BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Penyakit kesehatan
infeksi
yang
merupakan
terus
salah
berkembang
di
satu
dunia.
masalah
Peningkatan
penyakit infeksi ini dapat memberikan pengaruh terhadap penggunaan antibiotik yang tidak
terkontrol
baik secara
kuantitas maupun kualitas sehingga memberikan dampak adanya peningkatan penggunaan antibiotik yang berakibat timbulnya kejadian
resistensi
(Melviani,
Kejadian resistensi khususnya antimikroba
(antibiotik)
2010;
bakteri
merupakan
tidak kalah penting dibandingkan bakteri
itu
resistensi
sendiri ini
(Yuwono
kebanyakan
&
Thomson, terhadap
masalah
1999). berbagai
pandemi
yang
dengan masalah infeksi Biomed,
muncul
2010).
di
Kejadian
negara-negara
berkembang walaupun tidak semuanya demikian (Thomson, 1999; Dharma et al, 2013). Beberapa pandemi resistensi bakteri antara
lain
Streptococcus
Extended Pneumonia
Spectrum
resistant,
ResistantMycobacterium
Tuberculosis,
resistant,
Resistant
Methicillin
Beta-Lactamases, Multidrug-
Enterobacteriaceae
Staphylococcus
Aureus
(MRSA)(Yuwono & Biomed, 2010).
1
2
Staphylococcus aureus (S. Aureus) merupakan bakteri Gram
positif
yang
dapat
menimbulkan
sistemik yang biasanya didapat pada
sebuah
rumah
sakit
infeksi
lokal
dan
dalam infeksi nasokomial
(Yuwono&
Biomed,
2010;
Kayser,
2005). Bakteri ini dapat menyebar melalui kontak langsung skin-to-skin sehingga dapat lebih memudahkan penularan pada tenaga kesehatan, pengunjung rumah sakit dan pasien (Dharma et al, 2013). Seperti penelitian
yang
yang
dilaporkan
dilakukan
oleh
oleh
Vincent,
European
dkk
(1996)
Prevalence
of
Infection In Intensive Care (EPIC) mendapatkan 20.6% dari 10.038 pasien di 1417 Instalasi Perawatan Intensif di Eropa tahun 1992. Dengan pneumonia merupakan terbanyak (46.9%), infeksi
saluran
napas
bawah
(17.8%),
infeksi
traktus
urinarius (17.6%), dan infeksi melalui aliran darah (12%). Mikroorganisme
terbanyak
yang
ditemukan
adalah
Enterobacteriaceae (34.4%), Staphylococcus aureus (30.1%), Pseudomonas
aeruginosa
(28.7%),
Staphylococcus
koagulase
negatif (19.1%), dan jamur (17.1%). Pada
perang
dunia
kedua
terdapat
kejadian
penting
dalam sejarah resistensi S. aureus terhadap antimikroba. Berbagai manifestasi infeksi S. aureus
pada saat itu dapat
diatasi dengan antimikroba penisilin. Penisilin diproduksi oleh
jamur
Penicillium
chrysogenum.
Selama
fermentasi,
3
jamur
ini
menghasilkan
6-aminopenicillanic
acid
yang
memiliki sebuah cincin thiazolidine dan sebuah cincin beta laktam, komponen beta laktam inilah yang merupakan komponen inti fungsi penisilin sebagai bakterisida (Foster, 1996). Tetapi dalam kurun waktu kurang dari lima tahun telah ditemukan
galur
(strain)
resisten
terhadap
antimikroba
tersebut. Di Inggris pada tahun 1948 didapatkan 60% isolat S. aureus telah resisten terhadap penisilin dan pada akhir tahun
1950-an
di
berbagai
negara
Eropa
angka
kejadian
resistensi S. aureus terhadap penisilin telah mencapai ≥90% (Zhang
et al, 2009).
Staphylococcus
aureus
yang
mengalami
resistensi
penisilin kemudian dapat diatasi dengan pemberian metisilin atau disebut Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) (Yuwono & Biomed, 2010). Setelah beberapa tahun menggunakan metisilin, masalah resistensi
muncul
Methicillin
kembali
Resistant
dengan
ditemukannya
Staphylococcus
isolat
Aureus
(MRSA).
Berdasarkan bukti empiris menunjukan bahwa MRSA tidak hanya resisten
terhadap
metisilin
melainkan
juga
resisten
terhadap berbagai antibiotik beta-laktam lainnya seperti oxasilin,
penisilin,
dan
amoksisilin,
sehingga
untuk
pemilihan terapi akan lebih sulit (Yuwono & Biomed, 2010). Namun pada penelitan yang dilakukan oleh M. Saravanan dan
4
Anima Nanda pada tahun 2009 di India, didapati bahwa MRSA masih
sensitif
terhadap
oksasilin.
Hasil
penemuan
ini
berlawanan dengan hasil penelitian yang dilakukan di tempat lain. Hal ini dapat disebabkan karena faktor penggunaan dan pengendalian antibiotik serta pengendalian infeksi (Hadi, 2009; Dharma et al, 2013). Dalam buku yang berjudul Diseases and Disorder: MRSA, infeksi ini pertama kali ditemukan pada pasien-pasien di rumah sakit dan panti jompo di Amerika Serikat pada tahun 1960.
Sejak
epidemi
pertamanya
tahun
1968
di
Amerika
Serikat, hingga kini MRSA masih merupakan masalah utama infeksi nosokomial (Sheen, 2010). Dalam penelitian kasus MRSA di sembilan negara selama lebih dari tiga puluh tahun oleh
Center
for
Disease
Control
and
Prevention
(CDC),
menunjukan bahwa infeksi MRSA menyumbang 2% dari seluruh infeksi Staphylococcus aureus pada tahun 1974. Angka itu meningkat menjadi 22% pada tahun 1995. Kemudian meningkat dengan cepat hingga hampir mecapai 65% pada tahun 2008 dan masih terus berkembang (Gorwitz, 2008). Menurut Clinical Practice Guideline dari Infectious Diseases Society of America tahun 2011, hingga saat ini obat pilihan untuk terapi infeksi MRSA adalah vankomisin. Walaupun demikian, kemanjurannya masih dipertanyakan karena secara
in
vitro
efek
bakterisidalnya
lebih
lambat
5
dibandingkan
dengan
antibiotik
beta-laktam
(LaPlante
&
Rybak, 2004; Dharma et al, 2013). Pada
tahun
1996
timbul
kekhawatiran
karena
telah
ditemukan penyebaran MRSA yang menurun kepekaannya terhadap vankomisin (Yuwono & Biomed, 2010; Brooks et al, 2010). Kegagalan klinis vankomisin diduga dapat disebabkan antara lain
karena
jeleknya
tertentu dan MRSA.
Di
penetrasi
hilangnya aksesori
samping
itu
vankomycin-intermediet
terdapat S.
vankomisin
ke
jaringan
fungsi gen-regulator di laporan
aureus
(VISA)
kasus dan
mengenai
vankomycin-
resistant S. aureus (VRSA). Berdasarkan kekhawatiran dan laporan
kasus
terhadap
tersebut,
MRSA
yaitu
munculnya
salah
alternatif
satunya
dengan
pengobatan menggunakan
Linezolid (Micek, 2007). Berdasarkan klinik
acak
disebabkan
studi sebelumnya yang melibatkan 9 uji
dengan
oleh
3144
MRSA,
subyek.
ternyata
Untuk
linezolid
infeksi lebih
yang
efektif
secara signifikan dibandingkan vankomisin dengan RR 1,09, 95% CI 1,03-1,17 dan angka kesembuhan mikrobiologi pada dewasa RR 1,17, 95% CI 1,04-1,32. Tidak ada satupun uji klinik acak yang melaporkan mortalitas akibat SSTI (skin and
soft
tissue
infections)
maupun
akibat
terapi
yang
diberikan. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada semua penyebab
mortalitas
antara
pemberian
linezolid
maupun
6
vankomisin.
Insidens
kemerahan
lebih
dibandingkan laporan sering
Tampaknya lebih
pada
kelompok
pendek
syndrome,
pada
data pada
yang
vankomisin.
kelompok
dan
diberikan
tersebut,
pruritus,
kelompok
trombositopenia
kelompok
dari
man
sedikit
terjadinya pada
red
durasi yang
linezolid
Namun mual
terdapat
yang
terapi rawat
dan
lebih
linezolid. inap
diberikan
pasien
linezolid
dibandingkan vankomisin. Biaya harian pengobatan juga lebih sedikit dikeluarkan pada kelompok yang diberikan linezolid oral daripada vankomisin injeksi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sekiranya perlu diteliti uji kepekaan antibiotik Linezolid terhadap bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA).
I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dilakukan
latar
penelitian
belakang lebih
di
lanjut
atas
maka
mengenai
perlu
bagaimana
sensitivitas obat Linezolid terhadap bakteri MRSA dan MSSA.
7
I.3 Tujuan Penelitian Tujuan
penelitian
sensitivitas
bakteri
ini
MRSA
adalah dan
untuk
MSSA
membandingkan
terhadap
antibiotik
Linezolid.
I.4 Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai penggunaan senyawa baru sebagai terapi penyakit infeksi,
mengingat
semakin
banyak
bakteri
yang
sudah
resisten terhadap antibiotik. Serta diharapkan penelitian ini
dapat
menjadi
awal
untuk
penelitian
lebih
lanjut
mengenai pengembangan antibiotik baru.
I.5 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenaibakteri
MRSA
dan
hubungannya
dengan
antibiotik
antara lain:
Alternatives
to
Vancomycin
for
the
Treatment
of
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infections oleh Scott T. Micek yang meneliti tentang alternatif treatmen MRSA selain menggunakan linezolid.
Methicillin resistant and susceptible Staphylococcus aureus:
Appraising
therapeutic
approaches
in
the
Northwest of Iran oleh Alka, et al tahun (2013) yang
8
meneliti
tentang
uji
sensitivitas
bakteri
MRSA
terhadap beberapa antibiotik salah satunya Linezolid.
Sensitivity
pattern
of
methicillin
resistant
Staphylococcus aureus isolated from patients admitted in a tertiary care hospital of Pakistan oleh Kaleem, f et al (2010).
In vitro activity of daptomycin & linezolid against methicillin vancomycin
resistant resistant
Staphylococcus enterococci
isolated
aureus& from
hospitalized cases in Central India oleh Sheetalet al (2013)