BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang mana pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai perorangan atau badan hukum, diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Bahwa perkembangan ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit sehingga dengan meningkatnya pembangunan, meningkat pula keperluan akan ketersediaanya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Untuk mendukung kegiatan perkreditan tersebut, Bank mempunyai peran penting untuk menunjang terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, dan merupakan sarana bagi pemerintah dalam menggalakkan pembangunan, khususnya di bidang material melalui kegiatan perkreditan.
Keterlibatan Bank sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, antara lain dengan memberikan kreditkredit kepada para Debitur dengan jumlah besar ataupun kecil sehingga saat ini lembaga perbankan telah dikenal luas oleh masyarakat sebagai salah satu lalu lintas peredaran uang, hal ini sesuai dengan fungi Bank itu sendiri dimana Bank adalah suatu bentuk badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan selanjutnya menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup. Sumber dana perbankan yang dipinjamkan kepada mayarakat tersebut bukanlah dana milik Bank melainkan merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan pada Bank dalam bentuk tabungan, deposito, giro, sertifikat deposito, dan lain-lain yang kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat yang memerlukan dalam bentuk pinjaman/kredit. Sumber dana perbankan yang disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pinjaman merupakan dana yang dihimpun dari masyarakat. Bank dalam menyalurkan dana tersebut harus memperhatikan prinsip kehati-hatian melalui analisis yang akurat dan mendalam, penyaluran yang ketat dan tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah
dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap yang bertujuan agar pinjaman/kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Berbagai risiko dalam pemberian pinjaman dapat menyebabkan tidak dilunasinya pinjaman ketika tiba saat pelunasan. Dalam menentukan apakah akan memberikan suatu kredit atau tidak seorang banker harus berusaha untuk mengukur risiko pinjaman macet. Risiko ini diperkirakan menggunakan suatu proses yang disebut analisis kredit. Tujuan analisis kredit ini adalah untuk menentukan kesanggupan dan kesungguhan seorang peminjam untuk membayar kembali pinjaman sesuai dengan persyaratan yang terdapat dalam perjanjian pinjaman. Bank harus menentukan kadar risiko yang harus dipikulnya dalam setiap kasus dan jumlah kredit yang akan diberikan mengingat risiko yang dihadapi, selain itu jika akan memberikan pinjaman, perlu untuk menentukan syarat pemberian pinjaman tersebut. Pemberian kredit oleh Bank kepada masyarakat baik ke perseorangan ataupun badan hukum senantiasa memberikan kemungkinan tidak terlunasinya atau tidak tertagihnya kredit tersebut pada saat jatuh tempo. Kemacetan kredit seperti ini secara tidak langsung juga akan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat karena kredit Bank yang dialurkan kepada nasabahnya itu bersumber dari dana masyarakat. Tidak terlunasinya atau tidak tertagihnya pemberian kredit oleh Bank bisa terjadi karena kelalaian dan kesengajaan Debitur dan atau adanya suatu hal lain yang sifatnya memaksa serta tiba-tiba,
misalnya terjadi karena bencana alam, tanah longsor, kebakaran, gempa bumi maupun banjir yang menyebabkan perseorangan dan atau badan hukum dalam hal ini adalah Debitur kehilangan sebagian bahkan seluruh harta kekayaan yang mereka miliki. Dalam keadaan tersebut, Bank tidak dapat begitu saja memaksa Debitur untuk segera melunasi hutang karena keadaan Debitur tidak memungkinkan untuk segera melunasi hutang akan tetapi Debitur tetap mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kredit yang telah diterima berikut bunganya sesuai yang telah diperjanjikan sesuai dengan perjanjian. Atas risiko tidak tertagihnya atau tidak dilunasinya pinjaman yang diberikan Bank ke debiturnya sesuai yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian Kredit antara Bank dan Debitur adalah merupakan risiko kredit (credit risk) yang harus dihadapi Bank. Apabila risiko kredit ini dapat dimitigasi dengan baik oleh Bank maka persentase Non Performing Loan (NPL) terhadap total pinjaman akan menjadi tidak meningkat. Untuk memitigasi risiko kredit tersebut, Bank harus melakukan evaluasi dan penilaian terhadap calon Debitur pada saat pemberian kredit. Kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjamn uang, apabila Debitur yang tidak membayar lunas setelah jangka waktu yang diperjanjikan adalah merupakan wanprestasi. Wanprestasi atau cidera janji berarti tidak terlaksananya perjanjian karena kesalahan pihak Debitur dapat terjadi dalam beberapa bentuk, yaitu :5
5
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2009, Hlm. 50.
1.
Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki;
2.
Terlambat memenuhi prestasi;
3.
Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya;
4.
Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Untuk memitigasi adanya wanprestasi dari Debitur yang tidak membayar
kewajiban sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian Kredit antara Bank dan Debitur, Bank dapat mensyaratkan adanya agunan kepada Debitur sebagai jaminan atas kredit yang diberikan. Secara
umum,
Undang-Undang
telah
memberikan
jaminan atau
perlindungan kepada Kreditur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu : “Segala harta kekayaan Debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sekarang ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan/jaminan atas hutang-hutangnya”
Jaminan yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata tersebut bersifat umum atau dengan kata lain benda jaminan itu tidak ditunjuk secara khusus dan tidak diperuntukkan bagi seorang kreditur tertentu, sehingga apabila jaminan tersebut dijual maka hasilnya dibagi secara seimbang sesuai dengan besarnya piutang masing-masing Kreditur (konkurent).
Dalam praktek perbankan sehari-hari, agunan yang digunakan sebagai jaminan kredit oleh Debitur diikat dengan menggunakan Hak Tanggungan apabila agunan tersebut berupa Tanah dan Bangunan dengan melalui lembaga Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (dan selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Hak Tanggungan). Agunan berupa tanah dan bangunan relatif lebih disukai oleh Bank, karena nilai agunan berupa tanah dan bangunan mempunyai nilai jual kembali yang relatif stabil atau bahkan meningkat dari waktu ke waktu dan dapat memberikan rasa aman dan kepastian hukum dalam pelaksanaan eksekusinya apabila Debitur wanprestasi atau cidera janji terhadap kewajibannya daripada agunan yang berupa benda bergerak atau agunan bentuk lainnya yang biasanya mempunyai penurunan nilai jual kembali atau penyusutan seiring dengan bertambahnya waktu. Agunan yang digunakan sebagai jaminan kredit dapat digunakan sebagai pengganti pelunasan hutang bilamana di kemudian hari Debitur cidera janji atau wan prestasi. Jaminan kredit merupakan jaminan akan pelunasan kredit yang diberikan kepada Debitur dengan cara mengeksekusi objek jaminan kredit. Adapun kegunaan jaminan kredit adalah untuk :6
6
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2002, Hlm.320.
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada Bank untuk mendapatkan pelunasan dari agunan apabila Debitur cidera janji, yaitu untuk membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan di perjanjian; 2.
Menjamin agar Debitur berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usaha atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil;
3.
Memberikan dorongan kepada Debitur untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar Debitur dan/atau pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada Bank. Salah satu upaya alternatif penyelamatan dan penyelesaian yang dapat
dilakukan oleh Bank apabila Debitur wanprestasi atau cidera janji adalah dengan melaksanakan Eksekusi Hak Tanggungan atas objek jaminan Debitur baik berupa parate eksekusi atau fiat eksekusi Hak Tanggungan. Hak Tanggungan berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 adalah sebagai salah satu jenis hak kebendaan yang bersifat terbatas, yang hanya memberikan
kewenangan kepada pemegang haknya untuk pelunasan piutangnya secara mendahulu dari kreditur-kreditur lainnya. 7
Pengertian eksekusi menurut pendapat ahli hukum adalah : 1. Sesuai pendapat
dari Ridwan Syahrani,
bahwa eksekusi/putusan
Pengadilan tidak lain adalah realisasi dari pada apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana dalam putusan Pengadilan. 8 2. Pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa pelaksanaan putusan Hakim atau eksekusi pada hakekatnya adalah realisasi daripada kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.9 3. Pendapat M. Yahya Harahap, bahwa eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh Pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara, oleh karena itu eksekusi tidak lain daripada tindakan yang berkesinambungan dan keseluruhan proses hukum antara perdata. Jadi
7
Boedi Harsono¸Hukum Agraria Indonesia¸Djambatan, Jakarta, 2003, Hlm. 419
8
Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta, Pustaka Kartini, 1988, Hlm. 106 9
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1988, hal. 201
eksekusi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib berita acara yang terkandung dalam HIR atau Rbg.
10
4. Pendapat Soepomo, bahwa hukum eksekusi mengatur cara dan syaratsyarat yang dipakai oleh alat-alat Negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan putusan Hakim, apabila yang kalah tidak bersedia dengan sukarela memenuhi putusan yang tidak ditentukan dalam Undang-Undang.11
Dari beberapa definisi diatas jelaslah bahwa eksekusi merupakan upaya pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam perkara di Pengadilan dengan melalui kekuasaan Pengadilan, sedangkan hukum eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal mengenai pelaksanaan putusan Hakim. Dalam kaitannya antara eksekusi dengan Hak Tanggungan tidaklah termasuk dalam pengertian apa yang dinamakan eksekusi riil, karena eksekusi riil dilakukan tanpa adanya pelelangan.
Di dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, apabila Debitur cidera janji, maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri pelelangan secara umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.
10
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi di Bidang Perdata, Jakarta, PT Gramedia, 1988, Hlm. 1 11
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengdilan Negeri, Jakarta, Gita Karya, 1963, Hlm. 137
Konsep ini dikenal dengan istilah Parate Eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Dengan konsep Parate Eksekusi Hak Tanggungan, Pemegang Hak Tanggungan tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu kepada penerima Hak Tanggungan (Debitur) dan tidak perlu juga meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang Debitur apabila Debitur cidera janji. 12 Eksekusi dengan pertolongan hakim obyek hak tanggungan diatur Pasal 20 (1) b UUHT jo. Pasal 14 (2) dan (3) UUHT.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakim yang dimaksud Pasal 20 (1) b UUHT berupa permohonan eksekusi oleh kreditur kepada Ketua Pengadilan Negeri, selanjutnya Pengadilan Negeri melaksanakan eksekusi sebagaimana melaksanakan eksekusi putusan hakim biasa yang sudah mencapai kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde). Eksekusi dilakukan terhadap sertifikat hak tanggungan yang di dalamnya memuat irah-irah dengan kata-kata: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Sertifikat hak tanggungan yang demikian mempunyai kekuatan eksekutorial sebagaimana putusan pengadilan, demikian diatur dalam Pasal 14 UUHT dan penjelasannya.
12
Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan, Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung, 1999, Hlm. 46.
Prosedur eksekusi dengan pertolongan hakim tersebut adalah prosedur eksekusi yang ada dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Penggunaan prosedur ini dengan tegas dapat dibaca dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, seperti berikut ini: ”Salah satu ciri hak tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi hak tanggungan dalam undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg” Sehubungan dengan itu, pada sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surat-tanda-bukti adanya hak tanggungan, (yang pada bagian atasnya) dibubuhkan
irah-irah
dengan
kata-kata:
“DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA,” untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, sertifikat hak tanggungan tersebut dinyatakan sebagai pengganti grosse acte hypotheek, yang untuk eksekusi hipotik atas tanah ditetapkan sebagai syarat dalam melaksanakan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg, yang mana pasal tersebut mengatur tentang akta pengakuan hutang. Dari Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT ini diketahui bahwa UUHT tidak secara khusus mengatur tentang prosedur eksekusi obyek hak tanggungan, melainkan memasukkan ketentuan tentang eksekusi yang ada di dalam Hukum Acara Perdata sebagai ketentuan pelaksanaan eksekusi. Ketentuan UUHT
merupakan ketentuan Hukum Materiil Perdata, yang mengatur perihal hukum jaminan. Di dalam setiap Hukum Jaminan, selalu ditemukan ketentuan tentang eksekusi obyek jaminan apabila Debitur wanprestasi. Prosedur eksekusi obyek jaminan yang diatur di dalam Hukum Jaminan selalu sederhana, singkat dan mudah, yaitu begitu Debitur wanprestasi kreditur langsung bertindak dalam tahap eksekusi tanpa harus menempuh jalur litigasi. Di lain pihak, ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg tentang eksekusi dengan pertolongan hakim, berada dalam ranah Hukum Acara Perdata. Ketentuan Hukum Acara Perdata diberlakukan dalam hal penyelesaian perkara dilakukan melalui litigasi. Berdasarkan hal tersebut diketahui, istilah “memasukkan secara khusus” ke dalam UUHT, ketentuan tentang eksekusi yang berlaku dalam Hukum Acara Perdata (Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg) sebagaimana dituangkan dalam Penjelasan Umum Nomor 9 UUHT, harus dibaca sebagai “meminjam”. Peminjaman ketentuan Hukum Acara Perdata tentang eksekusi berdasar Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg oleh UUHT diperlukan sehubungan dengan belum adanya peraturan pelaksanaan eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UUHT. Belum adanya peraturan pelaksanaan tersebut mengakibatkan ketentuan tentang eksekusi parate, eksekusi dengan pertolongan hakim dan eksekusi penjualan di bawah tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUHT belum dapat dilaksanakan. Istilah meminjam tersebut mengandung makna bahwa eksekusi obyek HT hanya berdasarkan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg. Dengan kata lain tidak ada satu pasal pun ketentuan UUHT tentang
eksekusi yang berlaku. Selanjutnya istilah “meminjam” mengandung makna sementara, tidak permanen. Makna ini juga terkandung di dalam pemberlakuan ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg bagi pelaksanaan eksekusi obyek hak tanggungan, yaitu ketentuan Pasal 224 HIR/ Pasal 258 RBg diberlakukan sampai dengan adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud Pasal 26 UUHT. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai pelaksanaan Fiat Eksekusi Hak Tanggungan yang dimohonkan oleh Bank dalam rangka penyelesaian kredit bermasalah. Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi ruang lingkup penelitian dalam pelaksanaan Fiat Eksekusi Hak Tanggungan yang dimohonkan oleh PT Bank CIMB Niaga, Tbk. Selanjutnya penulis akan menuliskannya ke dalam tesis yang berjudul : ”PELAKSANAAN FIAT EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN SEBAGAI ALTERNATIF PENYELAMATAN DAN PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH (NON PERFORMING LOAN) DI PT. BANK CIMB NIAGA, Tbk” B. Rumusan Masalah Perumusan masalah yang akan dibahas dalam tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah fungsi fiat eksekusi Hak Tanggungan dalam menyelesaikan kredit bermasalah di PT Bank CIMB Niaga, Tbk?
2. Apakah kendala-kendala yang dihadapi oleh PT Bank CIMB Niaga, Tbk dalam mengeksekusi Hak Tanggungan? 3. Apakah Undang-Undang Hak Tanggungan telah memberikan pengaturan yang maksimal mengenai eksekusi Hak Tanggungan? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan fiat eksekusi Hak Tanggungan sebagai salah satu upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah di PT. Bank CIMB Niaga, Tbk. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan fiat eksekusi Hak Tanggungan yang dimohonkan oleh PT Bank CIMB Niaga ke Pengadilan Negeri. 3. Untuk mengetahui Undang-Undang Hak Tanggungan telah memberikan pengaturan yang maksimal terhadap permohonan dan/atau pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. D. Manfaat Penelitian 1. Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum mengenai pelaksanaan fiat eksekusi Hak Tanggungan. 2. Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan saran dan masukan bagi para pihak yang terkait dengan proses eksekusi Hak
Tanggungan dan mampu mendukung penyelesaian kredit bermasalah di PT. Bank CIMB Niaga, Tbk. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, ditemukan adanya penelitian terdahulu oleh Sugeng Nugroho dengan judul “Analisis Eksekusi Hak Tanggungan di Pengadilan Negeri Semarang” Tahun 2009 yang dipublikasikan
di
Universitas
Diponegoro
Program
Studi
Magister
Kenotariatan. Penulisan tersebut merumuskan masalah tentang bagaimana praktek penyelesaian lelang eksekusi di Pengadilan Negeri Semarang dan kekurangan/kelebihan dari penyelesaian lelang eksekusi melalui Hak Tanggungan tersebut. Adapun kesimpulan dari penulisan tersebut adalah praktek lelang eksekusi Hak Tanggungan yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Semarang tidak saja meliputi sebagaimana ketentuan yang diamanatkan dalam Pasal 6 UndangUndang Hak Tanggungan, Pasal 224 HIR/258 Rbg, juga memberikan pertimbangan hukum kepada Kreditur dan Debitur. Perbedaaan dari tesis tersebut dengan tesis yang tengah penulis susun dimana penulis menitikberatkan pada fungsi dari fiat eksekusi Hak Tanggungan sebagai salah satu upaya dalam menyelesaikan kredit bermasalah di PT Bank CIMB Niaga, Tbk Cabang Soepomo-Jakarta Selatan, agar dapat diketahui pula dari pelaksanaan fiat eksekusi yaitu kendala-kendala dari Bank selaku Kreditur dalam mengeksekusi Hak Tanggungan tersebut dan apakah
Undang-Undang Hak Tanggungan telah memberikan pengaturan yang maksimal mengenai eksekusi Hak Tanggungan. F. Sistematika Penelitian Penyusunan tesis ini dilakukan dengan sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, yaitu : BAB I
PENDAHULUAN Dalam Bab Pertama ini akan dijelaskan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini, gambaran awal mengenai hal-hal yang akan dijelaskan dan dipaparkan dalam tulisan ini, identifikasi masalah, kegunaan penelitian, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN UMUM FIAT EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN Dalam Bab II ini memuat tinjauan pustaka yang menjelaskan mengenai hukum jaminan, eksekusi jaminan oleh perbankan hak tanggungan dan fiat eksekusi Hak Tanggungan, serta peraturan perundang-undangan terkait dengan fiat eksekusi Hak Tanggungan. BAB III METODE PENELITIAN Dalam Bab III memuat metode yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini, yang terdiri dari sifat penelitian, jenis penelitian dan sumber data yang meliputi penelitian kepustakaan meliputi data dan bahan penelitian dan penelitian lapangan yang meliputi data,
lokasi penelitian, obyek penelitian, cara penelitian, alat penelitian, diakhiri dengan analisis data. BAB IV PELAKSANAAN FIAT EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN Dalam Bab IV ini akan dijelaskan mengenai fungsi fiat eksekusi Hak Tanggungan, kendala-kendala yang dihadapi dalam mengeksekusi Hak Tanggungan dan apakah Undang-Undang Hak Tanggungan telah memberikan pengaturan yang maksimal mengenai eksekusi Hak Tanggungan. BAB V PENUTUP Dalam Bab V memuat tentang kesimpulan yang merupakan hasil analisis dari pembahasan bab-bab sebelumnya untuk menjawab permasalahan yang telah penulis ketengahkan pada bab pertama. Bab ini juga memuat tentang saran-saran yang penulis harapkan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan tersebut.