BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa perubahan yang mendasar mengenai pengaturan hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang dikenal dengan era otonomi daerah. Otonomi daerah dapat didefinisikan sebagai kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengelola semua sektor administratif pemerintah. Menurut Mardiasmo (2002), tujuan utama dari penyelenggaraan otonomi daerah tidak lain adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dan memajukan perekonomian daerah. Maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerahlah yang lebih mngetahui kebutuhan dan standar pelayanan bagi masyarakat didaerahnya. Dalam Nikijuluw (2012), disebutkan bahwa salah satu konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah adanya desentralisasi fiskal yang ditandai dengan timbulnya suatu distribusi anggaran kepada daerah sebagai konsekuensi atas
penyerahan
ataupun
pelimpahan
wewenang
pemerintahan.
Dalam
implementasinya, melalui mekanisme desentralisasi fiskal, daerah diberikan
sumber-sumber pendanaan serta kewenangan membelanjakan dana tersebut sesuai kebutuhan dan prioritas daerah. Dalam Grand Design Desentralisasi Fiskal Indonesia dikemukakan bahwa meskipun desain desentralisasi fiskal banyak mencakup mekanisme transfer dari pusat ke daerah, local taxing power harus tetap dijaga. Hal ini tercermin dari salah satu misi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, yaitu penguatan pajak daerah tanpa merusak prinsip efisiensi secara nasional. Misi ini juga didukung dengan butir misi lain yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal diharapkan dapat menciptakan suatu daerah yang memiliki sumber daya fiskal yang cukup signifikan untuk menunjang tugas otonominya tanpa membuat pusat kekurangan sumber daya fiskal untuk menjalankan fungsinya sebagai pemerintah negara kesatuan. (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2009, dalam Nikijuluw, 2012) Sebagai apresiasi dan implementasi dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang disahkan pada tanggal 15 September 2009 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Januari 2010. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut memberikan kewenangan dalam pengenaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah agar lebih mendorong pemerintah daerah terus berupaya untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (Setyawan, 2008, dalam Ariwirawan, 2014). Hal penting dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 ini adalah dengan dimasukkannya 2 jenis pajak pusat yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebagai pajak daerah.
Ini merupakan upaya dalam menciptakan kemandirian daerah dan local taxing power sebagaimana konsepsi otonomi menghendaki daerah harus mampu untuk menjalankan roda pemerintahan dan melakukakan pembangunan daerah dengan modal pembiayaan sendiri. Masa transisi pengalihan BPHTB ditetapkan selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dan mulai efektif menjadi pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011. Sedangkan PBB-P2 masih tetap dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak paling lama sampai dengan 31 Desember 2013. Selama masa transisi, pemerintah melakukan berbagai kegiatan untuk mempersiapkan daerah menerima pengalihan BPHTB dan PBB-P2 dari Pemerintah Pusat. (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2011 ) Sebagaimana halnya dengan pajak daerah lainnya, pemungutan BPHTB dan PBB P2 hanya dapat dilakukan setelah adanya Peraturan Daerah (Perda). Perda merupakan dasar hukum yang mengatur kebijakan BPHTB dan PBB-P2 di suatu daerah yang mencakup objek, subjek dan wajib pajak, tarif, dasar pengenaan, dan ketentuan lain yang diperlukan untuk pemungutan sesuai dengan kondisi masyarakat dan karakteristik daerah masing-masing. Pada saat
PBB-P2 dikelola oleh pemerintah pusat,
pemerintah
kabupaten/kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8 % dan BPHTB hanya mendapatkan 64%. Dengan pengalihan ini, penerimaan PBB P2 dan BPHTB akan sepenuhnya masuk ke kas pemerintah kabupaten/kota. Dalam penelitian yang dilakukan Tim Asistensi Kementerian Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2012), sampai 20 April 2012, diketahui bahwa terdapat 474 daerah atau 96,3 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan
Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi BPHTB sekitar 99,991 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Sementara itu, masih terdapat 18 daerah atau 3,7 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan BPHTB sekitar 0,009 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Dengan demikian, 18 daerah yang belum menetapkan Perda tersebut dipastikan akan kehilangan potensi penerimaan BPHTB sekitar Rp 733,8 juta. Berbagai pihak menilai kebijakan tersebut sudah tepat dilakukan, namun yang paling penting adalah bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan sehingga daerah benar-benar dapat melakukan pemungutan BPHTB dan PBB-P2 dengan baik. Untuk melihat apakah kebijakan tersebut sudah diimplementasikan dengan baik, peneliti tertarik untuk melakukan perbandingan keefektifan penerimaan kedua jenis pajak ini antara sebelum dan setelah adanya pengalihan menjadi pajak daerah. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian dengan judul, “ Analisis Efektivitas Penerimaan BPHTB dan PBB-P2 Sebelum dan Setelah Menjadi Pajak Daerah ( Studi Kasus Kota Pekanbaru Tahun 20092014 ) “. Kota Pekanbaru merupakan Ibukota Provinsi Riau yang juga melaksanakan kewenangan pemerintahan pada kabupaten/kota sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Pekanbaru telah melaksanakan pengalihan pemungutan BPHTB pada tahun 2011, hal ini ditandai dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010. Selanjutnya untuk PBB-P2 telah dilaksanakan pemungutan pada tahun 2012 dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011.
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat efektivitas penerimaan BPHTB dan PBB-P2 Kota Pekanbaru sebelum dan setelah menjadi pajak daerah?
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas penerimaan BPHTB dan PBB-P2 Kota Pekanbaru sebelum dan setelah menjadi pajak daerah.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Manfaat Praktis
Diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan dalam usahanya untuk meningkatkan
pendapatan
asli
daerah
guna
membiayai
pembangunan daerah khususnya penerimaan yang berasal dari pajak daerah.
2.
Manfaat Teoritis
Diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya di masa mendatang.
Sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis dipelajari penulis selama masa perkuliahan.
1.5.
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri atas: Bab I : Pendahuluan Bab
ini
mengemukakan
tentang
alasan-alasan
latar
belakang
pengangkatan penelitian ini dalam pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Bab II : Landasan Teori Bab ini berisi tentang uraian mengenai landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti otonomi daerah, pajak secara umum, BPHTB dan PBB-P2, PAD, dan review penelitian terdahulu serta kerangka berpikir. Bab III : Metode Penelitian Pada bab ini dibahas tentang desain penelitian, teknik pengambilan sample dan metode-metode yang digunakan dalam penelitian ini, baik metode dalam mengumpulkan data maupun metode dalam menganalisis data. Bab IV : Hasil dan Pembahasan
Bab ini menjelaskan tentang lokasi penelitian dan pembahasan mengenai tingkat efektivitas penerimaan BPHTB dan PBB-P2 sebelum dan setelah menjadi pajak daerah. Bab V : Penutup Bab ini memuat kesimpulan, saran, serta keterbatasan dalam penelitian ini.