BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
1.1.1. Kondisi Hutan dan Harimau Sumatera Indonesia sebagai negara berkembang sedang sangat giat melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Berbagai proyek pembangunan dilaksanakan pada berbagai bidang, mulai dari bidang industri hingga bidang pertanian dan perkebunan. Sayangnya dampak yang dirasakan dari proses pembangunan ini tidak hanya dampak positif saja, tapi juga dampak negatif yang salah satu diantaranya adalah berkurangnya lahan hutan sebagai akibat kebutuhan sumberdaya untuk menunjang proses pembangunan tersebut. Kondisi hutan alam di Indonesia yang sedang dalam tekanan sangat kuat memberi pengaruh signifikan terhadap kondisi ekosistem dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Pulau-pulau besar mulai dari Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan terutama Jawa tidak lepas dari permasalahan ini. Isu utama yang terjadi adalah konversi hutan menjadi peruntukkan lain, seperti pertanian, permukiman, hingga perkebunan dan pertambangan. Pulau Sumatera merupakan rumah bagi jutaan spesies baik flora maupun fauna, dengan tingkat kekayaan keanekaragaman hayati tinggi sekaligus kawasan dengan ancaman sangat tinggi pula. Terdapat 210 spesies mamalia di Sumatera, dengan 16 spesies diantaranya merupakan mamalia endemis pulau ini. Sumatera juga merupakan rumah bagi 582 spesies burung, yang mana 465 diantaranya bersifat menetap dan 14 spesies merupakan endemis. Kondisi ini menjadikan Sumatera sebagai kawasan biogeografis terkaya kedua dalam hal burung setelah pulau Papua (CEPF, 2001). Keanekaragaman hayati di Pulau Sumatera terancam oleh tingkat deforestasi yang sangat tinggi, yang mengakibatkan berkurangnya habitat flora dan fauna, sehingga terjadi degradasi dalam 25 tahun terakhir yang ditunjukkan dengan hilangnya lebih dari dua per tiga luasan hutan, terutama di dataran rendah di pulau ini. Analisis
1
tutupan hutan alam 1985 – 20081 menunjukkan bahwa laju deforestasi di Sumatera mencapai 500 ribu hektar per tahun, seperti yang disajikan pada Grafik 1.
Juta Hektar
Deforestasi Sumatera 1985 - 2008 30 25 20 15 10 5 -
1985
1990
2000
2008
Grafik 1. Deforestasi di Sumatera 1985 - 2008/9. Sumber: Uryu, 2010
Dari total deforestasi yang terjadi sejak 1985 hingga 2008/2009, 81% berlokasi di dataran rendah dengan elevasi di bawah 150 meter (Uryu, et al, 2010). Hal ini disebabkan oleh mudahnya menjangkau lokasi-lokasi ini dibandingkan perbukitan atau pegunungan. Potensi seperti tingginya penyimpanan karbon, terutama di daerah gambut serta tingginya tingkat keanekaragaman hayati di lokasi ini menjadi rusak akibat deforestasi ini Kerusakan yang ada tidak hanya berdampak pada kondisi fisik bentang lahan, ketersediaan air, serta perubahan iklim saja, tapi juga berdampak pada eksistensi spesies-spesies yang selama ini menggantungkan hidup dari hutan alam, di antaranya satwa-satwa liar. Ketika sumber makanan dan tempat berlindung sudah mulai terbatas, maka mereka akan mencari lokasi alternatif dengan mendatangi permukimanpermukiman yang pada akhirnya konflik antara satwa manusia dengan satwa liar terjadi dan akan selalu terjadi hingga satwa tersebut mencapai titik kepunahan, karena ketika terjadi konflik, biasanya selalu berakhir dengan kematian satwa liar.
1
http://gis.wwf.or.id/wwf/index.php/identifikasi-deforestasi-hutan-alam-sumatra-1985-2008/
2
Harimau dengan nama latinnya Panthera tigris (Gambar 1) merupakan satwa liar yang sangat adaptif, karena dapat ditemukan di berbagai tipe habitat, mulai dari hutan tropis, rawa, hutan bakau, hingga padang rumput di kaki bukit Himalaya (Sanderson et al, 2006). Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan sub spesies dari harimau yang sedang diperjuangkan agar tidak punah. Sub-spesies ini adalah bagian dari enam sub-spesies lain yang masih ditemukan di bumi. Satwa besar yang sering dijadikan sebagai lambang dan dianalogikan dengan kekuatan ini ternyata tidak berkutik melawan tekanan terhadap hutan alam yang merupakan rumahnya. Di Indonesia, hanya Harimau Sumatera yang masih dapat ditemukan, setelah punahnya Harimau Bali (Panthera tigris balica) dan Harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) pada sekitar tahun 1930-an dan 1970-an (Krech, McNeill, dan Merchant, 2004).
Gambar 1. Harimau Sumatera. Sumber: worldwildlife.org/species/tiger
Di Pulau Sumatera, harimau dapat ditemukan mulai dari ujung utara di Aceh hingga ke ujung selatan di Lampung. Namun setidaknya sejak tahun 1985 dan mulai maraknya kegiatan alih fungsi hutan menjadi peruntukkan lain seperti perkebunan dan hutan tanaman industri, menyebabkan penyempitan luasan hutan alam secara signifikan (Uryu, 2010) dan terfragmentasi sehingga sangat mempengaruhi habitat harimau, dan juga spesies-spesies lainnya, terutama yang berukuran besar seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan Orangutan Sumatera (Pongo abelii).
3
Gambar 2. Distribusi Harimau Sumatera. Sumber: Peta Jalan Menuju Penyelamatan Ekosistem Sumatera Visi Sumatera 2020, 2010
Karakter Harimau Sumatera merupakan jenis dengan ukuran tubuh terkecil dibandingkan sub-spesies yang lain, dengan panjang mencapai 2,5 meter dan berat 140 kilogram. Sifat yang soliter membuat satwa ini cenderung hidup menyendiri terutama jantan, dengan pengecualian betina yang sedang mengasuh anak-anaknya. Dalam satu luasan habitat, biasanya hanya ditemukan satu individu jantan, sementara harimau betina cenderung lebih toleran sehingga dapat ditemukan satu habitat dihuni oleh lebih dari seekor harimau betina. Dengan kemampuan mobilitas yang tinggi, menyebabkan Harimau Sumatera memiliki daerah jelajah (home range) yang luas (Wibisono dan Pusparini, 2010) seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.
4
Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), Harimau Sumatera merupakan sub-spesies dalam kategori “Critically Endangered”, yang artinya berada dalam ambang kepunahan. Sejak hampir 30 tahun terakhir ini memang habitat Harimau Sumatera berada dalam tekanan sangat tinggi seiring dengan semakin tingginya tekanan terhadap kondisi hutan alam di pulau Sumatera. 1.1.2. Regulasi dan Kebijakan Pemerintah Setelah proses pengembangan konsep tata ruang pulau Sumatera yang cukup panjang, yaitu sejak tahun 2008 dan terbitnya Peraturan Pemerintah no.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, akhirnya rencana penataan ruang pulau Sumatera selesai disusun yang ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden no. 13 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera. Dengan terbitnya Peraturan Presiden ini, maka rencana bagaimana alokasi penggunaan lahan di pulau Sumatera telah ditentukan. Tata ruang merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk keperluan pencegahan kerusakan lingkungan hidup, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini menjadikan instrumen tata ruang sebagai produk regulasi yang sangat strategis karena dijadikan acuan oleh semua sektor dalam melakukan pengelolaan kawasan, sehingga tata ruang yang harus dibangun adalah tata ruang yang berpihak pada kelestarian lingkungan. Ada beberapa Informasi penting dari Peraturan Presiden ini yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah perlindungan minimal kawasan hutan bernilai lindung sebesar 40% dari total luas pulau Sumatera, ini berarti sekitar 17,2 juta lahan di pulau Sumatera seharusnya dialokasikan sebagai kawasan lindung. Untuk mengakomodasi amanat tersebut, maka diperlukan strategi pengelolaan berbasis lingkungan yang optimal, yaitu salah satunya dengan pembangunan koridor ekosistem. Koridor ekosistem yang dibangun ini pada dasarnya adalah menghubungkan berbagai kawasan konservasi yang telah ada di pulau Sumatera dalam bentuk koridor sehingga diharapkan tercipta konektivitas dari kawasan-kawasan konservasi tersebut.
5
Terdapat lima koridor yang diamanatkan oleh peraturan presiden ini untuk dibangun, yaitu: a.
Koridor Aceh-Sumatera Utara yang menghubungkan Taman Nasional Gunung Leuser-Taman Hutan Raya Bukit Barisan sebagai koridor satwa badak, gajah, orang utan, harimau, dan burung;
b.
Koridor RIMBA (Riau-Jambi-Sumatera Barat) yang menghubungkan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang-Bukit Baling, Cagar Alam Batang Pangean I-Cagar Alam Batang Pangean II, Taman Nasional Kerinci Seblat, Suaka Margasatwa Bukit Tiga Puluh, Taman Nasional Berbak, Cagar Alam Maninjau Utara, Cagar Alam Bukit Bungkuk, Cagar Alam Cempaka, Taman Wisata Alam Sungai Bengkal, dan Taman Hutan Raya Thaha Saifuddin sebagai koridor satwa gajah, harimau, dan burung;
c.
Koridor Jambi-Bengkulu-Sumatera Selatan yang menghubungkan Taman Nasional Kerinci Seblat dan Cagar Alam Bukit Kaba sebagai koridor satwa burung, gajah, dan harimau;
d.
Koridor Jambi-Sumatera Selatan yang menghubungkan Taman Nasional BerbakTaman Nasional Sembilang sebagai koridor satwa burung dan harimau; dan
e.
Koridor Bengkulu-Sumatera Selatan-Lampung yang menghubungkan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan- Suaka Margasatwa Gunung Raya sebagai koridor satwa harimau, badak, dan burung. Peraturan Presiden No. 13 tahun 2012 tentang RTR Pulau Sumatera merupakan
penguatan bagi upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera, dan telah
mengakomodasi
kesepakatan
sepuluh
gubernur
se-Sumatera
dalam
Penyelamatan Ekosistem Sumatera yang dikemas dalam Visi Sumatera 2020 dan didokumentasikan dalam Dokumen Peta Jalan Menuju Penyelamatan Ekosistem Sumatera Visi Sumatera 2020 (Rosita et al, 2010). Amanat pembangunan lima koridor ekosistem adalah salah satu indikasi penguatan dari upaya konservasi, mengingat Sumatera adalah pulau dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi tetapi memiliki tingkat ancama tertinggi pula (CEPF, 2001). Rencana Tata Ruang Pulau Sumatera selanjutnya didorong untuk menjadi acuan bagi pemerintah provinsi dan kabupaten dalam menyusun rencana tata
6
ruangnya, merujuk pada pasal 3 huruf g dari PP 26 tahun 2008 yang bertujuan menciptakan sinkronisasi dari rencana tata ruang tingkat pulau dengan rencana tata ruang di tingkat provinsi dan kabupaten. Kebijakan tata ruang di tiap provinsi dan kabupaten tersebut didorong untuk menerapkan konsep tata ruang di tingkat pulau, yang salah satunya adalah pengembangan koridor ekosistem untuk menghubungkan berbagai kawasan konservasi yang ada. Salah satu koridor ekosistem yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden no.13 tahun 2012 adalah koridor RIMBA yang merupakan singkatan dari Riau, Jambi, dan Sumatera Barat (Gambar 3). Nama resmi dari koridor ini adalah Kawasan Ekosistem Rimba Terpadu2, dan merupakan kawasan koridor yang secara resmi telah didukung oleh pemerintah provinsi termasuk pemerintah di tingkat kabupaten di kawasan koridor tersebut. Koridor RIMBA mencakup 19 kabupaten dengan perincian: 4 kabupaten di provinsi Riau, 8 kabupaten di provinsi Jambi, dan 7 kabupaten di provinsi Sumatera Barat.
Gambar 3. Kawasan Ekosistem RIMBA Terpadu. Sumber: WWF Indonesia
2
http://www.wwf.or.id/?19180/Pemerintah-Pusat-dan-Gubernur-se-Sumatera-Luncurkan-PetaJalan-Penyelamatan-Ekosistem-Sumatera
7
Pemerintah pusat telah mengembangkan lima program utama terkait implementasi konsep tata ruang berbasis ekosistem di koridor RIMBA ini, antara lain: 1.
Restorasi kawasan lindung
2.
Pengembangan Jasa Air
3.
Pengelolaan Hutan Lestari
4.
Pengelolaan Perkebunan Lestari
5.
Pengembangan Jasa Karbon Kebijakan lain dari pemerintah terkait dengan pengelolaan lahan adalah Master
Plan Percepatan dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Berdasarkan inisiatif ini, Pulau Sumatera ditetapkan menjadi ‘Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional’. Ada 6 kegiatan ekonomi utama yang akan didorong, yaitu: Pengembangan komoditas kelapa sawit (Elaeis guineensis dan Elais oleifera), karet (Hevea braziliensis), batu bara, perkapalan, besi baja, dan Kawasan Strategis Nasional (KSN) Selat Sunda. Untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas dalam menjalankan fungsi yang telah diamanatkan tersebut, maka pembangunan infrastruktur di pulau ini perlu ditingkatkan, agar kegiatan ekonomi menjadi lebih optimal dengan adanya jaringan jalan yang dapat menghubungkan berbagai daerah. Hal ini penting bagi pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat di Sumatera, karena selama ini kendala utama dalam kegiatan ekonomi adalah terbatasnya sarana dan prasarana yang ada sehingga kegiatan ekonomi menjadi tidak efisien dan berbiaya tinggi. Dengan implementasi MP3EI ini diharapkan kendala tersebut akan tertanggulangi. Namun demikian, dampak negatif dari perkembangan jalan juga berpotensi memperkuat tekanan terhadap kelestarian lingkungan yaitu kerusakan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Dengan berkembangnya akses jalan, diyakini akan menyuburkan praktik-praktik perambahan (encroachment) di kawasan hutan sehingga penebangan liar (illegal logging) dan perburuan liar menjadi semakin marak, demikian juga konversi lahan di kawasan lindung menjadi perkebunan yang semakin tinggi seiring dengan semakin mudahnya mengangkut hasil-hasil bumi untuk dijual. Gambar
8
4 menyajikan lokasi koridor RIMBA dengan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas penerapan MP3EI.
Gambar 4. Koridor RIMBA terhadap MP3EI. Sumber: Hasil analisis
1.2.
Perumusan Masalah Dari paparan di atas, dapat dipastikan bahwa Pulau Sumatera tengah
menghadapi tekanan yang sangat besar pada kawasan hutan alamnya. Tekanan tersebut baik secara legal seperti kebijakan konversi hutan untuk peruntukkan lain, maupun ilegal seperti pembalakan hutan dan perburuan satwa liar yang dilindungi. Dengan kondisi hutan alam yang semakin menyempit yang berakibat pada Hariamu Sumatera yang diambang kepunahan, maka semua pihak perlu bekerja sama untuk mencari solusi dalam menghadapi permasalahan ini mengingat komitmen Pemerintah
9
Indonesia
terhadap
dunia
internasional
untuk
menurunkan
emisi
dengan
mempertahankan kelestarian hutan alam. Kelestarian hutan alam yang terganggu dan terpecah-pecah menyebabkan harimau di pulau ini tidak dapat bertahan hidup dan mengalami penuruan populasi. Beberapa penelitian terkait jumlah spesies Harimau Sumatera antara lain: Borner, 1978 menyatakan bahwa populasi Harimau Sumatera masih di atas 1000 individu, lalu Santiapillai, 1987 menyatakan perkiraan populasi pada 1987 adalah sekitar 800 individu, berlanjut di tahun 1992 tersisa sekitar 400 – 500 individu berdasarkan Analisis viabilitas populasi dan habitat yang dilakukan oleh pemerintah (Tilson et al., 1994) dan kondisi pada 2010 diperkirakan bahwa populasi Harimau Sumatera berjumlah sekitar 325 (GTRP 2010). Tata Ruang dan MP3EI merupakan produk pemerintah yang berfungsi untuk memastikan pembangunan dan peningkatan ekonomi di Indonesia termasuk di Sumatera dapat berjalan dengan optimal. Namun tanpa upaya implementasi dan pengawasan yang jelas, maka kedua regulasi tersebut malah akan menambah tekanan terhadap kelestarian lingkungan. Masa perencanaan sudah selesai, yang dihadapi sekarang adalah tantangan bagaimana implementasi di lapangan dan pengawasan dari apa yang sudah direncanakan. Berkaitan dengan paparan di atas, maka dapat dirumuskan permasalah penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi ekosistem bentanglahan yang terkait dengan habitat Harimau Sumatera dan seperti apa dinamikanya sejak tahun 2002 hingga tahun 2013? 2. Bagaimana kondisi habitat Harimau Sumatera di area tersebut sejak tahun 2002 hingga tahun 2013? 3. Daerah mana yang sesuai untuk dikembangkan menjadi koridor habitat yang merupakan bagian dari strategi pengelolaan lingkungan untuk menjembatani kepentingan antara kelestarian keanekaragaman hayati dan aktivitas manusia? Untuk mencari jawaban dari permasalahan di atas, maka penting untuk dilakukan penelitian tentang ‘Analisis Potensi Habitat dan Koridor Harimau
10
Sumatera, di Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh, Kabupaten Kuantan Singingi di Provinsi Riau’. Secara spesifik, penelitian ini akan dilaksanakan di bagian selatan Kabupaten Kuantan Singingi dan bagian utara dari Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya. Kawasan ini merupakan Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh, namun tengah mengalami tekanan yang luar biasa akibat deforestasi.
1.3.
Keaslian Penelitian Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi dan pembanding
dalam menunjukkan keaslian penelitian, antara lain: a.
Yumiko Uryu et al (2008) melakukan kajian mengenai faktor utama deforestasi dan degradasi yang terjadi di Provinsi Riau.
b.
Parakkasi dan Sunarto (2010) melakukan kajian penilaian awal (baseline assessment) kondisi habitat Harimau Sumatera dan mangsanya di kawasan koridor yang menghubungkan Suaka Margasatwa Rimbang Baling dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
c.
Wibisono dan Pusparini (2010) melakukan kajian tentang indikasi sebaran harimau di Pulau Sumatera dengan informasi dasar berupa tutupan hutan tahun 2000 dikombinasikan dengan survey pada 2010.
d.
Yumiko Uryu et al (2010) melakukan kajian deforestasi di Pulau Sumatera antara tahun 1985 hingga 2009 dengan fokus pada identifikasi jenis-jenis hutan berdasarkan tipe ekofloristik, penurunan luasan tutupan hutan, dimana lokasinya dan mengapa terjadi demikian.
e.
Sunarto et al (2011) melakukan kajian perkiraan habitat Harimau Sumatera di Provinsi Riau dan sebagian kecil Provinsi Sumatera Barat dan Jambi dengan metode yang digunakan adalah Metode Occupancy Modelling dengan data dasar penggunaan lahan tahun 2007 dari Kementerian Kehutanan.
f.
Nirmal Bhagabati et al (2014) melakukan kajian hubungan antara potensi jasa ekosistem dengan kualitas habitat Harimau Sumatera di koridor ekosistem pada
11
bagian tengah Pulau Sumatera, yang dikenal dengan nama Kawasan Ekosistem Terpadu Rimba. Tabel 1. Berbagai penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kajian hutan dan perlindungan Harimau Sumatera No 1
Nama Peneliti dan Tahun Yumiko Uryu et al 2008
Judul Penelitian Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and CO2 emissions in Riau, Sumatra, Indonesia
Tujuan Penelitian 1. Mengkaji bagaimana pulp dan kelapa sawit menjadi faktor utama dalam deforestasi dan degradasi di kawasan gambut Riau
Metode Penelitian Pemodelan SIG berdasarkan skenario pengelolaan lahan ‘business as usual’ dan skenario implementasi utuh dari rencana tata ruang tingkat provinsi Riau
1.
2.
3.
2
Parakkasi dan Sunarto 2010
Baseline Assessment on Tigers and Their Prey in Rimbang Baling – Bukit Tigapuluh Corridor, Southern Riau
1. Investigasi keberadaan Harimau Sumatera 2. Investigasi keberadaan mangsa Harimau Sumatera 3. Mendata aktivitas manusia di kawasan ini termasuk mengkaji tekanan yang sedang terjadi terhadap kawasan ini 4. Menilai dan mengkaji kemungkinan dalam mengembangkan koridor ini sebagai upaya mitigasi dalam penanggulangan isolasi habitat Harimau Sumatera yang terjadi di kawasan ini 5. Menggunakan hasil kajian sebagai rekomendasi dalam
12
Pemodelan dengan berdasarkan survey transek cluster dan camera trap
1.
2.
3.
4.
Hasil/Temuan Penelitian Selama 25 tahun sejak 1982 hingga 2007, Riau telah kehilangan 4 juta hektar hutan alam (65% dari total luas hutan alam di Riau) Dari deforestasi selama 25 tahun tersebut, 29% beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, 24% beralih fungsi menjadi hutan tanaman akasia Perkiraan populasi Harimau Sumatera berkurang sebesar 70% dari 640 ekor pada 1982 menjadi 192 pada 2007 yang disebabkan fragmentasi hutan. Sangat penting untuk mengembangkan koridor antara hutan yang ada untuk mempertahankan habitat spesies tersebut Bukti keberadaan Harimau Sumatera di koridor Rimbang Baling – Bukit Tigapuluh Terdapat 93 foto harimau yang terekam dengan 10 individu yang berbeda, termasuk 2 ekor anak harimau Keberadaan mangsa yang melimpah, yang terdiri dari rusa dan babi hutan Ancaman yang nyata terdapat di kawasan ini adalah aktivitas manusia, yang berupa illegal logging, perambahan, hingga pembakaran lahan
No
Nama Peneliti dan Tahun
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian mempromosikan kegunaan koridor habitat sebagai bagian dari konservasi habitat Harimau Sumatera 6. Mengkaji dan mengulas kondisi habitat Harimau Sumatera di tingkat pulau
Metode Penelitian
Hasil/Temuan Penelitian
Menggunakan data tutupan hutan alam 2000 dan kawasan konservasi sebagai batas indikasi habitat Harimau, dan diintegrasikan dengan hasil wawancara dengan berbagai kalangan
1. Dari 38 potensi area habitat yang masuk kriteria, keberadaan harimau terkonfirmasi di 33 area 2. Total luas area yang merupakan indikasi habitat harimau adalah seluas 144.160 km2 3. Hanya 29% saja dari total luas area indikasi habitat harimau yang masuk dalam kawasan konservasi 1. Harimau Sumatera sangat tergantung pada keberadaan blok-blok hutan alam yang luas, dan dengan beberapa penyesuaian pada pengelolaan perkebunan, satwa ini dapat menggunakan sebagian wilayah dari perkebunan tersebut sebagai daerah jelajah, hutan riparian sebagai daerah penghubung habitat (corridors), termasuk blok-blok hutan dengan luasan sempit sebagai batu loncatan (stepping stones) 2. Area lain seperti perkebunan juga digunakan sebagai tempat beraktivitas tetapi tidak seintensif di hutan, dengan urutan dari baik ke buruk: akasia, kelapa sawit, karet, kebun campur, dan kelapa 1. Selama tahun 1985 hingga 2008/9, Sumatera telah kehilangan 12,5 juta hektar tutupan hutan alam, sehingga rata-rata deforestasi yang terjadi selama 23 tahun adalah 542
3
Wibisono dan Pusparini 2010
Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae): A Review of Conservation Status
4
Sunarto et al 2010
Tigers Need Cover: Multi-Scale Occupancy Study of The Big Cat in Sumatran Forest and Plantation Landscapes
7. Mengkaji potensi habitat Harimau Sumatera di Provinsi Riau pada area hutan alam dan perkebunan
Pemodelan dengan menggunakan Occupancy Modelling dengan data dasar penggunaan lahan 2007 dari Kementerian Kehutanan.
5
Yumiko Uryu et al 2010
Sumatra’s Forest, their Wildlife and the Climate Windows: 1985, 1990, 2000 and 2009
8. Mengkaji tingkat deforestasi antara tahun 1985- 2009 serta penyebarannya di delapan provinsi di Pulau Sumatera 9. Mengkaji tingkat kehilangan potensi cadangan karbon pada hutan alam dan lahan gambut
Metode analisis dengan penginderaan jauh dari citra satelit landsat dan data-data sekunder SIG
13
No
Nama Peneliti dan Tahun
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
10. Dampak deforestasi pada keragaman ekofloristik hutan dan keragaman spesies
2.
3.
6
Nirmal K. Bhagabati et al 2014
A Green Vision for Sumatra, Using ecosystem services information to make recommendations for sustainable land use planning at the province and district level
1. Mengkaji potensi jasa ekosistem dan habitat Harimau Sumatera yang dapat dikembangkan di tiga provinsi di bagian tengah pulau Sumatera. 2. Mengkaji hubungan antara potensi jasa ekosistem dengan kualitas habitat Harimau Sumatera
Pemodelan menggunakan teknologi SIG berdasarkan dua skenarion penggunaan lahan yang dibangun, yaitu Konsep Visi Sumatera 2020 dengan Tata Ruang, dengan baseline penutupan lahan 2008
1.
2.
Hasil/Temuan Penelitian ribu hektar per tahun. Riau merupakan provinsi dengan tingkat deforestasi paling tinggi dibandingkan provinsi lain di Sumatera Luas hutan alam yang sebesar 12,8 juta hektar pada 2008/9 di Sumatera diperkirakan menyimpan 2,1 gigaton karbon mengacu pada kriteria IPCC Bagian tengah Sumatera berpotensi menyerap 60 juta ton karbon selama 50 tahun sejak 2008 jika implementasi Visi Sumatera dilakukan, namun akan kehilangan 100 juta ton karbon dalam 50 tahun ke depan apabila rencana tata ruang yang diterapkan Penerapan konsep pengelolaan lestari bagi perkebunan dan hutan prioduksi sangat diperlukan untuk menjamin kelestarian habitat spesies langka dan potensi jasa lingkungan yang ada di wilayah ini
Dari berbagai kegiatan penelitian pada Tabel 1 yang telah diidentifikasi, tema yang menjadi persamaan dengan kegiatan penelitian ini adalah kajian tentang harimau dan tutupan lahan yang berlokasi di Pulau Sumatera dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dan SIG, sehingga salah satu hasilnya merupakan peta hasil kajian, sedangkan yang menjadi pembeda dari penelitian yang dilakukan ini dengan penelitian-penelitian pada Tabel 1 adalah kajian identifikasi potensi area yang cocok menjadi koridor, selain dari identifikasi kesesuaian habitat dengan menggunakan penutup lahan dan bentuklahan sebagai salah satu kriterianya.
14
1.4.
Tujuan Penelitian Terkait dengan kondisi pulau Sumatera seperti yang digambar di atas,
khususnya di lokasi rencana penelitian yang merupakan bagian dari koridor RIMBA, maka tujuan dari penelitian yang akan dilakukan meliputi: 1.
Mengkaji ekosistem bentanglahan yang terkait dengan habitat Harimau Sumatera dan mengkaji dinamika penutup lahan pada bentanglahan tersebut
2.
Mengestimasi potensi habitat Harimau Sumatera dan mengkaji tekanan yang dialaminya berdasarkan parameter-parameter yang mempengaruhi habitat spesies tersebut.
3.
Membuat rekomendasi lokasi yang paling sesuai untuk pembangunan koridor habitat sebagai bagian dari strategi pengelolaan di kawasan yang merupakan habitat Harimau Sumatera sekaligus kawasan tempat aktivitas manusia.
1.5.
Manfaat Penelitian Sasaran utama dari penelitian ini adalah untuk menilai kualitas habitat Harimau
Sumatera dengan kajian bentanglahan menggunakan teknologi penginderaan jauh dan SIG, sehingga manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: 1.
Menambah pustaka terkait penelitian yang mengangkat tema Harimau Sumatera yang menggunakan teknologi SIG dan Penginderaan Jauh.
2.
Merekonstruksi kembali area-area yang merupakan indikasi habitat Harimau Sumatera sebagai tindak lanjut dari kajian-kajian tentang identifikai habitat spesies ini yang pernah dilaksanakan pada waktu lampau, untuk mengetahui sejauh mana kondisi habitat saat ini dan menentukan strategi yang dapat diterapkan untuk perlindungan kawasan-kawasan yang semakin menyempit ini.
3.
Harimau Sumatera merupakan salah satu spesies payung (umbrella species) selain Gajah Sumatera yang ada di bagian tengah pulau Sumatera, karena itu dengan teridentifikasinya habitat spesies ini dan dijadikan target kawasan untuk dilindungi, maka otomatis spesies-spesies yang ada di bawahnya akan ikut terlindungi juga.
4.
Menyediakan acuan bagi para pemangku kepentingan dalam melakukan pengambilan keputusan terkait pengelolaan kawasan, terutama bagaimana
15
menentukan strategi pengelolaan terhadap area-area yang memiliki nilai penting terhadap kelestarian keanekaragaman hayati, khususnya habitat Harimau Sumatera.
16