BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Suatu sore di areal persawahan,
Saya
: Selamat sore, bapak-bapak. Ini sore-sore kok masih di sawah. Sedang apa, Pak?
Bapak A
: Oh, ini sedang merontokkan padi, Mbak. Kemarin baru saja panen. Ini menggunakan mesin pret. Caranya dengan digenjot.
Saya
: Lha, anaknya tidak membantu di sawah Pak?
Bapak A
: Wah, kalau anak saya tidak mau diajak ke sawah, Mbak. Anak saya sekarang kerja di brownies-an.
Saya cukup terkejut mendengar pernyataan dari petani tersebut. Pertemuan saya dengan bapak-bapak itu terjadi pada hari ketiga saya berada di Desa Pesantren, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang dalam rangka penelitian. Sejak awal tiba di desa itu, saya merasa terpesona dengan pemandangan alamnya. Di depan mata terpampang areal persawahan yang sangat luas, tanaman padi sebagian besar sudah menguning dan siap untuk dipanen. Saya melakukan pengamatan sembari berbincang dengan para petani di sekitar areal persawahan. Pada pagi hari kurang lebih pukul 08.00 WIB, para petani sudah beranjak dari rumah menuju sawah ataupun tegalan untuk menggolah lahannya.
Pertanian masih menjadi pekerjaan utama banyak warga masyarakat di desa ini. Meskipun hasil dari pertanian sudah tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi banyak warga yang menggantungkan kehidupan dari pekerjaan ini. Namun, potensi pertanian yang ada sudah tidak mampu lagi dimanfaatkan dengn baik. Ketika musim kemarau hampir setiap musim mengalami gagal panen. Banyaknya hama menyebabkan para petani harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli obat dan pupuk. Padahal, hasil pertanian ketika musim kemarau lebih sedikit daripada musim hujan. Permasalahan lainnya adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja pertanian. Di Desa Pesantren sebaran tenaga kerja pertanian(di luar perikanan dan kehutanan) berdasarkan kelompok umur memperlihatkan sebagian besar berada pada umur 25-44 tahun sebesar 46 %, kemudian kelompok umur 45 tahun (38%) dan kelompok umur dibawah 25 tahun sebesar 16 %. Pada masa akan dating dikhawatirkan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Tren Aging Agriculture sudah terlihat pada sektor pertanian, yaitu tenaga kerjanya mulai menunjukkan komposisi penduduk usia lanjut yang lebih besar. (Setiawan, 2010:5). Berdasarkan fenomena yang terjadi itu, muncul banyak pertanyaan dalam benak saya. Selain dari pertaniaan, pekerjaan apa yang ditekuni masyarakat Desa Pesantren? Apakah memang lapangan pekerjaan di bidang pertanian tidak dapat lagi meningkatkan ekonomi rumah tangga para petani? Apakah ada tenaga kerja usia muda yang bekerja dalam pertanian? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengelitik saya untuk mencari tahu mengenai pekerjaan nonpertanian apa yang ditekuni oleh penduduk Desa Pesantren saat ini.
Pada tahun 2012 lalu, pernah dilakukan penelitian di desa ini dengan tema “Comal in the Decentralization Era: Sosio Economic Transformation of a North Coast District of Java in a Historical Context since 19th Century” kerjasama Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada dan CSEAS Kyoto University. Secara umum, hasil penelitian itu menunjukkan bahwa pekerjaan nonpertanian mendominasi Desa Pesantren ini. Dari 312 sampel yang menjadi responden dalam penelitian tersebut menunjukkan sebanyak 58,9 persen kepala keluarga di desa ini bekerja di bidang nonpertanian dan sebanyak 41,1 persen bekerja di sektor pertanian. Sebelumnya, pada tahun 1990 telah dilakukan penelitian di desa ini. Hasilnya menunjukkan bahwa responden yang bekerja di bidang pertanian sebanyak 31 orang berusia 30-39 tahun, sebanyak 33 orang berusia 40-49 tahun, sebanyak 29 orang berusia 50-59 tahun, dan 10 orang berusia lebih dari 60 tahun (Mizuno, 183:1996:). Sementara hasil penelitian tahun 2012 menunjukkan bahwa penduduk yang bekerja pada sektor pertanian sebanyak 29 orang berusia 50-59 tahun, sebanyak 39 orang berusia 40-49, sebanyak 19 orang berusia 30-39 tahun. Apabila dilihat dua hasil penelitian di desa ini tahun 1990 maupun 2012, menunjukkan bahwa sektor pekerjaan bidang pertanian di desa ini masih dikuasai oleh tenaga kerja usia 40 tahun ke atas. Pada tahun 1990 untuk sektor nonpertanian yaitu sebanyak 27 orang berusia 20-29 tahun, sebanyak 45 orang berusia 30-39 tahun, sebanyak 21 orang berusia 40-49 orang, dan 19 orang berusia 50-59 orang (Mizuno, 1996: 207). Sementara hasil penelitian tahun 2012 menunjukkan bahwa nonpertanian, sebanyak 16 orang berusia 20-29 tahun, sebanyak 57 orang berusia 30-39 tahun, sebanyak 44 orang berusia 40-49 tahun. Jika dilihat dari hasil penelitian ini, sektor nonpertanian ini didominasi oleh tenaga kerja yang
berusia 20-29 dan 30-39 tahun.
Sementara sektor pertanian didominasi penduduk
berusia 40-49 tahun. Pekerjaan nonpertanian lebih beragam di desa ini. Pekerjaan tersebut antara lain; pedagang, guru, pekerja pabrik, buruh bangunan, pembuat atau buruh batu bata, buruh perahu penyebrang sungai, pemayet baju batik. Penduduk Desa Pesantren dikenal sebagai desa yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dibandingkan desa lain di sekitar Comal. Pendidikan yang rendah ini berdampak pada sulitnya penduduk untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji atau upah yang tinggi karena mereka tidak mempunyai modal atau keahlian. Satu-satunya yang mereka punya adalah modal marginal yaitu tenaga kerja; pekerjaan yang membutuhkan tenaga kerja dan tidak membutuhkan pendidikan maupun keahlian sangat terbatas jumlahnya; suatu kegiatan yang tergolong nonfarm menjadi sumber peluang kerja dan penghasilan cukup penting bagi rumah tangga miskin pedesaan belakangan ini (Noor Effendi, 2010:95-96). Meskipun desa ini adalah desa agraris, tetapi ternyata peningkatan sektor nonpertanian telah terjadi sejak tahun 1990-an. Hal ini mampu menarik minat tenaga kerja untuk bekerja di sektor nonpertanian dengan bermigrasi dan bekerja pada usaha brownies. Buku berjudul Di Bawah Asap Pabrik Gula menjelaskan bahwa kemungkinan besar perluasan sektor nonpertanian diakibatkan oleh peningkatan kegiatan ekonomi di berbagai bidang, di luar industri manufaktur. Di samping itu terjadi perpindahan tenaga kerja ke luar desa dalam berbagai bentuk, seperti migrasi musiman, komutasi (pulang-pergi) ke daerah perkotaan dan sebagainya (Mizuno,1996:178). Brownies adalah makanan yang terbuat dari tepung dicampurkan dengan coklat lalu dipanggang. Sejarah brownies pertama kali muncul di hadapan publik pada tahun
1893. Saat itu digelar sebuah acara berupa pameran yang bertajuk Columbian Exposition yang diselenggarakan salah satu kota besar di Amerika, Chicago, Illinois. Ketika itu, sang pemilik Hotel Palmer House, Bertha Palmer meminta koki hotel itu menghidangkan makanan penutup untuknya dan para perempuan yang hadir pada pameran tersebut. Koki itu diminta membuat kue yang lain daripada yang lain, dipotong kecil-kecil agar mudah dimakan1. Brownies mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 19992. Seorang ibu bernama Sumi mulai mencoba resep brownies dengan cara dikukus. Brownies kukus _____________________________________________________________ 1. http://www.resepkita.com/detailTips.asp?recId=13 2.http://www.ciputraentrepreneurship.com/domestic-womenpreneur/sumiwiludjeng-sosok-di-balik-kesuksesan amanda-brownies
buatannya diminati masyarakat. Ia kemudian membuka outlet dan diberi nama Brownies Amanda pada tahun 2002. Brownies Amanda selanjutnya dianggap masyarakat sebagai cikal bakal usaha brownies di Indonesia. Perkembangan brownies di Desa Pesantren dimulai kurang lebih sejak tahun 2007. Awal mulanya ada warga yang bernama Pak Gito sukses menjadi pengusaha brownies setelah sebelumnya ia bekerja pada pengusaha brownies keturunan Cina di Jakarta. Ia membagi resep dan mengajari warga membuat brownies. Kesuksesan itu kemudian mendorong masyarakat Desa Pesantren mencoba mengikuti jejaknya dengan membuka usaha atau bekerja dalam produksi brownies. Ada beberapa cara yang ditempuh masyarakat Desa Pesantren untuk mendapatkan modal membuka usaha brownies. Cara pertama yaitu modal mandiri, artinya si pemilik mempunyai modal dan mengelola sendiri usaha browniesnya. Kedua, bekerjasama dengan penduduk satu desa maupun luar Desa Pesantren. Ketiga, meminta orang lain
untuk mengelola usaha brownies dengan sistem bagi hasil antara pengelola dan pemilik modal. Usaha brownies yang dimiliki oleh masyarakat Desa Pesantren sudah tersebar di beberapa kota besar. Pemasarannya yaitu di sekitar Pemalang, Pekalongan, Tegal, dan Batang. Tiga warga Desa Pesantren saat ini
masih menjadi pengusaha brownies.
Mereka merupakan penduduk Sidomulyo dan Copol. Perkembangan yang pesat menimbulkan dilema bagi tenaga kerja di dalamnya . Mereka harus mengubah cara hidup sehari-hari dari pertanian ke pekerjaan yang mengharuskan berinteraksi dengan banyak orang. Pemilihan pekerjaan dagang bagi masyarakat Desa Pesantren merupakan proses akumulasi nilai-nilai yang ada di desa, penerimaan terhadap perubahan, dan keinginan dari diri sendiri. Seiring perkembangan yang terjadi, maka pola pikir masyarakat desa semakin terbuka dengan perubahan. Nilai-nilai yang telah ada sejak nenek moyang perlahan mulai bergeser dengan adanya modernisasi tersebut. Pergeseran struktur ini didukung dengan semakin terbukanya peluang pekerjaan berdagang di pedesaan dan peningkatan perpindahan tenaga kerja ke kota-kota besar. Persoalan yang terjadi di desa ini adalah keterbatasan pekerjaan di pertanian Selain itu, semakin maraknya brownies karena tenaga kerja usia produktif menganggap usaha dari sektor dagang (brownies) lebih menguntungkan untuk masa depan daripada pertanian. Akibatnya tenaga kerja usia produktif lebih memilih bekerja dalam usaha brownies daripada bekerja dalam sektor pertanian. Melihat kondisi masyarakat Desa Pesantren, maka secara umum penelitian ini akan mengkaji mengenai perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Pesantren yang
mengubah orientasi pekerjaan dari pertanian ke nonpertanian.
Penelitian ini juga akan
membahas mengenai mobilitas tenaga kerja yang ada didalamnya. Selain itu, penelitian ini juga akan membahas mengenai faktor-faktor mempengaruhi perubahan orientaesi pekerjaan tersebut. Lebih lanjut, penelitian ini akan mengkaji tentang prospek dan manfaat ekonomi dari maraknya usaha brownies yang ditekuni oleh masyarakat Desa Pesantren. Penelitian ini juga akan membahas apakah usaha brownies berpihak kepada lapisan bawah atau wong cilik3.
B. STUDI PUSTAKA
Kajian mengenai perubahan orientasi pekerjaan maupun tetang mobilitas tenaga kerja yang terjadi di pedesaan telah banyak dibahas oleh ahli antropologi, sosiologi maupun disiplin ilmu lain yang berkorelasi dengan masalah ini. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, saat ini pedesaan Jawa sedang mengalami perubahan sosial khususnya orientasi pekerjaan. Tenaga kerja untuk pertanian berkurang, tetapi sektor nonpertanian meningkat. Fenomena di atas telah terjadi pada masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT). Koli Bau (1997) menjelaskan bahwa di NTT telah terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor informal. Di NTT perekonomian sektor off-farm dilakukan oleh penduduk yang kesulitan dalam bidang pertanian. Mereka beralih profesi pada kegiatan informal di perkotaan atau kegiatan off-farm di pedesaan seperti berdagang, menukang, buruh bangunan, dan sejenisnya. Kegiatan perdagangan merupakan kegiatan yang paling banyak dilakukan. Pergeseran dari struktur agraris menuju industri ini nampaknya mengalami masa transisi. Salah satu bentuk adaptasi
dalam proses transisi menuju kultur industri tersebut adalah munculnya off-farm di pedesaan serta kegiatan perekonomian informal di perkotaan. Kajian mengenai perubahan orientasi pekerjaan juga terkait peluang kerja dan kemiskinan di pedesaan. Singarimbun (1987:167) menjelaskan kasus di Desa Miri-Siriharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa ini merupakan desa agraris yang cukup jauh dari pusat kota. Di desa ini telah terjadi perubahan dalam kepemilikan tanah. Dalam jangka waktu 17 tahun telah terjadi penurunan jumlah penduduk yang memiliki tanah. Petani yang memiliki tanah lebih dari 0,2 ha turun dari 16 persen menjadi 10 persen. Telah terjadi peningkatan penduduk yang bekerja dalam sektor nonpertanian. Sumber pendapatan pada saat ini didominasi oleh pedagang dan buruh bangunan. Semakin terbukanya kesempatan keja diluar nonpertanian, membuat masyarakat pedesaan yang tidak mempunyai lahan dan berlahan sempit memanfaatkan
potensi
nonpertanian yang ada di desa. Menurut Effendi (1994) pembahasan mengenai bagaimana petani lahan kering di Gunung Kidul dapat memanfaatkan peluang kerja yang ada dengan kondisi alam dan munculnya sektor nonpertanian. Semakin banyak penduduk yang memasuki bermacam-macam jenis pekerjaan di luar pertanian mengakibatkan perubahan struktur ketenagakerjaan di tingkat desa. Hasilnya menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan pola kepemilikan tanah yang semakin menurun serta meningkatnya buruh tani dan penyewa tanah. Selain itu, semakin banyak penduduk yang bekerja di sektor nonpertanian dengan cara nglaju atau bermigrasi ke kota. Semakin banyak yang bekerja di sektor nonpertanian dengan cara migrasi secara tidak langsung mempengaruhi perubahan budaya dan gaya hidup yang mengakibatkan desa ini menjadi desa yang semi urban. Perubahan ini tentunya tidak lepas dari pembangunan sarana transportasi dan
komunikasi. Untuk wilayah pantai utara atau lokasi penelitian ini, sektor nonpertanian telah ada sejak abad XX. Di wilayah Comal, Kabupaten Pemalang kegiatan nonfarm atau bekerja di luar sektor pertanian bukan sesuatu yang baru. Sejak awal abad XX aktivitas nonfarm telah terlihat. Penelitian Effendi (1996) membahas aktivitas nonfarm di pantai utara jawa awal abad XX. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perkembangan nonpertanian di pantai utara Jawa (distrik Comal) membuka peluang pekerjaan bagi penduduk sekitar. Usaha yang berkembang mulai tahun 1903 adalah pandai besi, tukang kayu, pedagang, penjahit, dan lain-lain. Sejak tahun 1920 industri batik mulai berkembang pesat, banyak pedagang batik di daerah Tegal, Pemalang dan Pekalongan. Di Kabupaten Pemalang sendiri terdapat dua industri besar yang dikelola oleh pengusaha pribumi dan Cina. Setelah batik, mulai berkembang industri kerajinan, pengolahan dan rumah tangga. Beberapa buku membahas mengenai kegiatan pekerjaan nonpertanian maupun perpindahan tenaga kerja di daerah Comal. Menurut Mizuno (1996: 213) perpindahan penduduk dari desa ini apabila dihitung keseluruhan, paling tidak ada 36 orang yang bekerja di luar Kabupaten Pemalang. Pekerja migran di Jakarta terdiri dari 5 orang adalah pekerja bangunan, 3 orang sopir, 4 orang tukang becak, 3 orang pekerja pabrik, 2 orang pembantu rumah tangga dan 3 orang dalam bidang jasa. Tingkat pendidikan para migran di Desa Pesantren rata-rata rendah dan lebih banyak bekerja pada sektor informal. Setiap pedesaan mempunyai cara masing-masing untuk mendapatkan penghasilan dari sektor nonpertanian berdasarkan sumber daya alam dan kemampuan yang dimiliki. Di Desa Susukan, Kecamatan Comal mulai berkembang industri jolok atau katok kolor. Penelitian mengenai jolok ini dibahas dalam tesis Laeli (2013) yang menunjukkan bahwa
industri ini mulai berkembang karena dua hal, yaitu krisis ekonomi 1997 dan ketiadaan sumber daya. Dua hal ini menimbulkan resiliensi ekonomi rumah tangga melalui strategi adaptasi. Kehadiran jolok memberikan peluang untuk pemenuhan ekonomi rumah tangga, terlebih jaringan-jaringan yang berada pada sekeliling jolok mampu menjadikan sumber bagi keberlangsungan usaha yang akhirnya dapat meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga pascakrisis ekonomi hingga saat ini. Mobilitas yang terdapat pada jaringan jolok juga memiliki basis ekonomi, politik dan kekerabatan. Peningkatan tenaga kerja nonpertanian di pedesaan tidak selalu karena keterbatasan lapangan pekerjaan di pedesaan, tetapi juga adanya tarikan dari kota besar. Collier (1996) dalam bukunya yang berjudul Pendekatan Baru dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa (Kajian pedesaan selama 25 tahun) menjelaskan bahwa perubahan utama dalam pertanian Jawa berupa kekurangan buruh tani yang lebih besar, bahkan di daerah berpenduduk padat. Kekurangan ini terjadi karena tarikan pekerjaan yang lebih menarik di daerah urban dan perasaan orang-orang muda yang berpendidikan menengah yang tidak tertarik bekerja sebagai petani. Perubahan sosial sebagai fenomena sosial merupakan suatu gambaran dinamika masyarakat yang mengalami alih nilai-nilai tradisional (Soedjito, 1972). Aspek kehidupan masyarakat pedesaan yang dilandasi semangat, gotong royong, agamis, belum berorientasi kapital, menuju kehidupan yang bergerak ke arah nilai-nilai kapitalis dan individualis. Penyempitan lahan dan masuknya ekonomi uang ke pedesaan membawa pengaruh terhadap pergeseran struktur sosial yang dapat disejajarkan dengan proses individualisasi. Parson (1986) menyatakan dalam perspektif fungsionalisme struktural, fungsi itu dapat
dikategorikan sebagai sumber inspirasi dan kehidupan untuk mengembangkan nilai-nilai sehingga berubah fungsi lahan berarti mengubah sumber-sumber kehidupan dalam mengembangkan nilai-nilai Penelitian mengenai perubahan orientasi dan mobilitas tenaga kerja dari pertanian ke nonpertanian telah banyak dibahas dari berbagai macam perspektif. Melengkapi penelitian-penelitian mengenai perubahan dan mobilitas tenaga kerja maka penelitian ini akan membahas dari sudut pandang yang berbeda. Berbagai penelitian itu belum membahas secara mendalam apakah perubahan mobilitas tenaga kerja dari pertanian dan nonpertanian cukup bersahabat dengan kaum lapisan bawah. Berdasarkan celah tersebut, maka penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana perubahan Desa Pesantren yang awalnya adalah desa agraris tetapi saat ini menjadi desa dengan mayoritas masyarakatnya menekuni usaha dagang.
Penelitian ini
juga akan membahas tentang usaha brownies apakah berpihak kepada orang-orang yang hanya mempunyai modal marginal atau hanya dari kalangan tertentu saja yang dapat membuka usaha brownies ini. Selain itu, penelitian ini akan membahas manfaat brownies untuk penguatan ekonomi rumah tangga atau keluarga tenaga kerja dari usaha ini.
C. PERMASALAHAN Perubahan mobilitas tenaga kerja dari pertanian ke usaha dagang khususnya usaha brownies yang terjadi di Desa Pesantren merupakan reaksi terhadap semakin berkurangnya penguasaan terhadap tanah, produktivitas pertanian yang semakin menurun dan kecilnya peluang berusaha dan bekerja di pedesaan. Kondisi ini memaksa tenaga kerja dengan latar belakang yang tidak memiliki lahan harus mencari pekerjaan di luar
pertanian. Keluarga yang memiliki lahan kecil, orang tua akan menyarankan anaknya tidak bekerja pada sektor pertanian. Pekerjaan yang sedang banyak digeluti oleh tenaga kerja di Desa Pesantren adalah bekerja pada usaha brownies. Usaha brownies ini telah membawa dampak positif yang signifikan bagi peningkatan ekonomi masyarakatnya. Tenaga kerja dalam usaha ini mayoritas berasal dari keluarga petani berlahan sempit dan buruh tani. Pertanyaan dari studi ini adalah: 1. Bagaimana proses perubahan orientasi pekerjaan dan mobilitas tenaga kerja dari petani ke pedagang
dan sales brownies?
2. Apakah perubahan yang terjadi berpihak pada lapisan bawah? 3. Apakah manfaat brownies bagi penguatan ekonomi rumah tangga/ keluarga?
D. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Memahami dan mendesripksikan peluang kerja pertanian dan nonpertanian. 2. Memahami dan mendeskripsikan proses perubahan mobilitas tenaga kerja dari petani ke pedagang dan sales brownies. 3. Memahami dan mendeskripsikan usaha brownies maupun tenaga kerja yang bekerja pada usaha tersebut. 4. Memahami dan mendeskripsikan faktor penyebab perubahan orientasi pemilihan pekerjaan pada usaha brownies. 5. Memahami dan mendeskripsikan manfaat atau keluarga.
bagi penguatan ekonomi rumah tangga
E. KERANGKA PEMIKIRAN
Perubahan dalam suatu masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Perubahan yang terjadi bersifat adaptif berdasarkan kebudayaan masing-masing tempat. Menurut White (1969) bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Havilland (1993:251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial. Lebih lanjut, mahluk manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan dirinya dengan berbagai perubahan yang terjadi di sekitarnya sehingga melahirkan suatu pola-pola tingkah laku yang baru. Oleh karena lingkungan alam berbeda-beda, maka terdapat berbagai bentuk adaptasi di kalangan mahluk manusia (Poerwanto, 2000:87) Kingsley Davis (1960 dalam Poerwanto, 2000:142) berpendapat bahwa perubahan sosial (social change) merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Ini berarti ruang lingkup perubahan kebudayaan jauh lebih luas daripada perubahan sosial. Menurut Parson, sebagaimana dikutip Poerwanto (2000:153) setiap perubahan budaya akan menimbulkan ketidakseimbangan terhadap nilai-nilai budaya dan sistem sosial masyarakaat yang sudah lebih dulu ada. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada sistem ide, termasuk pula mencakup perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-aturan yang dijadikan pegangan oleh warga masyarakat. Sementara itu, yang dimaksudkan dengan
perubahan sosial lebih menunjuk pada perubahan terhadap struktur dan pola-pola hubungan sosial ; antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam keluarga, sistem politik, dan kekuasaan serta pesebaran penduduk (Poerwanto, 2000: 169). Salah satu upaya untuk mengkaji perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan bertitik tolak dari sumber terjadinya perubahan. Jika sumber perubahan itu berasal dari dalam disebut dengan perubahan immanen sedangan jika sumber perubahan berasal dari luar maka disebut perubahan kontak. Terdapat dua jenis perubahan karena kontak, yaitu yang selektif dan terarah. Perubahan kontak selektif terjadi apabila warga suatu sistem sosial terbuka terhadap pengaruh, yang datang dari luar, ini berarti, ide baru yang diterimanya didasarkan pada kebutuhan yang dirasakannya sendiri (ibid, 2000:170). Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Desa Pesantren terkait dengan perubahan orientasi pekerjaan dan mobilitas tenaga kerja dari petani ke pedagang (brownies). Menurut Poerwanto (2000:143) sebab umum terjadinya perubahan kebudayaan lebih banyak dari adanya ketidakpuasan masyarakat, sehingga masyarakat berusaha mengadakan penyesuaian. Perubahan orientasi pekerjaan dan adanya mobilitas tenaga kerja dari pertanian ke nonpertanian (pedagang) tidak serta merta terjadi. Banyak faktor yang melatarbelakagi perubahan tersebut. Faktor pertama yaitu pertambahan penduduk yang pesat, tetapi lahan pertanian tidak bertambah. Laju pertumbuhan penduduk Jawa yang pesat itu erat kaitannya dengan kemerosotan tingkat penghidupan para petani. Perkembangan penduduk
yang pesat itu telah menyebabkan intensifikasi atas lahan pertanian pada
puncak kejenuhan. Akibatnya hasil yang diperoleh tidak mampu memberikan kehidupan
yang layak. Sistem pertanian di Pulau Jawa telah mengalami proses involusi sehingga kemiskinan penduduk semakin parah, dan itu sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi (ibid, 2000; 180). Dengan adanya pertambahan penduduk yang pesat dan berkurangnya penguasaan atas tanah pertanian, maka petani dengan lahan sempit dan buruh tani beserta anak-anaknya harus mencari pekerjaan diluar pertanian. Saat ini pilihan paling rasional adalah menjadi pedagang. Telah terjadi pergeseran tenaga kerja dari pertanian ke nonpertanian.Menurut White (1978:15) berargumentasi bahwa perpindahan pola pekerjaan yang digambarkan hasil statistik makro bukanlah menunjukkan adanya perebutan tenaga kerja antara bidang produksi pertanian dengan nonpertanian., tetapi sebaliknya menunjukkan efek dari suatu proses dimana rumah tangga yang berpenghasilan kecil semakin terdorong keluar dari kegiatan produksi pertanian. Berdasarkan pembahasan diatas, kondisi di Desa Pesantren saat ini menunjukkan telah terjadi perubahan sosial terkait dengan orientasi pekerjaan dan terjadi mobilitas tenaga kerja dari pertanian ke nonpertanian. Masyarakat Desa Pesantren semakin banyak yang tidak mempunyai lahan, sehingga mereka harus mencari pekerjaan diluar pertanian untuk meningkatkan ekonomi rumah tangga atau keluarga. Inovasi yang sekarang sedang banyak dilakukan adalah menjadi pedagang atau sales brownies. Dengan kata lain, Desa Pesantren telah berubah dari desa agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani.
F. METODE PENELITIAN
1. Lokasi Penelitian Studi kasus penelitian ini adalah masyarakat Desa Pesantren, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, Propinsi Jawa Tengah. Desa ini berada delapan kilometer dari ibu kota Kecamatan Ulujami dan jalan raya yang menghubungkan Semarang-Jakarta. Desa Pesantren merupakan desa pesisir dan desa agraris. Desa pesisir karena terletak di pantai utara Jawa dan desa agraris karena luasnya lahan sawah, ladang, perkebunan dan tambak. Desa Pesantren memiliki tujuh dusun; Copol, Pesagaran, Kauman, Blandong, Pesantren Timur, Pesadean dan Sidomulyo. 2. Informan Penelitian Informan adalah masyarakat Desa Pesantren, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang yang bekerja pada usaha brownies, baik pemilik, sales dan pekerja. Selain itu, informan penelitian juga melibatkan orang tua, anggota keluarga dari tenaga kerja dalam usaha brownies (istri, anak dan kerabat tenaga kerja usaha brownies), tokoh desa/ sesepuh desa untuk mengetahui sejarah tenaga kerja yang bekerja dalam usaha brownies ini dan aparat desa. Pekerja atau sales yang belum berkeluarga dipilih untuk mengetahui uang yang diberikan untuk orang tua dan digunakan untuk konsumsi. 3. Teknik Pengumpulan Data. Pada awalnya penelitian ini menggunakan metode survei mengenai kehidupan ekonomi rumah tangga masyarakat Desa Pesantren. Seperti penelitian Antropologi pada umumnya, penelitian ini juga dilakukan observasi partisipasi dengan ikut melihat secara langsung dan ikut bekerja dalam usaha brownies. Saya juga ikut berkeliling ke pasar dan toko untuk mengantar brownies. Data penelitian ini diperoleh melalui data primer dan sekunder. Data primer
didapatkan dari observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan survei. Data sekunder dibutuhkan untuk mendukung data primer. Data sekunder diperoleh melalui data potensi desa, kepemilikan tanah, kepemilikan barang-barang sekunder (TV, sepeda motor dan telepon genggam). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk mengetahui secara detail usaha brownies. Sementara, metode kuantitatif untuk melengkapi data kualitatif dengan tabel maupun data angka agar diperoleh hasil penelitian yang sempurna.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Hasil penelitian ini kemudian akan dibagi dalam lima bab yang tiap babnya berkaitan dengan bab berikutnya. Bab I, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tinjauan pustaka, permasalahan, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II ini akan membahas mengenai kondisi lokasi penelitian. Bab ini terbagi dalam beberapa subbab. Subbab yang pertama yaitu gambaran umum Desa Pesantren. Subbab kedua membahas mengenai perubahan mobilitas tenaga kerja dari pertanian ke nonpertanian dan subbab
ketiga membahas faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi perubahan tersebut. Bab III ini akan membahas secara mendetail usaha brownies dan sumber daya manusianya serta sistem pemasarannya. Subbab pertama yaitu membahas mengenai usaha brownies bagi penduduk Desa Pesantren, subbab kedua mengenai proses kerja pada usaha brownies dan strategi pemasaran dan subbab ketiga mengenai usaha brownies bagi
lapisan bawah atau wong cilik. Bab IV ini akan membahas mengenai manfaat brownies bagi penguatan ekonomi rumah tangga atau keluarga. Dalam bab ini akan terbagi menjadi tiga subbab, yaitu pemilik usaha, sales brownies dan pekerja pembuat . Bab V adalah kesimpulan.
bagi