1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan infrastruktur merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur juga mempunyai peran yang penting dalam memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa (Bappenas: 2009). Berbagai studi telah menunjukkan bahwa dengan dipacunya pembangunan infrastruktur, maka akan berdampak positif pada geliat ekonomi (Kementrian PU: 2011).
Peran infrastruktur dalam pembangunan dapat dilihat dari sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan kontribusinya terhadap peningkatan kualitas hidup. Kontribusi infrastruktur terhadap peningkatan kualitas hidup dapat ditunjukkan oleh terciptanya amenities dalam lingkungan fisik, terjadinya
peningkatan
kesejahteraan,
(peningkatan
nilai
konsumsi,
peningkatan produktivitas tenaga kerja dan akses kepada lapangan kerja, serta peningkatan kemakmuran nyata), terwujudnya stabilisasi makro ekonomi (keberlanjutan fiskal, berkembangnya pasar kredit, dan pengaruhnya terhadap pasar tenaga kerja) (Bappenas: 2002).
2
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, pembangunan infrastruktur merupakan salah satu prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan infrastruktur dapat menjadi jawaban atas berbagai kebutuhan negara diantaranya mengatasi masalah kemiskinan, peningkatan kualitas hidup masyarakat, membuka daerah terisolasi, peningkatan aksesibilitas barang dan jasa, menekan biaya produksi, dan dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi para investor.
Vaugh dan Pollard (2003) menyatakan infrastruktur secara umum meliputi jalan, jembatan, air dan sistem pembuangan, bandar udara, pelabuhan, bangunan umum dan juga termasuk sekolah-sekolah, fasilitas kesehatan, penjara,
rekreasi,
pembangkit
listrik,
keamanan,
kebakaran,
tempat
pembuangan sampah dan komunikasi (lek, 2013:31).
Pada prinsipnya infrastruktur terdiri dari dua jenis, yakni infrastruktur pusat dan daerah. Infrastruktur pusat adalah infrastruktur yang dibangun pemerintah pusat untuk melayani kebutuhan masyarakat dalam skala nasional, seperti jalan raya antar propinsi, pelabuhan laut dan udara, jaringan listrik, jaringan gas, telekomunikasi dan sebagainya. Infrastruktur daerah adalah infrastruktur yang dibangun pemerintah daerah, seperti penyediaan air bersih, jalan khas untuk kepentingan daerah pariwisata dan sebagainya (Hasim, 2013:3).
Bila ditinjau dari fungsinya, infrastruktur dibedakan menjadi dua, yakni infrastruktur yang menghasilkan pendapatan dan yang tidak menghasilkan pendapatan. Jenis infrastruktur pertama, umumnya dimanfaatkan sekelompok masyarakat tertentu, dimana dengan fasilitas yang disediakan, masyarakat
3
penggunanya dikenakan biaya. Seperti air bersih, listrik, telepon, taman wisata dan sebagainya. Jenis infrastruktur kedua, penyediaannya untuk dinikmati masyarakat umum, seperti jalan raya, jembatan, saluran air irigasi dan sebagainya sehingga penggunanya tidak dikenai biaya (Hasim, 2013:3).
Dalam suatu upaya penyediaan infrastruktur, ada dua pendekatan yang dapat digunakan
sebagai
langkah
menentukan
kebijakan
pembangunannya.
Pertama, penyediaan infrastruktur berdasarkan kebutuhan (demand approach) termasuk kebutuhan untuk memelihara prasarana yang telah dibangun. Kedua, penyediaan prasarana untuk mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi pada suatu daerah tertentu (supply approach). Namun, apabila dana yang tersedia terbatas maka prioritas lebih diarahkan pada pendekatan yang pertama (demand approach). Pada saat kondisi ekonomi sudah membaik, maka pembangunan prasarana untuk mendorong tumbuhnya suatu wilayah dapat dilaksanakan (Hidayatika, 2007:8)
Akan tetapi, meski telah banyak hasil penelitian yang menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan infrastruktur, pada prakteknya pembangunan infrastruktur di Indonesia masih sering menemui hambatan. Salah satunya adalah hambatan dalam bentuk penolakan dari masyarakat terhadap rencana pembangunan infrastruktur. Sikap penolakan dari masyarakat jelas disatu sisi merupakan satu faktor sosial budaya yang tidak mendukung tercapainya berbagai perubahan yang menjadi esensi dari tujuan adanya suatu pembangunan.
4
Menyikapi persoalan budaya masyarakat Indonesia, H.J. Boeke (dalam Koentjaraningrat, 1985) sebagai seorang ahli antropologi aliran subtantivis yang mengkaji mengenai keterbelakangan dan kemiskinan masyarakat Indonesia, memberikan pendapatnya mengenai budaya (mentalitas) yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Menurutnya rakyat Indonesia memiliki ciri-ciri budaya sebagai berikut: (1) Dihinggapi rasa puas dengan kebutuhan yang terbatas; (2) lebih mementingkan gengsi dan pengakuan sosial daripada kebutuhan ekonomi; (3) takut mengambil resiko; (4) tidak adanya motivasi untuk mencari keuntungan materi; (5) tidak berdisiplin dan tidak ketat dalam hal tempat dan waktu; (6) tidak mampu berorganisasi; dan (7) enggan menimbun modal (Mustofa, 2007: 7).
Budaya hingga kini memang kerap menjadi salah satu sumber permasalahan tersendiri dalam upaya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Faktor budaya menjadi begitu berpengaruh terhadap hasil pembangunan. Indonesia masih sangat dipengaruhi nilai-nilai tradisional yang terbelakang dan irasional meski nilai-nilai modern juga telah masuk ke Indonesia. Namun, Huntington (1976) menganggap bahwa antara nilai-nilai tradisional dan modern adalah hal yang saling bertentangan. Dalam arti jika modernisasi ingin dicapai maka nilai-nilai tradisional harus dirombak total alias dilenyapkan.
Pendapat dari teori modernisasi oleh Huntington dirasa memang tidak sepenuhnya benar dan dapat diterapkan di Indonesia. Masih ada faktor eksternal lainnya yang perlu diperhatikan seperti ketidakseimbangan nilai tukar, perusahaan multinasional dan fenomena neokolonialisme. Maka, upaya
5
yang dapat ditempuh adalah dengan menghilangkan atau merombak nilai-nilai budaya yang tidak sesuai dengan arah kebijakan pembangunan Indonesia.
Beragam jenis pembangunan Infrastruktur yang kini tengah digarap ataupun juga tengah disosialisasikan oleh pemerintah Provinsi Lampung dan pemerintah pusat dapat memberikan sejumlah fakta masih adanya budaya masyarakat Lampung yang terbukti menghambat proses pembangunan. Budaya masyarakat yang dimaksud yakni meliputi cara berpikir, kebiasaan dan mental masyarakat dalam menerima ide pembangunan tersebut.
Budaya sebagian masyarakat Lampung berkaitan dengan masalah pembangunan infrastruktur tersebut diantaranya : (1) masyarakat Lampung memiliki pandangan yang sulit disatukan dengan pandangan pihak lain, (2) kecenderungan lebih memilih berkonflik dengan pemerintah dan masyarakat banyak demi mempertahankan kepentingannya, (3) dan memanfaatkan terhambatnya proses pembangunan infrastruktur misal jalan raya yang rusak untuk dapat memperoleh keuntungan dari pihak lain (pungli, begal, penipuan dan pemerasan).
Permasalahan dalam pembangunan infrastruktur di Lampung khususnya pembangunan jalan seharusnya menjadi salah satu dari sekian permasalahan pembangunan yang musti mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Mengingat peran dan kondisi infrastruktur jalan sangat penting bagi banyak pihak dan banyak kepentingan baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Permasalahan jalan di Lampung umumnya meliputi kondisi jalan yang telah rusak dan sempit serta permasalahan pembebasan tanah milik warga guna
6
pembangunan jalan yang belum selesai. Jalan yang rusak dan sempit serta pembangunan jalan yang terhambat sebagaimana diketahui dapat menjadi salah satu pemicu banyaknya terjadi lakalantas serta tindak kriminal di Lampung misal begal, pungli dan pemerasan dijalanan.
Setidaknya gambaran permasalahan kondisi infrastruktur tersebut yang kini sedang terjadi di Desa Jepara, Kecamatan Way Jepara Kabupaten Lampung Timur. Salah satu proses pembangunan yang sedang digarap oleh pemerintah di Desa Jepara mengalami kendala pada proses pembebasan tanah. Sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya konflik antara warga Desa Jepara dengan pihak pemerintah. Pembangunan yang dimaksud yaitu pembangunan Jalan Raya Nasional yang diberi nama Jalan Lintas Pantai Timur Sumatera (Jalinpantim).
Konflik dimulai ketika secara tegas beberapa warga Desa Jepara menolak untuk membebaskan tanah miliknya kepada pemerintah. Penolakan beberapa warga tersebut disebabkan karena permasalahan besaran ganti rugi yang belum disepakati oleh warga selaku pemilik tanah. Akibatnya, kondisi Jalan Lintas
Pantai
Timur
Sumatera
sempat
dalam
keadaan
rusak
dan
memprihatinkan.
Kerusakan jalan kala itu diperkiran mencapai ± 400 m. Gambaran tentang kerusakan Jalan Lintas Pantai Timur Sumatera diantaranya yakni kondisi jalan banyak berlubang, sempit, terdapat batu-batu tajam, dan aspal mulai mengelupas. Kondisi jalan yang membuat para pengemudi kendaraan tidak merasa nyaman melewatinya. Dampak yang ditimbulkan tentu sangat banyak
7
bahkan ada yang hingga mengakibatkan konflik dengan menggunakan kekerasan.
Menurut hasil pengamatan pra-riset dilapangan oleh penulis, setidaknya terdapat tujuh dampak negatif konflik baik yang langsung maupun tidak langsung. Macam-macam dampak tersebut antara lain : (1) kecelakaaan lalu lintas; (2) kemacetan; (3) tindak kriminalitas; (4) pungutan liar (pungli); (5) keterbelakangan budaya; (6) prasangka sosial dan (7) konflik.
Dampak yang paling banyak menyita perhatian masyarakat maupun pemerintah adalah aktivitas pungutan liar (pungli) oleh warga Desa Jepara terhadap para sopir/pengemudi. Pola yang digunakan dalam aktivitas pungli oleh warga Desa Jepara hingga tahun 2014 terhitung telah berganti sebanyak tiga kali. Pertama, warga secara terang-terangan meminta sejumlah uang kepada para sopir/pengemudi. Seiring waktu, pola pertama akhirnya diganti dengan pola yang kedua. Diduga karena banyak tuntutan dan laporan dari masyarakat terhadap ketidaknyamanan aktivitas pungli tersebut.
Pola yang kedua, warga menukarkan sebotol air mineral dengan sejumlah uang pungli yang diberikan oleh para pengemudi. Namun, strategi warga mengubah pola yang pertama menjadi yang kedua tetap dianggap merugikan para pengemudi. Hingga akhirnya diganti menjadi pola yang ketiga atau yang terakhir yaitu warga meminta kepada para pengemudi mobil-mobil besar semisal truk/fuso untuk memarkirkan kendaraannya ke satu rumah makan yang sudah di tunjuk oleh warga. Tarif yang dikenakan berkisar antara Rp, 10.000-20.000,- /mobil.
8
Tindakan pungli yang dilakukan oleh warga Desa Jepara tentu dirasa sangat meresahkan dan dapat membahayakan kestabilan keamanan. Terbukti nyaris terjadi perang antar desa yakni antara Desa Jepara berhadapan dengan Desa Teluk Dalem. Kesigapan aparat kepolisian untuk membendung pertemuan diantara keduanya, mengakibatkan konflik tidak sampai terjadi perang. Padahal sebelumnya warga Desa Jepara tercatat sudah pernah mengalami peperangan antar etnis yaitu saat berhadapan dengan etnis Bali yang berasal dari daerah sekitar kecamatan Braja Selebah yang tidak jauh dari kecamatan Way Jepara. Pada waktu itu, Desa Jepara mengalami kekalahan yang mengakibatkan rumah-rumah mereka dibakar oleh warga desa yang berasal dari etnis Bali. Namun insiden yang pernah menimpa warga Desa Jepara tersebut tidak menjadikan sebagian warga desa menjadi jera dan trauma.
Beberapa warga desa tetangga lainnya menganggap apa yang warga Desa Jepara lakukan telah mencoreng nama baik suku dan wilayah. Banyak warga desa tetangga yang mulai resah dan gerah dengan permasalahan pembebasan tanah di Desa Jepara. Tanggapan yang sudah terdengar dari hasil pra-riset diantaranya
warga
menyayangkan
lemahnya
upaya
pemerintah
atas
penyelesaian pembebasan tanah tersebut, keberadaan aparat keamanan yang dianggap tidak pro terhadap keselamatan dan kepentingan masyarakat umum, kebudayaan masyarakat setempat yang dinilai primitif dan tidak ingin maju, dan tanggapan lainnya yang cenderung negatif.
9
Permasalahan pembebasan tanah milik warga Desa Jepara memang cukup kompleks. Terbukti penyelesaian konflik tersebut baru disepakati hingga tahun ke-9 semenjak konflik dimulai yakni dari tahun 2005-2014. Pembebasan tanah ini telah banyak membawa pihak-pihak dari berbagai golongan terkena dampaknya. Mulai dari golongan suku, profesi, birokrasi, pedagang, dan masyarakat umum lainnya. Melihat adanya sejumlah permasalahan yang terjadi di Desa Jepara Kecamatan Way Jepara maka dirasa perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam guna membantu mencari tahu pokok permasalahan konflik pembebasan tanah milik warga Desa Jepara. Mulai dari kronologi konflik, faktor penyebab warga desa menolak membebaskan tanah, apa dampak konflik terhadap jalinan hubungan sosial antara sesama warga desa dan dengan warga desa tetangga serta bagaimana upaya resolusi konflik pembebasan tanah.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana kronologi konflik pembebasan tanah milik warga Desa Jepara Kecamatan Way Jepara ? 2. Apa saja faktor penyebab warga Desa Jepara Kecamatan Way Jepara menolak membebaskan tanah ? 3. Apa dampak permasalahan pembebasan tanah milik warga Desa Jepara terhadap jalinan hubungan sosial antara sesama warga desa dan dengan warga desa tetangga ?
10
4. Bagaimana resolusi konflik pembebasan tanah milik warga Desa Jepara Kecamatan Way Jepara ?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kronologi konflik pembebasan tanah milik warga Desa Jepara Kecamatan Way Jepara. 2. Mengetahui faktor-faktor penyebab warga Desa Jepara Kecamatan Way Jepara menolak membebaskan tanah. 3. Mengetahui dampak konflik pembebasan tanah milik warga Desa Jepara terhadap jalinan hubungan sosial antara sesama warga desa dan warga desa tetangga. 4. Mengetahui resolusi konflik pembebasan tanah milik warga Desa Jepara Kecamatan Way Jepara.
D. Manfaat Penelitian 1. Secara akademik a. Memberikan sumbangan pemikiran dan praktek ilmu sosiologi khususnya Sosiologi Budaya, Sosiologi Hukum, dan Sosiologi Konflik. 2. Secara praktis a. Dapat memberikan sumbangan saran dan informasi alternatif yang dapat digunakan oleh pihak terkait dalam rangka mencari upaya penyelesaian konflik pembebasan tanah pada daerah konflik lainnya.