BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan
pembangunan di berbagai bidang perekonomian. Pembangunan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung akan diikuti pembangunan berbagai sektor lain, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, transportasi, upah, ekspor, dan ketenagakerjaan yang semua ini berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi, karena kita ketahui bersama bahwa pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Salah satu faktor utama dalam memacu pertumbuhan ekonomi di suatu negara adalah Investasi. Investasi merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi Pertumbuhan
pertumbuhan ekonomi
ekonomi
merupakan
suatu
suatu
alat
negara
seperti
pengukur
Indonesia.
prestasi
dari
perkembangan perekonomian suatu negara. Dalam analisis makro ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang ingin dicapai suatu negara diukur dari perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai dalam tahun tertentu. Jadi untuk memacu pembangunan dalam negeri, diyakini pentingnya peranan Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan pencanangan “tahun investasi” berturut- turut pada tahun 2003 dan 2004 tidak cukup menarik
1
2
minat investor menanamkan modal di Indonesia. Pada tahun 1997, nilai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) memuncak senilai Rp. 119 triliun dengan jumlah proyek 723 unit. Namun Nilai PMDN terus merosot sejak posisi puncak tersebut. Tahun 2003, PMDN tinggal senilai Rp. 50 triliun dengan 196 proyek. Pada Nopember 2004 tercatat nilai PMDN terus merosot sehingga Rp. 33,4 triliun dengan 158 proyek. Pola yang sama tampak pada Penanaman Modal Asing (PMA). Tahun 1997, PMA tercatat sebesar 33,7 miliar dollar Amerika Serikat (AS) dengan 778 proyek. Tahun 2003 nilai investasi asing ini anjlok menjadi 14 miliar dollar AS dengan 1.170 proyek. Ironisnya hingga Nopember 2004, nilai PMA baru tercatat 9,6 miliar dollar AS dengan 1.066 proyek (Kompas, 2005).
Tabel 1.1 : Perkembangan Persetujuan Penanaman Modal 1997-2003
PMDN
PMA
Tahun
1997 1998 1999 2000 2001 2002
Proyek
Nilai (Rp. Miliar)
Proyek
Nilai (US $ juta)
723
119.877,2
781
33.788,8
327
57.973,6
1.034
13.649,8
237
53.540,7
1.177
10.884,5
392
93.897,1
1.541
16.075,9
264
58.816
1.334
15.056,3
188
25.230,5
1.151
9.795,4
181
48.484,8
1.024
13.207,2
2003 Sumber: Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2003, www.dprin.go.id Tabel 1.1 menunjukkan menurunnya arus investasi sejak tahun 1997 (krisis), dan ini terus berlanjut sampai diterapkannya otonomi tahun 2001. Tidak
3
dapat dipungkiri lingkungan bisnis yang sehat mutlak dibutuhkan untuk menarik arus investasi. Survey Komite Pelaksanaan Otonomi Daerah (2004) membuktikan, institusi merupakan faktor utama yang menentukan daya tarik suatu daerah bagi investasi. Disusul kemudian faktor sosial politik, infrastruktur fisik, kondisi ekonomi daerah, dan produktivitas tenaga kerja (Warta Ekonomi, 2005). Studi JETRO (Japan External Trase Organization) juga menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia jauh lebih buruk di banding Cina, Thailand, Vietnam, dan negara- negara ASEAN lainnya. Faktor penyebabnya adalah masalah perburuhan (meningkatnya biaya buruh dan demonstrasi buruh), masalah pabean, tak adanya insentif fiskal, dan berbagai kebijakan yang tidak pro bisnis. Kondisi investasi secara nasional juga berpengaruh terhadap investasi di Sumatera Utara. Seperti kita ketahui bersama, Sumatera Utara merupakan salah satu daerah berkembang di Indonesia yang sedang membangun dan tentunya sangat membutuhkan investasi yang besar. Investasi suatu daerah sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tingkat bunga, Produk domestik regional bruto, (PDRB), tingkat inflasi, dan kemudahan mendapatkan modal, dan berbagai faktor lainnya. Kita ketahui bersama jika tingkat bunga terlalu tinggi akan menurunkan nilai investasi di suatu daerah. Karena bunga yang tinggi akan mendorong orang untuk menyimpan modalnya demi memperoleh keuntungan dari bunga, dari pada menginvestasikan modalnya dangan segala resiko yang mungkin akan timbul. Sebaliknya, tingkat suku bunga yang terlalu rendah akan mendorong orang menarik modalnya dari Bank. Tentunya dalam periode tertentu hal ini akan berdampak baik karena penarikan uang dari Bank akan mendorong pertumbuhan
4
sektor rill. Namun, jika hal ini terus berlanjut, maka akan terjadi peningkatan jumlah uang beredar, yang pada akhirnya akan memicu peningkatan inflasi. Inflasi yang terlalu besar tentunya akan mengganggu arus investasi di suatu daerah. Inflasi akan menimbulkan biaya tambahan bagi investor, antar lain :
1.
Biaya pulang pergi ke bank untuk mengambil uang (shoeleather cost),
2.
Biaya perusahaan untuk merubah harga karena inflasi (menu cost),
3.
Biaya ketidak nyamanan hidup dengan selalu berubahnya harga,
4.
Pajak yang dibebankan pada keuntungan (sebab pajak selalu menentukan besarnya pajak dari keuntungan nominal bukan dari keuntungan riil, padahal dengan adanya inflasi, maka keuntungang riil lebih kecil sedangkan pajak yang dibayarkan lebih besar)
Selain itu inflasi akan mengurangi daya beli masyarakat yang tentunya secara tidak langsung akan mengganggu dunia usaha. Jika inflasi melebihi dari bunga pinjaman, maka sesungguhnya nilai uang dari masyarakat yang disimpan di perbankkan telah mengalami penurunan, sekalipun secara absolut jumlah uang yang disimpan bertambah. Untuk menarik investor menanamkan modalnya di suatu daerah, maka diperlukan fasilitasi dari perbankkan dalam penyediaan kredit modal. Karena tentunya dengan bantuan modal dari perbankkan akan membantu investor dalam berusaha di suatu daerah, terutama investor dalam negeri. Berdasarkan Laporan Tahunan BI, Pada negara-negara berkembang, sumber utama pembiayaan investasi didominasi oleh penyaluran kredit
5
perbankan. Lambatnya penyaluran kredit perbankan di Indonesia setelah krisis 1997 dituding sebagai salah satu penyebab lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia. Meskipun sempat terjadi penurunan tajam terhadap alokasi kredit perbankan, namun pada tahun 2001 secara perlahan kredit mulai menunjukkan peningkatan. Hal ini seiring dengan meningkatnya portofolio kredit sejak tahun 2002. Untuk wilayah Sumatera Utara realisasi investasi sebenarnya terus mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1.1, dimana walaupun pada tahun tertentu terjadi penurunan, tetapi kecendrungan investasi di Sumatera Utara mengalami peningkatan. Seperti kita ketahui, Investasi disuatu daerah selalu dikaitkan dengan tingkat PDRB. PDRB yang besar menggambarkan kemampuan suatu daerah dalam memberikan keuntungan bagi para investor. Karenannya daerah yang memiliki PDRB yang besar, akan menjadi incaran para investor untuk berinvestasi.
Pada tahun 2005, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi ini sebesar Rp. 87,89 triliun dengan kontribusi terbesar disumbang dari sektor pertanian, yaitu sebesar 25,2%, atau sama dengan Rp. 22,19 trilyun, diikuti sektor industri pengolahan sebesar Rp. 21,30 triliun (24,2%) serta sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar Rp. 15,98 triliun (18,2%).
Pada tahun yang sama, nilai ekspor Sumatera Utara mencapai US$ 4,56 miliar, yang disumbang dari Minyak Lemak, Minyak Nabati dan Hewani sebesar US$ 1,76 juta, bahan baku senilai US$ 987 juta, barang hasil industri senilai US$
6
623 juta, bahan makanan dan binatang hidup senilai US$ 606 juta. Tanaman Palawija juga menjadi salah satu andalan ekspor Sumatera Utara.
Sebagai sebuah provinsi yang memiliki sumber daya alam yang besar tentunya Sumatera Utara sangat menarik bagi investor untuk menanamkan modalnya. Pertumbuhan PDRB yang terus mengalami peningkatan menunjukkan besarnya potensi daerah ini untuk menjadi tempat berusaha. Tabel berikut mennggambarkan realisasi proyek dan Investasi yang ada di Sumatera Utara.
Tabel. 1.2 Banyaknya Proyek dan Investasi Proyek Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang Disetujui Tahun 2008
Tahun/Year (1) 1999
Banyaknya Proyek/ Number of Project Rencana Realisasi Target Realization (2) (3) 7 4
Nilai Investasi/Investment (000 000 Rp) Rencana Realisasi Target Realization (4) (5) 1.095.399, 23 105. 716,34
2000
13
7
349 .610,93
58 .768,30
2001
8
4
1. 321 .323,29
528. 644,94
2002
11
5
3 .026 .563,06
450 .696,17
2003
21
13
2. 393 .538,01
394 .064,74
2004
21
11
2 .793 .054,64
683 .450,46
2005
12
5
3. 637 .363,55
599 .400,64
2006
13
3
7 .397 .512,81
797 .259,80
2007
14
3
13 .897 .748,03
392 .816,80
2008
18
13
875. 881,35
391 .333,72
Sumber : Badan Penanaman Modal dan Promosi Provinsi Sumatera Utara
Table 1.1 menunjukkan peningkatan arus investasi ke Sumatera Utara, pada tahun – tahun tertentu mengalami penurunan.
7
Grafik
berikut
menggambarkan
perkembangan
investasi
Provinsi
Sumatera Utara Gambar. 1.1. Persentase Pertumbuahan Investasi Sumatera Utara.
Sumber : BPS Sumatera Utara, diolah.
Grafik di atas menggambarkan kecendrungan persentase pertumbuhan realisasi Investasi di Sumatera Utara pluktuatif. Walaupun demikian, ada tiga tahun terjadi penurunan investasi, yaitu tahun 1997, 1998 dan 2006. Hal ini bersamaan dengan krisis ekonomi dalam negeri dan luar negeri, jadi kemungkinan besar pada tahun – tahun tersebut krisis ekonomi telah menekan laju pertumbuhan investasi di Sumatera Utara. Selain dari tahun – tahun tersebut pertumbuhan investasi cendrung positif dan selalu mengalami peningkatan dari tahun ketahun.
8
Fenomena yang tidak biasa terjadi ketika kita melihat PDRB Suamtera Utara pada saat dimana pertumbuhan investasi sedang mengalami penurunan, disisi lain PDRB mengalami kenaikan yang cukup besar. Untuk melihat lebih jauh penyebab terjadinya fluktuasi arus investasi dalam negeri di Sumatera Utara, berikut tergambar grafik pertumbuhan PDRB Sumatera Utara. Gambar 1.2. Persentase Pertumbuahan PDRB Sumut.
Sumber : BPS Sumatera Utara, diolah.
Dari tabel di atas terlihat bahwa PDRB Sumatera Utara terus mengalami peningkatan. Dapat kita lihat dari pertumbuhan PDRB yang selalu positif. Hal ini cukup menggembirakan, karena PDRB merupakan salah satu indikator kemampuan ekonomi suatu daerah. Bahkan pada tahun 1998 dimana terjadi krisis moneter di Indonesia, Sumatera Utara masih mampu meningkatakan PDRB nya, padahal disaat yang sama perekonomian kita secara nasional mengalami masamasa yang sulit. Hal ini menjadi fenomena tersendiri. Seolah – olah krisis moneter tahun 1998 menjadi faktor pendorong pertumbuhan PDRB Sumatera Utara.
9
Namun jika kita menghubungkan pertumbuhan PDRB ini dengan arus Investasi di Sumatera Utara, dimana terjadi pertumbuhan negatif investasi khususnya pada tahun 1997 dan 1998, dan di sisi lain PDRB mengalami kejutan peningkatan yang luar biasa, tentunya hal ini menjadi fenomena yang tidak biasa dan patut menjadi pertanyaan. Melihat fenomena kesenjangan pertumbuhan Investasi di Sumatera Utara, dan kaitannya dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti yang tertulis dalam penjelasan sebelumnya, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai pengaruh berbagai variabel terhadap Investasi di Sumatera Utara dengan menambahkan variabel Dummy yang mewakili krisis moneter tahun 1998. Penelitian yang penulis lakukan berjudul
“Analisis Determinan Investasi
Sumatera Utara.” 1.2
Perumusan Masalah Dari latar belakang pemasalahan tersebut di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: Apakah tingkat suku bunga, PDRBP, inflasi, persentase kredit terhadap PDRB dan Krisis Moneter berpengaruh signifikan terhadap investasi di Sumatera Utara? 1.3
Tujuan Penelitian Untuk menjawab permasalaan di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
10
Untuk mengetahui pengaruh tingkat suku bunga, PDRBP, inflasi, persentase kredit terhadap PDRB dan Krisis Moneter terhadap investasi di Sumatera Utara. 1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
Sebagai informasi mengenai determinasi investasi di Sumatera Utara, khususnya terhadap beberapa sektor di atas.
2.
Sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan mengenai Investasi di Sumatera Utara.
3.
Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat untuk meneliti Investasi di Sumatera Utara.