BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ketenagakerjaan merupakan bagian integral dari pembangunan Nasional, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur yang merata, baik material maupun spiritual yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam melaksanakan pembangunan nasional peran serta buruh semakin meningkat dan seiring dengan itu perlindungan buruh harus semakin ditingkatkan baik mengenai upah,kesejahteraan dan harkatnya sebagai manusia (to make more human). Sebagaimana diketahui bahwa Hubungan Industrial di Indonesia didasarkan pada hubungan industrial Pancasila yakni hubungan antara para pelaku proses produksi barang dan jasa (Pekerja, Pengusaha dan Pemerintah) yang didasarkan atas nilai-nilai yang merupakan manifestasi dari keseluruhan nilai/sila-sila Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia. Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyatakan “Hubungan Kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan pada perjanjian kerja yang memiliki unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Salah satu media di dalam pembangunan ketenagakerjaan adalah perusahaan. Dimana perusahaan merupakan salah satu sarana yang memegang peranan penting dalam meningkatkan perekonomian di Indonesia.
Dalam suatu hubungan industrial, para pihak adalah pengusaha dan pekerja. Tidak selamanya hubungan antara pengusaha dan pekerja berjalan dengan baik, dimana kadangkala pengusaha dan pekerja tidak selalu memiliki persamaan pendapat, sehingga perbedaan pendapat antara pengusaha dan pekerja dapat menyebabkan adanya perselisihan hubungan industrial. Perselisihan yang terjadi akibat adanya perbedaan yang mengakibatkan pertentangan, karena pada dasarnya manusia merupakan mahluk sosial yang dalam berinteraksi memiliki persamaan dan perbedaan dalam kepentingan maupun cara pandang, sehingga sangat dimungkinkan terjadinya perselisihan yang berujung pada pemutusan hubungan kerja. Berbagai permasalah kerja dapat pula muncul karena tidak terjaminnya hak-hak dasar dan hak normatif dari tenaga kerja serta terjadinya diskriminasi ditempat kerja. Sehingga menimbulkan konflik yang meliputi yang tingkat upah yang rendah, jaminan kesehatan, jaminan keselamatan kerja, jaminan hari tua, fasilitas yang diberikan oleh perusahaan, dan biasanya berakhir dengan pemutusan hubungan kerja (PHK).1 Permasalahan dalam bidang ketenagakerjaan saat ini telah menjadi pandangan keseharian pada berbagai negara, terutama di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Permasalahan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan terjadi karena peluang kerja sudah semakin sempit, sedangkan jumlah penduduk terus saja mengalami peningkatan. Berkaitan dengan PHK, tenaga kerja selalu jadi pihak yang lemah apabila dihadapkan pada pemberi kerja yang merupakan pihak yang memiliki kekuatan. Sebagai pihak yang selalu dianggap lemah, tidak jarang para tenaga kerja selalu mengalami ketidakadilan apabila dihadapkan dengan kepentingan perusahaan.
1
Surya Perdana, 2001, Pelaksanaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara, Medan, h. 102.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) berdasarkan ketentuan pasal 1 ayat(25) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa: Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.PHK merupakan suatu keadaan dimana buruh berhenti bekerja dari majikannya.PHK bagi pekerja merupakan permulaan dari berakhirnya mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan mencukupi keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya2. Sehingga pemutusan hubungan kerja merupakan peristiwa yang tidak akan diharapkan. Khususnya bagi pekerja, karena pemutusan hubungan kerja akan memberikan dampak psikologis dan financial bagi pekerja dan keluarganya.3 PHK harus dijadikan tindakan terakhir apabila ada perselisihan hubungan industrial. Pengusaha dalam menghadapi para pekerja hendaknya menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya.4 Menurut Pasal 1 ayat (16) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan Tahun 2003) menyatakan “Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang/dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah …..”. Jelas bahwa setiap perselisihan hubungan industrial dalam konteks tersebut haruslah melibatkan unsur pemerintah sebagai salah satu unsur dalam hubungan industrial. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mengintegrasikan proses mediasi ke dalam acara atau proses peradilan. Tetapi tentu saja dalam suatu perselisihan hubungan industrial, tidak semua pihak bersedia menempuh proses peradilan hubungan industrial. Karenanya penyelesaian perselisihan hubungan industrial haruslah lebih mengedepankan proses non litigasi, karena
2
Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 158. F.X. Djumialdji dan Wiwoho Soerjono, 1985, Perjanjian Perburuhan Dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bina Aksara, Jakarta, h. 88. 4 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti, 1998, Masalah PHK Dan Pemogokan, Bina Aksara, Jakarta, h. 129. 3
mediasi yang merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih sederhana, cepat, dan biaya ringan, yang dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan yang memuaskan kedua pihak dapat lebih efektif dan tepat sasaran. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut UU PPHI Tahun 2004) terdapat dua cara penyelesaian, yaitu penyelesaian perselisihan melalui pengadilan hubungan industrial (litigasi) dan diluar pengadilan hubungan industrial (non litigasi) yang meliputi penyelesaian secara bipartid, mediasi, konsiliasi, atau arbitrase. Setiap perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartid. Perundingan bipartid dilakukan dengan cara musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila dalam perundingan bipartid tidak terjadi kesepakatan maka, salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Selanjutnya dinas ketenagakerjaan dan transmigrasi akan menawarkan mediasi untuk perselisihan PHK. Dengan demikian jika terjadi sengketa hukum (legal dispute) menyangkut dengan ketenagakerjaan, maka penyelesaiannya dapat diajukan melalui peradilan khusus selain peradilan biasa atau bentuk-bentuk penyelesaian lain diluar peradilan, seperti arbitrase, konsilisasi dan mediasi. Penyelesaian perselisihan PHK dapat dilakukan yang salah satunya adalah melalui mediasi, dimana upaya tersebut sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang menentukan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa PHK secara musyawarah/mufakat yang dianjurkan terdiri dari unsur pengusaha dan buruh, sehingga penyelesaian perselisihan dapat terselesaikan
dengan memberikan kebaikan bagi para pihak (win-win solution). Namun win-win solution yang diharapkan akan kembali terbentur pada masalah klasik yang biasanya dilakukan oleh pihak pengusaha, dimana kebanyakan pengusaha selalu berusaha ingkar dalam pelaksanaan isi kesepakatan. Antara lain karena tidak adanya transaparansi ataupun karena terjadinya korupsi, kolusi dan nepositsme (KKN) yang semakin parah, sehingga netralitas yang diharapkan tidak pernah ada. Itulah sebabnya pekerja/buruh secara perseorangan yang terkena PHK selalu berusaha untuk menghindari proses penyelesaian sengketa melalui proses litigasi, karena secara waktu dan keuangan, mereka biasanya tidak punya kemampuan untuk melalui proses tersebut dibandingkan pengusaha. Dalam mekanisme pemberian izin PHK, dimana tahap tersebut merupakan usaha terakhir untuk memberikan perlindungan bagi buruh, nyaris tidak ada izin yang ditolak. Jadi tahapan tersebut hanya semata-mata untuk menjaga dan kemudian membicarakan besaran pesangon tanpa menelaah alasan-alasan PHK secara lebih mendalam. Adanya situasi tersebut bukan berarti telah ada
kegagalan secara konsepsional dan intitusional, melainkan hanyalah kegagalan dalam
pelaksanaannya. Oleh Karena itu, pelaksanaan PHK harus dibenahi. PHK hanya boleh dilakukan pengusaha, apabila telah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Disinilah terjadi kekosongan hukum (norma kosong), sebab UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 sebagai regulasi perburuhan terbaru justru tidak mengakomodasi hal ini. Sebab undang-undang tersebut tidak menyatakan bahwa PHK merupakan hal yang dilarang.Dalam proses perundingan mengenai nasib buruh setelah PHK, pihak buruh yang diresepentasikan melalui organisasi buruh, dapat menggunakan golden shake hand, mekanisme ini akan sangat ampuh bagi buruh jika mereka bersatu, maka stabilitas perusahaan akan terganggu. Disinilah undang-undang
memainkan
peranan penting, yaitu sebagai pelindung buruh. Pemerintah sebagai salah satu unsur dalam hubungan industrial harus lebih mengedepankan terjadinya kesepakatan diantara pihak buruh dan pengusaha sebagai salah satu syarat sebelum memberikan izin PHK bagi pengusaha. Penyelesaian perselisihan PHK melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten atau kota. Menurut Pasal 1 ayat (12) UU PPHI Tahun 2004, mediator yang berperan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan aturan tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Berdasarkan latar belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul : Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial Melalui Mediasi.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana peran dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial? 2. Bagaimanakah mediasi sebagai salah satu cara di dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun permasalahan pertama dibatasi hanya padabagaimana mediasi dianggap sebagai upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial terutama pemutusan hubungan kerja dalam perusahaan.Permasalahan kedua dibatasi hanya pada bagaimana peran dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja dalam perusahaan.
1.4. Orisinalitas Penelitian Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 1(satu) skrispi dan 1 (satu) tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan ketenagakerjaan, yaitu: 1.
Penelitian mengenai perlindungan bagi pekerja sehubungan adanya pemutusan hubungan kerja yang tinjauannya melalui sejarah hukum dilaksanakan oleh H.P. Rajagukguk (1993) dari program Ilmu Hukum Universitas Indonesia di Jakarta, dengan pokok bahasan mengenai “Kajian Terhadap Tindakan Hukum PHK di Masa Hindia Belanda Setelah Kemerdekaan (1950-1954) Dan di Masa Orde Baru (1966-1992)”.
2.
Agusmidah dari Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (2007) di Medan, pernah melaksanakan penelitian yang berhubungan dengan ketenagakerjaaan, judul penelitiannya yaitu: “Politik Hukum Dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundangundangan Ketenagakerjaan”.
1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan umum 1. Untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigm ilmu sebagai proses. Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan pernah berhenti dalam penggaliannya atas kebenarannya di bidang obyeknya masing-masing; 2. Untuk melatih diri dalam menyampaikan pikiran ilmiah secara tertulis; 3. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa; 4. Untuk penyelesaian studi dibidang ilmu hukum; 5. Untuk mengetahui peran dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja; 6. Untuk mengetahui mediasi sebagai upaya penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja.
1.5.2. Tujuan khusus 1. Untuk memahami peran dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja; 2. Untuk memahami mediasi sebagai upaya penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja;
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat teoritis
1.
Dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk pengembangan dan pembaharuan hukum terutama dalam hal penyelesaian sengketa yang menggunakan mediasi akibat adanya PHK oleh perusahaan;
2.
Dapat menambah khasanah kepustakaan yang dirasakan masih minim secara umum dan juga diharapkan dapat memberi manfaat bagi penelitian dalam bidang hukum ketenagakerjaan untuk selanjutnya;
3.
Dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi lembaga legislatif dalam merumuskan undang-undang;
4.
Dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dan pada pelaku usaha maupun para pekerja dan juga
berbagai
kalangan
yang
menaruh
perhatian
terhadap
persoalan-persoalan
ketenagakerjaan; 5.
Dapat memberikan kontribusi/sumbangan pemikiran bagi semua pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, karena perselisihan hubungan industrial merupakan masalah yang hendaknya diselesaikan dengan cepat dan tepat yang menghasilkan win-win solution;
6.
Dapat menambah pengalaman dan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian hukum.
6.1.2. Manfaat Praktis 1.
Penelitian ini dapat dipergunakan sebagai pedoman baik pemerintah, pengusaha, pekerja, maupun para praktisi atau siapa saja yang membacanya untuk menyelesaikan permasalahan yang sejenis.
1.7 Landasan Teoritis Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya
dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.5 Kerangka teori merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang dianalisis. Teori dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasikan dan mensistemasasikan masalah yang dibicarakan.6 Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis. Sebagaimana ditegaskan oleh William E. Brock dengan teori Labor Management Cooperation, bahwa negara harus membangun satu suasana kerjasama yang utuh berdasarkan konsep nilai luhur yaitu kesetaraan dan sikap saling menghormati antara pekerja dan pengusaha.7 Teori ini akan menjelaskan bahwa sesungguhnya mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian perselisihan yang di angkat oleh UU PPHI yang merupakan usaha untuk menyalurkan kepentingan antara pekerja dan pengusaha apabila terjadi perbedaan pendapat dan bahkan perselisihan. Selain itu mediasi merupakan implementasi dari nilai luhur masyarakat Indonesia yaitu musyawarah mufakat. Sehingga secara filosofis kelahiran mediasi ketenagakerjaan tidak lepas dari budaya asli masyarakat Indonesia sebagaimana dikatakan oleh William E. Brock. Musyawarah dan mufakat itu sendiri merupakan bagian dari budaya manusia, sementara kesepakatan yang dilakukan antara pengusaha danpekerja mengandung komponen budaya yang disebut budaya hukum. Nilai-nilai budaya mempunyai kaitan erat dengan hukum karena hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Nilai tidak
5
Soerjono Soekanto 1, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta, h.30. M. Solly Lubis , 1994, Filsafat Hukum Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, h. 80. 7 Stephen I, Scolessberg dan Steven Fetter, 1987, US Labor Law And The Future of Labor Management Cooperation, Chicago llionis: The Labor Lawyer, Volume 3, h. 12-13. 6
bersifat kongkrit melainkan sangat abstrak dan dalam prakteknya bersifat subjektif, agar dapat berguna maka nilai abstrak dan subjektif itu harus lebih dikongkritkan. Wujud kongkrit dari nilai adalah dalam bentuk norma. Norma hukum bersifat umum yaitu berlaku bagi siapa saja.8 Nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika, moral tercermin dari sikap dan tingkah laku seseorang. Pada situasi seperti ini maka sudah memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia. Sikap masyarakat yang patuh dan taat pada hukum akan memperlancar low enforcement. Sikap moral masyarakat yang akan ada akan lembaga dalam suatu budaya hukum (legal culture). Sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum sangat mempengaruhi bagi berhasil atau tidaknya penegakan hukum itu sendiri dalam kehidupan masyarakat.9 Lawrence M. friedmen menyatakan bahwa yang dimaksud dengan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Nilai pemikiran,serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum.10 Beliau juga menyatakan bahwa budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak akan berdaya11 jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor sarana atau fasilitas merupakan faktor yang cukup penting dalam upaya penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang mendukung, maka tidak mungkin penegakan hukum dapat berjalan lancar. Hal ini meliputi sumber daya manusia yang terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai serta keuangan yang cukup.12
8
R. Rosjidi Rangga Widjaja, 1996, Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Gramedia Pustaka, Jakarta, h.
250. 9
Darji Darmadihardjo dan Sidharta, 1989, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka, Jakarta, h. 140. Ibid 11 Soerjono Soekanto 1, op. cit., h. 27 12 Ade Maman Suherman, 2004, Perbandingan Sistem Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 16. 10
Faktor penting dalam menyelesaikan sengketa yaitu konsensus di antara para pihak yang bersengketa. Kenyataannya bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan atau otoritas (authority)13 secara tidak merata. Begitu juga dalam dunia usaha bahwa pengusaha mempunyai otoritas yang cukup besar karena sebagai owner (pemilik) dari perusahaan dibandingkan dengan tenaga kerja yang posisinya sangat lemah. Bentuk penyelesaian sengketa yang pertama dan paling penting adalah negosiasi (negosiation). Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan timbulnya pola diskusi atau negosiasi dalam pengambilan keputusan diantara para pihak yang berlawanan terhadap persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Di dalam mediasi kedua belah pihak yang bertentangan menyetujui untuk menerima pihak ketiga menyelesaikan sengketanya. Tetapi mereka bebas untuk menerima atau menolak keputusan tersebut. Melalui mekanisme pengendalian sengketa yang efektif akan menjadikan suatu kondisi yang kondusif. Dengan kata lain dalam mediasi kekuasaan tertinggi ada di para pihak masingmasing yang bersengketa. Mediator sebagai pihak ketiga yang dianggap netral hanya membantu atau memfasilitasi jalannya proses mediasi saja. Sebagaimana diungkapkan oleh Karl A. Slaikeu, bahwa: “Mediation is a process through which a third party helps two or more other parties achieve their own resolution on one or more issues”14 Proses mediasi menghasilkan suatu kesepakatan antara para pihak (mutually acceptable solution). Kesepakatan para pihak ini lebih kuat sifatnya dibandingkan putusan pengadilan, karena merupakan hasil dari kesepakatan para pihak yang bersengketa. Artinya kesepakatan itu adalah hasil kompromi atau jalan tengah yang telah mereka pilih untuk disepakatidemi kepentingan-
13
Karl A. Slaikeu, 1996, When Push Comes to Shove : A Pratical Strategises For Resolving Disputer, Jossey –Bass Inc., San Fransisco, h. 3 14 Ibid.
kepentingan mereka bersama. Sedangkan dalam putusan pengadilan ada pihak lain yang memutuskan yaitu hakim. Putusan pengendalian itu bukan hasil kesepakatan para pihak, melainkan lebih dekat dari perasaan keadilan hakim itu sendiri yang belum tentu sama dengan perasaan keadilan dari para pihak bersengketa. Penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan, dimulai dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai pada tingkat Mahkamah Agung.Hal ini sudah tentu juga membutuhkan biaya yang cukup besar serta dapat mengganggu hubungan pihak-pihak yang bersengketa.15 Di Indonesia, mediasi merupakan salah satu cara metode penyelesaian sengketa yang termasuk kelompok mekanisme alternatif bagi penyelesaian sengketa damai di luar pengadilan (yang biasa disebut dengan teknik ADR), yang dasar pengaturannya adalah Pasal 3, Pasal 4, Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 UU PPHI Tahun 2004. Ada beberapa definisi mengenai mediasi, tetapi secara umum seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mediasi sebenarnya merupakan bentukdari proses Alternative Dispute Resolution (ADR) atau alternative penyelesaian sengketa. Penyebutan alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang bersifat tidak memutus, cepat murah dan memberikan akses para pihak yang bersengketa memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan. Dalam proses mediasi, pelaksanaannya dibantu oleh pihak Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MENKUMHAM) dalam proses mediasi berjalan lebih informal dan kontrol oleh para pihak, dan lebih merefleksikan kepentingan prioritas para pihak serta mempertahankan kelanjutan hubungan para pihak. Selain institusi peradilan formal masih ada lagi bentuk-bentuk mekanisme penyelesaian sengketa lainnya yang didasarkan pada kesepakatan (kompromi negosiasi) atau dengan melibatkan
15
Erman Raja Gukguk, 2000, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, h. 103.
pihak ketiga sebagai mediator, atau konsiliator, ataupun yang berbentuk arbitrase. Bentuk ini kemudian dikenal dengan alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution). Didalam menjalankan fungsinya ternyata lembaga peradilan formal banyak menciptakan kritikan dari masyarakat, dengan berbagai kelemahan yang melekat pada sistem peradilan formal itu sendiri, telah menyebabkan masyarakat pencari keadilan semakin menghindari dari penyelesaian sengketa memalui pengadilan (dari ligitasi ke non-ligitasi, kondisi ini tidak hanya melanda mengadilan di Indonesia saja, tetapi melanda hampir seluruh negera didunia, baik negara-negara barat maupun timur.16 Dinegara-negara berkembang (development countries), pengadilan adakalanya dianggap memihak kepada orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi dan para pengusaha besar (social stratification). Bahkan dibeberapa negara, bahkan pengadilan dianggap tidak bersih, sehingga putusan-putusan dianggap lebih memihak yang mendatangani ketidakadilan (injustice).17 Kemerdekaan dari instituasi pengadilan banyak dipertanyakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh B. Arief Sidartha bahwa tindakan-tindakan kekuasaan politik tersebut terutama masa orde baru selaludi kemas dalam baju hukum positif tertulis yang memenuhi persyaratan formal.Pembentukan hukum lewat rekayasa secara cerdik dan ceramat kemudian ditegakkan secara dipaksakan berlaku dengan dukungan kekuatan aparat militer. Hukum ditegakkan jika menguntungkan dan memudahkan pengguasa untuk mewujudkan tugas-tugasnya. Sebaliknya (aturan) hukum dikesampingkan jika menghambat atau menyulitkan penguasa. Penyelenggaraan hukum ditangani pula dengan sangat menonjolkan penggunaan kewenangan dikresional tanpa batas oleh penguasa dan campur tangan (intervensi) secara langsung pihak eksekutif (penguasa politik) terhadap pelaksanaan kewenangan yudikatif, campur tangan ini tidak jarang menampilkan diri dalam bentuk peradilan sandiwara (sham trials).
16 17
Ibid, h. 103. B. Arief Sidharta, 2000, Praktisi Hukum Dan Perkembangan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.197
Masalah ketenagakerjaan pada saat ini nampaknya tidak dapat hanya mengandalkan sistem peradilan formal saja, tetapi perlu untuk mencari solusi terhadap berbagai kelemahan penyelesaian sengketa baik melalui penyelesaian negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase maupun pengadilan hubungan industrial. Upaya untuk mencari solusi terhadap berbagai kelemahan penyelesaian sengketa melalui pengadilan hubungan industrial, maka diberbagai negara di dunia dikembangkan suatu model penyelesaian sengketa yang kemudian dikenal dengan alternative dispute resolution/ADR (alternatif penyelesaian sengketa). Penyelesaian sengketa alternatif mendapat dukungan publik yang sudah jenuh menghadapi peradilan normal yang dianggap tidak bersih. Bahkan di Amerika Serikat telah dikembangkan berbagai model penyelesaian dan sengketa alternatif seperti arbitrase, negosiasi, mediasi konsultasi dan lain-lain. Di setiap negara bagian Amerika Serikat terdapat mediation center untuk menyelesaikan berbagai masalah. Di Indonesia penyelesaian sengketa alternatif telah dihukumkan kedalam hukum positif. Antara lain melalui
pengembangan
peraturan
perundang-undangan sebagai
landasan
penerapannya seperti Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Khusus di bidang ketenagakerjaan diatur melalui UU PPHI yang memberikan porsi yang sangat besar bagi penerapan penyelesaian sengketa alternatif melalui arbitrase, bipartid, mediasi, konsiliasi maupun pengadilan hubungan industrial bagi pihak pihak yang berselisih. Menurut budaya masyarakat di Indonesia musyawarah/mufakat merupakan metode penyelesaian sengketa yang sangat efektif dan lebih efisien dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan.Metode ini sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka.Dalam hubungan industrial, penyelesaian sengketa melalui musyawarah dapat dihindari konflik di bidang ketenagakerjaan atau minimal intensitasnya dapat dikurangi. Apabila terjadi konflik maka penyelesaian perselisihan dapat diupayakan secara damai dengan tidak menutup kemungkinan
mekanisme paksaan.18 Hal ini dapat dilihat dalam undang-undang yang menegaskan bahwa para pihak wajib mengupayakan penyelesaian perselisihan melalui jalan perundingan bipartid sebelum melakuan upaya lain.
1.1. Metode Penelitian 1.1.1. Jenis Penelitian Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.19 Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan skripsi ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder.20 Data sekunder yaitu data-data yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan hukum.21 Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari belum adanya norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. 1.8.2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif (penggambaran). Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini menggambarkan mediasi sebagai upaya
18 Aloysius Uwiyono, 2003, Implikasi Hukum Pasar Bebas Dalam Kerangka AFTA Terhadap Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, Yayasan Pengembang Hukum Bisnis, Jakarta, h. 41. 19 Soerjono Soekanto 2, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,h. 42. 20 Soerjono Soekanto 3, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali Jakarta, h.15. 21 Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, h. 108.
penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja dan untuk menggambarkan peran dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja. 1.8.3. Jenis Pendekatan Penelitian ini mempergunakan Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), dan Pendekatan frasa (Words & Phrase Approach).Pendekatan Perundang-undangannya (The Statute Approach) dipergunakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada, untuk mengetahui bagaimana mediasi sebagai upaya penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja.Pendekatan frasa (Words & Phrase Approach) dipergunakan untuk mengatahuiperan dan fungsi mediator dalam penyelesaian perselisihan pemutusan hubungan kerja. Permasalahan dikaji dengan mempergunakan interpretasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara teoritik berdasarkan teori-teori dan konsep hukum yang ada. 1.8.4.SumberBahan Hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat.22, yaitu : a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan; c. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan
22
Soerjono Soekanto & Sri Mahmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, h. 34
hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literatur, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian,23 disamping itu juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengunduh bahan hukum yang diperlukan. 3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus, yang terdiri dari : a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta; b. Black’s Law Dictionary; c. Kamus hukum. 1.8.5.Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi.Bahan hukum yang diperolehnya, diinventarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat, penemuan- penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada benda-benda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah, literatur, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti.
23
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h.141.
1.8.6.Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Artinya pengumpulan data menggunakan pedoman studi dokumen, dan wawancara. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif ini keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder, akan diolah dan dianalis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema, dikatagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.