BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap organisasi memiliki sarana yang akan dicapai, baik bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu memperoleh laba dan menaikkan nilai perusahaan. Perusahaan tidak akan dapat mencapai sasaran tersebut tanpa adanya aset (asset) yang dapat menjamin kelancaran operasional rutin perusahaan, terutama aset tetap (fixed asset). Aset tetap merupakan aset perusahaan yang sangat penting, tanpa adanya aset tetap mustahil sebuah perusahaan dapat menjalankan kegiatan operasional rutinnya dengan baik. Era globalisasi yang memunculkan persaingan bebas, membuat persaingan antar perusahaan semakin meningkat, tidak hanya persaingan di tingkat nasional tetapi sudah tingkat internasional. Menurut Sunarsan (2010) semakin ketatnya persaingan antar perusahaan ini membuat perusahaan melakukan berbagai perubahan, salah satu bentuk perubahan yang terjadi adalah dalam penyampaian informasi keuangan, karena dengan melakukan konvergensi akuntansi Indonesia ke International Financial Reporting Standards (IFRS), maka Indonesia akan mendapatkan pengakuan maksimal dari komunitas internasional yang sudah lama menerapkan standar tersebut, selain itu IFRS juga bisa membantu perusahaan-perusahaan Indonesia untuk dapat bersaing di tingkat global. Selain itu Sunarsan (2010) mengatakan juga bahwa konvergensi dari standar pelaporan yang sebelumnya digunakan oleh 1
2
pemerintah Indonesia ke IFRS memerlukan upaya-upaya yang signifikan. Para pengguna dan auditor terus menghadapi tantangan implementasi yang lebih dari sekedar latihan teknis sejak konvergensi ke IFRS. Konsekuensi yang dihadapi pun menjadi jauh lebih luas, yaitu tidak hanya berkaitan dengan masalah laporan keuangan, kepatuhan dengan persyaratan hutang, strukturisasi skema employee stock option program (ESOP), pelatihan karyawan, modifikasi sistem teknologi informasi (TI) dan perencanaan pajak, melainkan perusahaan juga perlu untuk mengkomunikasikan dampak konvergensi IFRS kepada para investor mereka untuk memastikan bahwa mereka memahami peralihan ke IFRS. Kebutuhan
Indonesia
untuk
melakukan
program
konvergensi
tampaknya sudah menjadi suatu keharusan jika tidak ingin tertinggal. Sehingga dalam perkembangan penyusunan standar akuntansi di Indonesia oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) tidak dapat terlepas dari perkembangan penyusunan standar akuntansi internasional yang dilakukan oleh International Accounting Standards Board (IASB). Standar akuntansi keuangan nasional saat ini sedang dalam proses secara bertahap menuju konvergensi secara penuh dengan IFRS yang dikeluarkan oleh IASB (Kanaka, 2008). IFRS adalah Standar, Interpretasi dan Kerangka yang diadopsi oleh IASB. Dengan konvergensi IFRS, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) akan bersifat principle-based dan memerlukan professional judgment, senantiasa peningkatan kompetensi harus pula dibarengi dengan
3
peningkatan integritas. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dalam program kerjanya telah menetapkan peta arah (roadmap) program konvergensi IFRS terhadap PSAK yang dilakukan melalui tiga tahapan. Pertama tahap adopsi (2008-2011) yang meliputi Adopsi seluruh IFRS ke PSAK, persiapan infrastruktur yang diperlukan, evaluasi dan kelola dampak adopsi terhadap PSAK yang berlaku. Kedua tahap persiapan akhir (2011) yaitu penyelesaian infrastruktur yang diperlukan. Ketiga yaitu tahap implementasi (2012) yaitu penerapan pertama kali PSAK yang sudah mengadopsi seluruh IFRS dan evaluasi dampak penerapan PSAK secara komprehensif (Daniel, 2012). Fair Value Accounting (FVA) di beberapa pos aset tertentu seperti piutang atau pinjaman yang diberikan, aset tetap dan aset berwujud, serta penjabaran pos moneter dan pos nonmoneter untuk kegiatan di luar negeri, akan berpengaruh terhadap pajak penghasilan (PPh). Namun, pada sektor lainnya, seperti untuk sekuritas yang tergolong trading dan available for sale tidak memengaruhi PPh. Menurut Sugiri (2012), PPh ini dihitung berdasarkan laba kena pajak. Artinya, jumlah PPh sama dengan jumlah PPh menurut aturan perpajakan. Beban pajak ini mungkin lebih besar atau lebih kecil dari PPh dan dihitung berdasar konsep akuntansi keuangan. Konsep FVA yang sering dilawankan dengan dengan historical cost accounting (HCA). Dua paradigma tersebut bermuara pada nilai (dasar pengukuran) yang dilekatkan pada pos-pos laporan keuangan. HCA melekatkan biaya historis pada pos-pos laporan keuangan. Jika pada suatu saat tertentu biaya historis
4
suatu aset atau liabilitas berbeda dari Fair Value (FV)-nya, HCA tidak mengubah nilai tercatat ke FV. Karakteristik IFRS menurut Raafi (2012) cenderung bersifat principlesbased bukan lagi rule based. Selain itu IFRS juga banyak menggunakan konsep fair value (FV) untuk dasar pengukuran dengan penekanan pada ukuran yang andal. Pengaruh konvergensi IFRS tidak hanya berpengaruh terhadap dunia bisnis saja, tetapi juga dalam dunia perpajakan. Perbedaan IFRS dengan perpajakan salah satunya mencakup aset tetap (PSAK No. 16). Berdasarkan PSAK No. 16 perusahaan diperbolehkan memilih metode revaluasi yang dilakukan periodik oleh penilai dengan FV. Sedangkan pada peraturan perpajakan revaluasi dilakukan penilai dengan FV maksimal 1 kali dalam 5 tahun. Pengertian aset tetap dalam PSAK 16 Revisi 2011 adalah Aset tetap adalah aset berwujud yang : (a) dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa untuk direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan (b) diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode. Sedangkan menurut Kieso (2011) mengemukakan pengertian aset tetap atau yang disebut property, plant and equipment adalah aset berwujud yang dimiliki perusahaan yang digunakan untuk memproduksi atau menyuplai barang atau jasa, yang digunakan untuk disewakan kepada orang lain, atau tujuan administrasi, dan diharapkan dapat digunakan lebih dari satu periode.
5
Aset tetap memiliki 3 karakteristik yang utama yaitu : aset tetap dimiliki dan digunakan untuk operasi perusahaan dan bukan untuk dijual, jangka waktu kegunaan nya pun panjang dan biasa nya terdepresiasi, dan harus ada bentuk fisik dari aset tetap itu sendiri. Sedangkan menurut Arens (2008) mengemukakan bahwa properti, pabrik, dan peralatan adalah aktiva yang memiliki umur yang diharapkan lebih dari satu tahun, digunakan dalam bisnis, dan diperoleh tidak untuk dijual kembali. Aset tetap menurut PSAK 16 Revisi 2011 dapat dinilai dengan menggunakan nilai revaluasi sebagai salah satu alternatif pengukuran. Seperti yang ada dalam PSAK 16 revisi 2011 dinyatakan bahwa terdapat 2 kebijakan akuntansi yang berbeda dalam pengukuran setelah pengakuan awal aset tetap tersebut yakni kebijakan model biaya dan model revaluasi, dimana kedua model tersebut memiliki perhitungan masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, diperkenankannya revaluasi aset tetap pada PSAK 16 Revisi 2011 membuat perusahaan dapat melakukan revaluasi aset tetap tanpa harus mengikuti ketentuan perpajakan kecuali untuk tujuan perpajakan. Revaluasi merupakan salah satu cara untuk mewajarkan nilai aset yang dimiliki perusahaan dan seringkali digunakan untuk menghemat pajak yang harus dibayar. Akan tetapi ada banyak hal yang perlu diperhatikan apabila perusahaan ingin melakukan revaluasi terhadap aset yang dimilikinya. Revaluasi aset tetap adalah penilaian kembali aset tetap perusahaan, yang diakibatkan adanya kenaikan nilai aset tetap tersebut dipasaran atau karena
6
rendahnya nilai aset tetap dalam laporan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh devaluasi atau sebab lain, sehingga nilai aset tetap dalam laporan keuangan tidak lagi mencerminkan nilai yang wajar. Tujuan penilaian kembali aset tetap perusahaan dimaksudkan agar perusahaan dapat melakukan penghitungan penghasilan dan biaya lebih wajar sehingga mencerminkan kemampuan dan nilai perusahaan yang sebenarnya (Waluyo, 2011). Tindakan penilaian kembali ini dilakukan karena aset tetap yang didasarkan pada harga perolehan (historical cost), sehingga dianggap kurang mencerminkan nilai atau potensi nyata yang dimiliki oleh perusahaan, sebagai akibat adanya fluktuasi harga atau nilai tukar yang cukup tinggi. Menurut Mansur dan Wardoyo (2004) alasan wajib pajak melakukan revaluasi aset tetap tidak hanya menyajikan laporan keuangan agar lebih relevan dalam pengambilan keputusan, namun juga untuk meningkatkan nilai perusahaan sehingga mudah dalam proses pencairan dana melalui pinjaman bank maupun penjualan saham perusahaan, meningkatkan beban aktiva tetap perusahaan pada masa yang akan datang sehingga beban diperbolehkan oleh pajak semakin besar di masa mendatang dan beban pajak kini semakin kecil, meningkatkan keakuratan perhitungan penghasilan maupun beban sehingga mencerminkan kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam menghasilkan laba, dan agar neraca perusahaan menunjukkan posisi kekayaan perusahaan yang sebenarnya. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa perusahaan melakukan revaluasi aset tetap untuk memengaruhi kekuatan perusahaan dalam negosiasi kontrak ulang dengan debtholders dan untuk mengurangi
7
laba yang disebabkan oleh naiknya beban penyusutan aktiva tetap yang berdampak pada pembayaran beban pajak penghasilan. Penelitian mengenai pengaruh negosiasi debt contracts terhadap revaluasi aset tetap telah banyak dilakukan, antara lain oleh : Brown, Izan dan Loh (1992), Cotter dan Zimmer (1995), Cotter (1999), Seng dan Su (2010) dan Firmansyah dan Sherlita (2012). Dan penelitian mengenai pengaruh political cost yang diukur dengan ukuran perusahaan telah banyak dilakukan, antara lain oleh : Brown, Izan dan Loh (1992), Whittered dan Chan (1992), Deslatu dan Susanto (2009), Seng dan Su (2010), Barać dan Šodan (2011) dan Firmansyah dan Sherlita (2012). Akan tetapi penelitian tersebut tidak seluruhnya dilakukan di perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Negosiasi Debt Contracts Dan Political Cost Terhadap Perusahaan Untuk Melakukan Revaluasi Aset Tetap (Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2012)”. 1.2 Identifikasi Masalah Laporan keuangan pada penilaian dasarnya sendiri itu menggunakan historical cost, dimana dilihat dari harga perolehan aset tersebut yang berawal dari transaksi-transaksi akuntansi, sehingga nilai-nilai yang tecatat didalam laporan keuangan tersebut dianggap tidak relevan dan tidak mencerminkan kemampuan perusahaan yang sebenarnya. Salah satu perubahan dalam penyampaian informasi itu adalah penyampaian informasi kepemilikan aset
8
tetap, dimana sebagian besar aset tetap yang dimiliki perusahaan mengalami devaluasi dan penyusutan nilai sehingga nilai yg ada tidak mencerminkan nilai aset tetap yang sebenarnya. Perusahaan melakukan revaluasi tidak hanya untuk mencerminkan nilai aset tetap yang sebenarnya dimiliki oleh perusahaan, akan tetapi agar perusahaan dapat menaikkan nilai perusahaan sehingga dapat memperkuat posisi perusahaan untuk melakukan negosiasi kontrak ulang perusahaan dengan debtholders. Selain itu perusahaan melakukan revaluasi agar dapat menurunkan laba sesungguhnya sehingga tidak menarik perhatian pemerintah khususnya pajak. Penelitian yang dilakukan Seng dan Su (2010) terdapat dua faktor utama negosiasi debt contracts yang dapat memengaruhi revaluasi aset tetap yaitu tingkat leverage dan penurunan arus kas, selain itu penelitian yang dilakukan Firmansyah dan Sherlita (2012) pun menambahkan faktor lain yaitu tingkat utang jaminan. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Firmansyah dan Sherlita (2012) mengenai political cost terdapat faktor utama yang memengaruhi revaluasi aset tetap yaitu ukuran perusahaan. Selain itu peneliti pun menamnbahkan tingkat return on equity yang juga merupakan faktor political cost menurut Barać dan Šodan (2011). Berdasarkan
uraian
masalah
di
atas
serta,
maka
peneliti
mengidentifikasi masalah sebagai berikut : 1.
Apakah tingkat leverage memengaruhi perusahaan untuk melakukan revaluasi aset tetap ?
9
2.
Apakah penurunan arus kas dari aktivitas operasi memengaruhi perusahaan untuk melakukan revaluasi aset tetap ?
3.
Apakah tingkat hutang jaminan memengaruhi perusahaan untuk melakukan revaluasi aset tetap ?
4.
Apakah
ukuran
perusahaan
memengaruhi
perusahaan
untuk
melakukan revaluasi aset tetap ? 5.
Apakah tingkat return on equity memengaruhi perusahaan untuk melakukan revaluasi aset tetap ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris mengenai pengaruh yang signifikan atau tidak faktor negosiasi debt contracts yang dilihat dari tingkat leverage, tingkat hutang jaminan dan penurunan arus kas dalam aktivitas operasi dan political cost yang dilihat dari ukuran perusahaan dan tingkat Return On Equity (ROE) terhadap perusahaan dalam melakukan revaluasi aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : 1.
Bagi Penulis Bagi penulis penelitian ini dapat memacu minat dan keinginan untuk memahami tentang revaluasi aset tetap dan mengetahui manfaat dari pelaksanaan revaluasi aset tetap.
2.
Bagi Perusahaan
10
Bagi
perusahaan
penelitian
ini
diharapkan
dapat
membantu
perusahaan dalam membuat kebijakan mengenai revaluasi aset tetap perusahaan. 3.
Bagi Peneliti Bagi peneliti diharapkan dapat dijadikan referensi dalam penelitian selanjutnya dalam hal revaluasi aset tetap.
4.
Bagi Investor Penelitian
diharapkan
dapat
memberikan
gambaran
untuk
mempertimbangkan aspek-aspek yang perlu diperhitungkan dalam investasi yang tidak hanya dilihat pada ukuran-ukuran moneter. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data sehubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis akan melakukan penelitian pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2010-2012. Data penelitian diperoleh dari website www.idx.co.id. Dengan waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai dengan selesai.