1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Program pemberantasan buta aksara di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sebelum
Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang
dengan berbagai
macam program yang pelaksanaannya didukung oleh badan internasioanal seperti UNESCO dan World Bank. Namun, penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas pada tahun 2008 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih ada sejumlah 9.763.256 orang, sekitar 64% diantaranya adalah perempuan. Dari jumlah tersebut, sebagian besar tinggal di daerah pedesaan seperti: petani kecil, buruh, nelayan, dan kelompok masyarakat miskin perkotaan yaitu buruh berpenghasilan rendah atau penganggur. Mereka juga tertinggal dalam hal pengetahuan, keterampilan, sikap mental pembaharuan
pembangunan. Akibatnya, akses
terhadap informasi dan komunikasi yang penting untuk membuka cakrawala kehidupan dunia juga terbatas karena mereka tidak memiliki kemampuan keaksaraan yang memadai. Selanjutnya menurut data terakhir dari Kementrian Pendidikan Nasional melalui Survei Pusat Statistik Pendidikan Tahun 2010 (Achmad Fauzi, 2011), menunjukan jumlah penduduk buta aksara di Indonesia tercatat mencapai 8,7 juta orang atau 5,10 % dari jumlah penduduk. Kemudian fenomena munculnya buta aksara kembali dari sebagian warga belajar yang sudah dibelajarkan melalui ragam program pendidikan
keaksaraan dasar
seperti
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan 1 Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
2
mengutip tulisan Ace Suryadi (2009: 102) yang menyebutkan bahwa :”…buta aksara kembali setelah mengikuti program pendidikan keaksaraan
diperkirakan
mencapai 30 %” Buta aksara dan fenomena munculnya buta aksara kembali dari sebagian warga belajar yang sudah dibelajarkan melalui ragam program pendidikan keaksaraan dasar tersebut di atas merupakan bola salju yang apabila tidak ditangani secara sistematik dapat berdampak buruk. Masyarakat yang buta aksara jarang sekali mengakui secara terbuka bahwa dirinya buta aksara dan berkeinginan kuat untuk belajar baca, tulis, dan berhitung. Untuk memotivasi pembelajaran mereka, maka diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dengan karakter dan budaya yang ada dalam masyarakat agar tingkat buta aksara dapat diatasi atau paling tidak diperkecil. Secara empirik, diperoleh gambaran bahwa lingkungan telah mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan wirausaha dengan memanfaatkan potensi lokal sebagai mata pencaharian pokok yang bersifat turun temurun dari keluarga pendahulunya. Dalam kegiatan wirausaha, terdapat proses belajar yang tumbuh dan terpelihara oleh lingkungan dengan karakteristik masing-masing yang selanjutnya menurut pakar pendidikan sebagaimana tulisan
disebut model indigenous learning
Hickey (Hufad, 2011) yang menyebutkan, bahwa:
„Indigenous learning adalah suatu proses pembelajaran asli yang tumbuh dan berkembang di masyarakat walaupun bersifat lokal dan sederhana‟.
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
3
Hal di atas nampaknya selaras dengan
ide awal mengenai keaksaraan
fungsional yang bertujuan membuat peserta didik buta aksara mampu berfungsi sesuai dengan budayanya sendiri, tetapi sejak konferensi UNESCO di TeheranIran tahun 1965, menurut H.S.Bhola (A. Kusmiadi, 2009: 11), menyatakan :‟…telah terjadi peralihan pemikiran dan keaksaraan fungsional jadi lebih terkait dengan ekonomi yang berarti bahwa tujuan akhir dari keaksaraan adalah untuk membantu pihak penerima (sasaran didik) mampu berfungsi dalam kehidupan ekonomi‟. Melalui pendekatan ekonomi diharapkan dapat lebih memotivasi warga belajar dalam memelihara keaksaraan dkk (2005: 10) yang
selaras
dengan pendapat
Kusnadi,
menyebutkan : “…beralasan bahwa motivasi ekonomi
memainkan peranan utama dalam
kaitannya dengan keaksaraan fungsional”.
Selanjutnya Kusnadi,dkk menulis (2005: 193) bahwa :” Di masyarakat pedesaan yang masih tradisional, kegiatan program keaksaraan fungsional diawali dengan upaya membelajarkan masyarakat dalam aspek ekonomi, sehingga mereka mampu melakukan fungsi penyediaan sarana produksi, produksi barang, dan pemasaran hasilnya”. Kegiatan wirausaha yang secara turun temurun dibangun oleh lingkungannya, secara fungsional terpakai dalam keseharian hidup dan kehidupannya, maka telah mendorong terjadinya proses pembelajaran khususnya pembelajaran keaksaraan, hal ini sejalan dengan tulisan H.S Bhola seperti dikutip oleh Kusnadi, dkk (2005: 9) yang
menyebutkan bahwa : „Untuk memelihara keaksaraan masyarakat
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
4
diperlukan pendekatan ekonomi‟. Penulis lain seperti Yuni Sugiarti (2006) dalam jurnal pendidikan keaksaraan dalam perspektif psikologi sosial menyebutkan bahwa : Psikologi sosial dapat menjelaskan perilaku individu dan konteks sosial sangat diperlukan dalam proses pendidikan keaksaraan. Karakter utama kelompok buta aksara adalah orang dewasa dan miskin. Langkah awal pendidikan keaksaraan adalah membangkitkan motivasi mereka melalui materi yang bisa meningkatkan pendapatan dan kecakapan real hidup mereka.
Nampaknya cukup beralasan bahwa pendekatan ekonomi dapat memainkan peranan dalam upaya memelihara keaksaraan masyarakat melalui model indigenous learning, mengingat buta aksara dan kemiskinan merupakan dua dimensi yang tidak dapat dipisahkan, sesuai dengan tulisan Ace Suryadi (2009:101) yang menyebutkan : Buta aksara dan kemiskinan merupakan dua dimensi yang tidak terpisahkan. Permasalahan mendasar dalam pembangunan masyarakat miskin yang terjadi selama ini adalah tidak dimilikinya kemampuan keaksaraan dari sebagian besar penduduk miskin, yang mengakibatkan mereka tidak mampu mengakses informasi untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk itu sangatlah perlu dilakukan program dan strategi yang inovatif, efisien dan efektif untuk memberantas buta aksara dan kemiskinan secara bersamaan.
Berdasarkan pendapat pakar di atas, menunjukan bahwa upaya memelihara keaksaraan masyarakat perlu dicarikan model yang lebih efektif dari model yang sudah ada, sebagaimana pendapat Umberto Sihombing (1999: 52) bahwa: “…pendidikan masyarakat itu tidak perlu harus ada program yang standar, berbagai model harus dikembangkan”.
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
5
Berdasartkan latar belakang masalah di atas, salah satu model yang akan dikonstruk oleh peneliti adalah : “Model Indigenous Leaning dalam Memelihara Keaksaraan
dengan Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele
Pisang dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat“. Harapan peneliti melalui model yang dikonstruk di atas dapat menjawab permasalahan dan atau tujuan penelitian. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Sebagaimana diuraikan pada latar belakang masalah penelitian, menunjukkan bahwa jumlah penyandang buta aksara masih tinggi terutama pada penduduk usia 15 tahun ke atas disamping adanya fenomena munculnya buta aksara kembali dengan berbagai penyebab. Peneliti tertarik untuk meneliti sebuah model pembelajaran yang tumbuh, terpelihara, dan dikembangkan oleh masyarakat yang dipadukan dengan kegiatan wirausaha berbasis potensi lokal, sehingga dapat memelihara keaksaraannya. Atas dasar latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian yang penulis ajukan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana deskripsi kondisi empirik kegiatan wirausaha berbasis potensi lokal yang dilakukan oleh subjek penelitian ? 2. Bagaimana deskripsi kondisi empirik model indigenous learning yang dilakukan oleh
subjek penelitian
melalui kegiatan wirausaha
berbasis potensi lokal ?
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
6
3. Apakah model indigenous learning yang dilakukan subjek penelitian ada kaitannya dengan
upaya memelihara keaksaraan
subjek
penelitian ?
C. Tujuan Penelitian Sebagaimana disebutkan pada identifikasi dan perumusan masalah,
maka
tujuan penelitian ini adalah untuk : 1.
Mendeskripsikan kondisi empirik kegiatan wirausaha berbasis potensi lokal yang dilakukan oleh subjek penelitian.
2.
Mendeskripsikan kondisi empirik model indigenous learning yang dilakukan oleh
subjek penelitian melalui kegiatan wirausaha
berbasis potensi lokal. 3.
Menganalisis model indigenous learning yang dilakukan oleh subjek penelitian dalam kaitannya dengan memelihara keaksaraannya.
D. Definisi Operasional Sebagai acuan, peneliti menggunakan beberapa konsep/teori utama yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk definisi operasional, yaitu sebagai berikut : a. Indigenous Learning Pengertian
model indigenous learning adalah model pembelajaran yang
dipelajari secara turun temurun melalui proses belajar yang bersifat lokal Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
7
sebagaimana tulisan Roy Ellen, Peter Parkes dan Alan Bicker ( 2000: 4-5) yang menulis bahwa indigenous learning adalah sebagai salah satu model atau metode pembelajaran yang tumbuh dan terpelihara dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat walaupun bersifat lokal atau dalam tulisan lengkapnya : Indigenous is local, indigenous is orraly-transmitted, or transmitted through imitation and demonstration, indigenous is the consequence of practical engagement in everyday life and is constantly reinforced by experience, trial and error, and deliberate experiment; repetation is a defining characteristic of tradition, tradition is a fluid and transforming agent with no real end when applied to knowledge; characteristically shared to a much greater degree then other forms of knowledge. Artinya, indigenous learning adalah model pembelajaran yang bersifat lokal, penyampaian pengetahuan melalui contoh dan peragaan yang bersifat praktis dan terpakai dalam kehidupan sehari-hari dan terus diperkuat oleh pengalaman, menggunakan metode trial and error pengamatan, lebih mengedepankan pendekatan
serta uji coba.
juga
empiris dari pada teoritis,
menggunakan cara belajar pengulangan, memiliki kekhasan yang lebih kuat, memfokuskan
pada individual tertentu untuk
tertentu, bersifat terpadu serta mempertahankan
mencapai tingkat kemampuan tradisi-tradisi atau budaya,
pembelajarannya ada yang bersifat teknik dan non teknis namun tetap rasional dan berorientasi pada masalah. Model indigenous learning, tidak semata-mata diturunkan secara genetik, melainkan melalui proses belajar karena budaya belajar dibentuk oleh lingkungan Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
8
budaya. Model indigenous learning, disamping merupakan model yang bersifat turun temurun dan dipelihara oleh lingkungan, tetapi
memiliki proses belajar
tersendiri, maksudnya bahwa indigenous learning dihasilkan melalui proses belajar tidak semata-mata turunan lingkungan sebagaimana tulisan Jajat S. Ardiwinata, dkk (2011: 4) yang menyatakan, bahwa : “ Budaya belajar bukanlah sesuatu yang diturunkan secara genetik atau herediter, melainkan dihasilkan melalui proses belajar oleh individu atau kelompok sosial di lingkungannya. Budaya belajar adalah produk ciptaan manusia yang bersifat khas dibentuk melalui lingkungan budaya” Dalam penelitian ini, peneliti tetap menggunakan istilah indigenous learning dengan definisi operasional yaitu sebagai sebuah model pembelajaran atau proses belajar asli atau lokal yang tumbuh dan terpelihara dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu. b. Memelihara Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2008), kata “memelihara” diartikan : (1) menjaga dan merawat baik-baik, (2) mengusahakan dan menjaga (supaya tertib, aman, dan sebagainya), (3) mengusahakan (mengolah), (4) menjaga dan mendidik baik-baik, (5) memelihara atau beternak (binatang), dan (6) mempunyai. Dalam penelitian ini, pengertian kata “memelihara” mengunakan pendekatan pragmatis sesuai kebutuhan penelitian dikaitkan dengan keaksaraan, sehingga Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
9
kata memelihara diartikan sebagai kegiatan menjaga dan merawat baik-baik serta membiasakan diri untuk menggunakan bahasa tulisan dari pada bahasa lisan. c. Keaksaraan Abdulhak (1990: 22 ) memberi definisi keaksaraan ke dalam beberapa makna, yaitu : Pertama, literasi adalah kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang dituntut bagi seseorang dalam kehidupan bermasyarakat; Kedua, literasi adalah kemampuan membaca, menulis dan berhitung yang digunakan sabagai alat belajar, atau alat khusus untuk memahami dan merubah kehidupan diri beserta lingkungannya. Untuk mengukur kemampuan keaksaraan, lebih lanjut dijelaskan oleh Ace Suryadi (2009: 116) bahwa kompetensi standar yang harus dikuasai warga belajar setelah menyelesaikan program pembelajaran pada tingkat dasar adalah :
(1)
mampu membaca dan menulis kalimat sederhana (terdiri atas subyek, predikat, dan obyek) sekurang-kurangnya 7 kata dengan menggunakan bahasa Indonesia; (2) mampu melakukan perhitungan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian angka 1 – 100; dan (3) mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara lisan. Dalam penelitian ini, definsi keaksaraan adalah kemampuan membaca, menulis, berhitung, berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memiliki kemampuan fungsional yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tolak ukur kemampuan keaksaraan yang dipakai dalam penelitian ini adalah : (1) mampu membaca dan menulis kalimat sederhana (terdiri atas subyek, Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
10
predikat, dan obyek) sekurang-kurangnya tujuh
kata dengan menggunakan
bahasa Indonesia; (2) mampu melakukan perhitungan penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian angka 1 – 100; dan (3) mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara lisan. d. Wirausaha Menurut Dan Steinhoff dan John F. Burgess (Suryana, 2003: 11) bahwa wirausaha : „Adalah orang yang mengorganisir, mengelola, dan berani menanggung risiko untuk menciptakan usaha baru dan peluang berusaha‟. Beberapa konsep entrepreneur diatas lebih menekankan pada kemampuan dan perilaku seseorang sebagai pengusaha. Bahkan Dun Steinhoff dan John F. Burgess (Soesarsono Wijandi, 1988: 23), memandang kewirausahaan sebagai pengelola perusahaan kecil atau pelaksana perusahaan kecil. Menurutnya, ‘Entrepreneur is considered to have the same meaning as small business owner-manager" or "small busines operator’. Dalam konteks manajemen, Marzuki Usman ( Suryana, 2003: 10) memberi pengertian entrepreneur : adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan sumber daya seperti financial (money), bahan mentah (materials), dan tenaga kerja (labor), untuk menghasilkan suatu produk baru, bisnis baru, proses produksi, atau pengembangan organisasi usaha.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud kegiatan wirausaha adalah kegiatan ekonomi keseharian subjek penelitian mulai dari kegiatan pengadaan bahan baku,
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
11
proses produksi, pemasaran atau penjualan serta keuangan berupa perhitungan laba/rugi wirausaha secara sederhana. e. Potensi Lokal Mengacu kepada pendapat Geertz Clifford (1983: 31), menyebutkan bahwa:”…the core of local potency is the resource in a certain region," artinya bahwa potensi lokal pada intinya merupakan sumber daya yang ada dalam suatu wilayah tertentu. Adapun yang dimaksud potensi lokal dalam penelitian ini tediri dari : (1) jenis potensi lokal yang tersedia ( sumber daya manusia, alam, budaya, teknologi, pasar, kelembagaan keuangan, dan kemitraan) serta (2) pemanfaatan potensi lokal yang meliputi : potensi lokal yang diugunakan dalam pembelajaran dan cara menghimpun potensi lokal. Dalam penelitian ini, pemanfaatan potensi lokal sebagai
masukan
lingkungan
mendapat
perhatian
peneliti
dalam
penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah khususnya program pendidikan keaksaraan.
E. Kegunaan Penelitian a. Manfaat Teoritis Manfaat secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menemukan dan/atau menghasilkan model
program pendidikan keaksaraan yang secara fungsional
terpakai dalam kehidupan dan penghidupan keseharian masyarakat, sehingga dipandang lebih efektif dalam memelihara keaksaraan masyarakat dengan Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
12
memperhatikan model indigenous learning yang tumbuh, berkembang, dan dipelihara oleh lingkungannya melalui kegiatan wirausaha yang berbasis potensi lokal. b. Manfaat Praktis Sementara manfaat praktis, diharapkan dapat : (1) memberikan masukan pada penyelenggara program
pendidikan keaksaraan
sebagai salah satu upaya
memelihara keaksaraan yang telah diperoleh warga belajar, sehingga masyarakat tidak buta aksara dan/atau tidak buta aksara kembali, (2) memberikan masukan pada masyarakat untuk pengembangan model indigenous learning melalui kegiatan wirausaha berbasis potensi lokal, (3) memberikan arah dan pedoman bagi penelitian untuk melakukan penelitian lanjutan.
F. Kerangka Pikir Penelitian Keaksaraan merupakan hal atau keadaan mengenai aksara yang meliputi membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi secara fungsional yang memungkinkan
seseorang
untuk
secara
terus-menerus
mengembangkan
kompetensinya sehingga dapat meningkatkan mutu dan taraf kehidupannya, namun kenyataannya masih ditemukan data yang menunjukan masih tinggginya penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas disamping munculnya fenomena buta aksara kembali padahal program pemberantasan buta aksara di Indonesia telah dimulai sebelum
Indonesia merdeka tahun 1945 sampai sekarang
dengan
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
13
berbagai macam
program yang pelaksanaannya didukung oleh badan
internasional terkait. Menurut Ihat Hatimah, dkk (2007: 5.3) sesungguhnya bahwa pendidikan keaksaraan adalah usaha untuk membimbing dan membelajarkan pengetahuan mengenai keaksaraan agar bermanfaat bagi dirinya. Permasalahan yang saat ini terjadi di Indonesia adalah tingginya warga buta aksara yang disebabkan oleh kurangnya kesempatan belajar yang dapat diperoleh karena kemiskinan yang cukup tinggi sehingga warga tidak mampu memfasilitasi dirinya untuk belajar. Masyarakat yang buta aksara jarang sekali mengakui secara terbuka bahwa dirinya buta aksara dan berkeinginan kuat untuk belajar calistung (baca, tulis, dan berhitung). Untuk memotivasi pembelajaran mereka, maka diperlukan suatu pendekatan yang sesuai dengan karakter dan kultur yang ada dalam masyarakat agar tingkat buta aksara dapat diatasi atau paling tidak diperkecil. Sementara secara empirik, diperoleh gambaran bahwa sesungguhnya di masyarakat telah terjadi model pembelajaran secara turun temurun dan dikembangkan terus oleh lingkungannya melalui pendekatan indigenous learning yaitu model pembelajaran asli yang merupakan warisan turun temurun dan dikembangkan oleh lingkungan dan/atau keluarga dengan memanfaatkan kegiatan wirausaha dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitar dimana masyarakat tinggal. Kegiatan wirausaha masyarakat dengan memanfaatkan potensi lokal secara turun temurun merupakan warisan nilai budaya dan pengembangannnya bagi generasi selanjutnya untuk mencapai kemakmuran Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
14
melalui peningkatan daya beli masyarakat, menurut Hickey (Hufad, 2011): „…dapat dilakukan melalui proses pembelajaran asli atau indigenous learning yaitu suatu proses pembelajaran asli yang tumbuh dan berkembang di masyarakat walaupun bersifat lokal dan sederhana‟ Model indigenous learning dimaksud nampak sekali bertahap mulai dari tahap pengamata sewaktu pertama menerima pembelajaran
pengetahuan dan
keterampilan berwirausaha dari keluarga, tahap pengalaman dan pemahaman setelah beberapa lama menerima pembelajaran pengetahuan dan keterampilan berwirausaha, tahap pengembangan, serta terakhir tahap emelakukan uji coba produk yang berbeda dengan yang lain dan lain sebagainya sebagai buah hasil dari gagasan atau ide baru dalam berwirausaha. Hal di atas nampaknya selaras dengan
ide awal mengenai keaksaraan
fungsional yang bertujuan membuat peserta didik buta aksara mampu berfungsi sesuai dengan budayanya sendiri, tetapi sejak konferensi UNESCO di TeheranIran tahun 1965, menurut H.S.Bhola (A. Kusmiadi, 2009: 11), menyatakan :‟…telah terjadi peralihan pemikiran dan keaksaraan fungsional jadi lebih terkait dengan ekonomi yang berarti bahwa tujuan akhir dari keaksaraan adalah untuk membantu pihak penerima (sasaran didik) mampu berfungsi dalam kehidupan ekonomi‟. Melalui pendekatan ekonomi diharapkan dapat lebih memotivasi warga belajar dalam memelihara keaksaraan dkk (2005: 10) yang
selaras
dengan pendapat
Kusnadi,
menyebutkan : “…beralasan bahwa motivasi ekonomi
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
15
memainkan peranan utama dalam
kaitannya dengan keaksaraan fungsional”.
Selanjutnya Kusnadi,dkk menulis (2005: 193) bahwa :” Di masyarakat pedesaan yang masih tradisional, kegiatan program keaksaraan fungsional diawali dengan upaya membelajarkan masyarakat dalam aspek ekonomi, sehingga mereka mampu melakukan fungsi penyediaan sarana produksi, produksi barang, dan pemasaran hasilnya”. Demikian juga beberapa studi tentang prinsip dan strategi pembelajaran keaksaraan (Kusnadi, dkk, 2005; Ihat Hatimah, dkk 2007) menulis bahwa: “ Pendekatan yang digunakan dalam keaksaraan fungsional mempunyai prinsip dan strategi utama yaitu : konteks lokal, desain lokal, proses partisipatif, dan fungsionalisasi hasil belajar”. Secara lebih terperinci kerangka pikir penelitian dapat dilihat pada gambar 1.1. dibawah ini :
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
16
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
MASALAH PENELITIAN : 1. Masih tingginya angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas; 2. Fenomena munculnya buta aksara kembali.
KONDISI EMPIRIK : 1. Lingkungan mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan wirausaha dengan memanfaatkan potensi lokal sebagai mata pencaharian; 2. Dalam kegiatan wirausaha terdapat proses belajar yang tumbuh dan terpelihara oleh lingkungan yang selanjutnya disebut model indigenous learning; 3. Melalui model indigenous lerning dengan media wirausaha, maka masyarakat terbiasa menggunakan kemampuan keaksaraan sehingga keaksaraannya terpelihara.
ASUMSI : 1. Indigenous learning sebagai salah satu model atau metode pembalajaran yang tumbuh dan terpelihara dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat walaupun bersifat lokal dipandang dapat membelajarkan masyarakat; 2. Untuk memelihara keaksaraan masyarakat diperlukan pendekatan ekonomi‟. 3. Sumber daya lokal sebagai masukan lingkungan merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan program PLS apabila ditinjau dari pendekatan sistem.
Model indigenous learning dalam memelihara keaksaraan
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan Gambar 1.1. Kerangka Pikir Penelitian : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu
Keaksaraan subjek penelitian terpelihara dan tidak buta aksara.
17
Asep Supriyatna, 2012 Model Indigenous Learning Dalam Memelihara Keaksaraan : Studi Kasus pada Pelaku Kegiatan Wirausaha Opak, Sele Pisang, dan Wajit di Kecamatan Bungbulang Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu