BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengeketa di Luar Pengadilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok dapat dilaksanakannya arbitrase sebelum berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941;44) atau Pasal 705 Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechsleglement Buitengewesten, Staatsblad 1927; 227).1
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase antara pihak yang bersengketa. Dalam arbitrase, para pihak memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memberikan keputusan atas sengketa pada tingkat pertama dan terakhir. 2 Menurut Undang-Undang Arbitrase No.30 tahun 1999, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa ( vide Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase No.30 Tahun 1999 ).
Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah melalui arbitrase dilakukan apabila usaha perdamaian tidak dapat dicapai,maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis
1
Widjaja, Gunawan, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm
2
Menulis referensi di internet, 16 Oktober 2014 http://www.bakti-arb.0org/arbitrase.html (02.08)
97.
dapat mengajukan penyelesaian melalui lembaga arbitrase. 3 Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Namun tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut, mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut, kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak yang bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian. 4
Meskipun demikian, dalam perkembangannya sekarang ini banyak orang yang bersengketa melalui lembaga arbitrase. Dengan alasan menyelesaikan sengeketa melalui arbitrase memiliki kecepatan dan ketepatan dalam proses pemeriksaan sengketa, menghasilkan putusan yang bersifat final dan banding, para pihak juga memiliki kebebasan dalam memilih arbiter, proses yang formal dan fleksibel serta dikenal prinsip nonpublikasi serta confidentiality. 5
Dalam perjalanan perbankan syariah di Indonesia, penyelesaian sengketa ekonomi syariah setidaknya dapat dilakukan oleh tiga lembaga yang telah memiliki kompetensi untuk menanganinya yaitu, Basyarnas, Pengadilan Umum dan yang sekarang adalah Pengadilan Agama. Dua lembaga yang terakhir disebutkan itu yang sering disebut Penyelesaian Sengketa Jalur Litigasi. Sedangkan satu lembaga lainnya adalah 3
Dewi Nurul Mustjari, Fadia Fitriayanti, 2008, Hukum Perbankan Syariah dan Takaful, Lab Hukum Fakultas Hukum UMY, hlm 145. 4 Hutagalung, Sophar, 2012, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, hlm 318. 5 Hutagalung, Sophar, 2012, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, hlm 316
penyelesaian sengketa yang dilakukan diluar Pengadilan yang biasa disebut Jalur Non Litigasi. Keberadaan lembaga arbitrase diakui secara yuridis oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, demikian juga kewenangan Arbitrase menangani sengketa Perbankan Syariah juga didasarkan atas kesepakatan ketika berakad atau membuat perjanjian Pactum de Compromittendo (sejak awal sebelum terjadi sengketa) atau Akta Kompromis (setelah terjadi sengketa). 6 Selain Arbitrase, Peradilan Umum juga memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Perbankan Syariah dengan merujuk Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang menyebutkan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata ditingkat pertama. Sejak lahirnya perbankan syariah (Kelahiran Bank Muamalat Indonesia Tahun 1991), Peradilan Umum mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan perkara Perbankan Syariah. 7 Sedangkan Peradilan Agama baru pada awal tahun 2006. Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Kewenangan ini mulai beralih dari Peradilan Umum ke Peradilan Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undnag-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan Pasal 49 dijelaskan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang: a) bank syariah, b) lembaga keuangan mikro syariah, c) asuransi syariah, d) reasuransi syariah, e) reksadana 6
Widjaya, Gunawan dan Yani , Ahmad, Hukum Arbitrase, Lampiran UU Nomor 30 Tahun 1999, hlm
50-51 7
Hal ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Peradilan yang kemudian di Amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004.
syariah, f) obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, g) sekuritas syariah, h) pembiayaan syariah, i) pegadaian syariah, j) dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan k) bisnis syariah. 8 Dengan demikian sudah jelas bahwa kewenangan Peradilan Agama sudah sampai pada kasus Ekonomi Syariah. Walaupun demikian, sampai saat ini ada beberapa hambatan untuk menyelesaikan sengketa perbankan ke arbitrase Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUUX/2012. Karena putusan tersebut telah menghapuskan Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Yang dihapuskan adalah Kewenangan mengadili dari Pengadilan Umum. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang menghapuskan Penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 55 ayat (1) yang berbunyi “Penyelesaian sengketa Perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama”. Pasal 55 ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengeketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad”. 9 Bahwa dalam penjelasan Pasal 55 sebagai berikut, ayat (1) cukup jelas dan ayat (2) yang dimaksud dengan penyelesaian sengekta dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut : a. Musyawarah, b. Mediasi perbankan, c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), d. Atau lembaga arbitrase lain dan/atau melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Sedangkan ayat (3) berbunyi “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah”. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 dimana Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3) telah menimbulkan tidak adanya ketidakpastian hukum seperti yang diamanatkan oleh UUD 8
Lubis, Sulaikin, dkk. 2006, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group, hlm. 106. 9 Hal ini berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
1945 Pasal 28D ayat (1) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. 10 Berikut adalah Amar Putusan dari Putusan Mahkamah Konstitusi : 11 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; 1) Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) bertentangan dengan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945; 2) Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; 3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Alasan Hakim Konstitusi memutuskan Amar Putusan seperti itu karena dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar 1945. Sehingga penjelasan Pasal 55 ayat (2) tersebut menjadi tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Permasalahan inilah yang mejadi daya tarik peneliti untuk melakukan penelitian Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUUX/2012.
10 11
Hal ini berdasarkan pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Hal ini berdasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses penyelesaian sengketa Perbankan Syariah melalui Arbitrase Syariah setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012? 2. Bagaimana kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) untuk menyelesaikan sengekta Perbankan Syariah Pasca Ptusuan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui bagaimana proses penyelesaian sengketa Perbankan Syariah melalui Arbitrase setelah Penghapusan penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dalam menyelesaikan sengeketa perbankan Syariah pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012. 2. Tujuan Subyektif Penelitian hukum ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis Untuk Perkembangan Ilmu Hukum Khususnya mengenai Perbankan Syariah dan Memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai bagaimana proses penyelesaian sengketa Perbankan Syariah melalui Arbitrase setelah Penghapusan Penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.93/PUU-X/2012. 2. Manfaat Praktis Memberikan suatu informasi kepada masyarakat tentang penghapusan Penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No 93/PUU-X/2012. Dan memberikan informasi bahwa sengketa Perbankan Syariah diajukannya ke Pengadilan Agama bukan ke Pengadilan Negeri lagi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Serta memberitahukan keberadaan dan kedudukan Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa perbankan syariah.