden antara 0,1% dan 2%.3 Orang-orang dengan kulit ras berpigmen mungkin memiliki insiden yang lebih tinggi. Vitiligo dimulai pada masa kanak-kanak atau dewasa muda, tetapi dapat berkembang pada usia berapa pun. Vitiligo jarang dilaporkan pada bayi atau usia tua. Terdapat laporan yang menyatakan bahwa insiden menurun dengan
1
2
bertambahnya usia. Tidak ada perbedaan yang jelas antara laki-laki dan perempuan (Birlea dkk., 2012 ; Zeng dkk., 2014). Etiologi dan patogenesis vitiligo yang tepat tidak sepenuhnya dipahami. Patogenesis vitiligo sangat kompleks, terdapat beberapa hipotesis yaitu hipotesis genetika, hipotesis autoimun dan hipotesis biokimia (Birlea dkk., 2012). Autoimunitas, destruksi diri melanosit, faktor kimiawi saraf, gen dan stres oksidatif merupakan hipotesis yang populer. Disfungsi dari sistem kekebalan tubuh dan neuroendokrin yang diinduksi oleh berbagai faktor internal dan eksternal pada individu atau sifat biologis yang diwariskan, diperkirakan menyebabkan depigmentasi kulit melalui destruksi melanosit atau penghambatan tirosinase (Zeng dkk., 2014). Diagnosis vitiligo dilakukan secara klinis dengan bantuan lampu Wood untuk menentukan luas dan aktivitas lesi serta respon terhadap terapi (Alikhan dkk., 2011). Vitiligo dibedakan menjadi segmental dan non segmental berdasarkan gambaran klinis dan dibedakan menjadi lokalisata, generalisata dan universal berdasarkan distribusi polimorfik, perluasan dan jumlah bercak putih yang terjadi (Taieb dan Picardo, 2007 ; Birlea dkk., 2012). Selain itu vitiligo juga dibedakan menjadi aktif dan stabil berdasarkan aktivitas penyakit (Alghamdi dkk., 2012). Hamzavi dkk. memperkenalkan suatu sistem skor untuk vitiligo yang dikenal dengan Vitiligo Area Scoring Index (VASI). Vitiligo Area Scoring Index ini merupakan metode semi kuantitatif yang telah terstandarisasi dan sensitif untuk menilai luas serta persentase dari depigmentasi yang terjadi. Skor ini juga
3
dapat digunakan untuk menilai repigmentasi yang terjadi sebagai respon terapi (Hamzavi dkk., 2004; Alghamdi dkk., 2012). Seng merupakan salah satu trace elemen penting yang terkait dengan kesehatan dan penyakit (Arora dkk., 2002 ; Bagherani dkk., 2011). Seng terdapat pada semua sel dan sangat diperlukan untuk fungsi normal sel, jaringan dan organ tubuh. Seng merupakan bagian integral dari sejumlah metalloenzymes yang diperlukan untuk metabolisme protein, karbohidrat, lipid dan asam nukleat yang normal (Arora dkk., 2002). Seng merupakan salah satu trace element yang memainkan peranan penting dalam proses melanogenesis. Selain itu seng juga sebagai kofaktor untuk sistem pertahanan antioksidan dan merupakan faktor antiapoptotik potensial. Seng dapat merangsang imunitas selular melawan kemungkinan infeksi. (Prasad, 2009 ; Bagherani dkk., 2011). Parameter yang digunakan untuk mengetahui status seng antara lain konsentrasi seng plasma atau serum, rambut, urin, penelitian isotop dan pengukuran enzim yang tergantung seng (Hidayat, 1999). Penurunan kadar seng telah dilaporkan dalam sejumlah kelainan kulit oleh beberapa peneliti, sementara yang lain telah membantah temuan ini. Tidak banyak penelitian tentang kadar seng pada kelainan kulit (Arora dkk., 2002). Sejumlah penelitian mengenai kadar seng dalam darah pada vitiligo telah dilakukan, namun hasil penelitian yang ada sekarang terdapat kontroversi. Arora dkk. menunjukkan bahwa kadar seng lebih rendah pada pasien vitiligo daripada kelompok kontrol, tetapi perbedaan ini tidak signifikan secara statistik (Arora dkk., 2002). Sedangkan Helmy dkk. menunjukkan kadar seng secara signifikan
4
lebih tinggi pada pasien vitiligo dibandingkan dengan kontrol (Helmy dkk., 2004). Shameer dkk. mendapatkan kadar seng pada 21,6% pasien vitiligo berkurang sedangkan pada kontrol dalam kisaran normal. Perbedaan antara dua kelompok ini signifikan secara statistik (Shameer dkk., 2005). Wasan dan Rubayee pada penelitiannya menemukan kadar seng menurun secara bermakna pada pasien vitiligo dibandingkan dengan kontrol (Wasan dan Rubayee, 2011). Demikian juga pada suatu meta-analisis yang dilakukan oleh Zeng dkk. ditemukan kadar seng secara signifikan lebih rendah pada pasien vitiligo daripada kelompok kontrol yang sehat. Dalam meta-analisis ini, satu penelitian menunjukkan kadar seng darah lebih rendah pada vitiligo generalisata dan pasien yang lebih muda, namun tiga penelitian menunjukkan bahwa kadar seng darah tidak memiliki hubungan dengan gambaran lesi kulit, lamanya perjalanan penyakit, aktivitas penyakit, luas area kulit yang rusak atau usia pasien (Zeng dkk., 2014). Penelitian yang menghubungkan kadar seng dengan derajat keparahan pada vitiligo belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga dalam penelitian ini peneliti ingin melihat adanya korelasi antara kadar seng dengan derajat keparahan vitiligo yang dinilai berdasarkan skor VASI. Penemuan patogenesis vitiligo dari jalur biologis akan memberikan terapi baru dan target profilaksis untuk pendekatan pengobatan dan pencegahan vitiligo di masa depan.
5
1.2
Rumusan Masalah 1.
Apakah rerata kadar seng plasma pada pasien vitiligo lebih rendah dibandingkan bukan vitiligo?
2.
Apakah terdapat korelasi negatif antara kadar seng plasma yang rendah dengan peningkatan derajat keparahan vitiligo ?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Mengetahui adanya korelasi negatif antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan vitiligo
1.3.2
Tujuan Khusus 1.
Mengetahui rerata kadar seng plasma antara pasien vitiligo dengan bukan vitiligo.
2.
Mengetahui adanya korelasi negatif antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan pasien vitiligo.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis Menambah pengetahuan mengenai peranan seng pada patogenesis terjadinya vitiligo.
1.4.2
Manfaat Paktis Sebagai dasar pertimbangan pemeriksaan kadar seng sebagai pemeriksaan tambahan untuk mengetahui kadar seng pada pasien vitiligo.