BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Usia Sekolah Menengah Atas pada umumnya berada pada rentang usia remaja yaitu berkisar antara 15-18 tahun. Santrock (2005) mengemukakan usia remaja merupakan masa yang penting dalam perkembangan moral terutama ketika remaja (siswa) berpindah dari sekolah dasar yang relatif homogen ke sekolah menengah dan lingkungan kampus yang lebih heterogen, dimana siswa dihadapkan dengan kontradiksi antara konsep moral yang telah di terima dengan apa yang telah di alami di luar lingkungan keluarga dan tetangga. Hurlock (1994) mengemukakan salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai siswa adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dan kemudian membentuk perilaku agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Siswa diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang berfungsi sebagai pedoman bagi perilaku. Tidak kalah pentingnya, siswa harus mengendalikan perilaku sendiri yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua dan guru. Saat ini banyak tingkah laku siswa yang salah suai dari perilaku moral yang seharusnya ditampilkan. Tingkah laku salah suai mulai dari kenakalan siswa sampai tingkah laku yang dapat digolongkan ke dalam tindakan kejahatan. Salah satunya adalah
penyalahgunaan narkoba, diketahui di 1024 SMU di Jakarta
1
2
terdapat 290 kasus yang menyebabkan siswanya terpaksa dikeluarkan dari sekolah karena menjadi pengguna narkoba atau menjadi pengedar narkoba, selain itu Departemen Pendidikan Nasional juga mengungkapkan 97% korban narkoba berusia 13 – 25 tahun (Suara Harian Merdeka, 2003). Newcomb & Bentler (Santrock 2005) menjelaskan tingkah laku salah suai dalam penyalahgunaan narkoba terjadi karena remaja berfikir penggunaan narkoba sebagai suatu cara untuk mengatasi stress. Dengan kata lain remaja belum memiliki keterampilan dalam menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Penelitian Synovate 2006 membuktikan perilaku siswa dalam pergaulan dengan lawan jenis berada pada tahap yang mengkhawatirkan. Dari 450 responden baik laki-laki maupun perempuan usia 15-24 tahun di empat kota, yaitu: Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya, 16% mengaku sudah berhubungan intim saat berusia 13-15 tahun. Sementara sebanyak 44% mengaku mulai berhubungan intim sejak usia 16-18 tahun. Remaja mengaku mengenal seks pertama kali dari film porno, tepatnya dari VCD. Sisanya mengaku mengetahui seks dari pengalaman sesama teman. Remaja berfikir bahwa penyimpangan perilaku seks bebas karena tuntutan pergaulan dan longgarnya kontrol orang tua mengenai praktek seks bebas pranikah (http://www.bkkbn.go.id) Tingkah laku salah suai terhadap nilai-nilai moral di kalangan siswa dapat diakibatkan oleh berbagai hal, diantaranya akibat dari penalaran moralnya yang masih berada pada tingkatan yang rendah. Pengetahun mengenai nilai-nilai kebaikan yang diajarkan melalui Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila dan
3
Kewarganegaraan, atau melalui mata pelajaran lainnya, seolah-olah menjadi siasia karena siswa tidak memahami alasan mengapa mereka perlu mengikuti nilainilai tersebut. Dengan kata lain, siswa belum memiliki penalaran moral yang baik terhadap nilai-nilai moral yang berlaku dilingkungannya. Penelitian menunjukkan penalaran moral menjadi salah satu prediktor tindakan moral (Kohlberg, 1976:32). Kemungkinan masalah dalam penalaran moral menyebabkan penyimpangan tingkah laku moral. Sejalan dengan hal itu Kohlberg menunjukkan meskipun banyak faktor yang dapat menimbulkan kenakalan siswa (delinquency), tetapi tingkatan penalaran moral yang tinggi sekurang-kurangnya berfungsi sebagai penghambat tingkah laku delinquent (Duska dan Whelan, 1982:111) Berkenaan dengan perkembangan moral siswa di sekolah dapat dikaji melalui persepsi siswa mengenai suatu keadaan dimana terdapat konflik batin apakah mencontek atau tidak dalam situasi tertentu, misalnya ketika ujian di sekolah. Jika siswa ditanya apakah yang seharusnya dilakukan pada situasi tersebut. Maka akan muncul jawaban yang berbeda. Mungkin sebagian dari siswa akan menjawab perilaku mencontek adalah perilaku yang salah karena merupakan bentuk kecurangan dan bersifat membohongi guru dan diri sendiri, namun ada pula yang menjawab bahwa perilaku mencontek adalah benar dikarenakan untuk mendapatkan nilai yang baik. Penelitian Hugh Harthonson dan Mark May (Santrock 2005:450) memberikan bukti kuat tentang tingkah laku moral siswa. Observasi terhadap respon moral dari 11.000 siswa yang diberikan kesempatan untuk berbohong,
4
berbuat curang, dan mencuri dalam berbagai situasi (di rumah, di sekolah, di acara sosial dan pertandingan atletik). Sulit sekali menemukan anak atau remaja yang benar-benar jujur maupun yang benar-benar tidak jujur. Siswa cenderung berbuat curang ketika teman-temannya mendorong dirinya melakukan hal tersebut dan bila kecil kemungkinan untuk ketahuan. Analisis lain menunjukkan bahwa ada beberapa siswa memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk berbohong, berbuat curang, dan mencuri bila dibandingkan dengan siswa lainnya, hal ini menunjukkan lebih konsistennya tingkah laku moral pada beberapa siswa tertentu. Siswa memerlukan penguatan terhadap penguasaan dirinya dengan nilainilai moral sehingga dapat membentuk perilaku agar sesuai dengan harapan sosial dan diterima oleh teman-temannya. Moralitas merupakan bagian yang penting dalam jiwa siswa dan berperan dalam mengendalikan perilaku siswa yang beranjak dewasa sehingga tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Moral bagi siswa merupakan suatu kebutuhan tersendiri karena pada masa ini siswa sangat membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam hidupnya. Moral adalah adat istiadat, kebudayaan, peraturan/nilai-nilai atau tata cara kehidupan (Syamsu, 2001: 132). Menurut pengertian yang diungkapkan oleh Darminta (1996), moral merupakan ajaran tata tertib tentang baik buruknya perbuatan dan kelakuan. Penalaran moral adalah penalaran yang berkaitan dengan model penilaian tentang apa yang baik dan benar secara sosial. Mengenai hal tersebut, Kohlberg memakai istilah “moral reasoning,” “moral thinking” dan “moral judgment”
5
secara bergantian untuk istilah yang sama. Istilah-istilah tersebut diterjemahkan menjadi penalaran moral. Tingkah laku salah suai terhadap nilai-nilai moral siswa seperti yang telah dipaparkan diatas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, tujuan tersebut mempunyai implikasi bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mempunyai peran penting dalam usaha mencegah dan mengatasi perilaku siswa yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku baik di sekolah sebagai pelajar, maupun di masyarakat sebagai anggota masyarakat. Sekolah diharapkan dapat mendidik dan membina serta mengembangkan kepribadian remaja agar dapat berperilaku baik dan benar sesuai norma. Untuk itu, selain perlu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, remaja perlu memahami alasan apa yang mendasari perlunya bertingkah laku tertentu dalam suatu situasi. Dengan kata lain, siswa perlu memiliki penalaran moral yan baik. Konselor sekolah memiliki peran penting membantu peningkatan penalaran moral para siswanya. Bimbingan yang diberikan merupakan bimbingan
6
moral yang menjadi bagian bimbingan pribadi-sosial, dalam membantu meningkatkan penalaran moral, upaya yang dilakukan antara lain dengan membuat program bimbingan yang dapat menciptakan lingkungan tertentu bagi siswa yang dapat membantu peningkatan penalaran moralnya. Berdasarkan pemaparan berbagai fenomena terdapat permasalahan penting yang perlu dibahas dan dikaji mengenai penalaran moral siswa Sekolah Menengah Atas beserta solusi untuk memecahkannya, sehingga “Bimbingan Untuk Meningkatkan Penalaran Moral Siswa Sekolah Menengah Atas” diangkat sebagai judul penelitian. Program bimbingan yang dikembangkan mengacu pada model bimbingan dan konseling perkembangan. Program bimbingan dan konseling perkembangan memiliki empat komponen yaitu: layanan dasar bimbingan, layanan responsif, perencanaan individual dan dukungan sistem. Bidang layanan meliputi domain pribadi-sosial, akademik dan karir. Fokus komponen program yang dikembangkan adalah komponen layanan responsif dan komponen dukungan sistem.
B. Identifikasi Masalah Hurlock (1994) mengemukakan salah satu tugas perkembangan penting yang harus dikuasai siswa adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dan kemudian membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Siswa diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus di masa kanak-kanak dengan prinsip moral yang
7
berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Tingkah laku yang bertentangan dengan nilai-nilai moral di kalangan siswa dapat diakibatkan oleh berbagai hal, diantaranya akibat dari penalaran moralnya yang masih berada pada tingkatan yang rendah. Pengetahuan mengenai nilai-nilai kebaikan yang diajarkan di sekolah dan di rumah seolah-olah menjadi sia-sia karena para siswa tersebut tidak memahami alasan mengapa mereka perlu mengikuti nilai-nilai kebaikan dan norma-norma moral. Syamsu (2006:22) mengemukakan dalam menjalani proses perkembangan ke arah kematangan, tidak semua remaja dapat mencapainya secara mulus. Diantara remaja masih ada yang menampilkan sikap dan perilaku yang mengalami masalah, yaitu menampilkan sikap dan perilaku menyimpang, tidak wajar, bahkan amoral, seperti: membolos dari sekolah, tawuran, tindak kriminal, mengkonsumsi minuman keras, menjadi pecandu Napza, dan free sex (berhubungan badan sebelum menikah). Makmun (2001:136) mengklasifikasikan masalah-masalah yang dialami remaja berikut. 1. Masalah-masalah yang timbul bertalian dengan perkembangan perilaku sosial, moralitas, dan keagamaan. a. Keterikatan hidup dalam gang (peer group) yang tidak terbimbing mudah menimbulkan juvenile delinquency (kenakalan remaja) yang berbentuk perkelahian antar kelompok, pencurian, perampokan, prostitusi, dan bentuk-bentuk perilaku prostitusi lainnya.
8
b.
Konflik dengan orang tua, yang mungkin berakibat tidak senang di rumah, bahkan minggat (melarikan diri dari rumah).
c. Melakukan perbuatan-perbuatan yang justru bertentangan dengan norma masyarakat atau agama, seperti mengisap ganja, narkotika, dan sebagainya. 2. Masalah yang timbul bertalian dengan perkembangan perilaku afektif, konatif dan kepribadian yaitu a. Mudah sekali digerakkan untuk melakukan gerakan atau kegiatan destruktif yang spontan untuk melampiaskan ketegangan instutif emosionalnya meskipun ia tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari tindakan-tindakannya itu. b. Mudah
terlibat
kegiatan-kegiatan
masa
remaja,
ketidakmampuan
menegakkan kata hatinya membawa akibat sukar terintegrasi dan sintesis fungsi-fungsi psikofisiknya, yang berlanjut akan sukar pula menemukan identitas pribadinya. Ia akan hidup dalam suasana adolescentisme (remaja yang berkepanjangan) meskipun usianya sudah menginjak dewasa. Moral dapat diartikan sebagai karakteristik seseorang atau kelompok yang menjadi pedoman dalam berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok sosial yang bersangkutan. Lawrence Kohlberg percaya perkembangan moral didasarkan pada penalaran moral dan terbagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut. 1. Tingkatan 1. Penalaran Prakonvensional (precenventional reasoning) adalah tingkatan terendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkatan
9
penalaran prakonvensional individu tidak menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh hadiah atau reward dan hukuman eksternal. Tingkatan ini terdiri dari dua tahap, yaitu: a. Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan adalah tahap pertama dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan pemikiran moral didasarkan pada hukuman. b. Tahap 2. Individualisme dan Tujuan adalah tahap kedua dari teori perkembangan moral Kohlberg, pada tahap Individualisme dan tujuan pemikiran moral didasarkan pada reward dan minat pribadi. 2. Tingkatan 2. Penalaran Konvesional adalah tingkatan kedua, atau menengah dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap konvesional individu mematuhi beberapa standar tertentu (internal), tetapi standar tersebut merupakan standar orang lain (eksternal). Tingkatan ini terdiri dari: a. Tahap 3. Norma interpersonal adalah tahap ketiga dari teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap norma interpersonal individu menganggap rasa percaya, rasa sayang, dan kesetiaan terhadap orang lain sebagai dasar untuk melakukan penilaian moral. b. Tahap 4. Moralitas sistem sosial pada tahap moralitas sistem sosial penilaian moral didasarkan pada pemahaman terhadap aturan, hukum, keadilan dan tugas sosial. 3. Tingkatan Transisi (Level ini sudah “post konvensional” tapi belum “principled”). Tahapan 4,5
pilihannya masih bersifat personal subjektif.
Pilihan tersebut didasarkan pada emosi, hati nurani dilihat sebagai berubah-
10
ubah dan relatif, sebagaimana juga gagasan seperti ‘kewajiban” atau “benar secara moral”. 4. Tingkatan 3. Penalaran Postkonvensional adalah tingkatan tertinggi dalam teori
perkembangan
moral
Kohlberg.
Pada
tingkatan
penalaran
postkonvensional keputusan moral dilahirkan dari hak-hak, norma-norma, atau prinsip-prinsip yang dapat disetujui seluruh individu yang membuat kehidupan masyarakat yang adil dan bermanfaat. a. Tahap 5. Hak komunitas vs hak individu adalah tahap kelima dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap Hak komunitas vs hak individu, seseorang memiliki pemahaman bahwa nilai dan hukum adalah relatif dan standar yang dimiliki satu orang akan berbeda dengan orang lain. b. Tahap 6. Prinsip Etis Universal adalah tahap keenam dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap prinsip etis universal, seseorang sudah membentuk standar moral yang didasarkan pada hak manusia secara universal. Penalaran moral adalah penalaran yang berkaitan dengan model penilaian tentang apa yang baik dan benar secara sosial. Penalaran moral bukannya apa yang baik dan buruk, tetapi bagaimana siswa sampai pada keputusan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Hal ini berarti bahwa penalaran moral merupakan suatu alasan atau pertimbangan mengapa siswa menganggap sesuatu itu baik atau buruk, sehingga siswa mampu hidup harmonis dengan lingkungan dan
11
memperoleh kebahagiaan hidup, kemampuan ini diperoleh ketika ia memiliki kemampuan dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Berdasarkan paparan tingkat penalaran moral nampak bahwa siswa dituntut untuk memiliki penalaran moral yang baik agar mampu berkembang dan menjalani hidupnya dengan baik. Permasalahan yang muncul adalah penalaran moral siswa tidak berkembang begitu saja, tetapi harus ditingkatkan melalui proses belajar. Siswa belajar diantaranya di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Hal yang menjadi perhatian yaitu lingkungan keluarga tak selamanya kondusif bagi pembentukan penalaran moral remaja, berbagai faktor seperti keluarga yang senantiasa sibuk, sehingga jarang berkomunikasi dengan anaknya, keluarga yang tidak harmonis, dan lain sebagainya. Begitupun dengan lingkungan masyarakat, tak selamanya mampu memfasilitasi peningkatan penalaran moral siswa karena pada situasi tertentu remaja tidak menemukan kumpulan-kumpulan kelompok siswa yang memiliki tujuan yang positif dan konstruktif, atau tidak menemukan teman sebaya, misalnya karena pada masyarakat saat ini pergaulan antar tetangga (masyarakat) cenderung hidup sendiri, tidak mau bergaul dengan tetangga lain karena kesibukan dan lain sebagainya. Conger (Makmun, 2001:137) mengemukakan permasalahan dalam kehidupan masa remaja memerlukan pemahaman dan pemecahan yang harus dilakukan secara interdisipliner dan antar lembaga. Meskipun demikian, pendekatan dan pemecahan dari pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling
strategi, karena bagi sebagian besar remaja bersekolah dengan para
12
pendidik, khususnya para guru,
guru
yang paling banyak mempunyai
kesempatan berkomunikasi dan bergaul. Melalui pendidikan, anak memperoleh berbagai kemampuan dasar untuk mengembangkan kehidupannya sebagai berbagai peran yaitu sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara, bahkan sebagai ummat manusia yang memiliki peran memiliki dorongan suara hati dalam memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi manusia lain sebagaimana yang tercantum dalam hadist Nabi yaitu “sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain” senada dengan salah satu Asmaul Husna “An-Naafi” yang artinya selalu ingin memberi manfaat. Bimbingan dan konseling merupakan suatu bagian integral pendidikan yang memiliki tujuan yang sama untuk mencapai tujuan tersebut. Bimbingan dan konseling memiliki tujuan dan tanggung jawab membantu memfasilitasi perkembangan siswa yang optimal. Bimbingan konseling secara khusus memberikan pelayanan dalam rangka mengembangkan pribadi siswa melalui berbagai layanan bantuan dengan bidang isi layanan berupa layanan dasar bimbingan, layanan responsif, dan layanan perencanaan individual. Ketiga layanan tersebut tertuang secara komprehensif dalam sebuah program bimbingan. Program bimbingan merupakan suatu rencana kegiatan yang dijadikan pedoman atau acuan dalam melaksanakan bimbingan secara jelas dan terarah serta operasional. Program bimbingan disusun dan diimplementasikan sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan siswa dan lembaga. Sehingga konselor sekolah perlu
13
mengidentifikasi dan merumuskan kebutuhan, dan karakteristik atau tugas-tugas perkembangan siswa serta kebijakan lembaga. Program bimbingan yang disusun secara baik dan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa memberikan banyak keuntungan, baik bagi siswa yang mendapat layanan maupun bagi konselor sekolah atau staf bimbingan yang melaksanakan,
keuntungannya antara
siswa satu
dengan
lainnya
mendapatkan bimbingan yang seimbang, baik dalam kesempatan maupun dalam jenis layanan, sedangkan bagi konselor sekolah antara lain adalah dapat menyusun program kerja yang jelas, terencana dan operasional (Suherman & Sudrajat, 1998:32). Berdasarkan identifikasi masalah mengenai perlunya meningkatkan tahap penalaran moral siswa serta bimbingan konseling sebagai salah satu solusi, maka penelitian ini berfokus pada pengembangan program bimbingan untuk meningkatkan penalaran moral siswa sekolah menengah atas.
C. Rumusan Masalah Program bimbingan yang disusun secara baik dan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik siswa dan kebijakan lembaga merupakan hal yang penting untuk membantu siswa dalam mengembangkan penalaran moral. Maka rumusan masalah penelitian adalah bagaimana rumusan program bimbingan untuk meningkatkan penalaran moral siswa sekolah menengah atas? Kegiatan analisis kebutuhan dilakukan untuk memperoleh rumusan program bimbingan untuk meningkatkan penalaran moral siswa. Analisis
14
kebutuhan dilaksanakan untuk memperoleh data mengenai rumusan tahap penalaran moral, profil awal perkembangan penalaran moral siswa. Data tersebut diperlukan dalam pengembangan program sehingga menjadi program yang efektif dan sesuai dengan kebutuhan siswa sekolah menengah atas serta kondisi sekolah. Karena itu rumusan masalah penelitian diuraikan menjadi pertanyaan penelitian berikut. 1. Bagaimana profil penalaran moral siswa sekolah menengah atas kelas XI SMA Plus Assalaam Bandung tahun ajaran 2007/2008? 2. Bagaimana program hipotetik bimbingan dan konseling untuk meningkatkan penalaran moral siswa menengah atas kelas XI SMA Assalaam Bandung tahun ajaran 2007/2008?
D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah memperoleh rumusan program bimbingan untuk meningkatkan penalaran
moral siswa menengah atas. Program yang disusun
dapat dijadikan langkah-langkah aktivitas layanan bimbingan untuk meningkatkan penalaran moral siswa yang termasuk kedalam bimbingan pribadi-sosial di sekolah menengah atas, yang memungkinkan untuk dilaksanakan baik bagi konselor maupun bagi guru kelas.
E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti bagi pihak-pihak yang terkait. Manfaat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.
15
1. Bagi sekolah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan tata tertib sekolah dan membuat program pembinaan moral siswa disekolah. 2. Bagi konselor, rumusan program yang dihasilkan dapat menjadi panduan dalam meningkatkan penalaran moral siswa. 3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengembangkan penelitian yang lebih luas seperti perbedaan penalaran moral siswa di sekolah negeri dan sekolah swasta.
F. Asumsi Penelitian ini bertitik tolak dari beberapa asumsi sebagai berikut. 1. Perkembangan penalaran moral melalui urutan yang tetap dan bersifat universal (Kusdwiratri, 1983: 57). 2. Ditemukannya relasi antara penalaran moral dan tingkah laku moral, ialah bahwa tahap perkembangan penalaran moral yang tinggi berarti tingkah laku moralnya makin konsisten. (Kohlberg dalam Kusdwiratri, 1982: 56) 3. Moral ialah kesadaran akan berbagai aspek moral dalam hubungan antar pribadi, yaitu suatu orintasi moral dimana perkembangan moral dapat dipandang sebagai suatu “orientasi moral” yang merupakan suatu kepekaan yang memadai dalam pikiran, perasaan dan tindakan terhadap orang lain dan kepedulian moral terhadap orang lain. Pada aspek kognitif “orientasi moral” mempradugakan pengetahuan akan aturan moral dan prinsip moral yang relavan dangan situasi sosialnya (Keller dalam Kurtines, 1984: 234).
16
4. Komponen
kognitif
dari
imajinasi
bertalian
dengan
kemampuan
mengantisipasi berbagai konsekuensi dalam bentuk keputusan moral yang relevan bagi dirinya maupun orang lain (Keller dalam Kurtines, 1984: 234).
G. Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah di SMA Plus Assalaam Bandung. Populasi dalam penelitian adalah siswa kelas kelas
XI SMA Plus
Assalaam Bandung tahun ajaran 2007-2008. Hal ini didasarkan pada pertimbangan berikut. 1. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam perkembangan moral dan salah satu tugas terpenting siswa adalah mempelajari apa yang benar dan apa yang salah, dimana siswa dihadapkan dengan kontradiksi antara konsep moral yang telah siswa terima dengan apa yang telah siswa alami di luar lingkungan keluarga dan mastarakat, sehingga banyak siswa yang mulai mempertanyakan keyakinan mereka sebelumnya dan kemudian membentuk sistem moral sendiri. 2. Siswa kelas XI SMA berada pada masa remaja yang telah merasakan dan memiliki pengalaman belajar selama satu tahun di sekolah, disamping itu siswa kelas XI juga tengah aktif dalam organisasi ekstrakurikuler disekolahnya, sehingga besar peluang siswa untuk menghadapi berbagai situasi pergaulan tuntutan dan harapan-harapan teman-temannya dalam bersikap sesuai dengan nilai-nilai moral yang berlaku. Dengan kata lain siswa dituntut memiliki nilai-nilai moral yang baik dalam bergaul.
17
3. SMA Plus Assalaam merupakan sekolah swasta yang terletak di kota Bandung yang dekat dengan pusat perbelanjaan dan tempat hiburan bermain anak muda, sehingga siswa yang bersekolah di SMA Assalaam dituntut untuk memiliki nilai-nilai moral yang baik agar tidak terjerumus pada pola perilaku konsumtif dan hedonis. Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas XI SMA Plus Assalaam Bandung 2007-2008. Pengambilan jumlah sampel penelitian didasarkan pada pendapat Arikunto (2002: 112), yang mengemukakan bahwa “Apabila jumlah populasinya kurang dari 100 orang, maka seluruhnya dijadikan sampel sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Jika populasi besar (lebih dari seratus orang) dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% dari jumlah populasi”. Jumlah keseluruhan siswa kelas XI SMA Assalaam Bandung adalah 56 siswa, jadi jumlah populasi penelitian adalah 56 siswa.
H. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh profil tahap penalaran moral siswa, sedangkan untuk menganalisis datanya digunakan perhitungan-perhitungan secara statistik. Profil tahap penalaran moral siswa menjadi dasar pengembangan program bimbingan untuk mengembangkan moral berdasarkan tahap penalaran moral siswa sekolah menengah atas.
18
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif analitik dengan tujuan besaran angka hasil perhitungan statistik yang telah dianalisis memaparkan tingkat penalaran moral siswa.