BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia pada hakikatnya menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya, baik kebahagiaan lahir maupun batin. Begitu pula dalam kehidupan pernikahan, keluarga yang harmonis adalah dambaan setiap orang. Semua ini bisa diciptakan, jika suami isteri memahami hak dan kewajiban masing-masing. Seiring berjalannya waktu berbagai persoalan seringkali menjadi gesekan yang mempengaruhi kondisi rumah tangga, bahkan berakibat pada perceraian. Persoalan yang terjadi dalam kehidupan perkawinan sangat beragam mulai dari masalah ekonomi, prinsip, anak, juga adanya penyakit yang diderita pasangan. Jenis penyakit yang diderita bentuknya beraneka ragam, ada yang tergolong penyakit ringan dimana dalam proses pengobatannya relatif mudah dan tidak terlalu menimbulkan tekanan psikologis pada penderita. Tetapi, ada juga penyakit yang tergolong penyakit berat yang dianggap sebagai penyakit yang berbahaya dan dapat mengganggu kondisi emosional. Salah satu penyakit yang tergolong berat adalah gagal ginjal kronis. Penyakit gagal ginjal adalah penyakit yang terjadi ketika kedua ginjal gagal menjalankan fungsinya. Adapun fungsi ginjal adalah sebagai salah satu sistem detoksifikasi utama setelah hati, dengan membuang racun tubuh yang dilarutkan dalam air oleh hati agar dapat dibawa darah, kemudian dibuang bersama kelebihan cairan tubuh melalui urin. Hal ini disebabkan oleh gangguan
1
Universitas Kristen Maranatha
2
imunologis yang terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh, gangguan metabolik akibat dari diabetes militus dan amilodosis, gangguan pembuluh darah ginjal, infeksi terhadap organ ginjal, hipertrofi prostat dan konstriksi uretra serta adanya kelainan kongenital. Gagal ginjal kronis adalah hilangnya sejumlah nefron fungsional yang bersifat ireversibel, gejala-gejala klinis yang serius sering tidak muncul sampai jumlah nefron fungsional berkurang sedikitnya 70% di bawah normal dan jika jumlah nefron yang rusak melebihi 90%, pasien akan mengalami gagal ginjal stadium akhir (Guyton & Hall, 1996). Prosedur pengobatan yang digunakan untuk memperbaiki keadaan tersebut adalah melalui hemodialisis (cuci darah) atau transplantasi (cangkok) ginjal, tetapi karena mahalnya biaya operasi transplantasi ginjal dan sulitnya mencari donor ginjal, maka cara yang paling banyak digunakan adalah hemodialisis. Hemodialisis adalah proses pemisahan cairan yang berlebihan dan retensi zat-zat sisa metabolisme dari dalam darah ke cairan dialisa melalui membran semi permiabel yang ada dalam mesin dialisa dengan cara difusi, ultrafiltrasi dan konveksi sehingga komposisi zat-zat dan cairan dalam darah mendekati normal. Proses pengobatan tersebut dapat membantu memperbaiki homeostasis tubuh, namun tidak untuk mengganti fungsi ginjal yang lainnya, sehingga untuk mempertahankan hidupnya pasien harus melakukan hemodialisis minimal dua kali seminggu sepanjang hidupnya. Sampai saat ini penderita gagal ginjal tergolong banyak, menurut data dari Yadugi (Yayasan Peduli Ginjal) di Indonesia kini terdapat sekitar 40.000 penderita gagal ginjal terminal (GGT), hanya 3.000 diantaranya yang memiliki
Universitas Kristen Maranatha
3
akses pengobatan (Republika, 09 Oktober 2001). Dari angka yang cukup banyak tersebut, Jawa Barat menduduki urutan pertama dengan jumlah penderita sebanyak 3000 orang dan disusul DKI Jakarta di tempat kedua. Menurut data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), di Indonesia terdapat sekitar 2400 pasien cuci darah. Jumlah tersebut bertambah sekitar 300-600 pasien setiap bulannya (Pikiran Rakyat, 15 Maret 2009). RS Hasan Sadikin didirikan pada tahun 1992 sebagai suatu rumah sakit umum yang memberikan layanan kesehatan yang menyeluruh serta diharapkan menjadi rujukan bagi instansi kesehatan yang lain. Dalam mewujudkan visi dan misinya, RS Hasan Sadikin selalu berusaha memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat di wilayahnya. RS Hasan Sadikin kini statusnya telah menjadi rumah sakit umum pusat (RSUP) yang memiliki fasilitas yang lengkap sehingga telah menjadi rumah sakit rujukan di wilayah Jawa Barat. Salah satu fasilitas yang dimiliki RS Hasan Sadikin adalah unit hemodialisa yang dapat menangani 55 pasien cuci darah setiap harinya. Jumlah penderita gagal ginjal kronis yang menjalani perawatan di bagian unit hemodialisa RS Hasan Sadikin saat ini berjumlah 322 pasien tiap bulannya. Keluarga merupakan suatu sistem dimana unit yang satu mempengaruhi unit yang lain. Penyakit merupakan suatu krisis dalam siklus keluarga yang dapat mempengaruhi iklim dalam keluarga (Goldenberg, 1996). Dalam hal ini perubahan fisik, psikologis dan sosial dari penderita gagal ginjal kronis akan berpengaruh pada pasangannya. Menurut Threes Suyatna, selaku Psikolog dari RS Mitra
Keluarga
Kelapa
Gading,
penyakit
gagal
ginjal
menyebabkan
Universitas Kristen Maranatha
4
permasalahan-permasalahan yang bersifat fisik, psikologis dan sosial yang dirasakan sebagai kondisi yang menekan bukan hanya pada penderita namun juga pada pasangan dari penderita yang terlibat langsung dalam proses perawatan. Hampir semua pasangan penderita gagal ginjal kronis mungkin mengalami masamasa sulit ketika tekanan luar mengalahkan mereka dan banyak hal mulai memburuk di rumah. Tekanan keuangan, masalah keluarga, jadwal dialisis ketat, dan kewajiban karier dapat menimbulkan ketegangan dalam hubungan. Dari sisi medis, terganggunya fungsi ginjal juga menimbulkan berbagai keluhan fisik. Di antaranya, sesak napas, mual dan muntah yang luar biasa, nyeri otot, dan kehilangan kemampuan indra perasa. Dalam menjalani hemodialisis penderita tidak bisa melakukannya sendiri, dia butuh orang yang selalu mendampingi selama pelaksanaan hemodialisis, mengantar ke pusat hemodialisis dan melakukan kontrol ke dokter. Dalam hal pengaturan diet, pembatasan cairan , obat-obatan, dan pengecekan laborat setelah hemodialisis juga memerlukan keluarga untuk mencapai target. Kondisi tersebut, tentu saja menimbulkan perubahan pola hidup pada penderita gagal ginjal yang juga berdampak pada keluarganya. (http://indonesiannursing.com/page/41/) Perubahan keadaan fisik yang dialami penderita gagal ginjal juga berpengaruh terhadap keadaan psikologisnya. “Pasien gagal ginjal memiliki dampak psikologis, salah satunya terhadap seksual,” ungkap Dr. W. M. Roan, psikiater di RS Ongkomulyo Jakarta. Selain tubuh dalam keadaan sakit dan penyakit yang diderita, kecemasan dan depresi dapat mengakibatkan gangguan gairah seksual dan orgasme. Pada wanita, gangguan ginjal dapat menyebabkan
Universitas Kristen Maranatha
5
terhentinya menstruasi. Disfungsi seksual akibat penyakit gagal ginjal kronis tentunya dapat menimbulkan beban psikologis tersendiri bagi pasangan penderita. Penderita gagal ginjal juga akan dihadang masalah finansial, sebab ia dan keluarganya harus menanggung biaya pengobatan yang mahal dan hal itu berlangsung seumur hidup. "Biaya cuci darah dan pembelian obat mencapai jutaan rupiah per bulan. Penderita mau tidak mau harus menjalani hal itu. Setidaknya sampai ia menjalani cangkok ginjal," tukas dr. Djoko Santoso, Sp.PD K-GH.,PhD, ahli penyakit dalam dan konsultan penyakit ginjal di RS Siloam Surabaya. (http://www.drdjokosantoso.com/2009/05/divonis-terminal-gagalginjalbisa.html). Biaya perawatan yang mahal dan bersifat terus menerus tentunya memiliki pengaruh tersendiri bagi keadaan ekonomi suatu keluarga. Pada umumnya pasangan dari penderita gagal ginjal kronis merasa sangat terbebani karena harus berupaya mencari dana untuk biaya pengobatan pasangannya yang tidak murah. Biaya satu kali cuci darah mencapai delapan ratus ribu sedangkan pasien gagal ginjal kronis harus menjalani dua sampai tiga kali cuci darah setiap minggu sepanjang hidupnya. Selain masalah finansial, masalah psikologis kadang dapat menjadi penyebab munculnya masalah dalam keluarga pasien ginjal. Perasaan terbeban pasien dalam menjalani pengobatan jangka panjang untuk melanjutkan hidup dan kesulitan keluarga dalam memahami kondisi kesehatan pasien turut memicu munculnya masalah emosional. Adapun selain itu, beberapa pasien mungkin merasa
frustrasi
karena
menjadi
sangat
bergantung
pada
orang
lain.
Universitas Kristen Maranatha
6
Permasalahan-permasalahan
diatas
ketidakharmonisan dalam keluarga.
dapat
menyebabkan
munculnya
Ketidakharmonisan yang terjadi dapat
dikarenakan adanya perubahan psikologis yang dialami oleh penderita gagal ginjal kronis, adanya rasa tidak seproduktif saat masih sehat berdampak pada keadaan emosional penderita gagal ginjal kronis yang menjadi lebih mudah marah, sehingga mempengaruhi pula kondisi pasangannya Adanya permasalahan psikologis yang dialami oleh pasangan penderita gagal ginjal kronis, mengindikasikan bahwa mendampingi penderita gagal ginjal kronis merupakan kondisi yang menekan. Adanya diagnosa yang negatif, kondisi pasangan yang memburuk, ketidak efektifan terapi yang dijalani, kewajiban untuk mengatur diet pasangan, mengukur urine, memantau takaran minuman yang diminum pasangan, memberikan semangat ketika pasangan jenuh menjalani cuci darah dan mahalnya biaya perawatan merupakan suatu adversity factor bagi pasangan penderita gagal ginjal kronis. Adversity factor adalah kesulitan yang dihadapi pasangan dari penderita gagal ginjal kronis dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam menghadapi hal tersebut seseorang membutuhkan kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi dengan baik walaupun di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan yang disebut sebagai resiliency (Benard,2004). Manifestasi dari resiliency dapat dilihat melalui kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan individu untuk memberikan respon positif terhadap lingkungan sekitarnya (social competence), kemampuan seseorang untuk membuat rencana dan tindakan selanjutnya yang akan dilakukan saat menghadapi masalah (problem solving skill), kemampuan seseorang untuk
Universitas Kristen Maranatha
7
dapat bertindak dengan bebas dan untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungannya (autonomy), kemampuan untuk dapat yakin terhadap kemampuan diri sendiri untuk mencapai tujuan yang dimiliki (sense of purpose). Dari hasil wawancara dengan 10 orang pasangan dari penderita gagal ginjal kronis yang tengah melakukan hemodialisis, didapat data bahwa sebanyak 50% pasangan penderita gagal ginjal kronis termotivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasanganya dengan mendukung dan menemani melakukan hemodialisis secara teratur dan mengikuti prosedur pengobatan yang telah ditentukan, mereka merasa bahwa dirinya masih mampu untuk melakukan aktifitas seperti orang yang memiliki pasangan yang sehat pada umumnya. Mereka masih optimis atas kelangsungan hidup pasangannya, mereka tetap berelasi dengan lingkungan sekitar, mereka menjalani hidupnya dengan melakukan aktifitas yang mereka sukai dan mencoba untuk lebih berserah diri pada Tuhan dengan berdoa dan terus mendampingi pasangannya untuk berobat secara teratur. Adapun sebanyak 50% pasangan penderita gagal ginjal menunjukkan adanya rasa ketidakberdayaan dan keputusasaan atas penyakit yang diderita oleh pasangannya, serta seringkali merasa sedih atas penyakit yang diderita pasangannya. Mereka merasa pesimis akan kondisi kesehatan pasangannya, sehingga dalam menjalani hemodialisis dan prosedur pengobatan pun dijalani sebagai hal mutlak untuk memperpanjang hidup pasangannya, mereka beranggapan bahwa kondisi kesehatan pasangannya sekarang tergantung pada
Universitas Kristen Maranatha
8
dokter atau perawat. Mereka beranggapan bahwa mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena semua itu telah ditentukan oleh Tuhan. Dari hasil survey maka dapat dikatakan bahwa resiliency pada pasangan dari penderita gagal ginjal kronis berbeda-beda. Berdasarkan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti resiliency pasangan dari penderita gagal ginjal kronis di RS Hasan Sadikin Bandung.
1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana resiliency pada pasangan dari penderita gagal ginjal kronis di RS Hasan Sadikin Bandung.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1
Maksud Penelitian
Untuk memperoleh data mengenai bagaimana resiliency pada pasangan dari penderita gagal ginjal kronis di RS Hasan Sadikin Bandung.
1.3.2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai resiliency pada pasangan dari penderita gagal ginjal di RS Hasan Sadikin Bandung.
Universitas Kristen Maranatha
9
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah 1. Sebagai bahan masukan bagi ilmu psikologi, terutama psikologi klinis mengenai resiliency pada pasangan dari penderita gagal ginjal kronis di RS Hasan Sadikin Bandung. 2. Memberikan sumbangan informasi kepada peneliti lain yang tertarik untuk meneliti mengenai resiliency dan mendorong dikembangkannya penelitianpenelitian lain yang berhubungan dengan topik tersebut.
Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi : 1. Memberi informasi kepada pasangan dari penderita gagal ginjal kronis mengenai resiliency yang dimiliki dirinya sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan diri dalam membantu peran serta perkembangan kesehatan pasangannya yang sedang menjalani terapi. 2. Memberikan informasi dan masukan bagi RS Hasan Sadikin Bandung bahwa ada dampak psikologis bagi penderita juga pasangan penderita gagal ginjal kronis, sehingga informasi tentang resiliency dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan kualitas pelayanan Rumah Sakit dalam membantu peran serta perkembangan kesehatan penderita yang sedang menjalani terapi.
1.5 Kerangka Pemikiran
Universitas Kristen Maranatha
10
Diantara berbagai macam penyakit yang ada, gagal ginjal merupakan penyakit berat yang dianggap sebagai penyakit berbahaya dan dapat mengganggu kondisi emosional. Secara umum penyakit gagal ginjal terjadi ketika kedua ginjal gagal menjalankan fungsinya. Hal ini disebabkan oleh gangguan imunologis yang terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh, gangguan metabolik akibat dari diabetes militus dan amilodosis, gangguan pembuluh darah ginjal, infeksi terhadap organ ginjal, hipertrofi prostat dan konstriksi uretra serta adanya kelainan kongenital. Menurut Prof. Dr. dr. Ketut Suwitra, Sp.PD,K-GH, selalu konsultan penyakit ginjal dan hipertensi, ada berbagai jenis penyakit gagal ginjal, salah satunya adalah gagal ginjal kronis dimana terjadi hilangnya sejumlah nefron fungsional yang bersifat ireversibel, sehingga memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap berupa dialisis, maupun transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronis bukan hanya dapat membuat penderitanya merasa tertekan, namun pasangan dari penderita gagal ginjal kronis pun mengalami tekanan yang cukup berat. Pasangan penderita gagal ginjal kronis harus menyesuaikan diri dengan keadaan penderita yang umumnya merasa frustrasi, putus asa, cemas, khawatir, marah pada dokter ketika dia diberitahu bahwa dia mengalami gagal ginjal dan harus menjalani hemodialisis, ketidakberdayaan, merasa lelah karena menjalani hemodialisis, dan adanya perasaan takut mati. Kesulitan pasangan dalam memahami kondisi kesehatan pasien turut memicu munculnya masalah emosional. Selain itu pasangan penderita gagal ginjal kronis juga harus menghadapi serangkaian kondisi yang menekan berupa kondisi pasangan yang memburuk,
Universitas Kristen Maranatha
11
jadwal
yang
ketat
dalam
mendampingi
pasangan
melakukan
dialisis,
ketidakefektifan terapi yang dijalani, mahalnya biaya pengobatan pasangan dan hilangnya kebebasan sebagai manusia karena harus terus-menerus mendampingi pasangannya yang sakit. Dalam menghadapi hal tersebut seseorang membutuhkan kemampuan untuk dapat beradaptasi dengan baik dan mampu berfungsi dengan baik walaupun di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan yang disebut sebagai resiliency (Benard, 2004). Pasangan
dari
penderita gagal ginjal kronis yang dikatakan resilient adalah mereka yang mampu mengendalikan perilakunya dalam menghadapi hambatan tanpa menjadi lemah dan mampu beradaptasi dengan tekanan yang dialaminya. Resiliency tercermin melalui empat aspek yaitu social competence, problem solving skill, autonomy dan sense of purpose. Social competence merupakan kemampuan dan tingkah laku yang diperlukan individu untuk memberikan respon positif terhadap lingkungan sekitarnya, membangun suatu relasi dan mempertahankan kedekatan dengan orang lain, dan memperoleh respon positif dari orang lain. Social competence meliputi empat sub-aspek yaitu responsiveness, communication, emphaty and caring, dan compassion-altruism-forgiveness. Social competence dapat terlihat dari kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk mendapatkan tanggapan positif baik dari pasangannya maupun dari orang lain ketika ia menceritakan keluh kesahnya (responsiveness). Pasangan penderita gagal ginjal kronis juga mampu untuk mengungkapkan kekesalannya pada pasangan dengan cara yang sopan ketika pasangan tidak mau diajak untuk cuci darah
Universitas Kristen Maranatha
12
(communication). Adanya kemampuan dalam menumbuhkan rasa kepedulian terhadap pasangan, sehingga pasangan penderita gagal ginjal kronis mampu merasakan dan mengerti apa yang tengah dirasakan oleh pasangannya (emphaty and caring). Social competence juga dapat terlihat melalui adanya kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk memberikan apa yang dibutuhkan bagi kesembuhan pasangannya, mampu memaafkan diri mereka sendiri karena tidak menjaga pola hidup sehat bagi pasangan, sehingga terkena penyakit gagal ginjal kronis serta mampu memaafkan orang lain yang kurang menghargai pasangannya
atas
kondisi
fisik
yang
dialaminya
(compassion-altruism-
forgiveness). Hal tersebut akan membantu pasangan penderita untuk bertahan dan berfungsi positif selama mendampingi penderita gagal ginjal kronis. Problem Solving Skill merupakan kemampuan seseorang untuk membuat rencana, berpikir fleksibel untuk mencari solusi alternatif terhadap suatu masalah, menggunakan sumber ekternal dalam memecahkan masalah, dapat berpikir kritis dalam mengerti suatu kejadian dan situasi serta insight. Kemampuan problem solving dapat terlihat melalui kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk dapat membuat rencana terkait dengan kesembuhan dari penyakit yang tengah diderita oleh pasangannya (planning). Pasangan penderita gagal ginjal kronis
mampu
mempertahankan
untuk
mencari
kelangsungan
berbagai
hidup
alternatif
pasangannya
pengobatan (flexibility).
demi Adanya
kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk tanggap dan cekatan dalam mencari bantuan sejak pertama kali pasangannya didiagnosa menderita gagal ginjal kronis hingga saat ini (resourcefulness). Serta adanya kemampuan
Universitas Kristen Maranatha
13
berpikir secara kritis untuk menemukan strategi perawatan terbaik yang mampu ditempuh demi mengupayakan kelangsungan hidup pasangannya yang tengah sakit serta mengerti dan mampu menghadapi adanya perubahan pola hidup karena memiliki pasangan yang menderita gagal ginjal kronis (critical thinking and insight). Autonomy melibatkan kemampuan seseorang untuk dapat bertindak dengan bebas dan untuk merasakan suatu sense of control atas lingkungannya. Autonomy ditandai dengan adanya penilaian positif terhadap diri, adanya kontrol dan inisiatif, keyakinan untuk merasa mampu melakukan sesuatu dengan baik, kemampuan untuk mengambil jarak dari pesan negatif, kesadaran tentang masalah yang dihadapi dan apa yang harus dilakukan terhadap masalah, serta kemampuan untuk menciptakan suasana ceria. Autonomy ini juga dihubungkan dengan kesehatan positif dan perasaan akan kesejahteraan (Deci, 1995, dalam resiliency Bonnie Benard, 2004). Autonomy dapat terlihat melalui kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk memiliki penilaian positif tentang dirinya sendiri walaupun ia memiliki pasangan yang sakit (positive identity). Adanya kemampuan untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan karena memiliki pasangan yang menderita gagal ginjal kronis , namun berupaya untuk tetap mengupayakan kelangsungan hidup pasangannya dengan berbagai cara (internal locul of control and initiative). Kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk tetap merasa mampu dalam menghadapi cobaan hidupnya yaitu harus mendampingi serta mengupayakan kelangsungan hidup pasangan yang menderita gagal ginjal kronis (self efficacy and mastery). Kemampuan pasangan penderita gagal ginjal
Universitas Kristen Maranatha
14
kronis untuk mengambil jarak secara emosional dengan tidak menyalahkan diri sendiri ketika mendengar informasi yang negatif mengenai penyakit yang diderita pasangannya (adaptive distancing and resistance). Adanya kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk tetap sabar serta peduli terhadap keadaan pasangannya yang tengah sakit serta menyadari sepenuhnya bahwa yang ia hadapi saat ini adalah cobaan yang harus dihadapi (self awareness and mindfulness). Kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk menciptakan suasana ceria selama mendampingi pasangannya yang sakit (humor). Hal itu akan membantu pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk bangkit dari masalah yang dihadapi. Aspek terakhir dari resiliency adalah sense of purpose, yaitu kemampuan untuk fokus terhadap masa depan yang positif melalui adanya kemampuan untuk memotivasi diri pada tujuan, mengembangkan kreatifitas, adanya rasa optimis dan harapan akan masa depan, serta keyakinan spiritual dalam diri. Sense of purpose ditandai dengan adanya motivasi yang kuat dalam diri pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk meraih tujuan terkait dengan kesembuhan pasangannya (goal direction,achievement
motivation
and
educational
aspirations).
Adanya
kemampuan pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk tetap bisa mengaktualisasikan diri melalui mengikuti kegiatan yang digemarinya walaupun ia memiliki pasangan yang tengah sakit (special interest, creativity and imagination). Adanya keyakinan serta harapan yang positif dari pasangan penderita gagal ginjal kronis mengenai kondisi pasangannya, dimana pasangan penderita gagal ginjal kronis memiliki keyakinan bahwa pasangannya memiliki
Universitas Kristen Maranatha
15
kemungkinan untuk dapat hidup lebih lama dengan mengikuti hemodialisis secara teratur (optimism and hope). Selain itu pasangan penderita gagal ginjal kronis mampu menemukan makna bahwa memiliki pasangan yang menderita penyakit kronis merupakan cobaan dari Tuhan agar dirinya mampu menjadi pribadi yang lebih sabar (faith, sprirituality and sense of meaning). Selain empat aspek yang dapat menunjukkan tinggi atau rendahnya resiliency pasangan penderita gagal ginjal kronis, terdapat faktor yang dapat mendukung perkembangan resiliency pasangan penderita gagal ginjal kronis. Faktor tersebut dikenal sebagai protective factor. Protective factor merupakan kualitas dari orang-orang atau lingkungan yang menentukan munculnya perilaku yang lebih positif dalam situasi yang menekan (Benard, 2004). Tiga faktor yang ada dalam protective factor adalah caring relationship, high expectation dan opportunities for participation and contribution. Terdapat hipotesis bahwa kekuatan universal dari ketiga protective factors berhubungan langsung untuk memenuhi basic human needs. Ini merupakan perkembangan yang dibawa sejak lahir bahwa individu secara alami termotivasi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan love/belonging (kebutuhan untuk dicintai), power and respect (kebutuhan untuk merasa mandiri), mastery and challenge (kebutuhan untuk merasa mampu), dan meaning (kebutuhan untuk menemukan makna dalam hidup). Selanjutnya, setelah kebutuhan ini terpenuhi maka secara alami akan meningkatkan kekuatan resiliency individu dalam hal social competence, problem solving skill, autonomy, sense of purpose.
Universitas Kristen Maranatha
16
Caring relationship merupakan suatu hubungan yang di dalamnya terdapat perhatian dan rasa cinta sehingga terbentuk suatu proses empati dalam diri pasangan penderita gagal ginjal kronis yang bisa didapatkan dari keluarga baik dari anggota keluarga initi maupun keluarga besar. Caring relationship juga bisa didapatkan dari komunitas sekitar seperti rekan kerja, tetangga, komunitas ginjal, dokter dan perawat. Seorang dokter yang memberikan semangat dan keluarga serta teman yang selalu memahami penderitaan yang dirasakan pasangan penderita gagal ginjal kronis selama mendampingi proses pengobatan merupakan suatu bentuk caring relationship yang diberikan pada pasangan penderita gagal ginjal kronis. Caring relationship juga dapat diwujudkan melalui adanya perhatian baik secara moril maupun materil dari lingkungan sekitarnya, seperti keluarga, rekan kerja, tetangga terhadap pasangan penderita gagal ginjal kronis. Pasangan dari penderita gagal ginjal kronis yang memperoleh caring relationship akan
mampu
memenuhi
basic
human
needs
yang
selanjutnya
dapat
mengembangkan kekuatan dari aspek personal strengths yang dimilikinya. Sedangkan high expectation adalah keyakinan dan harapan dari orang sekitarnya bahwa pasangan penderita gagal ginjal kronis dapat kuat dalam menghadapi cobaan hidup yaitu harus mendampingi pasangannya yang menderita penyakit kronis. Keyakinan tersebut membuat mereka tegar dalam mendampingi proses pengobatan pasangannya. Anggota keluarga dan teman dari pasangan penderita gagal ginjal kronis yang selalu meyakinkan pasangan penderita gagal ginjal kronis bahwa pengobatan yang dijalani tidak seburuk yang dibayangkan dan memiliki kemungkinan untuk hidup lebih lama adalah salah satu bentuk high
Universitas Kristen Maranatha
17
expectation terhadap pasangan penderita gagal ginjal kronis. High expectation yang diberikan pada pasangan penderita gagal ginjal kronis dapat memenuhi basic human need, sehingga akan mendorong pasangan dari penderita gagal ginjal kronis untuk mengembangkan perasaan kompeten yang ada dalam dirinya. Faktor yang ketiga adalah opportunities for participation and contribution yang merupakan kesempatan yang diberikan lingkungan kepada individu untuk berpartisipasi dan berkontribusi pada suatu kegiatan sehingga mereka dapat lebih mandiri dan memiliki problem solving skill. Pasangan penderita gagal ginjal kronis ini dapat mengikuti kegiatan keagamaan sebagai salah satu cara pemecahan masalah yang mereka hadapi. Protective factor yang didapat oleh pasangan dari penderita gagal ginjal kronis dapat membantu mereka dalam mengatasi tekanan yang dialami, sehingga mereka dapat melakukan hal yang bermanfaat bagi kehidupannya. Opportunities for participation and contribution yang diberikan pada pasangan penderita gagal ginjal kronis juga diharapkan dapat memenuhi basic human needs dalam diri. Keluarga, rekan kerja, maupun tetangga dapat menjadi sarana bagi pasangan penderita gagal ginjal kronis untuk saling bertukar pikiran mengenai penyakit gagal ginjal kronis yang diderita pasangannya. Basic Human Needs yang telah terpenuhi akan membantu mengembangkan kekuatan dari aspek personal strengths yang ada dalam diri pasangan penderita gagal ginjal kronis. Pasangan dari penderita gagal ginjal kronis yang memiliki resiliency tinggi menunjukkan bahwa mereka termotivasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasangannya dengan mendampingi pasangan melakukan hemodialisis
Universitas Kristen Maranatha
18
secara teratur dan mengikuti prosedur pengobatan yang telah ditentukan, mereka merasa bahwa dirinya masih mampu untuk melakukan aktivitas seperti orang lain pada umumnya. Mereka masih optimis dalam memandang hidupnya, mereka tetap berelasi dengan lingkungan sekitar, mereka menjalani hidupnya dengan melakukan aktifitas yang mereka sukai dan mencoba untuk lebih berserah diri pada Tuhan dengan berdoa dan terus mendampingi pasangan untuk berobat secara teratur. Pasangan dari penderita gagal ginjal kronis yang memiliki resiliency rendah menunjukkan adanya rasa sedih yang seringkali muncul sejak pasangannya didiagnosis gagal ginjal kronis. Mereka juga terkadang merasa putus asa melihat kondisi kesehatan pasangannya karena mengetahui bahwa penyakit gagal ginjal kronis tidak dapat disembuhkan secara total.
Universitas Kristen Maranatha
19
Protective factor: - caring relationships (family & community - high expectations (family & community) - opportunities for participation and contribution (family & community)
Pasangan dari penderita gagal ginjal kronis
Adversity factor: - kondisi pasangan yang memburuk - tekanan ekonomi - diagnosis positif terkena gagal ginjal kronis
Basic human needs : - Need for Love/Belonging - Need for Challenge&Mastery - Need for Power&Respect - Need for Meaning
Tinggi RESILIENCY Rendah
Apek resiliency : -
social competence
-
problem solving
-
autonomy
-
sense of purpose
Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir
Universitas Kristen Maranatha
20
1.6 Asumsi
Pasangan dari penderita GGK di RS Hasan Sadikin Bandung memiliki resiliency yang berbeda-beda.
Resiliency pada pasangan dari penderita GGK di RS Hasan Sadikin Bandung dapat terukur melalui empat aspek resiliency yaitu social competence, problem solving skills, aoutonomy, sense of purpose and bright future.
Resiliency pasangan dari penderita GGK di RS Hasan Sadikin Bandung dipengaruhi oleh protective factor dan basic human needs, dimana apabila protective factor yang didapat akan memenuhi basic human needs dalam diri sehingga akan memperkuat resiliency yang dimiliki pasangan dari penderita GGK di RS Hasan Sadikin Bandung.
Universitas Kristen Maranatha