BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan
ekonomi
disuatu
negara
sangat
bergantung
pada
perkembangan dinamis dan kontribusi nyata dari sektor perbankan. Ketika sektor perbankan terpuruk perekonomian Indonesia juga ikut terpuruk. Demikian pula sebaliknya, ketika perekonomian mengalami stagnasi sektor perbankan juga terkena imbasnya dimana fungsi intermediasi tidak berjalan normal. Krisis moneter 1997-1998 yang melanda perekonomian Indonesia telah berimbas pada sektor perbankan. Krisis tersebut menyebabkan ledakan kredit macet sehingga melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Akibat dari krisis tersebut banyak bank-bank konvensional yang terpaksa dilikuidasi. Pada saat banyak perusahaan dan perbankan konvensional yang mengalami pengunduran bahkan gulung tikar, masih terdapat beberapa jenis unit usaha yang masih bertahan dalam krisis tersebut. Salah satu unit usaha yang masih mampu bertahan serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi saat ini adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Perhatian kepada UMKM memberikan makna tersendiri pada pertumbuhan ekonomi dan menekan kemiskinan, bahkan pertumbuhan dan modernisasi sektor UMKM sering diartikan sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan, khususnya bagi negara-negara yang memiliki pendapatan perkapita yang masih rendah (Andrianto Budi, 2010).
Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau lebih sering dikenal UMKM dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika terjadi krisis yang melanda pada tahun 1998, usaha berskala kecil dan menengah yang relatif mampu bertahan dibandingkan perusahaan besar. Alasannya karena mayoritas usaha berskala kecil tidak terlalu tergantung pada modal besar atau pinjaman dari luar dalam kurs dollar. Sehingga, ketika ada fluktuasi nilai tukar, perusahaan berskala besar yang secara umum selalu berurusan dengan mata uang asing adalah yang paling berpotensi mengalami imbas krisis. Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa struktur modal UMKM khususnya di Indonesia, hampir sebagian besar berdasar pada investasi pribadi. Sangat sedikit, mereka yang berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan dana. Jika mereka membutuhkan suntikan dana dari pihak luar, justru pihak pihak penyedia dana selain bank, yang sangat berperan. Misal bankbank perkreditan rakyat atau malah rentenir. Seperti yang kita ketahui pula, bunga yang dikenakan pada peminjam adalah sangat tinggi dan mencekik leher. Jelas, kondisi seperti ini tidak akan terjadi untuk perusahaan berskala besar. Seperti pada era sebelum krisis tahun 1997/1998, pada umumnya perbankan relatif enggan mengucurkan kredit kepada UMKM. Selain memerlukan keahlian khusus, aktivitas ini dianggap memiliki skala yang sangat kecil, sehingga perbankan lebih berminat menyalurkan kredit kepada korporasi untuk mempercepat pertumbuhan aset bank. Padahal selama ini usaha mikro dan kecil telah dianggap mampu memberikan peran dan kontribusi yang signifikan dalam perekonomian nasional, pada saat normal maupun pada saat krisis ekonomi. Peran ekonomi sektor UMKM
sangat jelas, yaitu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar sehingga menjadi komponen utama penciptaan lapangan kerja baru dan menekan angka kemiskinan. Namun, apabila penyaluran kredit perbankan kepada sektor UMKM terus menurun, bukan tidak mungkin bila usaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi juga akan terhambat. Masalah klasik yang dihadapi UMKM adalah terbatasnya akses terhadap perbankan sebagai salah satu sumber permodalan terpenting. Pada tahun 2008, hanya 12 persen UMKM yang bisa mendapatkan akses terhadap perbankan (Arsyad, 2008). Perbankan enggan membuka akses kredit kepada UMKM karena beberapa pertimbangan. Pertama, tingginya biaya administrasi (transaction cost) untuk menyeleksi, menyalurkan, memonitor dan mengumpulkan pembayaran kredit skala kecil kepada UMKM (Adam, 2010). Kedua, tingginya risiko kredit macet (risk of loan default) karena UMKM belum memiliki pengalaman mengelola kredit dan belum memiliki sistem pencatatan keuangan yang baik sehingga menyulitkan perbankan dalam menyeleksi dan menilai kelayakan usaha UMKM (Adam, 2010; Nugroho, 2011). Ketiga, belum terbangunnya sistem penjaminan kredit skala kecil. Akibatnya, bank akan menilai kelayakan kredit dari sisi kemampuan UMKM menyediakan agunan. Keempat, bank memiliki keterbatasan operasional dalam melayani kredit skala kecil kepada UMKM karena mereka terikat dan harus mengikuti ketentuan-ketentuan microprudential perbankan. Misalnya, ketentuan adanya agunan kredit menyebabkan bank hanya akan melayani UMKM yang memiliki agunan (Nugroho, 2011).
Program pemerintah melalui KUR adalah program untuk memperlebar akses UMKM terhadap kredit perbankan melalui skema penjaminan kredit parsial (partial credit guarantee scheme) yang diberikan secara otomatis (automatic guarantee). Dalam program KUR, peningkatan akses UMKM terhadap kredit perbankan didesain untuk meningkatkan kinerja UMKM sehingga UMKM diharapkan mampu memperluas kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi rumah tangga miskin (RTM). Dalam konteks ini, secara implisit terlihat bahwa program KUR didesain mampu mempercepat penanggulangan kemiskinan secara tidak langsung melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitas UMKM dalam menciptakan kesempatan kerja dan sumber pendapatan bagi RTM (TNP2K, 2015). Sejak diluncurkan pada 2007, pelaksanaan program KUR terus menunjukkan peningkatan. Pada periode 2008 hingga september 2014, jumlah bank yang berpartisipasi dalam program ini berkembang dari 6 bank nasional menjadi 33 bank (7 bank nasional dan 26 BPD). Pada periode yang sama, jumlah debitur KUR meningkat hampir 5 kali lipat dari 2,3 juta menjadi 11,3 juta orang. Sementara itu, jumlah realisasi kredit yang disalurkan melalui KUR juga meningkat hampir 4,5 kali lipat dari Rp11,5triliun menjadi Rp50,3triliun. Dengan demikian, sampai September 2014, secara kumulatif jumlah dana yang berhasil disalurkan melalui program KUR mencapai angka Rp168,3 triliun.
Ruang Lingkup dan Hubungan Kerja Institusi dalam Pelaksanaan KUR Ruang Lingkup Kerja Bank Pemberi Kredit o Melakukan penilaian kelayakan usaha dan o BRI memutuskan pemberian kredit/pembiayaan o Bank Mandiri sesuai ketentuan yang berlaku pada bank o BNI
o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o o
BTN Bukopin BSM Bank DKI Bank Nagari BJB Bank Jateng Bank DIY Bank Jatim Bank NTB Bank Kalbar Bank Kalsel Bank Kalteng Bank Sulut Bank Maluku Bank Papua Bank Aceh Bank Sumut Bank Riau Kepri Bank Jambi Bank Babel Bank Bengkulu Bank Lampung Bank Bali Bank NTT Bank Kaltim Bank Sulteng Bank Sultra Bank Sulselbar
o o
o o
o
pemberi kredit. Menatausahakan KUR secara terpisah dengan program kredit lainnya. Mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyediakan dan menyalurkan KUR secara tepat jumlah dan tepat waktu sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah serta mematuhi ketentuan penatausahaan yang berlaku. Menyalurkan KUR secara langsung kepada UMKM dan Koperasi dan/atau pola channelling. Menetapkan tingkat bunga untuk KUR sampai dengan Rp 20 juta (KUR Mikro) sebesar 22 persen per tahun dan untuk KUR di atas Rp 5 juta sampai Rp 500 juta (KUR Ritel) sebesar 14 persen per tahun. Melaporkan secara periodik pelaksanaan penyaluran kredit/pembiayaan, paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya, kepada komite kebijakan cq Deputi Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Makro dan Keuangan selaku Ketua Tim Pelaksana dengan format berisi; (1) realisasi jumlah penyaluran dan baki debet KUR, (2) realisasi penyaluran KUR menurut sektor ekonomi, (3) realisasi penyaluran KUR menurut provinsi, (4) jumlah debitur penerima KUR.
Sumber: diolah dari Komite Kebijakan Penjamin Kredit/Pembiayaan Kepada UMKM, 2012, Kumpulan Peraturan Terbaru KUR
Realisasi penyaluran KUR tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan target penyalurannya. Pada periode 2010 hingga 2014, realisasi penyaluran tumbuh dengan rata-rata 30,7 persen per tahun, sedangkan targetnya hanya tumbuh dengan rata-rata 16,6 persen per tahun. Tidak mengherankan jika realisasi penyaluran KUR, khususnya sejak 2011, selalu melebihi target yang ditetapkan
pemerintah. Ini merupakan indikasi bahwa permintaan terhadap KUR dari UMKM jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diasumsikan pemerintah (Gambar 1).
60000
Juta Rupiah
50000 40000 30000
20000 10000 0 2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Tahun Sumber: Kemenko Perekonomian, Sebaran Penyebaran KUR, berbagai penerbitan.
Gambar 1
Lebih tingginya realisasi penyaluran KUR dibandingkan dengan targetnya membuat pemerintah harus mencari tambahan dana untuk menutupi IJP (Imbal Jasa Penjaminan) kepada perusahaan penjaminan. Di dalam APBN, IJP ditetapkan nominalnya berdasarkan target penyaluran KUR yang diputuskan pemerintah. Dengan demikian, jika realisasi melebihi target, maka IJP yang harus dibayar pemerintah juga mengalami peningkatan. Karena itu, menetapkan target dengan presisi yang tinggi untuk meminimalkan deviasi di antara target dengan realisasi menjadi agenda penting untuk meningkatkan tata kelola KUR. (TNP2K, 2015)
Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang didirikan berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 1962, bertujuan untuk menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah. Usaha-usaha tersebut meliputi pinjaman untuk keperluan investasi, perluasan, rehabilitasi dan modal kerja yang dapat menunjang laju ekonomi daerah baik oleh pemerintah maupun swasta termasuk didalamnya terdapat program KUR. Menurut Sunarsip (2008), BPD diarahkan untuk menopang pembangunan infrastruktur, UMKM, pertanian dan kegiatan ekonomi lain dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tren Total DPK, Aktiva Produktif dan Jumlah Kredit. 300.000 250.000 200.000 150.000 100.000 50.000 2004
2005 DPK
2006
2007
2008
Total Aktiva Produktif
2009
2010
2011
2012
Jumlah Kredit
Sumber: Bank Indonesia, 2011 (Diolah).
Gambar 2 Kinerja BPD mengalami pertumbuhan dalam tujuh tahun terakhir. Pertumbuhan kinerja tersebut ditunjukkan pada Gambar 2, dimana dana pihak ketiga (DPK), total aktiva produktif dan penyaluran kredit bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Menurut Sunarsip (2008), indikasi kinerja BPD yang semakin baik adalah dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat untuk menempatkan
dananya di BPD. Adapun komposisi DPK BPD terdiri dari giro, simpanan masyarakat dan sebagian besar lainnya adalah dana milik pemerintah, khususnya pemerintah daerah. Penelitian ini akan menganalisis peran kinerja keuangan BPD terhadap penyaluran kredit BPD kepada sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Penelitian ini juga melihat lebih jauh apabila variabel-variabel independen tersebut digunakan untuk menganalisis kredit UMKM BPD kepada sektor UMKM di Indonesia. Dengan melihat segala fenomena yang menarik mengenai peran kredit Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul, analisis pengaruh kinerja keuangan bank pemerintah daerah konvensional terhadap penyaluran kredit umkm di indonesia. B. Batasan Masalah Penelitian Dalam penelitian ini penulis membatasi hanya data kelompok Bank Pemerintah Daerah Konvensional di Indonesia yang menjadi objek penelitian, variabel kinerja keuangan bank Capital Adequacy Ratio (CAR), Core Capital Ratio (CCR), Return On Assets Ratio (ROA), Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO), dan Liquid Assets Ratio (LAR), serta data bulanan pada kurun waktu Januari 2012 hingga Desember 2015. Dalam penelitian ini juga mengolah data menggunakan metode Error Corection Model (ECM) yang diolah menggunakan Eviews 7.
C. Rumusan Masalah Penelitian Dari latar belakang masalah diats maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? 2. Apakah Core Capital Ratio (CCR) berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? 3. Apakah Return On Assets Ratio (ROA) berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? 4. Apakah Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? 5. Apakah Liquid Assets Ratio (LAR) berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? D. Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tujuan penelitian ini adalah: 1. Apakah Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? 2. Apakah Core Capital Ratio (CCR) berpengaruh terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? 3. Apakah Return On Assets Ratio (ROA) berpengaruh terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia?
4. Apakah Biaya Operasional/Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? 5. Apakah liquid assets ratio (LAR) berpengaruh terhadap jumlah kredit UMKM pada Bank Pemerintah Daerah di Indonesia? E. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapakan dapat membarikan manfaat secara teoritis, sehingga dapat berguna sebagai sumbangan bagi dunia perbankan dan usaha khususnya sektor usaha mikro, kecil dan menegah. Manfaat Praktis Bagi Penulis Menambah wawasan penulis mengenai perbankan dan UMKM dalam menganalisis dampak positif terhadap kredit sektor UMKM di Indonesia. Bagi Lembaga Terkait 1) Sebagai masukan yang membangun bagi perbankan khusunya Bank Pemerintah Daerah guna meningkatkan kualitas usaha kecil menengah dalam pertumbuhan rasio kredit UMKM di Indonesia. 2) Dapat menjadi pertimbangan untuk dinas terkait yang ada di Indonesia sebagai solusi terhadap permasalahan ekonomi yang ada.
Bagi Ilmu Pengetahuan Menambah pengetahuan tentang perkembangan dan efek dari penawaran kredit usaha mikro kecil menengah, sehingga mengetahui berapa besar kontribusi dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional di Indonesia.