BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan mengembangkan perekonomian dan perdagangan. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan ekonomi dan perdagangan di Negara manapun khususnya di Indonesia diperlukan dana tersedia yang cukup besar, dimana persediaan dana tersebut diperoleh dari kegiatan perkreditan, yang salah satunya dialokasikan melalui perbankan. Mengingat pentingnya kepastian akan tersalurkannya dana tersebut, sudah semestinya perlu adanya jaminan yang memadai dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang berkepentingan. Oleh sebab itu perlu diatur keterkaitan pihak-pihak tersebut ke dalam suatu peraturan yang berimbang, dimana dalam hal ini secara khusus diatur didalam UndangUndang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Dengan diundangkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah, maka hak tanggungan merupakan satu-satu lembaga hak jaminan atas tanah dalam hukum tanah nasional yang tertulis, dimana sebelumnya masih dikenal dua macam jaminan atas tanah yaitu lembaga jaminan hipotik dan Credietverband. Dengan adanya unifikasi jaminan atas tanah ini, maka dapat lebih menjamin kepastian hukum bagi para kreditur pemegang jaminan atas tanah.
Salah satu jaminan yang sering digunakan dalam pemberian kredit adalah jaminan hak tanggung atas tanah. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan yang pengikatan objek jaminan hutang dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan yang diaturpasa Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (yang untuk selanjutnya disebut UUHT) memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) UUHT sebagai berikut : Hak Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan pada hakatas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Udnang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok agrarian, berikut atau tidak berikut benda-benda lain merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Aturan hukum mengenai pelasanaan pemberian hak tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak baik kreditur maupun debitur dalam memanfaatkantanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Menurut Pasal 4 UUHT, tanah yang dapat dijadikan jaminan adalah Tanah Hak Milik, Tanah Hak Guna Usaha, Tanah Hak Guna Bangunan, dan Tanah Hak Pakai atas tanah Negara. Pengikatan jaminan atas tanah hak tersebut adalah dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang didalamnya meliputi seluruh bangunan dan tanaman yang berada diatasnya dan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan. Pemberian Hak Tanggungan oleh debitur kepada Bank ditempuh melalui tata cara yang diatur dalam Pasal 10 UUHT yang tata cara pemberian hak tanggungannya didahului dengan
janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang, sedangkan Pasal 15 UUHT diatur tentang pemberian kuasa hak tanggungan. Penyerahan jaminan debitur kepada kreditur sebagai pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (yang selanjutnya disebut APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (yang selanjutnya disebut PPAT). Di dalam APHT wajib dicantumkan keterangan mengenai : a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan b. Domisili pemegang dan pemberi hak tanggungan c. Nilai Tanggungan d. Uraian jelas mengenai obyek hak tanggungan1 Pasal 11 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa APHT dapat dicantumkan janji-janji. Dimuatnya janji-janji dalam APHT tersebut yang kemudian harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan dan akta tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Selain itu, dengan didaftarkannya APHT pada Kantor Pertanahan maka terpenuhi asas publisitas, artinya setiap orang dapat mengetahui bahwa ha katas tanah sedang dibebani hak tanggungan.2 Penjelasan Umum angka 7 dinyatakan bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah berpindahtangan dan menjadi pihak lain, kreditur masih dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi pemegang hak tanggungan. Dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pada asanya pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan
1
2
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, h.425. Ibid, h.428.
dengan cara hadir dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT, maka diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (yang selanjutnya disebut SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Sejalan dengan hal tersebut, surat kuasa harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya dalam ketentuan Pasal 15 UUHT. Lebih lanjut dijelaskan Pasal 15 ayat (2) UUHT, bahwa : Kuasa untukMembebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya, sedangkan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) dikatan SKMHT harus berbentuk otentik yang dibuat oleh Notaris atau PPAT. Untuk dapat tercapainya kepastian hukum dan mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa, maka jangka waktu berlakunya SKMHT harus dibatasi. Pasal 15 ayat (3) UUHT menentukan bahwa SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib segera diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Tetapi dalam ketentuan ayat (4), SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Tetapi pada kenyataannya dalam praktek ada SKMHT yang dibuat tidak diikuti dengan APHT. Dengan semakin meningkatnya penyaluran kredit biasanya disertai pula dengan meningkatnya kredit yang bermasalah, walau presentase jumlah dan peningkatnya kecil, tetapi kredit bermasalah ini akan dapat mempengaruhi kesehatan perbankan. Kegiatan menyalurkan kredit mengandung resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan usaha bank.
Kestabilan keuangan bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mengelola kredit yang disalurkan. Oleh karena itu, pemberian kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, atau dengan istilah lain harus didahului dengan Perjanjian Kredit. Perjanjian kredit tidak dapat dilepas dari ruang lingkup KUHPerdata. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan bahwa satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena kredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengikari apa yang telahy diperjanjikan, dan ini akan merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank.3 Perjanjian kredit baru mempunyai kekuatan mengikat apabila perjanjian kredit tersebut disetujui tentang isi dan maksud dari perjanjian tersebut dan para pihak paham dan mengerti sehingga bersedia menerima segala akibat hukum yang timbul dengan membubuhkan tandatangan sebagai sahnya perjanjian. Agar suatu perjanjian sah menurut hukum diperlukan 4 (empat) persyaratan sebagai mana tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu 4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
3
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, h.319.
Kedudukan bank dengan nasabah dalam pemberian kredit adalah setara, dan terdapat asasasas umum dalam hukum perjanjian yang menekankan kesetaraan dimaksud seperti konsesualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas persamaan hukum.4 Dalam memberikan kredit pada nasabah, bank mensyaratkan adanya jaminan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jaminan tersebut sangat penting sebagai pengaman kredit yang telah diberikan oleh pihak bank. Nasabah nyang meminjam kredit di bank untuk modal usaha, dalam menjalankan usahanya tidak selalu mendapatkan keuntungan tetapi sering juga mengalami kerugian sehingga faktor tersebut mereka tidak dapat mengembalikan pinjamannya kepada bank sampai jatuh tempo jangka waktu yang telah ditentukan. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi dari nasabah terhadap bank, yang bertindak sebagai kreditur. Dalam dunia perbankan, hal semacam ini dikenal dengan kredit tidak lancar atau macet. Wanprestasi merupakan suatu peristiwa atau keadaan dimana debitur tidak memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan dinyatakan lalai, atau demi
4
Jonker Sihombing, 2009, Tanggung Jawab Yuridis Bankir Atas Kredit Macet Nasabah, PT. Alumni, Bandung, h.57.
perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan Penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai untuk memenuhi perikatan itu, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Namun untuk dapat dinyatakan wanprestasi, maka harus melalui Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.5 Berdasarkan latar belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul:Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi 2. Upaya hukum apa yang dilakukan kreditur bank dalam hal debiturwanprestasi dengan pembebanan hak tanggung atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) 1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar pembahasan tidak meluas, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup masalah adalahkedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi dan Upaya hukum apa yang dilakukan
5
J. Satrio, 2012, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, Dan Yurisprudensi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, h.2.
kreditur bank dalm hal debitur wanprestasi dengan pembebanan hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT). 1.4 Orisinalitas Penelitian Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 2(dua) Skripsi yang pembahasannya berkaitan dengan perjanjian kredit bank dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan: No
Judul
1.
Pelaksanaan
Penulis
Rumusan Masalah
Perjanjian Ni Wayan Sukna
1. Bagaimana
Kredit Bank Dalam Hal Ekajayanti
hukum
Surat
perjanjian
Membebankan
Kuasa (Mahasiswa Hak Fakultas
Hukum
akibat
pelaksanaan kredit
dalam hal SKMHT
Tanggungan Yang Dibuat Universitas
tidak diikuti dengan
Tidak Diikuti dengan Akta Udayana,
APHT?
Pemberian Tanggungan
Hak Denpasara), Tahun 2014.
2. Bagaimanakah kedudukan sebagai
bank kreditur
apabila SKMHT tidak diikuti dengan APHT dalam
hal
wanprestasi?
debitur
2.
Perlindungan Hukum Bagi Susanti
Program 1. Bagaimana
Kreditur Dalam Perjanjian Pascasarjana Kredit
Dengan
Jaminan Universitas
Hak Tanggungan
Negeri
upaya
perlindungan
hukum
Islam
dalam perjanjian kredit
Sunan
dengan
jaminan
Kalijaga,
tanggungan
Yogyakarta
Cabang
oleh
hak BRI
Temanggung
Unit Kandangan? 2. Bagaimana
mekanisme
penyelesaian kredit macet di
BRI
Cabang
Temanggung
Unit
Kandangan?
Tabel 1.2. Daftar Penelitian Penulis No
Judul Skripsi
1.
Kekuatan Hukum Surat Mitia Kuasa
Penulis
Rumusan Masalah 1. Bagaimana
Membebankan Intansari,Fakultas
Hak Tanggungan Dalam Hukum Perjanjian Kredit Bank
Universitas Udayana, 2016.
bank
kedudukan
pemegang
hak
tanggungan dalam hal debitur wanprestasi? Tahun 2. Upaya hukum apa yang dilakukan kreditur bank dalam
hal
wanprestasi
debitur dengan
pembebanan
hak
tanggung atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT)
1.5
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua,
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut antara lain. 1.5.1 Tujuan umum 1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi 2. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dilakukan kreditur dalam hal wanprestasi yang membebani hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT). 1.5.2 Tujuan khusus 1. Untuk memahami bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi 2. Untuk memahami upaya hukum apa yang dilakukan kreditur dalam hal wanprestasi yang membebani hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT). 1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1 Manfaat teoritis
Penulisan skripsi ini dapat djadikan sebagai bahan penelitian atau penulisan bagi lembaga Fakultas Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana. 1.6.2 Manfaat praktis Manfaat praktis yaitu manfaat dari penelitian hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari rencana penelitian ini sebagai berikut: 1.
Menjadi wahana bagi penelitian untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya pelaksanaan perjanjian kredit dalam surat kuasa membebankan hak tanggungan.
1.7
Landasan Teoritis Salah satu yang diberikan kepeda pemegang hak atas tanah terhadap tanah yang
dikuasainya adalah menjaminkan hak atas tanah tersebut untuk suatu utang tertentu dengan dibebani hak tanggungan. Dalam perkembangannya praktik pemberian kredit tidak cukup hanya didasarkan pada keyakinan dan kepercayaan kepada debitur, tetapi perlu juga disertai jaminan berupa barang guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi atau debitur cidera janji dalam pengembalian kredit. UUPA mengatur bahwa hak atas yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha,k dan hak guna bangunan.
Dalam Pasal 1 angka 1 UUHT dinyatakan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah sebagaimana yang dimaksud oleh UUPA. Hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan harus vmemenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UUHT, yaitu hak atas tanah tersebut menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Kedua syarat tersebut sifatnya kumulatif, yaitu apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Dalam pembebanan hak tanggungan, PPAT yang merupakan pejabat umum diberi wewenang untuk membuat APHT serta membuat SKMHT apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir dihadapan Notaris/PPAT. Pembuatan APHT didahului dengan adanya perjanjian pokok yaitu dalam hal ini adalah perjanjian kredit. Dengan menunjuk ketentuan Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Sedangkan SKMHT awalnya sangat asing terdengan bagi orang yang tidak pernah menggunakan tanah sebagai jaminan untuk meminjam uang di bank, tetapi bagi sebagian orang yang pernah atau sering meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminan, SKMHT sudah terbiasa terdengar bahkan menjadi salah satu pihak yang disebutkan dalam SKMHT tersebut. SKMHT ini digunakan apabila debitur meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminannya, maka SKMHT ini dibutuhkan agar bank selaku kreditur dapat memasangkan hak tanggungan pada tanah yang dijaminkan. Bila dikaji lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, baik masyarakat di perkotaan maupun masyarakat pedesaan. Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Perbankan adalah:
Kredit adalah penyediaan uang yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. Kredit yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur harus diamankan, oleh karena itu pihak kreditur memerlukan jaminan agar uang kredit diberikan tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) tidak memberikan pengertian tentang jaminan, tetapi hanya mengatur ketentuan umum mengenai jaminan yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akanada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Jaminan berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut bersifat umum, yang berlaku untuk seluruh kreditur, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata, menyatakan diperbolehkan hak jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan (khusus), miasalnya dalam bentuk hak tanggungan. Tanah sebagai benda tidak bergerak dapat dijadikan jaminan, dan tanah tersebut dapat dipasangkan hak tanggungan sebagai tanda bahwa tanah tersebut digunakan bank, hak tanggungan sifatnya tidak dapat dibagi-bagi, dan obyek hak tanggungan menurut Pasal 4 ayat (1) UUHT adalah : 1. Hak Milik; 2. Hak guna usaha; 3. Hak guna bangunan.
Kaitannya dengan hal tersebut diatas, apabila selaku debitur meminjam uang di bank dan tanah digunakan sebagai jaminan atas pinjaman tersebut, maka pihak bank selaku kreditur akan menganalisa terlebih dahulu jaminan tersebut dengan membutuhkan waktu minimal 7 hari. Setelah bank dapat menentukan nilai tanah tersebut, maka pihak bank menyerahkan sertifikat tanah tersebut sebagai tanda bukti hak kepada notaris untuk segera memproses pemasangan hak tanggungan di Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Proses ini pun juga memerlukan waktu yang tidak singkat, apalagi jika tanah tersebut tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh BPN, proses pemenuhan syarat guna memasangkan hak tanggungan inilah yang menyebabkan adanya SKMHT yang harus ditandatangani oleh bank selaku kreditur dan peminjam selaku debitur. SKMHT ini digunakan oleh kreditur yang berfungsi sebagai pengaman bagi pihak bank, agar tetap memiliki jaminan atas kredit yang diberikan walaupun sertifikat tersebut masih dalam proses di BPN. SKMHT ini harus dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan itu, yang alam hal ini pejabat tersebut adalah Notaris. Pengertian Notaris terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undnag Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UUJN), yaitu Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Salah satu ketentuan baru dalam UUJN adalah kewenangan Notaris untuk membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan. Kewenangan ini diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN dan Pasal 15 ayat (1) UUHT. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, menyebutkan SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan. 2. Tidak memuat kuasa substitusi (kuasa pengganti). 3. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang, dan identitas krediturnya, serta nama dan identitasnya debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan. Dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT diatas, maka dengan kata lain perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan sifatnya memaksa, yaitu para pihak tidak bebas untu menentukan sendiri, baik bentuk maupun isi dari perjanjian tersebut. Sedangkan Pasal 15 ayat (3) UUHT disebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1(satu) bulan setelah ditandatanganinya SKMHT. Pembuatan APHT oleh PPAT atas dasar surat kuasa yang bukan merupakan SKMHT in originali merupakan cacat hukum dalam proses pembebanan Hak Tanggungan. Karena walaupun telah dilaksanakan pendaftarannya, keabsahan Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap terbuka kemungkinannya untuk digugat oleh pihak-pihak yang dirugukan yang dalam hal ini yaitu kreditur. Kreditur yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian kepada PPAT dan notaris yang bersangkutan. PPAT disini hanya berwenang untuk membuat APHT mengenai obyek Hak Tanggungan yang berletak di wilayah daerah kerjanya. Pembatasana ini tidak berlaku terhadap notaris dalam pembuatan SKMHT adalah dalam rangka memudahkan pemberian layanan kepada pihak-pihak yang memerlukan.
1.8
Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran
dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Untuk dapat memahami objek dari skripsi ini maka dibuat dengan menggunakan pendekatan dan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut.6 1.8.1 Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan adalah penelitian hokum normatif. Dalam penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan/ hukum dikonsepkan sebagai kaidah/ norma
yang
merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.7 1.8.2 Jenis pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalampenulis ini adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach) dan pendekatan Undang-Undang (the statue approach). Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan paut dengan isu hokum yang sedang ditangani.8 Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
6
Alimudin Tuwu, 1993, Pengantar Metode Penelitian, Get 1, Universitas Indonesia, Jakarta, h.73. Amirudin, H Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, h.118 8 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.93. 7
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Dua pendekatan ini digunakan agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat. 1.8.3 Sumber bahan hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah; e. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria; g. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan.9
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengunduh bahan hukum yang diperlukan.10 2. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, yaitu berupa kamus , yang terdiri dari : a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta b. Black’s Law Dictionary c. Kamus Hukum 1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi bahan hukum primer, yaitu perundangundangan yang relevan dengan permasalahan. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku literature ilmu hukum serta tulisan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan. 1.8.5 Teknik analisis bahan hukum Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan tehnik pengolahan data secara kualitatif yaitu yang menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga mempermudahkan pemahaman dan interprestasi data.11
10
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h.141
11
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.170.
Selain menggunakan tehnik pengolahan data secara kualitatif juga digunakan tehnik analisis deskripsi. Tehnik deskripsi adalah tehnik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi proposisi hukum atau non hukum. Setelah melalui proses pengolahan dan analisa, selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek hukum permasalahan yang teliti dan selanjutnya dianalisa kebenarannya serta menyusun dan memilih data yang berkualitas untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.12
12
Ronny Hanititijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h.47.