BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan bagi anak yang dimulai sejak anak berada dalam kandungan sampai berusia kurang lebih delapan tahun (Santoso, 2002). Adapun kegiatan pendidikan bagi anak usia dini dapat berupa Kelompok Bermain, Taman Kanak-kanak, Raudathul Athfal, Tempat Penitipan Anak, dan lembaga pendidikan sejenis. Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal merupakan salah satu lembaga pendidikan yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar (Depdiknas, 2004). Hal tersebut menjelaskan bahwa Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal merupakan lembaga pendidikan anak yang membantu mempersiapkan anak untuk memasuki jenjang pendidikan sekolah dasar. Salah satu fungsi dari Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal atau lembaga sejenisnya adalah mengembangkan kemampuan sosialisasi (Syaripudin, 2004). Child berpendapat kemampuan sosialisasi pada masa kanak-kanak memiliki peran yang sangat penting yang harus dikembangkan dengan baik karena pengembangan kemampuan sosialisasi akan memengaruhi perilaku sosial anak serta kehidupan anak dalam bermasyarakat nantinya (Lindzey, 1959: 655). Hurlock menyatakan (1978: 257) ada beberapa catatan yang menunjukkan bahwa pemberian pengalaman sosial dan kemampuan sosialisasi pada masa kanak-kanak akan memengaruhi perilaku sosial anak pada masa yang akan
1
2
datang. Hal ini disebabkan pengalaman sosial dan kemampuan sosialisasi pada masa kanak-kanak akan membentuk sikap sosial yang cenderung menetap dan sulit diubah. Hal ini pun memengaruhi kemampuan anak dalam mengikuti kegiatan bermasyarakat, dan memengaruhi kemampuan anak untuk diterima dalam kehidupan bermasyarakat, serta akan membentuk dan menentukan pola khas perilaku anak, serta memengaruhi terbentuknya kepribadian anak (Hurlock, 1978: 257) yang semua itu akan menentukan kehidupan sosial anak nantinya. Hal di atas merupakan salah satu alasan yang menjadikan pengembangan kemampuan sosialisasi menjadi salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan
pada
anak.
Pengembangan
kemampuan
sosialisasi
anak
dilaksanakan dengan harapan anak dapat belajar mengenal, menghargai dan berhubungan baik dengan orang-orang di sekitarnya (Depdiknas, 2004). Nugraha dan Rahmawati menyatakan (2004) bahwa anak usia dini (empat sampai lima tahun) semestinya sudah mampu membina hubungan dengan orang lain di luar dirinya, mengikuti aturan yang ada dalam lingkungannya, dan dapat bermain bersama dengan temannya dan mengurangi tingkah laku bermusuhan. Depdiknas menyatakan (2004) pengembangan kemampuan sosial anak usia dini bertujuan agar anak dapat berinteraksi dengan sesamanya secara baik, serta menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup. Dalam hal ini, pengembangan
kemampuan
sosial
anak
usia
dini
diarahkan
untuk
mengembangkan kemampuan atau keterampilan sosial anak di masyarakat, baik itu teman sebayanya ataupun orang dewasa, sehingga anak memiliki kemampuan sosial yang baik dan dapat menjadi individu yang dapat diterima oleh masyarakat.
3
Pengembangan kemampuan sosialisasi anak usia dini biasanya diberikan dalam bentuk pembiasaan, anak mengikuti kegiatan atau rutinitas yang ada di sekolah. Depdiknas menjelaskan (2004) bahwa pembiasaan ini bertujuan untuk membina anak agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan orang dewasa, serta dapat menolong dirinya dalam rangka kecakapan hidup. Pembiasaan itu harus diberikan oleh lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang, antara lain rumah dan sekolah. Hal ini sejalan dengan keputusan Mendikbud No. 0125/U/1994 yang mengatakan bahwa salah satu fungsi dari TK atau lembaga sejenisnya, yaitu membantu mengembangkan dan menanamkan kemampuan sosialisasi anak sesuai dengan norma yang ada (Syaripudin, 2004: 55). Berdasarkan observasi di lapangan, (Muharromi, 2009) ada beberapa masalah yang muncul dalam kemampuan sosialisasi anak usia dini di RA Bustanul Athfal Kelas B. Anak seringkali mendapat kesulitan dalam berinteraksi dengan temannya, misal ketika anak tidak dapat menunggu giliran, tidak mau bermain bersama, tidak mau meminta sesuatu dengan baik dan cenderung merebutnya, selalu ingin menonjol dan tak mau mengalah. Beberapa anak pun memiliki kesulitan untuk berinteraksi dengan orang dewasa lainnya di sekolah. Contohnya, tidak mau menjawab saat ditanya oleh guru, tidak mau mengikuti aturan atau perintah dari guru. Padahal di sekolah anak selalu dibiasakan berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik, misalnya untuk berteman baik, berbagi mainan atau makanan, melatih keberanian, menunggu giliran ataupun
4
bersabar (menahan amarah) dan dibiasakan untuk mengikuti aturan yang ada di sekolah. Hasil observasi kemampuan sosialisasi anak usia dini yang dilakukan Muharromi (2009) di RA Siti Khadijah menunjukkan beberapa masalah yang muncul. Di antaranya adalah beberapa anak tidak dapat mengikuti arahan atau aturan yang diberikan oleh guru dan anak tidak menghiraukan arahan atau aturan yang diberikan dan cenderung membangkang. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikatakan bahwa kemampuan sosialisasi anak usia dini siswa RA Bustanul Athfal dan siswa RA Siti Khadijah Kelas B masih kurang. Dengan demikian, diperlukan suatu cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi yang dimiliki oleh anak. Banyak metode belajar yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan sosialisasi anak agar dapat muncul dari dalam diri anak sejak dini. Hurlock berpendapat (1978: 250) ada beberapa hal yang memengaruhi perkembangan kemampuan sosialisasi anak,
yaitu pemberian kesempatan, kemampuan
berkomunikasi, motivasi dan pemilihan metode yang efektif. Selanjutnya, Chen (2006) mengatakan bahwa metode cooperatif learning dan role playing dapat membantu meningkatkan kemampuan sosialisasi anak. Dari paparan di atas, salah satu alternatif yang dapat menyelesaikan permasalahan, yaitu penggunaan pembelajaran kooperatif. Lie berpendapat (2005: 29) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar bersama dengan teman yang lain dalam kelompok yang lebih
efektif.
Pembelajaran
kooperatif
merupakan
pembelajaran
yang
5
mengembangkan interakasi dan hubungan anak dengan temannya sendiri (Yudha dan Rudiyanto, 2005: 49). Dalam pembelajaran kooperatif, anak diberikan kesempatan untuk berinteraksi lebih dengan teman yang lain sehingga diharapkan kemampuan sosialisasinya pun dapat berkembang dengan baik. Dengan memberikan kesempatan berinteraksi lebih banyak, maka kemampuan sosialisasi anak pun akan lebih berkembang dan terasah (Hurlock, 1978: 251). Kemampuan sosialisasi ini akan lebih bermakna dan tertanam pada diri anak karena anak memeroleh kemampuan sosialisasi melalui proses keterampilan sosial yang dikembangkannya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan konstruktivisme yang menekankan pentingnya keterlibatan anak secara langsung dalam proses belajar, dengan memberikan kesempatan anak untuk membangun dan memanipulasi objek atau ide secara langsung (Solehuddin, 2000: 50). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Glisessman dan Pugh (1994) yang menerangkan bahwa siswa memperoleh peningkatan nilai prestasi dan keterampilan dengan berlatih bersama-sama dibandingkan dengan berlatih satu arah. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai prestasi dan keterampilan sosial anak yang signifikan (Glisessman dan Pugh, 1994). Selanjutnya Mulryan (1992) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pembelajaran matematika yang diberikan dengan teknik kooperatif di kelompok kecil menjadikan siswa lebih aktif dalam pembelajaran dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Penelitian Mulryan (1994) selanjutnya mengarah pada penilaian persepsi siswa dan guru dalam pembelajaran kooperatif yang hasilnya adalah guru dan
6
murid secara umum setuju mengenai tujuan dan keuntungan dari pelaksanaan kooperatif kelompok kecil dalam pembelajaran dan pengembangan kemampuan sosialisasi. Mulryan berpendapat (1994), dengan motif kerja sama, dukungan serta kesempatan untuk berinteraksi dan berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif, siswa ditekankan pada perkembangan aspek sosial, sedangkan guru lebih ditekankan pada peningkatan nilai prestasi siswa. Pembelajaran kooperatif ini memiliki teknik-teknik antara lain teknik jigsaw, mencari pasangan, bertukar pasangan dan lain lain (Yudha, 2005: 67). Fokus dari penelitian ini menggunakan pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan. Teknik mencari pasangan merupakan teknik kooperatif yang mengarahkan anak untuk mencari pasangan berdasarkan konsep tertentu (Lie, 2005: 55). Dalam teknik ini, anak berpasangan dengan anak lain yang tidak diperkirakannya sehingga kesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosialisasi anak lebih maksimal. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Ramdhan (2008) dalam penelitiannya di tingkat SD bahwa pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan (make a match) mampu menciptakan suasana belajar aktif dan menyenangkan, memupuk kerja sama siswa dalam menjawab pertanyaan, meningkatkan antusiasme belajar siswa, dan meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Penelitian Lismayanti (2008) yang dilakukan di TK, menunjukkan bahwa pembelajaran
kooperatif
teknik
mencari
pasangan
dapat
meningkatkan
7
keterampilan sosial anak sebanyak 73%. Hasil penelitian ini juga menunjukkan hampir semua anak menguasai keterampilan sosial dengan baik. Keterampilan sosial yang dikuasai anak di dalam penelitian tersebut meliputi keterampilan mendengarkan, keterampilan bertanya, keterampilan menjalin
dan
memelihara
pertemanan,
keterampilan
bekerjasama
dan
keterampilan mau berbagi (Lismayanti, 2008). Meskipun telah cukup banyak sumber dan hasil penelitian mengenai pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap kemampuan sosialisasi anak, akan tetapi sumber dan hasil penelitian mengenai pengaruh pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan terhadap kemampuan sosialiasi pada anak usia dini masih sangat sedikit. Latar belakang ini memberikan dorongan untuk melakukan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini berjudul, Efektivitas Pembelajaran Kooperatif Teknik Mencari Pasangan terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Usia Dini.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kondisi awal kemampuan sosialisasi anak usia dini kelompok kontrol (kelas B RA Bustanul Athfal) dan kelompok eksperimen (kelas B RA Siti Khadijah)? 2. Bagaimana kondisi akhir kemampuan sosialisasi anak usia dini kelompok kontrol (kelas B RA Bustanul Athfal) dan kelompok eksperimen (kelas B RA Siti Khadijah)?
8
3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan sosialisasi anak usia dini kelompok kontrol (kelas B RA Bustanul Athfal) dan kelompok eksperimen (kelas B RA Siti Khadijah)?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kondisi awal kemampuan sosialisasi anak usia dini kelompok kontrol (kelas B RA Bustanul Athfal) dan kelompok eksperimen (kelas B RA Siti Khadijah). 2. Mengetahui kondisi akhir kemampuan sosialisasi anak usia dini kelompok kontrol (kelas B RA Bustanul Athfal) dan kelompok eksperimen (kelas B RA Siti Khadijah). 3. Mengetahui perbedaan yang signifikan antara kemampuan sosialisasi anak usia dini kelompok kontrol (kelas B RA Bustanul Athfal) dan kelompok eksperimen (kelas B RA Siti Khadijah).
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat teoretis Bagi bidang keilmuan pendidikan anak usia dini, dapat memberikan sumbangan ilmiah untuk meningkatkan perkembangan sosial terutama dalam kemampuan sosialisasi anak usia dini melalui pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan.
9
2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti Peneliti
memperoleh
pengalaman
dan
wawasan
pribadi
dalam
mengembangkan program pengembangan sosial, khususnya kemampuan sosialisasi pada anak usia dini. b. Bagi guru 1) Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi bagi anak usia dini. 2) Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dalam melakukan pengkajian lebih lanjut melalui kegiatan penelitian peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak usia dini. c. Bagi lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Lembaga mendapatkan kontribusi yang dapat meningkatkan dan mengembangkan program pembelajaran, khususnya dalam pengembangan kemampuan sosialisasi anak usia dini.
E. Asumsi Penelitian Penelitian ini didasarkan pada asumsi sebagai berikut. 1. Pengembangan kemampuan sosialisasi saat kanak-kanak memiliki peranan yang penting bagi kehidupan sosial dan pembentukan perilaku sosial nantinya.
10
2. Pemberian kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi pada anak dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi anak. 3. Penggunaan dan pemilihan metode atau strategi belajar memiliki pengaruh dalam menentukan baik atau buruknya kemampuan peserta didik yang akan dikembangkan. 4. Pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan dapat membantu mengembangkan kemampuan sosialisasi anak usia dini.
F.
Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Ho = tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan postest kemampuan sosialisasi anak usia dini pada kelompok kontrol dengan kemampuan sosialisasi anak usia dini pada kelompok eksperimen. Ho : µ a = µ b 2. Ha = terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pretest dan postest kemampuan sosialisasi anak usia dini pada kelompok kontrol dengan kemampuan sosialisasi anak usia dini pada kelompok eksperimen. Ha : µ a ≠ µ b Hipotesis dalam penelitian ini akan diuji dengan menggunakan α = 0.05.
G.
Metode Penelitian Dari berbagai jenis metode kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode
eksperimen dengan jenis kuasi eksperimen. Metode kuasi eksperimen ini
11
digunakan untuk mencari pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Penelitian kuasi eksperimen dilakukan karena penelitian ini tidak memakai teknik randomization (sampel yang diacak) tetapi menggunakan kelompok yang sudah tersedia (intact group) di sekolah. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan instrumen yang telah dikembangkan oleh Meller (1994), yaitu Preschool and Kindergarten Behavior Scale (PKBS) yang membahas tentang keterampilan sosial. Untuk mengumpulkan data dalam penelitian eksperimen ini, penelitian meggunakan teknik observasi dan dokumentasi. 1. Observasi Arikunto (2006: 156) berpendapat bahwa observasi adalah suatu pengamatan yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap suatu objek dengan menggunakan seluruh alat indra. Kegiatan yang akan di observasi pada anak yaitu kemampuan sosialisasinya sebelum dan sesudah penerapan pembelajaran kooperatif yang meliputi kemampuan berkomunikasi, berinteraksi dan menyesuaikan diri 2.
Dokumentasi Studi
dokumentasi
Studi
dokumentasi
merupakan
suatu
teknik
pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun eloktronik (Arikunto, 2006: 156). Dokumen- dokumen tersebut dikumpulkan dan dianalisis sebagai bahan laporan penelitian. Analisis dapat disajikan dalam kutipan utuh dan dalam bentuk uraian hasil analisis yang kritis dari peneliti.
12
H. Sampel Penelitian Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa kelas B di RA Bustanul Athfal yang berjumlah 14 anak dan seluruh siswa kelas B di RA Siti Khadijah yang berjumlah 13 anak. Adapun kriteria populasi didasarkan pada usia anak, yaitu usia 5-6 tahun. Arikunto menyatakan (2001: 51) penentuan sampel bagi jumlah populasi yang kurang dari seratus dapat digunakan teknik total sampling, artinya seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Pembagian populasi dan sampel untuk kelompok kontrol dan kelompok eksperimen adalah sebagai berikut. 1. Kelompok eksperimen (Kelas B RA Bustanul Athfal) yang terdiri atas 14 anak. 2. Kelompok kontrol (kelas B RA Siti khadijah) yang terdiri atas 13 anak.
I.
Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. 1. RA Bustanul Athfal berada di jalan Raya Barat Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat. 2. RA Siti Khadijah berada di Kampung Kandang Sapi Kecamatan Cililin Kabupaten Bandung Barat.