BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain antibakteri/antibiotika,
antijamur,
antivirus,
antiprotozoa.
Antibiotika
merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotika digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit–penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotika. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotika di berbagai bagian rumah sakit ditemukan 30% sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi, et al., 2008). Secara umum peresepan antibiotika sering suboptimal, tidak hanya di negara berkembang namun juga di negara maju (Gyssens dan Van der Meers, 2001). Penggunaan antibiotika yang tidak tepat dapat menimbulkan berbagai masalah, diantaranya pengobatan akan lebih mahal, efek samping lebih toksik, meluasnya resistensi dan timbulnya kejadian superinfeksi yang sulit diobati (Gyssens, 2005). Data mengenai rasionalitas penggunaan obat di Indonesia masih terbatas. Penelitian tim AMRIN (Antimicrobial Resistance in Indonesia Prevalence and Prevention) di dua rumah sakit pendidikan di Indonesia
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan hanya 21% peresepan antibiotika yang tergolong rasional (Hadi, et al., 2008). Beberapa patogen yang diteliti di Indonesia diketahui telah resisten terhadap antibiotika (Lestari, et al., 2008). Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotika. Di negara yang sudah maju 13 – 37% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotika baik secara tunggal maupun kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di rumah sakit mendapat antibiotika (Dertarani, 2009). Penggunaan antibiotika yang irasional telah diamati sejak lama. Laporan dari suatu rumah sakit di Amerika Serikat pada tahun 1977 mengungkapkan bahwa 34% dari seluruh penderita yang dirawat mendapat terapi antibiotika. Dari jumlah ini 64% tidak mempunyai indikasi atau tidak diberikan dengan dosis yang tepat (Setiabudy, 2007). Penelitian kualitas penggunaan antibiotika dilakukan untuk mengetahui rasionalitas penggunaan antibiotika. Gyssens et al., (2001) mengembangkan penelitian penggunaan antibiotika untuk menilai ketepatan penggunaan antibiotika seperti: ketepatan indikasi, ketepatan pemilihan berdasarkan efektivitas, toksisitas, harga dan spektrum, lama pemberian, dosis, interval, rute dan waktu pemberian. Metode Gyssens merupakan suatu alat untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotika yang telah digunakan secara luas di berbagai negara (Pamela, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Suatu survei yang dilakukan di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 76,8% penggunaan antibiotika untuk profilaksis bedah adalah tidak rasional dalam hal indikasi atau lama pemberian. Survei serupa juga pernah dilakukan oleh tim AMRIN study di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSUP Dr Kariadi Semarang tahun 2002 menunjukkan 83% pasien mendapat antibiotika dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional sebanyak 60%. Hasil penilaian kualitas penggunaan antibiotika di RSUP Dr Kariadi antara lain 19-76% tidak ada indikasi, 9-45% tidak tepat (dosis, jenis, dan lama pemberian) dan 1-8% tidak ada indikasi profilaksis. Di bagian Bedah tingkat penggunaan antibiotika yang rasional kurang dari 20% (Dertarani, 2009). Dalam pedoman penggunaan Antibiotika RSUD Dr. Soetomo, infeksi paska bedah pada daerah luka operasi ataupun jaringan lunak merupakan masalah yang sering dijumpai tetapi sebenarnya bisa dihindari. Penggunaan antibiotika yang tidak rasional baik oleh dokter ataupun masyarakat umum dapat menyebabkan timbulnya resistensi kuman, meningkatnya efek ikutan obat, dan meningkatkan biaya pengobatan bila biaya tersebut dihubungkan dengan penanganan infeksi paska bedah. Dalam menggunakan antibiotika hendaknya didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: peta medan kuman, spektrum antibiotika, efektifitas, aspek farmakodinamik serta farmakokinetik, keamanan, pengalaman klinik sebelumnya, kemungkinan terjadinya resistensi kumat, terjadinya super infeksi dan harga. Diagnosis infeksi sedapat mungkin ditunjang tes kepekaan mikrobiologi. Sebelum penggunaannya apakah untuk profilaksis atau terapi. Penggunaan profilaksis
Universitas Sumatera Utara
dapat merupakan profilaksis bedah dan non bedah. Penggunaan terapetik dapat secara empiris educated guess ataupun secara pasti (definitif). Yang dimaksud dengan antibiotika profilaksis pada pembedahan ialah antibiotika yang diberikan pada penderita yang menjalani pembedahan sebelum adanya infeksi, tujuannya ialah untuk mencegah terjadinya infeksi akibat tindakan pembedahan yaitu infeksi luka operasi (ILO) atau surgical site infection (SSI). ILO dapat dibagi dalam 3 kategori yaitu superficial meliputi kulit dan jaringan subkutan, deep yang meliputi fasia dan otot, serta organ/ space yang meliputi organ dan rongga tubuh (Reksoprawiro, 2008). Dari 23 juta penderita yang dilakukan pembedahan di Amerika Serikat setiap tahun, 920.000 penderita mengalami ILO. Penderita yang mengalami ILO perlu rawat inap selama 2 kali lebih lama dan harus mengeluarkan biaya 5 kali lebih banyak daripada yang tidak mengalami ILO. Faktor penderita yang mempermudah terjadinya ILO ialah obesitas, diabetes, co-morbid, infeksi ditempat lain, mengalami pembedahan kontaminasi, rawat inap pre-operatif yang panjang, menjalani operasi yang lama (>2 jam), karier Staphylococcus aureus, dan pertahanan tubuh yang lemah. Faktor ahli bedah yang mempermudah terjadinya ILO ialah karier Saphylococcos aureus dan Streptococcus pyogenes, dan skill yang kurang terampil. Faktor kuman yang mempengaruhi terjadinya ILO ialah virulensi serta jumlah kuman, dan port d’entry. Di rumah sakit modern, 30-50% antibiotika digunakan untuk tujuan profilaksis, walaupun beberapa antibiotika tersebut cara penggunaannya tidak sesuai dengan protokol (Reksoprawiro, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian serupa di RSUP H. Adam Malik, secara retrospektif dan prospektif pada pasien paska bedah di ruang rawat inap terpadu, yang mana RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A, yang terletak di jalan Bunga Lau no.17 Padang Bulan Medan. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit pusat rujukan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Barat, dan Provinsi Riau. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di ruang inap terpadu B (Rindu B) yang terdiri dari ruang inap terpadu B2 (ruang A dan B) dan ruang inap terpadu B3. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian atau masukan kepada Rumah Sakit, khususnya professional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat. 1.2 Kerangka Pikir Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang kualitas penggunaan antibiotika pada pasien paska bedah Rindu B di RSUP H. Adam Malik, mengevaluasi antibiotika yang digunakan berdasarkan metode Gyssens. Dalam hal ini, terdapat beberapa kategori berdasarkan alur yang ditetapkan oleh Gyssens sebagai penentu kualitas penggunaan antibiotika yang rasional dan tidak rasional. Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.
Universitas Sumatera Utara
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Penggunaan antibotik
Kualitas
Parameter • • • • • •
Kategori Gyssens dkk Rasional (Kategori 0)
Indikasi Dosis Lama pemberian Rute pemberian Jenis antibotik Tipe terapi
Tidak rasional (Kategori I – V)
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian
1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. bagaimanakah kualitas penggunaan antibiotika pada pasien paska bedah Rindu B di RSUP H. Adam Malik? b. Bagaimanakah persentase penggunaan antibiotika yang paling sering diresepkan berdasarkan jenis terapi pada pasien paska bedah Rindu B di RSUP H. Adam Malik? c. berapakah jenis antibiotika yang digunakan pasien dan lama rawat pasien paska bedah Rindu B di RSUP H. Adam Malik? d. berapakah biaya penggunaan antibiotika selama perawatan pada pasien paska bedah Rindu B di RSUP H. Adam Malik?
Universitas Sumatera Utara
1.4 Tujuan Penelitian a. mengetahui kualitas penggunaan antibiotika menggunakan metode Gyssens pada pasien paska bedah Rindu B di RSUP H. Adam Malik b. mengetahui antibiotika yang paling sering diresepkan berdasarkan jenis terapi pada pasien paska bedah Rindu B di RSUP H. Adam Malik c. mengetahui jenis antibiotika yang digunakan pasien dan lama rawat di Rindu B RSUP H. Adam Malik d. mengetahui biaya penggunaan antibiotika selama perawatan pada pasien paska bedah di RSUP H. Adam Malik
1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: a. memberikan informasi dan data-data ilmiah mengenai penggunaan antibiotika terhadap
pasien paska bedah Rindu B di RSUP H.
Adam Malik b. sebagai masukan bagi rumah sakit untuk meningkatkan penggunaan antibiotika terhadap
pasien paska bedah Rindu B di RSUP H.
Adam Malik secara lebih rasional dan bijak c. sebagai landasan bagi profesional kesehatan untuk meningkatkan upaya pelayanan kesehatan dengan meningkatkan perannya dalam penggunaan antibiotika pada pasien paska bedah.
Universitas Sumatera Utara