BAB I – PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu penetapan strategi bisnis yang tepat bagi sebuah perusahaan akan bergantung kepada posisi dimana sebuah produk berada didalam Industry Life Cycle-nya (ILC). Setiap fase pada ILC menuntut perusahaan untuk membuat bisnis strategi yang baru dan inovatif (Sabol et al., 2013). Selanjutnya¸ tantangan bisnis bagi perusahaan yang memiliki banyak unit bisnis (korporasi) adalah kemampuan untuk mengelola unit-unit bisnis tersebut yang memiliki kompetensi inti serta bisnis yang berbeda. Sebuah korporasi harus mampu untuk tetap melakukan pengendalian dan supervisi terhadap bisnis-bisnisnya yang berbeda, kemudian harus juga mampu untuk tetap menjaga hubungan dari setiap bisnis tersebut sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Untuk itu, diperlukan manajemen dan strategi korporasi yang baik agar tujuan perusahaan secara korporasi dapat tercapai. Salah satu fungsi dari manajemen korporasi adalah untuk mengelola portofolio bisnis dari perusahaan dengan tetap memperhatikan perkembangan dunia industri dimana perusahaan tersebut mengembangkan bisnisnya (Hedley, 1977). Disinilah perusahaan harus mampu merencanakan dan membuat keputusan strategi yang akan diambil. Dengan adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan, maka perusahaan harus mampu mengalokasikan secara tepat sumber daya tersebut ke setiap bisnis yang dimiliki. Untuk itu, keputusan
1
dan kebijakan yang diambil oleh manajemen dapat berupa diversifikasi terhadap produk, merger dan akuisisi, bahkan keputusan untuk melakukan divestasi terhadap asset atau unit bisnisnya. Terdapat dua bagian penting dari perusahaan yang memiliki multibisnis. Pertama adalah unit bisnis, yang mana secara teori bisa saja merupakan anak usaha yang dikelola secara terpisah, dan yang kedua adalah satu layer diatas unit bisnis atau yang berada diluar dari anak usahanya yang lebih dikenal sebagai perusahaan induk (parent) (Goold, 1998). Unit bisnis berperan langsung dalam pembentukan nilai dari perusahaan, karena mereka melakukan fungsi produksi baik barang maupun jasa. Selain itu, unit bisnis juga melakukan fungsi untuk menjual produk yang dihasilkan. Sedangkan perusahaan induk tidaklah bersentuhan secara langsung terhadap bisnis perusahaan, akan tetapi mereka memiliki kemampuan untuk menciptakan nilai perusahaan menjadi lebih besar. Hal ini dapat dilakukan oleh perusahaan induk melalui pengaruhnya kepada bisnis itu sendiri serta bagaimana dukungan yang diberikannya terhadap pengembangan dari bisnis. Terdapat beberapa faktor yang menjadi tantangan utama sebuah organisasi dalam pengembangan bisnisnya di masa yang akan datang. Sehingga, tantangan tersebut akan menyebabkan perusahaan memutuskan kebijakan strategis terhadap bisnisnya, baik dengan melakukan divestasi, sinergi, merger dan akuisisi seperti dijelaskan Ansoff (1999) yang dikutip oleh Johan (2011) didalam artikelnya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
2
a. Adanya perubahan teknologi b. Adanya perubahan struktur organisasi c. Perubahan kondisi keuangan dan ekonomi d. Adanya pertumbuhan trend negatif dalam perekonomian dan industri e. Adanya perkembangan industri yang baru f. Tantangan dari economies of scale dan economies of scope g. Globalisasi dunia h. Timbulnya regulasi dan deregulasi i. Terciptanya sinergi j. Semakin lebarnya pendapatan dan kekayaan perusahaan Di Indonesia, ada beberapa perusahaan yang mengambil keputusan untuk melakukan penjualan unit bisnisnya atau anak usahanya. Salah satunya adalah PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) yang melakukan penjualan salah satu anak usahanya yang bergerak di bisnis TV berbayar yaitu PT. Indonusa Telemedia (TelkomVision). Dalam perkembangannya, TelkomVision yang mulai didirikan pada tanggal 7 Mei 1997, mengalami beberapa kali perubahan struktur kepemilikan saham dimana Telkom sebagai pemegang saham mayoritas TelkomVision dengan kepemilikan saham sebesar 99,54 %. Sementara sisanya sebesar 0,46% saham TelkomVision dimiliki oleh PT Multimedia Nusantara (METRA) dengan total modal ditempatkan dan disetor sebesar Rp. 647,5 Milyar
3
posisi 31 Desember 2012. Pada tahun 2013, CT Corp. resmi membeli 80% saham Telkomvision dari PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk., adapun nilai akuisisi itu mencapai sekitar US$ 100 juta. Merupakan hal yang menarik untuk dilakukan penelitian lebih jauh mengenai keputusan divestasi terhadap TelkomVision ini. Karena jika melihat dari peluang bisnis berdasarkan jumlah penduduk 250 juta jiwa dan rata-rata pertumbuhan penduduk setiap tahun adalah sebesar 3 juta jiwa, maka Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk seluruh bisnis, khususnya TV berbayar. Dengan melihat potensi pasar TV berbayar di Indonesia yang cukup besar tersebut, maka akan lebih baik juga bagi kita untuk melihat dari sisi internal Telkom mengenai kebijakan ini. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan kenapa Telkom menjual salah satu anak usahanya tersebut sebagai berikut: a. Adanya perubahan strategi perusahaan didalam Skenario Strategi Korporasi (Corporate Strategic Scenario (CSS)) Telkom di tahun 2013, dimana terdapat Tiga Program Utama Telkom yaitu (Telkom, 2014a): Pertumbuhan bisnis Telkomsel yang menjadi 10% dengan keuntungan Rp 60 Trilyun; pada tahun 2013, salah satu program utama Telkom Group 2013 adalah pertumbuhan dua kali lipat dari bisnis selulernya di Telkomsel karena Telkomsel memiliki kontribusi yang paling besar di dalam pendapatan Telkom Group. Untuk itu, Telkom membentuk Unit khusus yaitu Operational Support Telkomsel (OST) demi tercapainya program utama tersebut. Kemudian, Kontrak Manajemen
4
(KM) Telkom Group sudah menjadi satu kesatuan yang terstruktur, dimana kinerja secara group akan memiliki porsi yang besar. Sehingga seluruh bagian dari Telkom harus mendukung Telkomsel untuk menjadi yang terbaik di bisnisnya. Menjadi pemimpin di bisnis digital media; bisnis digital media merupakan harapan Telkom untuk bisa tumbuh secara kompetitif dan berkelanjutan. Portofolio bisnis Telkom saat ini adalah TIMES (Telecommunication, Information, Media, Edutainment and Services). Pada tahun 2013, Telkom telah memasukkan Media dan Edutainment kedalam portofolio bisnisnya. Hal ini didasari oleh fakta mengenai nilai perusahaan (EBITDA) dari perusahaan-perusahaan media yang dapat mencapai 10 kali lipat, sementara itu perusahaan telekomunikasi hanya mencapai hanya kurang lebih 5 kali lipat. Ekspansi pasar international ke 10 negara; Visi dari Telkom adalah “To Become a Leading TIMES Player in the Region”. Visi ini menuntut Telkom untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, dan untuk itu sudah cukup banyak perusahaan-perusahaan besar yang dapat dijadikan referensi dalam menerapkan strategi bisnis tersebut. Singapore Telecommunication (Singtel Group) merupakan salah satu contoh yang sangat baik untuk hal ini. Singtel bisa menjadi perusahaan yang besar karena internasional ekspansinya dan mengirimkan orang-orangnya ke seluruh penjuru regional, di Australia, Thailand, India, Philiphina dan juga ke Indonesia. 5
b. Mengelola bisnis media memerlukan kompetensi yang berbeda dengan mengelola bisnis telekomunikasi. Memiliki kompetensi yang baik tidaklah cukup untuk mengembangkan bisnis ini, tetapi juga dibutuhkan pula jaringan bisnis yang harus dibangun dengan baik terutama kepada pihak lain yang dapat mendukung perkembangan bisnis digital media ini. Kita dapat melihat beberapa contoh yang baik, seperti Chairul Tanjung yang memiliki TransCorp (Trans-TV, Trans-7, detik.com, dll). Demi memenangkan bisnis media, Chairul Tanjung memperkuat korporasinya dengan bekerja bersama orang-orang yang memiliki kompetensi dan jaringan bisnis yang kuat didalam mengelola bisnis media. Contohnya, Ishadi SK (mantan Dirut TVRI), Whisnutama Kusubandio di TransCorp yang sukses menciptakan acara-acara dengan rating yang tinggi seperti Opera Van Java, Bukan Empat Mata, Lepas Malam, Extravaganza, YKS dan lainnya serta Budiono Darsono untuk mengelola detik.com. c. Telkom membutuhkan sinergi dengan perusahaan yang memiliki kompetensi dan kemampuan dalam pengelolaan konten. Karena di dalam bisnis TV berbayar, pembiayaan terhadap konten merupakan biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dengan rata-rata persentasenya terhadap total biaya diantara 35% - 50%. Hal ini disebabkan karena Telkom harus membeli lisensi penyiaran terhadap konten tersebut dari perusahaan pembuat konten yang pada umumnya berasal dari luar negeri. Biaya ini akan dapat ditekan jika konten-konten tersebut dapat diproduksi sendiri, namun demikian pada umumnya
6
perusahaan telekomunikasi tidak memiliki kompetensi dalam hal ini. Untuk itu, Telkom membutuhkan mitra strategis yang memiliki pengalaman dan kompetensi dalam pengelolaan konten di bisnis televisi yang dapat mendukung bisnis digital media khususnya TV berbayar. d. Dengan adanya sinergi dari 2 perusahaan yang memiliki pengalaman dan kompetensinya dibidang masing-masing akan memberikan nilai tambah yang lebih besar, khususnya bagi TelkomVision. Dengan adanya sinergi ini, diharapkan akan terjalin kerjasama antara Telkom dengan TransCorp yang akan mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi kedua perusahaan. TelkomVision merupakan satu-satunya operator TV berbayar yang memegang izin penyiaran terlengkap di Indonesia, mulai dari lisensi penyiaran melalui platform IPTV, TV Cable dan DTH (satellite). Telkom merupakan perusahaan milik negara yang memiliki jaringan telekomunikasi terluas serta basis pelanggan yang sangat besar tersebar di seluruh Indonesia. Sedangkan TransCorp merupakan salah satu perusahaan yang memiliki kompetensi didalam pengelolaan konten, dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan produk-produk konten yang kreatif, inovatif, dengan rating program acaranya yang tinggi. Bukan tidak mungkin jika suatu saat nanti melalui kerjasama ini akan mampu membuat TelkomVision tidak hanya terkenal sebagai perusahaan yang menyediakan jasa TV berbayar namun juga produk-produk konten asli Indonesia yang dapat dijual bahkan sampai keluar negeri.
7
e. Melalui sinergi ini, diharapkan akan menjadi langkah awal dalam membuka peluang kerjasama bisnis yang lebih besar lagi antara Telkom dengan Transcorp. Hal ini dapat dilihat dari reputasi, kemampuan dan kapabilitas kedua perusahaan seperti jaringan yang dimiliki oleh Telkom, basis pelanggan baik dari Telkom Group maupun TransCorp. Sehingga diharapkan akan terjalin kerjasama-kerjasama yang lainnya serta sharing sumberdaya yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Dengan telah ditandatanganinya SPA (Sales Purchase Agreement) antara Telkom dan TransCorp, maka struktur kepemilikan saham TelkomVision telah berubah. TransCorp memiliki 80% saham TelkomVision, sementara sisanya sebesar 20% masih dimiliki oleh Telkom. Keputusan ini merupakan keputusan strategis korporasi yang diambil oleh kedua perusahaan Telkom dan TransCorp, dengan harapan bahwa melalui sinergi ini akan lebih meningkatkan nilai perusahaan baik untuk Telkom maupun TelkomVision.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada sub bab 1.1 latar belakang sebelumnya, dapat diidentifikasikan permasalahan yang mendasari penulis melakukan penelitian ini. Yang pertama adalah adanya perubahan strategi korporasi di Telkom yang menghasilkan pengambilan keputusan oleh manajemen untuk melakukan penjualan sebagian besar saham yang dimilikinya pada salah satu anak perusahaannya yang bergerak dibidang TV berbayar. Kedua, apa yang mendasari keputusan tersebut karena melihat potensi pasar yang sangat besar didalam industri TV berbayar di Indonesia, seperti besarnya jumlah penduduk, sebaran 8
geografis yang cukup luas serta ditambah dengan asumsi adanya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin baik dikisaran 6-7% dalam lima tahun kedepan (MPA, 2012). Selanjutnya, dengan melihat faktor-faktor baik dari internal TelkomVision dan dari eksternal (lingkungan industri) yang mempengaruhi bisnis TV berbayar di Indonesia, maka penulis mencoba untuk meneliti apakah keputusan dalam penjualan sebagian besar saham TelkomVision merupakan keputusan strategis yang sudah tepat. Selain itu, penulis juga akan melakukan analisis mengenai sampai sejauh mana sinergi antara Telkom dan TelkomVision sebelum terjadinya penjualan tersebut.
1.3. Pertanyaan Penelitian Dari rumusan masalah diatas, maka didapatkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Dengan menggunakan pendekatan Industry Life Cycle, pada fase apakah industri TV berbayar di Indonesia? 2. Bagaimanakah sinergi bisnis dan operasional antara Telkom selaku parent dengan TelkomVision selaku anak perusahaan dalam mendukung bisnis kedua perusahaan sebelum aksi korporasi tersebut diambil? 3. Apakah keputusan divestasi Telkom dengan melepas sebagian besar sahamnya di TelkomVision kepada CT Corps sudah tepat?
9
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa sebuah keputusan strategis dalam hal divestasi terhadap salah satu anak perusahaan Telkom kepada TransCorp sudah tepat dan mampu memberikan nilai tambah bagi Telkom, serta perkembangan bisnis TelkomVision.
1.5. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diberikan oleh peneliti dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi perusahaan, penelitian ini memberikan sebuah kajian yang berguna bagi perusahaan dalam pengambilan keputusan strategis seperti divestasi. Serta sebagai salah satu contoh dalam melihat sinergi korporasi antara perusahaan induk dengan unit bisnisnya. 2. Bagi akademisi, penelitian ini memberikan pengetahuan mengenai bagaimana melihat sinergi antara perusahaan induk dengan unit bisnisnya melalui pendekatan Parenting Fit Matrix serta evaluasi terhadap fase didalam Industry Life Cycle yang menentukan keputusan strategis yang akan diambil oleh perusahaan induk terhadap unit-unit bisnisnya.
1.6. Ruang Lingkup atau Batasan Penelitian Batasan masalah pada analisis yang akan dilakukan adalah hanya pada PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk, khususnya kepada anak usahanya yaitu PT. Indonusa Telemedia (TelkomVision). Kemudian, untuk pembahasan strategi manajemen dalam penelitian ini akan menggunakan beberapa pendekatan teori 10
seperti corporate level strategy, divestment strategy BCG Matrix, Parenting Fit Matrix, dan Industry Life Cycle.
1.7. Sistematika Penulisan BAB 1
PENDAHULUAN Berisi latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup atau batasan penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2
LANDASAN TEORI Berisi tinjauan pustaka dan landasan teori yang menjadi dasar penelitian adalah tentang Industry Life Cycle yang digunakan dalam melakukan analisis terhadap industri dari TV berbayar di Indonesia serta Corporate Level Strategy, dimana didalamnya akan diuraikan lebih jauh lagi mengenai teori Portfolio Diversification dan Parenting Fit Matrix.
BAB 3
METODE PENELITIAN Pada Bab ini akan diuraikan mengenai metode penelitian yang digunakan yaitu Qualitative Descriptive dimana pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui hasil survey, wawancara serta studi kepustakaan. Selain itu, akan diuraikan secara singkat profil dari perusahaan TelkomVision secara singkat.
11
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menjelaskan hasil penelitian mengenai bagaimana fase industri TV berbayar di Indonesia, bagaimana sinergi antara Telkom dan TelkomVision sebelum adanya aksi korporasi tersebut, apakah aksi korporasi yang dilakukan oleh Telkom dalam melakukan penjualan sahamnya di TelkomVision kepada TransCorp
sudah
tepat
bagi
Telkom
dan
juga
bisnis
TelkomVision, yang dikaitkan dengan landasan teori yang digunakan didalam penelitian ini. BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisikan simpulan, keterbatasan, implikasi dan saransaran.
12