BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia pasti membutuhkan tanah, karena tanah merupakan tempat berpijak dan melakukan kelangsungan hidup sehari-hari seperti untuk tempat tinggal, mendirikan bangunan bahkan sampai manusia meninggal dunia pasti membutuhkan tanah. Karena adanya hubungan yang erat antara manusia dengan tanah, maka manusia berlomba -lomba untuk menguasai dan memiliki bidang tanah yang diinginkan yang mempunyai nilai ekonomis bagi segala aspek kehidupan manusia. Mengingat bahwa meningkatnya kebutuhan akan tanah, maka supaya penggunaan akan tana h yang merupakan kekayaan nasional lebih efisien serta dapat diarahkan supaya dicapai sebesar -besarnya kemakmuran rakyat. UndngUndang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 secara tetap telah memuat suatu ketentuan bahwa perlu adanya suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah. Sebagai contoh pembangunan yang sedang dilaksanakan di Indonesia adalah untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat indonesia, sehingga keikutsertaan semua pihak benar-benar diharapkan dan bukan hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah saja, sebagai contoh misalnya di dalam bidang pertanahan dalam hal berlakunya UUPA Nomor 5 tahun 1960 pemerintah mempunyai tanggung jawab yang besar yaitu mengenai pelayanan kepada masyarakat tentang pelaksanaan dan pendaftaran tanah di Indonesia.
1
2
Dalam hal ini UUPA masih meninggalkan banyak pekerjaan rumah, disamping itu masalah pertanahan yang dihadapi tidak semakin berkurang, namun justru bertambah dalam kompleksitasnya. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UUPA ataupun peraturan-peraturan lain yang relevan, pada umumnya tidak dilengkapi dengan pemikiran yang tuntas terhadap peraturan pelaksanaannya. Kesenjangan ini bila dibiarkan terlampau lama tentu menimbulkan ketidakpastian hukum1. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah merupakan hal yang penting bagi kelangsungan kehidupan bangsa Indonesia, sehingga dari waktu ke waktu akan terjadi ataupun muncul suatu permasalahan-permasalahan mengenai pertanahan yang sering timbul di dalam masyarakat. Pada dasarnya masalah tanah adalah sangat aktual bagi manusia dimana saja, terutama dalam masa pembangunan.
Berdasarkan
pengamatan atas
pelaksanaan
tugas-tugas
pengawasan, memberikan gambaran kepada kami bahwa masalah tanah adalah faktor penting yang berpengaruh pada jalannya pembangunan2. Timbulnya masalah-masalah tanah bukannya disebabkan karena tidak adanya peraturan perundangan yang memadai, bukannya tidak ada manusia yang mampu melaksanakannya, melainkan lebih banyak disebabkan oleh kurangnya menguasai dan menghayati bidang keagrariaan atau pertanahan, sehingga dalam pengalamannya terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan
1
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta, Buku Kompas, 2001, hal. 7. 2 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta, Sinar Grafika, 1988, hal. 5.
3
ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka dalam hal ini diperlukan cara pandang dan pola pikir yang terarah3. Seperti halnya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada pasal 4 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa : atas dasar hak menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badanbadan hukum, dimana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi4. Sehubungan dengan hal di atas, kita perlu mengaitkannya dengan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, makna dikuasai negara bukan berarti bahwa tanah tersebut harus dimiliki secara keseluruhan oleh negara, tetapi pengertian dikuasai itu membawa wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk tingkatan yang tertinggi yaitu mengatur dan menyelenggarakan tanah untuk penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa di atas tanah itu, menentukan dan
3 4
Ibid, hal. 5. R.G. Kartasapoetra, Masalah Pertanahan di Indonesia, Jakarta, PT Bina Aksara, 1986, hal.1.
4
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum antara orang mengenai bumi, air dan ruang angkasa di atas tanah itu5. Dalam hal ini hak milik sebagai hak yang turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, terdapat pula hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, hak membuka hutan, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lainnya yang telah ditetapka n dengan Undang-undang. Dari penjelasan diatas hak milik dapat diwariskan, dapat dijual belikan, dapat diberikan secara sukarela, dapat di hibahkan, dapat diwakafkan. Dan dapat dipakai sebagai jaminan utang di bank 6. Suatu masalah yang kemudian muncul sehubungan hak milik adalah kewenangan negara dimana tentang persoalan masalah pembebasan tanah untuk kepentingan umum. Mengingat pada dasarnya masyarakat indonesia sangat menjunjung tinggi kolektivitas, sehingga pembebasan tanah untuk kepentingan umum bukanlah menjadi masalah rumit. Namun itu merupakan suatu persoalan yang dulu karena seiring arus industrialisasi masuk di indonesia, tepatnya dimulai pada fase ekonomi-politik “tanam paksa” (culturstelseel) di tahun 1830. Pelan tapi pasti, paradigma masyarakat indonesia mulai berubah, yang tadinya menjunjung tinggi kolektivitas kini menjadi individualistik. Sehingga pembebasan tanah dirasa menjadi suatu masalah yang tak kunjung selesai. Pembebasan tanah adalah merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah bener-bener memerlukan sebidang tanah 5 6
Ibid, hal. 2. Mudjino, Politik dan Hukum Agraria, Liberty Yogyakarta, 1997.hal.27
5
untuk kepentingan umum, atau untuk kepentingan yang dapat menunjang pembangunan melalui cara musyawarah dan mufakat dengan pemilik atau pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Bilamana sudah tercapai suatu konsensus antara pemegang hak dengan yang menginginkan tanah maka secara sukarela pemilik atau pemegang hak akan menyerahkan tanahnya setelah kepadanya memberikan sejumlah pembayaran yang sesuai dengan harga tanah yang bersangkutan. Acara pembebasan hak, kalau dilihat dari yang memiliki, ia melepas hak atas tanahnya kepada negara untuk kepentingan pihak ke dua, yaitu “pembeli”. Dilihat dari yang memerlukan tanah, ia membebaskan hak. Yang dimaksud dengan pembebasan tanah adalah melepaskan hubungan yang semula diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti- rugi. Pembebasan tanah pada hakekatnya adalah merupakan dimensi lain dari pelepasan hak. Kalau dilihat dari si pemegang hak, perbuatan yang demikian adalah sebagai suatu pelepasan hak, akan tetapi apabila dilihat dari sudut pemerintahan, maka perbuatan yang demikian dapat dikatakan sebagai pembebasan tanah, karena pemerintah telah memberi ganti rugi me mbebaskan tanah tersebutdari penguasa pemegang haknya. Adanya berbagai peraturan yang mengatur tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan pembebasan tanah tersebut dapat dilihat dari dua segi:
6
1. Di satu pihak dia adalah merupakan suatu landasan hukum bagi pemerintah untuk memperoleh tanah penduduk yang diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum dan kepentingan pembangunan nasional. 2. Sedangkan dilain pihak ia adalah merupakan suatu jaminan bagi masyarakat tentang hak atas tanah dari pada tindakan pihak penguasa. Disamping itu juga akan memberikan pengertian tentang kepentingan umum bukanlah hal yang mudah. Selain karena sangat rentan karena penilaiannya sangat subektif juga terlalu abstrak untuk memahaminya. Sehingga apabila tidak diatur secara tegas akan melahirkan multi tafsir yang pasti akan berimbas pada ketidakpastian hukum dan rawan akan tindakan sewenang-wenang dari pejabat terkait. Tapi hal ini dijawab dalam Perpres No 36 Tahun 2005 yang kemudian dirampingkan oleh Perpres 65 Tahun 2006 dimana telah ditentukan secara limitatif dan konkret pengertian dari kepentingan umum yaitu: a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi: b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya: c. Pelabuhan, Bandar udara, stasuin kereta api, dan terminal: d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; e. Tempat pembuangan sampah;
7
f. Cagar alam dan cagar budaya; g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik. Pembebasan tanah tersebut tidak terlepas dari masalah ganti rugi. Dalam pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Jo Nomor: 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk
Kepentingan
Umum.
Secara
tegas
disebutkan,
Pembebasan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. Ganti rugi atas tanah-tanah yang dibebaskan berupa: 1) Tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan UndangUndang No.5 Tahun 1960. 2) Uang; tanah pengganti dan; pemukiman kembali, berdasarkan Pasal 13 Ayat (1) Peraturan Presiden Republik Indonesia No.36 Tahun 2005 Jo Nomor: 65 Tahun 2006
tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam hubungannya dengan pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah itu maka perlu diadakan penelitian terlebih dahulu terhadap segala data-data yang diajukan di dalam mengadakan taksiran akan ganti rugi di dalam rangka pembebasan tanah yang akan terkena itu. Sehingga apabila telah mencapai suatu kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi maka baru dilakukan pembayaran ganti rugi, dan ganti rugi ini hendaklah secara
8
langsung kepada yang berhak. Setelah itu baru diadakan pelepasan/penyerahan hak atas tanah yang bersangkutan, sehingga apa yang dikhawatirkan akan peranan calo-calo tanah dapat ditekan seminimal mungkin7. Pada waktu-waktu terakhir ini dirasakan adanya perkembangan kebutuhan akan tanah untuk keperluan kegiatan-kegiatan pembangunan, khususnya Departemen Pekerjaan Umum antara lain untuk pembangunan proyek-proyek bidang pengairan, prasarana jalan, perumahan dan lain-lain. Namun sebaliknya, tanah-tanah Negara yang diperlukan untuk pemenuhan kepentingan tersebut sudah sangat terbatas ataupun lokasi tanah yang ada tidak memenuhi persyaratan bagi proyek yang bersangkutan, sehingga untuk maksud itu perlu ditempuh jalan dengan melaksanakan pembebasan tanah dari rakyat atau para pemilik tanah. Dalam proses pembebasan tanah tersebut sering dijumpai atau timbul masalah-masalah yang menyangkut tanah atau pertanahannya, sehingga apabila hal ini tidak ditangani secara cepat dan tepat dapat mengakibatkan terhambatnya proses pembangunan yang sedang atau akan dilaksanakan oleh pemerintah. Salah satu contoh permasalahan pembebasan tanah yang terjadi yaitu pada proyek perluasan Bandara Adi Soemarmo Solo di Kelurahan Dibal dan Gagaksipat Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali. Dimana perluasan tersebut memerlukan sebidang tanah untuk memaksimalkan pelayanan di terminal utara Bandar udara tersebut, tentu pengguna jasa menginginkan adanya akses masuk yang nyaman dan memadai selayaknya Bandara
7
Soedharyo Soimin, SH. Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika.2001. Hal:79
9
Internasional. Pasalnya, yang terlihat saat ini adalah jalan sempit dan rusak. Terkait dengan hal ini, maka Bandara Adi Soemarmo melakukan perluasan/pelebaran jalan di sisi utara Bandar Udara yang direncanakan akan memanfaatkan tanah milik Bandara Adi Soemarmo sendiri, tanah penduduk dan TNI AU. Sementara, terkait pengembangan kawasan Bandara, dalam master plan Bandara Adi Soemarmo tengah mengusahakan pengembangan di beberapa kawasan, yaitu kawasan penduduk Desa Ngesrep, Ngemplak, Boyolali seluas 37,46 Ha dan tanah milik TNI AU seluas 17,5 Ha. Namun, untuk tanah TNI AU masih ada keberatan dari pihak TNI sendiri. Begitu pula pengembangan Bandara sebelah timur yang berlokasi di wilayah D esa Sindon, Gagaksipat dan Dibal, yang saat ini dalam proses pembebasan tanah, dengan total luasan 6,95 Ha. Berdasarkan hal tersebut timbul beberapa masalah dalam pelaksanaan pembebasan tanahnya, diantaranya: Para pemilik tanah dan bangunan merasa bahwa ta ksiran ganti rugi yang ditawarkan oleh Panitia Pembebasan Tanah masih dibawah harga umum setempat sehingga menimbulkan berlarutlarutnya pelaksanaan pembebasan tanah; Para pemilik tanah dan bangunan merasa kesulitan untuk mencari tempat pemukiman pengganti sebagai tempat tinggal; Harga tanah dilain tempat semakin meningkat, sehingga diperlukan modal yang besar untuk mendapatkan tanah yang cukup memadai. Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah, para pihak memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa juga akan ditunjukkan
10
pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta. Tetapi kalau jalan tengah tak tercapai, sengketa warga dengan pengembang terus berlanjut, pemerintah cenderung selalu memihak swasta dibanding kepentingan masyarakat. Tidak jarang dilakukan dengan unsur-unsur paksaan agar warga masyarakat terpaksa meninggalkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak layak. Kalaupun perkara pertanahan berujung ke pengadilan, nasib rakyat tidak berarti lebih mujur. Dalam mengadili sengketa pertanahan, hakim lebih mementingkan ‘fakta atau peristiwa’ ketimbang ‘hukumnya’. Dalam rangka pembebasan tanah ini, apabila telah tercapai kata sepakat mengenai bentuk/besarnya ganti rugi maka pembayaran harus dilaksanakan secara langsung oleh instansi yang bersangkutan dengan penyerahan/pelepasan hak atas tanahnya dengan disaksikan oleh sekurangkurangnya empat orang panitia pembebasan tanah, diantaranya Kepala Kecamatan dan Kepala Desa yang bersangkutan. Di
dalam
Surat
Edaran
Dirjen
Agraria
tanggal
3
Februari
No.12/108/12/1975 tentang Pelaksanaan Pembebasan Tanah ini, disebutkan pula bahwa untuk kepentingan pembuktian dokumentasi maupun syarat-syarat kelengkapan data yang diperlukan untuk penyelesaian permohonan sesuatu hak atas tanah oleh instansi yang ber sangkutan. Di dalam surat edaran ini disebutkan pula bahwa yang dimaksudkan dengan pembebasan tanah ialah setiap perbuatan yang bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada diantara pemegang hak/penguasa atas tanahnya
11
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak/penguasa atas tanah itu8. Untuk kepentingan swasta yang pada asasnya adalah sejajar dengan kepentingan anggota -anggota masyarakat maka pembebasan tanah untuk kepentingan swasta, pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemberian ganti rugi yang besarnya ditentukan secara musyawarah. Untuk pencegah terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundanga n maupun garis-garis kebijaksanaan Pemerintah mengenai persediaan, peruntukan, dan penggunaan tanah, diwajibkan kepada Pemerintah Daerah untuk mengawasi pelaksanaan pembebasan dan pembayaran ganti rugi yang dilakukan oleh pihak swasta. Acara pembebasan hak harus dibuktikan secara tertulis, tetapi tidak dituntut adanya akta otentik. Dapat dibuat secara sepihak dari yang mempunyai tanah atau berupa persetujuan ke dua belah pihak (yang membebaskan dan yang melepaskan hak). Akta di bawah tangan harus dikuatkan oleh Kepala Desa dan Camat setempat, atau dilegalisasi oleh camat. Perbuatan membebasan hak itu dapat pula dilakukan di depan kantor Agraria setempat, yang akan membuat akta dalam kedudukannya itu. Hal yang demikian lebih-lebih diperlukan jika tanah yang bersangkutan belum bersertifikat atau belum ada buku tanahnya 9.
8 9
Soedharyo Soimin, SH, Ibid, hal 73 Evendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum ,Jakarta: Rajawali.1991.Hal: 53
12
Berdasarkan uraian diatas, penulis terdorong untuk mengangkat dan menjadikan dalam sebuah penulisan skripsi yang berjudul: “TINJAUAN TENTANG
PEMBEBASAN
TANAH
UNTUK
KEPERLUAN
PERLUASAN BANDARA ADI SOEMARMO DI KABUPATEN BOYOLALI”.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah memang merupakan salah satu bagian yang sangat penting di dalam penelitian, sebab dengan adanya rumusan masalah akan memudahkan peneliti untuk melakukan pembahasan searah dengan tujuan yang diterapkan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan pembebasan tanah untuk keperluan perluasan Bandara Adi Soemarmo Di Kabupaten Boyolali ? 2. Apakah yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pembebasan tanah untuk keperluan perluasan
Bandara Adi Soemarmo Di Kabupaten
Boyolali ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pelaksanaan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan perluasan Bandara Adi Soemarmo Di Kabupaten Boyolali.
13
2. Untuk mengetahui kendala yang terjadi dalam pelaksanaan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan perluasan di Bandara Adi Soemarmo di Kabupaten Boyolali.
D. Manfaat Penelitian Penelitian yang penulis lakukan akan bermanfaat bagi penulis tetapi diharapkan dapat bermanfaat juga bagi pihak-pihak lain dan memberikan manfaat positif. Adapun Manfaat dari Penelitian ini diantaranya sebagai berikut : 1. Secara Teoritis a. Dapat menambah khasanah dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya di bidang hukum Agraria. b. Dapat
memberikan
gambaran
tentang
pelaksanaan
pembebasan tanah untuk keperluan perluasan
mengenai
Bandara Adi
Soemarmo Di Kabupaten Boyolali. 2. Secara Praktis a. Untuk mengembangkan pola pikir dan mengetahui kemampuan penulis untuk menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Dapat memberi masukan bagi para pihak yang berkepentingan dan referensi bagi peneliti berikutnya.
14
E. Metode Penelitian Dalam suatu penelitian guna menemukan dan mengembangkan kejelasan dari sebuah pengetahuan maka diperlukan metode penelitian. Karena dengan menggunakan metode penelitian akan memberikan kemudahan dalam mencapai tujuan dari penelitian. Adapun Metode yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Dalam penelitian penulis menggunakan metode pe ndekatan Juridis Sosiologis, menurut Ronny Hanitijo Soemitro, metode pendekatan Juridis Sosiologis adalah pendekatan yang bertujuan memaparkan sesuatu pernyataan yang ada di lapangan berdasarkan azas-azas hukum, kaedahkaedah hukum, atau perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dikaji10. 2. Jenis Penelitian Pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif.
Menurut
Soerjono
Soekanto
penelitian
deskriptif
ini
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala yang lainnya. Maksudya adalah untuk mempertegas hipotesa agar da pat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka teori-teori baru11.
10 11
Ronny Hanitijo Sumitro, Metode Penelitian Hukum dan Jumetri, Jakarta: Gholia, 1998, hal. 97. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-pres, 1993, hal. 10.
15
Pada dasarnya jenis penelitian ini bertujuan agar dapat memberikan
gambaran
yang
jelas
dan
lengkap
dengan
jalan
mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasi dan menganalisa data yang diperoleh guna memecahkan masalah yang dihadapi dalam hal ini khususnya mengenai proses pelaksanaan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan perluasan Bandara Adi Soemarmo Di Kabupaten Boyolali. 3. Lokasi Penelitian Penulis memilih Lokasi penelitian di sekitar Bandara Adi Soemarmo diantaranya Desa Dibal, dan Gagaksipat, yang merupakan daerah yang akan digunakan sebagai proyek Perluasan Bandara Adi Soemarmo di Kabupaten Boyolali. 4. Sumber Data Dalam penelitian ini menggunakan sumber data yang berasal dari dua sumber yang berbeda, yaitu : a.
Data Primer: Yaitu data-data yang berasal dari sumber data utama, yang berwujud tindakan-tindakan social dan kata-kata dari pihak-pihak yang terlibat dengan obyek yang dieliti yang berupa keteranganketerangan yang berasal dari pihak-pihak yang terlibat dengan objek yang diteliti, yang dimaksudkan untuk dapat lebih memahami maksud dan arti data sekunder yang ada 12.
12
Lexy J Meleong.Metode Penelitian Kualitatif Remaja. Bandung: Rosdakarya Offset. Hal.112.
16
Yang menjadi Responden adalah: 1) Kantor Agraria Kabupaten Boyolali; 2) Kelurahan Gagaksipat; 3) Masyarakat setempat. b.
Data Sekunder Data Sekunder berupa bahan-bahan pustaka yang terdiri dari : 1) Bahan hukum Primer yang meliputi : a) Undang-Undang Dasar 1945. b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. c) Keputusan Presiden Republik Indonesia No.55 Tahun 1993 tanggal 17 Juni 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. d) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. e) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005
tentang
Pengadaan
Tanah
Bagi
Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. f) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
17
2) Bahan hukum sekunder yang meliputi : Literatur -literatur yang berkaitan dengan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, karya ilmiah, majalah, koran maupun internet dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah pembebasan tanah. 5. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang akurat dan obyektif peneletian ini menggunakan cara sebagai berikut : a. Studi kepustakaan Adalah metode untuk mengumpulkan data berdasarkan sumber catatan yang ada, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan pengumpulan data dengan jalan mengutip
bahan-bahan
pustaka
berupa
buku-buku,
majalah,
literature, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. Dari segi kepustakaan ini akan diperoleh manfaat berupa : 1)
Diperoleh konsep-konsep dan teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
2)
Melalui prosedur logika deduktif akan dapat ditarik kesimpulan spesifik yang mengarah pada penyusunan jadwal sementara terhadap masalah penelitiannya.
18
3)
Akan diperoleh informasi empirik yang spesifik yang berkaitan dengan masalahnya.
4)
Melalui logika induktif akan diperoleh kesimpulan umum yang diarahkan
pada
penyusunan
jawaban
teoritis
terhadap
permasalahnya 13. b. Wawancara Adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan komunikasi atau tanya jawab dengan sumber data, dalam hal ini penulis me ngadakan wawancara langsung dengan para pihak yang terkait terhadap masalah ini yaitu pimpinan dari Kantor Pertanahan di kota Boyolali atau pihak yang ditunjuk sesuai dengan bidangnya. 6. Analisis Data Penelitian
yang
menggunakan
metode
kualitatif
akan
menghasilkan data diskriptif analisis, yaitu yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh. Dalam menggunakan metode
kualitatif
tidak
semata -mata
bertujuan
mengungkapkan
kebenaran saja tapi juga bertujuan untuk memahami kebenaran tersebut14.
13 14
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta , Pradnya Paramita, 2003, hal. 117. Ronny Hanitijo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum , Op. Cit., hal. 93.
19
F. Sistematika Penulisan Dalam memudahkan serta memahami pembahasan dan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan penelitian tersebut diatas, maka penulis memaparkan rancangan bentuk dan isi dari skripsi, yaitu sebagai berikut : BAB
I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Metode Penelitian F. Sistematika Penulisan
BAB
II: TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Pengadaan Tanah 1. Pengadaan Tanah 2. Landasan Hukum Pengadaan Tanah B. Tinjauan Umum Mengenai Pembebasan Tanah 1. Pengertian Pembebasan Tanah 2. Aspek Hukum Pembebasan Tanah 3. Pembebasan Tanah dan Aspek Pembangunan 4. Pembebasan Tanah Dengan Ganti Rugi C. Tinjauan Mengenai Perluasan Bandara Adi Soemarmo
20
BAB III:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Data Penelitian 1. Pelaksanaan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan perluasan Bandara Adi Soemarmo Di Kabupaten Boyolali. 2. Kendala dalam pelaksanaan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan perluasan
Bandara Adi
Soemarmo di Kabupaten Boyolali. B. Pembahasan 1. Pelaksanaan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan perluasan Bandara Adi Soemarmo Di Kabupaten Boyolali. 2. Kendala dalam pelaksanaan mengenai pembebasan tanah untuk keperluan perluasan Soemarmo Di Kabupaten Boyolali. BAB IV: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran
Bandara Adi