BAB I PENDAHULUAN A. La tar Belakang Masala h Sistem pendidikan nasional
Indonesia merupakan subsistem dari
pembangunan nasional, sistem pendidikan nasional Indonesia mempunyui peran utama dalam mengelola pengcmbangan dan pembinaan sumber daya manusia sebagai kekuatan sentral dalam proses pembangunan. Melalui pendidikan, manusia Indonesia diharapkan menjadi individu yang mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk secara mandiri meningkatkan taraf hidup lahir
batin,
dan
meningkatkan
peranannya
sebagai
pribadi,
pcguwai/karyawan, warga masyarakat , warga ncgara, dan makhluk Tuhan. Mudyahardjo ( 1993) menyatakan ada 12 sistem dalam pendidikan, yaitu : tujuan, mahasiswa, manajemen. struktur dan jadwal waktu , materi , tenaga pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, fasilitas, teknologi, kendali mutu, penelitian, dan biaya pendidikan. Keberhasilan sistem pendidikan sesungguhnya
tergantung
pada
interaks i
fungsional
subsistem
secara
keseluruhan. Jika satu subsistem tidak berfungsi, interaks i antar subsistem menjadi
terganggu ,
sehingga
pencapaian
tujuan
pendidikan
menjadi
terhambal. Berdasarkan interaksi antar subsistem pendidikan, kiranya dapat dipahami bahwa rendahnya mutu lulusan sarjana di Indonesia, khususnya pada satu dasawarsa terakhir ini yang menjadi perbincangan dan perdebatan
dalam masyara.k at, merupakan indikasi adanya gangguan terhadap subsistem pendidikan di perguruan tinggi . Kritik terhadap kualitas lulusan sarjana yang dinilai tidak cocok dengan kcbutuhan dunia usaha mcnurut Tobing (2000) bahwa " lembaga pendidikan tidak bisa menghasilkan lulusan siap pakai yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan ekonomi nasional. Ketidakcocokan (mismacth) ini kemudian menjadi isu utama dalam polemik antara dunia pendidian dan dunia
usaha~.
Berdasarkan data empiris masalah ketidakcocokan antara lulusan pendidikan tinggi dan kebutuhan dunia kerja dapat ditunjukkan dcngan mengacu pada data statistik angkatan kerja di Indonesia. Tobing (2000) menjelaskan bahwa "dari 593.153 lowongan kerja terdaftar pada Departemen Tenaga Kerja sampai akhir 1997, terdapat 17% lowongan kerja yang tidak dapat terisi. Sekitar 50% di antaranya adalah angkatan kerja berpendidikan sarjana dan sarjana muda, sedangkan paling rendah lulusan SO dan diploma satu (01) sekitar 10%". Kondisi serupa juga ditunj ukkan oleh keadaan angkatan kerja di Sumatera Utara (Sumut), sebagaimana ditulis dalam harian Media Indonesia
(2003) bahwa "tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Sumut naik dari 4,47% pada 200 I menjadi 6, 74% pada 2002. TPT tertinggi terjadi di Kota Medan mencapai 13,28%, diikuti Kodya Sibolga (11,71%), Kabupaten Langkat (II ,06%), "an Kodya Tebing Tinggi (10,91%r. Selanjutnya harian Media Indonesia (2003) juga menuliskan bahwa "pada tahun 2002 angkatan kerja di Sumut mencapai 5.276.102 orang. Jumlah itu naik 4, 72% dari tahun
2
sebelumnya". Kondisi angkatan kerja itu juga diikuti dengan meningkatnya jumlah pencari kerja. Jumlah pencari kerja pada tahun 2002 mencapai 355.467 orang. Hal ini berarti mengalami kenaikan 57,82% dari tahun sebelumnya. Berdasarkan persentase laju pengangguran dan jumlah pencari kerja yang cenderung mengalami peningkatan, Tobing (2000) menjelaskan empat penyebab ketidakcocokan antara sisi penawaran tenaga kerja dengan sisi permintaan tenaga kerja, yaitu : pertomo, ketidakcocokan antara karakteristik lulusan baru yang memasuki dunia kerja (sisi penawaran tenaga kerja) dengan kesempatan kerja yang tersedia (sisi permintaan tenaga kerja). Ketidakcocokan ini mungkin bersifat geografis, jenis pekerjaan, orientasi status, atau masalah keahlian khusus. Keduo, semakin terdidik seseorang. semakin besar harapannya pada jenis pekerjaan yang aman. Golongan ini menilai tinggi pekerjaan yang stabi l daripada pekerjaan yang berisiko tinggi sebingga lebib suka bekerja pada perusahaan besar daripada membuka usaha sendiri. llal ini diperkuat hasil studi Clignet seperti ditulis kembali oleh Tobing (2000) yang menemukan bahwa gejala meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia antara
lain disebabkan adanya keinginan memilih
pekerjaan yang aman dari risiko. Dengan demikian angkatan kerja terdidik lebih suka memilih menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Ketiga, terbatasnya daya serap tenaga kerja sektor formal sementara angkatan kerja terdidik cenderung memasuki sektor formal yang kurang berisiko. llal i ni menimbulkan tekanan pcnawaran di 3
mana tenaga kerja terdidik yang jumlahnya cukup besar memberi tekanan kuat terhadap kcsempatan kerja di sektor form Ill yang jumlahnya relatif kecil, sehingga terjadi pendayagunaan tenaga kerja terdidik yang tidak optimal.
Keempat, belum efisicnnya fungsi pasar tenaga kerja. Di samping faktor kesulitan memperoleh lapangan kerja, arus informasi tenaga kerja yang tidak sempurna dan tidak lancar menyebabkan banyak angkatan kerja bekerja di luar bidangnya. Hal ini tentu saja berpengaruh pada efektivitas dan etisiensi penggunaan tenaga kerja. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa permasalahan pengangguran pada angkatan tenaga kerja terdidik memiliki kaitan yang erat dengan proses pedidikan yang mereka jalani di perguruan tinggi. Dari keempat sebab di atas dapat ditunjukkan sebab pcrtama dan kedua yang secara langsung berkaitan dengan proses pendidikan yaitu : pertama, kurikulum dan proses bclajar di perguruan tinggi belum secara penuh menanamkan dan melatihkan keterampilan tentang spesifikasi jenis pekerjaan secara tepat sehingga keahlian khusus yang dimiliki lulusan sarjana menjadi tidak optimal. lni tcrkait dengan kebijakan lembaga pcndidikan tinggi yang membuka program studi
lulusan sarjana terscbut.
Kedua, selama ini
penanaman nilai dan budaya kerja keras dan mandiri kurang mendapat tanggung jawab serius dari para tenaga pengajar atau dosen. Pendapat ini sangat beralasan S""3b dosen adalab salah satu penentu atas keberhasilan dalam penanaman nilai-nilai pendidikan.
4
Sementara
itu,
pengelolaan
perguruan
tinggi
dalam
menuju
peningkatan kualitas yang berkelanjutan harus tetap berpedoman pada Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP) mengharapkan pada selu ruh sivitas akademika, khususnya tenaga pengajar atau dosen untuk lebih terfokus pada masalah peningkatan kualitas lulusan pendidikan tinggi seiring dengan akselerasi perubahan di bidang manajemen , bisnis, dan teknologi yang serba cepat. Oengan demikian proses pendidikan yang
berorientasi
pada
pengelolaan
perguruan
tinggi
dalam
menuju
peningkatan kualitas yang berkelanjutan berimplikasi pada pengelolaan pembelajaran di kelas. Sebagai amanat dari pokok pikiran dalam KPPT-JP, langkah konkrit yang telah dilakukan oleh pihak perguruan tinggi adalah memberikan semacam pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mengajar dosen . Dalarn hal ini pemerintah melalui Pusat Antar Universitas untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas l nstruksional (PAU-PPAI) Universitas Terbuka, yang dibentuk sejak September 1985, diberi tugas oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk memberi pelayanan kepada tenaga pcngajar di perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Walaupun upaya tersebut telah berjalan, kenyataannya kualitas lulusan pendidikan t inggi khususnya sarjana S-1, masih membcri sumbangan pada jumlah tingkat pengangguran terbuka.. Sehingga masalah tersebut tentunya memerlukan kajian ilmiah yang komprehensif dan mendalam serta didukung oleh data yang valid dan reliable serta melibatkan semua pihak yang
5
berkaitan dengan proses belajar-mengajar, yaitu dosen, mahasiswa, staf administrasi dan pengelola pendidikan tinggi, termasuk pemerintah. Terkait dengan masalah tersebut Unaradjan (2003) menjelaskan bahwa metode mengajar di perguruan tinggi belum menghasilkan lulusan yang mampu mengungkapkan ide-ide atau gagasan-gagasan yang logis dan sistematis serta kurang memiliki kemampuan untuk memecahkan suatu problem atau masalah yang muncul di tempat atau dunia kerja. Hal ini disebabkan metode mengajar atau proses belajar-mengajar di perguruan tinggi masih bersifat ceramah, yaitu dosen atau pengajar berbicara atau mendikte dan mahasiswa mendengar dan mencatat. Unaradjan (2003) mengungkapkan bahwa mengajar di perguruan tinggi telah bergeser artinya dari konsep "teaching" (pengajaran) menjadi konsep
"scholar ·· (pelajar), yaitu individu yang sedang belajar. lndividu di sini meliputi dosen dan mahasiswa. Jadi, prosesnya bukan hanya memberikan sejumlah informasi yang berhubungan dengan materi yang diajarkan, tetapi lebih memberikan rangsangan belajar atau "sharing the excitement of learning". Hal ini mengandung pengertian bahwa kegaiatan belajar mengajar
harus
mencerminkan
ciri-ciri
interaksi
edukatif.
Sardiman
(2000)
menjelaskan bahwa ciri-ciri interkasi edukatif adalah mcmiliki tujuan, ada suatu prosedur y!lng direncan!l, dit!l!ld!li sualu pengg11rapan materi khusus, ditandai
~ecar11
dengan akti--it.as, ada dosen yang berperan sebagai
pembimbing, membutuhkan disiplin dan ada batas waktu untuk pencapaian tujuan serta adanya kegiatan penilaian.
6
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa kemampuan mengajar dosen adalah salah satu kunci masalah untuk mencari tahu upayaupaya berikutnya yang dapat meningkatkan kualitas berkelanjutan di perguruan tinggi. Selanjutnya tingkat pendidikan dosen adalah faktor lain yang menentukan kemampuan mengajar. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi diyakini bahwa kemampuan mengojar dosen lebih berkualitas sehingga akan mempengaruhi pada peningkatan kualitas pembelajaran mahasiswa di perguruan tinggi.
(2004)
Chamidi
menjelaskan
bahwa
"Dari
keseluruhan
dosen
Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sekitar 9,40% berijazah S 3, 36,00% berijazah S2, dan 54,60% berijazah S 1• Dari 139 ribu dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS), sekitar 5,20% berijazah S 3 , 27,70% berijazah S 2 , dan 67,10% berijazah
s,~.
Dengan kualifikasi dosen yang didominasi oleh kualifikasi
berijazah S I, semcntara lulusan yang harus dihasilkan juga S I, tentu keahlian dan pengetahuan dosen horus dipertimbangkan kembali. Apalagi kem ajuan di bidang ilmu dan teknologi, khususnya teknologi informasi yang sangat pesat, dosen bukan lagi satu-satunya sumber belajar yang mcnentukan kebcrhasilan mahasiswa. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mcngajar dosen
ini.
Diantaranya
adalah
dengan
meningkatkan
taraf
pcndidikan dosen. llal ini sudah dilakukan yaitu dengan mengirimkan dosendosen muda untuk menjalani tugas belajar baik di dalam Negeri atau babkan di luar Negeri yang didanai oleh negara ataupun bea Siswa. Kemudian, 7
adanya
Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik ln stru ksional ( PEK ERTI)
merupakan
salah
satu
langkah
yang
ditempuh
untuk
meningkRtkan
kemampuan mengajar dosen. Melalui pelatihan tersebut diharapkan para dosen akan mampu
mengaplikasikan
ilmu yang diperolehnya dalam
melaksanakan pembelajaran. Dari penjelasan di atas dapat diperkirakan bahwa rendahnya mutu lulusan di pendidikao tinggi saat ini terkait deogan kemampuan mengajar dosen. Untuk meningkatkan kemampuan mengajar dosen-dosen diperguruan tinggi salah satu agenda pelatihan PEK ERTI sebagaimana telah dijelaskan. menjadi upaya penting yang harus terus diberdayakan.
B. ldentifikasi Masalab Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, dapat diidentifikasi masalah dalam penel it ian ini yaitu, bagaimanakah tingkat kualitas lulusan sarjana khususnya di sumut?, apakah tingkat kualitas lulusao memberikan sumbangan bagi pengangguran di sumut? Bagaimanakah kualitas pendidikan di UNIMED? Apakah mingkat pendidikon dosen berpengaruh terhadap kemampuan mengajarnya? Apakab frekuensi pelatihan PEKERTI berpengaruh terbadap kemampuan mengajamya? Dalam Jatar belakang telah dipaparkan bahwa masalah rendahnya kualitas
lulusan
perguruan tinggi
di
Su!!::J~,
dibuktikan
oleh tingkat
pengangguran yang disandang oleh para lulusan sarjana. Walaupun tingkat ekspektasi untuk mendapatkan lowongan pekerjaan dari golongan pencari
8
kerja yang bertitel sarjana lebih tinggi dibandingkan jenjang pendidikan dasar dan menengah, namun lulusan sarjana yang kurang memiliki kemampuan atau kompetensi sulit memasuki peluang kerja yang ditawarkan. Ternyata inti salah satu masalah kunci adalah kemampuan mengajar dosen yang masih dianggap kurang, yaitu kcterampilan yang diterima mahasiswa masih kurang relevan dengan pasar atau dunia kerja. Partisipasi pelatihan PEKERTI yang selama ini diikuti oleh doscn dosen Unimed, bertujuan untuk mengatasi masalah kualitas pembclajaran di perguruan tinggi. Pelatihan PEKERTI belum berjalan secara maksimal dan terkesan bersifat semu sehingga belum melahirkan kinerja yang maksimal. Selain
itu
kemampuan
mengajar juga ditcnlUkan
olch
tingkat
pendidikan dosen. Dengan tingkat pendidikan yang tmggi. dosen memiliki keahlian, kemampuan, serta wawasan yang lebih baik seh ingga pengalaman mengajar akan menjadi lebih kaya . C. Pembatasan Masalah Berdasarkan Jatar belakang dan identifikasi masalah yang telah di uraikan di atas, maka pcnelitian ini dibatasi pada aspck partisipasi dosen dalam pelatihan PEKERTI, tingkat pendidikan dosen
dan kemampuan
mengajar dosen di Unimcd.
D. Perumusan Masalab Objek part isi pasi
dalam
penelitian
ini
adalah
pelatihan
PEKERTI
dan tingkat pendidikan
9
mengkaji
hubungan antara dosen dengan
kemampuan mengajar dosen di Unimed. Dengan demikian masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai : I. Apakah
terdapat
hubungan
partisipasi
pelatihan
PEKERTI
dengan
kemampuan mengajar dosen di Unimed? 2. Apakah terdapat hubungan tingkat pendidikan dosen dengan kemampuan mengajar dosen di Unimed? 3. Apakah terdapat hubungan antara partisipasi pelatihan PEKERTI dan tingkat pendidikan dosen secara bcrsama-sama dengan kcmampuan mengajar dosen di Unimed?
E. Tujuan Peoelitiaa Tujuan dalam pcnelitian ini sesuai dengan rumusan masalah yang telah diajukan, yaitu mcnjelaskan : I. llubungan partisipasi pelatihan PEKERTI dengan kemampuan mengajar
dosen di Unimed. 2. Hubungan tingkat pendidikan dosen dengan kemampuan mengajar dosen di Unimed. 3. Hubungan antara partisipasi pelatihan PEKERTI dan tingkat pendidikan dosen seeara bersama-sama dengan kemampuan mengajar dosen di Unimed.
F. Maofaat Peoelitiao Hasil penelitian ini, diharapkan bermanfaat secara teoretis dan praktis bagi dunia pendidikan, yaitu :
10
Secara teoretis. hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu
.•
pengetahuan khususnya
dalam
bidang Teknologi
Pendidikan. Dengan
mengetahui kadar kekuatan hubungan antara variabel dalam penelitian ini , diharapkan penelitian ini menjadi bahan masukan bagi dosen untuk selalu berusaha meningkatkan kemampuan mcngajamya dengan mengikuti berbagai pelatihan-pelatihan yang bertuj uan untuk kematangan profesinya. Secara praktis, dengan dikctahuinya kadar hubungan antara masingmasing variabel penelitian, maka hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam melakukan proses evaluasi diri dalam meningkatkan kemampuan mcngajar sehingga dapat menghasi lkan mutu lulusan yang berkompeten di bidangnya.
II