BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Belanda masuk ke Indonesia dengan membawa serta berbagai macam barang yang mereka gunakan selama hidup di Belanda, mulai dari furnitur, mobil hingga alat-alat bangunan. Selain itu, Belanda juga membawa tanaman kopi ke Indonesia pada tahun 16961. Belanda berhasil menyelundupkan tanaman kopi dan membawanya keluar dari Pelabuhan Arab, Mocha. Dengan begitu, Belanda berhasil menjadi menjadi pelopor jalur transportasi perdagangan kopi. Bibit kopi yang didapatkan dari wilayah Arab tersebut, pertama kali ditanam di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Pondok Kopi. Kemudian, kopi itu menyebar ke berbagai kawasan di Nusantara, terutama ke wilayah Jawa Barat dan meluas ke Sumatera dan Sulawesi. Dalam proses penyebaran tanaman kopi sebagai komoditas perdagangan, VOC yang mewakili pemerintah Belanda menggunakan sistem perkebunan tanam paksa, atau cultuurstelsel. Sistem baru ini tidak saja membawa hasil bagi peningkatan jumlah produksi—kopi, tebu, dan nila sebagai komoditas utama— VOC, tetapi juga memakan banyak korban jiwa dari penduduk pribumi sebagai pekerjanya. Dengan sistem tanam paksa, Indonesia—dulu dikenal sebagai Hindia Belanda—pernah menjadi produsen kopi terbesar di dunia. Bahkan jenis kopi yang berkembang di Brazil pun berasal dari Indonesia. Sedangkan Bangsa Perancis yang berhasil membawa kopi ke wilayah Amerika, diberitakan mendapat bibit kopi dari Belanda yang mengembangbiakan kopi di Indonesia.2
1 Saputra, Eka. 2008. Kopi. Dari Sejarah, Efek Bagi Kesehatan Tubuh, dan Gaya Hidup. Yogyakarta: Harmoni 2 Ibid. hlm. 29
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
2
Kopi yang ditanam di wilayah kekuasaan VOC tidak saja sebagai komoditas dagang yang akan dipasarkan di Eropa, tetapi juga dipasarkan di pasar domestik Hindia Belanda. Pasar domestik berkembang perlahan seiring dengan asimilasi nilai dan produk budaya Eropa yang dibawa masuk Belanda ke Hindia Belanda. Salah satu produk budaya yang dibawa masuk Belanda adalah kedai kopi. Kedai kopi atau kafe, mulanya sebagai pondokan tempat singgah para pelancong, berubah fungsi menjadi tempat berkumpul dan berdiskusi kelangan intelektual pada masa Revolusi Perancis 1789. Kemunculan kedai kopi atau kafe di Hindia Belanda, khususnya di Batavia sebagai pusat pemerintahan Belanda, dimungkinkan oleh semakin banyaknya orang Belanda yang berdomisili di Batavia dan kebutuhan mereka untuk menghadirkan pola-pola gaya hidup di negeri asal mereka, salah satunya adalah berkumpul dan minum kopi di kafe. Tidak hanya di wilayah, Eropa, di Indonesia—dahulu dikenal sebagai Hindia Belanda, kafe dan kedai kopi dikenal sebagai ranah publik orang-orang kelas atas dan intelektual. Seperti di Perancis dan negara-negara Eropa lainnya, kedai kopi di Hindia Belanda juga menjadi salah satu ikon kehidupan modern. Disebut modern karena berhubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat pada saat itu di Batavia. Wilayah Batavia dibagi-bagi berdasarkan ras dan agama Pemukimnya. Populasi kota dibagi menjadi Barat dan non-Barat dan dalam basis agama, Kristen dan non-Kristen.3 Disparitas modern dan non-modern diwakili oleh pemisahan antara Barat dan non-Barat, Kristen dan non-Kristen. Pada jaman kolonial, salah satu politik pemerintahan Hindia Belanda adalah yang disebut sistem aparteid4. Serupa dengan sistem apartheid yang terjadi di Afrika Selatan, masyarakat kolonial Hindia Belanda dibagi menjadi tiga golongan; golongan Eropa atau Belanda, golongan Timur Asing (termasuk didalamnya Cina, Arab, India, dan lainnya), dan yang terakhir adalah golongan pribumi. Secara fisik, golongan-golongan ini harus tinggal di area tertentu yang telah disiapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sistem apartheid mengisolasi masyarakat dari setiap golongan dengan golongan lain secara fisik.
3
Lohanda, Mona. 1994, The Kapitan Cina of Batavia 1837—1942. Jakarta: Penerbit Djambatan. Onghokham. 2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu 4
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
3
Hal ini disebabkan sistem ini mengharuskan penduduk tinggal di kampungkampung sendiri; Kampung Arab, Kampung Melayu dan Kampung Cina. Dengan sistem politik ini, masyarakat Belanda tinggal di daerah Weltervreden, sehingga daerah itu dikenal sebagai daerah yang elit dan hanya bangsa Eropa dan beberapa bangsa asing lainnya yang memilki keturunan bangsawan atau berteman dengan orang penting di pemerintahan Belanda yang dapat tinggal di daerah tersebut. Weltervreden, seperti halnya Paris dan beberapa kota besar di Eropa, memiliki banyak tempat yang dikunjungi oleh anggota kalangan elit pada jaman tersebut, dan hanya kelompok masyarakat itu yang bisa memiliki akses ke tempat-tempat tersebut. Tempat tersebut antara lain hotel, rumah makan, salon dan kafe. Clockener H. C. C. Brousson (2004) dalam buku Batavia awal Abad 20 menyebutkan bahwa di Rijswik (sekarang dikenal dengan daerah Harmoni) terdapat banyak gedung besar, dan orang Belanda sangat terkesan dengan hotelhotel yang ada di Rijswik karena bangunannya yang sangat megah namun untuk kelas sosial orang Belanda, harga menginap dan makan di tempat-tempat tersebut sangatlah terjangkau5. Oleh karena itu, bangsawan Belanda sangat senang ketika menghabiskan waktu senggangnya di area penghubung Weltevreden dan Oud Batavia. Salah satu hotel yang terkenal adalah Hotel des Indes, di Molenvliet— yang sekarang dikenal dengan area Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Dalam catatan tersebut dikatakan “Di sini memang sangat kampung! Tapi, ada juga Hotel des Indes di Molenvliet, tempat kita mampir yang merupakan hotel yang dibagun lebih indah dan modern dari apa yang Anda pernah lihat”... Kami benar benar terkesan pada Rijswijk dan daerah seberangnya, Noordwijk dengan tokotoko vilanya serta kafe.
6
Di Molenvliet Timur, di seberangnya terdapat toko-toko milik Tionghoa. Bila terus telusuri hingga ke akhir Molenvliet Timur, maka pemandangan yang terlihat adalah bangunan-bangunan suram yang orang Batavia sebut dengan 5
Brousson, Clockener H.C.C (terj. Achmad Sunjayadi). 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup 6 Ibid. hlm. 67-68
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
4
Glodok. Glodok dalam sistem apartheid yang diterapkan oleh Belanda, merupakan salah satu wilayah khusus bagi pemukim Tionghoa. Dalam catatan yang sama, diceritakan bahwa Glodok merupakan tempat para penjahat dan orang sakit nonEropa diterima dengan tangan terbuka.7 Dalam catatan yang sama, diceritakan pemandangan mengenai Glodok; kami turun di halte Glodokplein. Sisi sebelah kiri lapangan digunkan untuk kedai-kedai minuman, tempat pemadatan, hotelhotel murahan milik orang Jepang dan Tionghoa, serta toko-toko kecil dan kumuh.8 Penjelasan mengenai kondisi Glodok dilanjutkan dengan mengatakan bahwa orang Tionghoa itu makan, minum, menjual, membeli, beradu mulut, berkelahi di jalan. Mereka berhias, bercukur, menggoreng dan memasak di jalan umum.9 Dari uraian di atas, kita mendapat gambaran mengenai bagaimana Glodok yang merupakan tempat pemukiman Tionghoa di gambarkan sebagai tempat yang jorok dan kotor. Hal ini berbanding terbalik dengan area Weltevreden yang lokasinya terletak di dekatnya. Di kedua lokasi tersebut, digambarkan pula terdapat hotel, rumah makan dan kedai-kedai yang banyak dikunjungi oleh masyarakat sekitarnya. Namun tentu, kelas dan etnis masyarakat yang berkunjung ke tempat tersebut sangat berbeda. Hal ini pula yang menegaskan perbedaan secara fisik antara modern dan non-modern di wilayah dalam tembok kota dengan wilayah luar tembok kota (dietspoort) atau saat ini dikenal dengan nama Glodok. Namun demikian, perlahan-lahan Glodok tumbuh dan berkembang menjadi pusat perekonomian yang digerakkan oleh masyarakat etnis Tionghoa. Beberapa wilayah di sekitar Glodok pun ikut mengalami perkembangan. Molenvliet adalah jalan penghubung antara Weltevreden dengan Glodok. Sekarang ini, Molenvliet dikenal sebagai Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk. Sebagai jalan penghubung antara dua wilayah dengan populasi penduduk yang besar dan utama di Batavia saat itu, di Molenvliet banyak terdapat toko dan warung. Pada tahun 1878 di Molenvliet terdapat sebuah warung nasi yang setelah laris menjual minuman kopi hasil racikan sendiri berubah menjadi toko penjual
7
Ibid. hlm. 77 Ibid. hlm. 78 9 Ibid. hlm. 81 8
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
5
kopi dengan nama Tek Soen Hoo10. Kopi yang dijual oleh Tek Soen Hoo menjadi sangat terkenal dan sangat laris. Bahkan, Gubenur Jenderal Belanda memesan kopi tersebut untuk disuguhkan kepada para tamunya. Tek Soen Hoo sebelumnya bernama Warung Tinggi. Pendirinya adalah Liauw Tek Soen, seorang pendatang dari Cina Selatan. Bersama istrinya, seorang wanita pribumi, ia membuka warung di Jl. Hayam Wuruk. Walaupun makanan dan minuman lainnya siap untuk dijual, penjualan kopi terjual lebih laris dari lainnya. Penduduk setempat menamai warung tersebut Warung Tinggi karena lahannya lebih tinggi dari sekitarnya. Biasanya, Liauw Tek Soen membeli bahan mentah dari wanita penjual yang membawa biji-biji kopi di keranjang bambu di atas kepalanya. Liaw pun memanggang biji-biji kopi tersebut di kuali besar, dimasak, diseduh, kemudian disiapkan. Pada tahun 1927, Liauw mewariskan usahanya kepada anaknya yang tertua, Liauw Sim Yao. Liauw Sim Yao menjalankan dan mengembangkan bisnis yang diterima olehnya. Atas nama ayahnya, Liauw Sim Yao menamai bisnis kopi tersebut Tek Soen Hoo. Di tahun 1948, Liauw Sim Yao mewariskan usahanya ke anak lelaki pertamanya Liaw Tian Djie. Usahanya berkembang sekitar tahun 1950 dan 1960an. Pada jaman ini, Liaw Tian Djie mulai membuat campuran kopi yang lebih baik
dari sebelumnya. Pada tahun 1965, pemerintah Indonesia
memberlakukan peraturan peng-Indonesian semua nama Cina setelah peristiwa berdarah G-30-S/PKI. Sejak itu, nama toko dan keluarga mereka berubah. Tek Soen Hoo menjadi Warung Tinggi, Liaw Tian Djie menjadi Udjan Widjaja, dan nama keluarga Liauw pun berubah menjadi keluarga Widjaja. Liaw Tian Djie atau Udjan Widjaja meninggal di tahun 1978. Empat dari anak-anaknya—Rudy, Darmawan, Suyanto dan Yanti—meneruskan usaha tersebut bersama. Tetapi, kebersamaan mereka berhenti di tahun 1990an. Tahun 1993 keempat saudara tersebut sepakat untuk menjual toko sekaligus gudang kopi Warung Tinggi dan hasil penjualan dibagikan ke semua generasi ketiga Tek Soen Hoo secara merata. Warung Tinggi sekarang pindah ke daerah Olimo dan diteruskan oleh Rudi Widjaja. Oleh Rudi Widjaja, Warung Tinggi menjadi anak perusahaan Pancuran Anak Mas (PAM) yaitu perusahaan yang dia dirikan 10
Didapat dari wawancara dengan penerus Tek Soen Hoo yaitu Rudi Widjaja yang merupakan generasi ke 5
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
6
bersama anaknya. Sedangkan anak dari Yanti Widjaja memulai bisnis kedai kopi yang kita kenal sebagai Bakoel Koffie. Pada daerah yang tidak jauh dari lokasi berdirinya Warung Tinggi, tepatnya pada tahun 1925, sebuah warung tenda dengan nama Tak Kie memulai bisnisnya dengan menjual kopi, bihun dan bubur ayam. Lalu pada tahun 1935, Tak Kie pindah ke sebuah toko di Jl. Pintu Besar Selatan, dan sejak itu Tak Kie berubah menjadi sebuah kedai kopi yang hingga saat ini menjadi salah satu kedai kopi terkenal di Glodok. 11 Kemampuan Tek Soen Hoo dan Tak Kie untuk bertahan selama puluhan tahun di wilayah yang sama tidak terlepas dari karakter dan keuletan pemiliknya dalam mengelola usaha secara turun temurun. Kemajuan Glodok sebagai salah satu sentra bisnis di Batavia sampai berubah menjadi Jakarta juka ikut andil dalam proses perkembangan kedua kedai kopi tersebut. Dulunya, pelanggan yang datang adalah orang-orang yang kebetulan lewat karena sedang dalam urusan dagang. Lama kelamaan mereka seakan memilliki keterikatan psikologis dengan kedai kopi tempat mereka biasa mampir, entah dalam bentuk rasa senang dengan produk yang disediakan kedua kedai kopi atau merasa cocok dengan suasana yang tercipta di kedua kedai kopi ini. Saat ini, pelanggan yang sering datang ke kedai kopi Tak Kie adalah mereka yang memang dari dulu senang minum kopi di sana dan sekalian ingin menciptakan suasana nostalgia romantisme dengan pemilik atau pelanggan lain yang kebetulan mampir dan dikenal. Dengan datang ke kedai kopi Tak Kie, mereka merasakan sebuah pengalaman yang menyenangkan. Sebuah kesenangan dalam mengkonsumsi: produk dan tempat yang masih mampu menyediakan romantisme masa lalu. Penelitian ini memusatkan perhatian pada warung kopi Tak Kie karena warung inilah yang masih bertahan sebagai warung tempat orang bisa duduk menikmatai minuman kopi dan berbagai makanan, sedangkan Tek Soen Hoo saat ini hanya menjual kopi bubuk saja. Tak Kie menarik untuk diteliti karena inilah satu-satunya warung kopi tertua yang masih bertahan dengan nama yang sama di daerah pertokoan Gloria, Glodok. Penulis pertama kali mengunjungi Tak Kie pada tahun 2009, saat perayaan Cap Go Meh pada pertengahan bulan Februari. Kondisi 11
Dikatakan terkenal karena Tak Kie kerap muncul dalam liputan-liputan wisata kuliner.
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
7
fisik bangunan, dekorasi, dan perabotan Tak Kie jelas menunjukkan bahwa warung ini berusia tua. Yang menjadi lebih menarik lagi adalah para pengunjung yang datang saat itu umumnya berusia lanjut dan mereka terlihat saling kenal satu sama lain. Hal lain yang membuat Tak Kie menjadi menarik untuk diteliti adalah warung ini masih bertahan dengan kondisinya yang khas ditengah serbuan warung kopi-warung kopi modern seperti Starbucks, Coffee Bean, yang lebih nyaman dibanding Tak Kie. Tak Kie pun mampu bertahan dari krisis sosio-politik tahun 1998 yang menjadikan warga etnis Tionghoa sebagai pihak yang tersudut saat itu. Artinya, Tak Kie menawarkan daya tarik tersendiri sebagai sebuah tempat untuk meminum kopi dan inilah yang akan diteliti lebih lanjut. Faktor lain menjadikan Tak Kie menarik untuk diteliti adalah keterikatan sosial konsumen Tak Kie. Seperti tadi disebutkan, umumnya konsumen yang datang ke Tak Kie adalah orang-orang lanjut usia. Jika diamati, konsumen yang datang hampir semuanya adalah warga keuturunan Tionghoa. Hampir tidak ada warga non-Tionghoa yang datang pada saat penulis pertama kali datang ke Tak Kie. Ketika penulis berkenalan dengan pemilik Tak Kie, beliau memang mengakui bahwa pelanggannya umumnya adalah orang-orang tua dan hampir semuanya etnis Tionghoa. Tetapi, bukan berarti tidak ada warga non-Tionghoa yang datang berkunjung. Meraka yang datang biasanya lebih didorong semangat untuk bertemu teman lama, bernostalgia, dan pastinya menikmati es kopi Tak Kie. Topik pembicaraan antarpelanggan atau pelanggan dengan pemilik biasanya seputar nostalgia, kabar teman lama yang sudah lama tidak bertemu, dan urusan bisnis. Di sini penulis beranggapan bahwa Tak Kie menyediakan ruang bagi konsumennya untuk mengenang kembali kenangan masa lalu, baik dalam skala yang sangat kecil, pertemanan antara dua orang, sampai skala yang cukup luas, eksistensi warga etnis Tionghoa di Jakarta, khususnya Glodok. Tak Kie merupakan sebuah situs penyimpan memori kolektif yang dapat digali dari konsumennya dan tentu pemiliknya. Penelitian ini membandingkan kesenangan mengkonsumsi pada konsumen Tak Kie akan dengan konsumen Bakoel Koffie. Bakoel koffie adalah kedai kopi yang terkait erat secara historis dengan toko kopi Tek Soen Hoo (atau yang sekarang dikenal dengan nama Warung Tinggi). Ketika memulai penelitian
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
8
mengenai Tak Kie, nama Warung Tinggi terucap dari pemilik kedai kopi Tak Kie yang akhirnya membawa penelitian ini ke Warung Tinggi. Dari pemilik Warung Tinggi, penulis mengetahui sejarah perkembangan Warung Tinggi. Pemilik juga menceritakan sedikit mengenai Bakoel Koffie dan bagaimana pemilik Bakoel Koffie adalah generasi keempat Tek Soen Hoo. Bakoel Koffie memiliki beberapa cabang di Jakarta. Bakoel Koffie dipilih sebagai pembanding karena tema “kuno” yang diangkat oleh pemilik Bakoel Koffie dalam mendesain interirornya, serta sejarah yang mengaitkannya dengan Tek Soen Hoo. Hal ini menjadi menarik untuk dilihat karena kedua kedai kopi memiliki keterikatan sejarah dengan masyarakat etnis Tionghoa serta daerah Glodok. Tak Kie sudah sejak pertama kali didirikan sudah berjualan di daerah Glodok dan mayoritas pengunjungnya adalah masyarakat etnis Tionghoa. Sedangkan Bakoel Koffie yang baru didirikan di tahun 2000’an memilih kesan kuno untuk diangkat dalam menjual kopi mereka. Walaupun tidak ada hubungan bisnis dengan Warung Tinggi, Bakoel Koffie mengusung sejarah Tek Soen Hoo dan mengatakan bahwa Bakoel Koffie sebagai penerus usaha toko kopi Tek Soen Hoo.
Walaupun Bakoel Koffie memiliki keterikatan sejarah dengan masyarakat
etnis Tionghoa serta daerah Glodok, namun segmen konsumen Bakoel Koffie berbeda dengan konsumen Tak Kie. Bila Tak Kie mayoritas adalah masyarakat etnis Tionghoa, maka Bakoel Koffie memiliki konsumen yang lebih beragam. Otomatis, sensasi kesenangan yang muncul saat mengkonsumsi Bakoel Koffie pun menjadi berbeda. Hal ini menjadi menarik untuk diteliti karena kita bisa melihat adanya tarik menarik romantisme yang dibangun oleh kedua kedai kopi tersebut.
1.2. Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian Fakta sejarah mengatakan bahwa dulunya Batavia merupakan bandar dagang yang mengekspor berbagai macam komoditas ke Eropa, salah satunya adalah kopi sebagai produk cultuurstelsel. Bukan tidak mungkin masyarakat etnis Tionghoa yang terkenal ulet berdagang menjadikan kopi sebagai salah satu komoditas andalan mereka pada saat Hindia Belanda dibanjiri kebun kopi.
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
9
Keuletan ini pula yang membuat kedai kopi seperti Tek Kie dan Tek Soen Hoo— yang kemudian berubah menjadi produsen kopi bubuk saja—tetap bertahan sampai sekarang. Andi Faisal dalam tesisnya yang berjudul Ruang Publik Phoenam sebagai Bagian Budaya Politik Kontemporer Makassar: Suatu Pertarungan Ideologis Menuju Hegemoni (2007) melihat bagaimana gambaran budaya politik kontemporer Makssar di era liberalisasi pasar, yang terwujud dalam ruang publik Phoenam (nama sebuah kedai kopi di Makassar) Makassar, yang pada akhirnya akan
mengungkap
derajat
kepublikan
raung
publik
Phoenam.
Derajat
kerepublikan ia lihat dari wacana yang berkembang dan akses yang diberikan kepada publik dalam ruang publik Phoenam. Penelitian ini akan melihat fenomena yang berbeda dengan apa yang dipaparkan Faisal dalam penelitiannya. Fasial tidak hanya melihat peran sebuah warung kopi sebagai salah satu ruang pembentuk opini masyarakat melalui pertarungan kepentingan. Ia tidak melihat adanya pengalaman lain pada konsumen atau pengunjung yang datang ke warung kopi dalam bentuk sensasi kesenangan. Banyak penelitian lain yang dilakukan di luar Indonesia, seperti Warde dan Martens (2000), yang menyebutkan bahwa sebuah tempat makan dan kegiatan makan di tempat tersebut bisa memberikan sensasi kesenangan kepada konsumennya. Penelitian ini akan memberikan sebuah warna baru dalam studi hubungan antara pengalaman makan di luar (eating out) dengan kesenangan yang didapat konsumen dari kegiatan makan di luar. Sensasi kesenangan yang menjadi perhatian utama penelitian ini adalah faktor sosialisasi dan proses pembentukan kembali memori kolektif sebuah kelompok masyarakat, yaitu etnis Tionghoa. Warung kopi Tak Kie berperan sebagai situs yang menyediakan ruang bagi konsumennya untuk mengenang kembali kenangan masa lalu, baik dalam skala yang sangat kecil, pertemanan antara dua orang, sampai skala yang cukup luas, eksistensi warga etnis Tionghoa di Jakarta, khususnya Glodok.
1.3. Tujuan
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
10
Tujuan penelitian ini adalah memaparkan fenomena sensasi kesenangan para konsumen dalam mengkonsumsi kopi di kedai kopi Tak Kie dan Bakoel Koffie.
1.4. Metodologi Penelitian Metode yang akan digunakan untuk melihat modernitas Glodok dalam Tak Kie adalah etnografi (interviewing and observation). Etnografi adalah sebuah pendekatan empiris dan teoritis yang berusaha membuat deskripsi dan analisis budaya yang holistik dan terperinci berdasarkan penelitian lapangan partisipatif yang intensif. Eksplorasi kualitatif berskala kecil yang terperinci tentang normanorma, nilai-nilai, dan artefak budaya dalam hubungannya dengan proses-proses sosial “keseluruhan cara hidup” yang lebih luas12. Ruang lingkup penelitian ini akan terpusat pada kedai kopi Tak Kie. Tak Kie terletak di Jl. Pintu Besar Selatan III no. 4-6, Glodok. Menurut penuturan pemiliknya, Latif Yulus (59 tahun), usaha kedai kopi itu dimulai dari engkongnya yang bermigrasi dari Cina ke Indonesia sekitar tahun 1925. Awalnya Tak Kie hanyalah warung kaki lima, namun pada tahun 1935 Kedai Tak Kie pindah ke toko yang sama dengan yang sekarang. Menurut pengakuan pemiliknya, dan disetujui oleh beberapa pelanggan setianya yang sudah berusia di atas 60’an, tata ruang dan furnitur yang ada sekarang ini sama persis ketika ayahnya Latif mengurus kedai kopi tersebut. Kedai Kopi Tak Kie adalah kedai kopi yang paling terkenal karena kedai tersebut satu-satunya kedai kopi di Glodok yang menjadi tempat tujuan andalan bagi program acara wisata kuliner yang mengangkat tema makanan dan minuman di Pecinan. Kedai Kopi Tak Kie juga kerap dijadikan sebagai tempat untuk shooting film-film yang memiliki latar Pecinan. Seringnya dijadikan sebagai referensi kedai minuman di Glodok dan kerap dijadikan sebagai lokasi shooting film menjadi unsur penting bagi peneliti. Dari kedai kopi Tak Kie akan diperoleh sumber data yang berupa data-data kualitatif yang didapatkan melalui metode Etnografi. Data-data kualitatif berupa
12
Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. 2000. Handbook of Qualitative Research. California:
Sage
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
11
transkrip wawancara, data-data hasil investigasi, dan beberapa teks dan analisis terhadapnya. Wawancara etnografi akan dilakukan dengan beberapa sumber, antara lain: pemilik kedai kopi Tak Kie dan beberapa pelanggan setia kedai tersebut. Pemilik kedai adalah Latif Yulus. Latif Yulus adalah pewaris yang meneruskan usaha Tak Kie sejak tahun 1970’an. Selain pemilik kedai kopi, beberapa konsumen kedai kopi tersebut akan diwawancara. Konsumen yang akan diwawancara hanya dibatasi pada konsumen yang sudah lebih dari 10 tahun mengkonsumsi kopi di kedai tersebut. Selain para konsumen, wawancara akan dilakukan juga terhadap masyarakat Glodok yang sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Glodok, sehingga bisa mendapatkan pemaparan kota dan suasana Glodok, pada umumnya, dan kedai Kopi Tak Kie pada khususnya, yang lebih komprehensif. Data yang berupa teks adalah arsitektur dari masing-masing kedai kopi, pajangan dan furnitur yang mengisi ruang ketiga kedai kopi tersebut, foto-foto kedai kopi, tulisan-tulisan mengenai perkembangan daerah Glodok, sejarah masyarakat Tionghoa di kota Jakarta, sejarah kota Jakarta, dan sejarah perkebunan dan perdagangan kopi di Indonesia akan dijadikan sebagai data sekunder pada penelitian ini.
1.5. Landasan Teori Kebiasaan makan di luar (eating out) telah lama menjadi bahan studi para ahli, khususnya di Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Di Inggris, studi mengenai kebiasaan makan di luar dilakukan oleh Alan Warde dan Lydia Martens (2000). Mereka melihat kebiasaan makan di luar yang dilakukan anggota masyarakat yang tergabung dalam beberapa kelas: kelas atas, menengah, dan pekerja. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa berdasarkan survey yang mereka lakukan untuk keperluan studi ini di Inggris, masyarakat perkotaan di Inggris mendapatkan sensasi kesenangan dan kepuasaan salah satunya dari kegiatan eating out. Selanjutnya akan dibahas pengertian dan hubungan antara eating out dengan kesenangan (pleasure). Warde dan Martens (2000: 43) memberikan definisi awal eating out sebagai: “All those events would be included as ‘eating out’ under our initial
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
12
working definition, the consumption of all foods taking place outside one’s own household”. Definisi ini memberikan batasan pengecualian terhadap beberapa kondisi agar eating out menjadi lebih mudah dipahami. Beberapa pengecualian yang dimaksud Warde dan Martens: makanan yang dibawa pulang dan dikonsumsi di rumah, makanan yang disajikan oleh perusahaan catering pesta, dan cemilan seperti kripik dan buah-buahan yang dimakan di pinggir jalan. Ciriciri yang terdapat dalam pengertian awal ini beserta beberapa pengecualian menunjukkan penekanan Warde dan Martens pada aspek spasial: dimana seseorang makan. Penekanan lain juga diberikan oleh Warde dan Martens berkaitan dengan definisi di atas. Beberapa kategori disebutkan untuk menguatkan definisi yang telah diberikan sebelumnya. Warde dan Martens (2000: 47) menyebutkan: “Eating out is a specific sociospatial activity, it involves commercial provisions, the work involved is done by someone else, it is a social occasion, it is a special occasion, and it involves eating a meal.” Di sini terdapat enam kategori yang diujikan Warde dan Martens kepada sejumlah responden untuk mencari tahu definisi yang tepat untuk eating out. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dari keseluruhan responden memang tidak secara lengkap mencantumkan keenam kategori di atas. Tetapi, paling tidak sebagian besat responden menyebutkan tiga atau empat dari keenam kategori yang ada. Enam kategori yang telah disebutkan Warde dan Martens dalam mendefinisikan eating out secara praktis dapat memberikan identifikasi terhadap alasan setiap orang untuk melakukan eating out. Alasan utama seseorang melakukan eating out adalah mendapatkan pengalaman yang berbeda dari aktivitas harian yang terpola, beristirahat sejenak dari aktivitas memasak dan menyajikan masakan di rumah, bersantai, mentraktir, bersosialisasi, merayakan sesuatu, senang dengan sebuah masakan, dan mencegah kelaparan (Ibid). Jika diringkas dalam konsep yang lebih abstrak, alasan-alasan di atas dapat digabung menjadi tiga kelompok besar: alasan waktu luang, alasan kesenangan, dan alasan kebutuhan. Dalam penelitiannya, Warde dan Martens juga menyebutkan bahwa sejumlah besar responden mereka mengunjungi café dan teashop sebagai bagian
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
13
aktivitas sosial dan waktu luang. Kunjungan ke café dan teashop lebih sering dilakukan sebagai kombinasi dengan aktivitas lain: belanja (shopping), sebuah perjalanan (on trips), dan waktu kerja (Ibid). Di sini Warde dan Martens mendapat kesimpulan bahwa kunjungan ke café memiliki pemahaman pengertian yang berbeda secara sosial dengan kunjungan ke restoran. Sebagian besar orang memandang kunjungan ke café secara umum sebagai bagian dari atau melepaskan diri dari aktivitas lain. Semua responden tidak menyebutkan kunjungan ke kafe dilakukan sebagai sebuah kegiatan atau acara yang khusus (special occasion), senang dengan sebuah masakan, dan beristirahat sejenak dari aktivitas memasak di rumah. Dalam penelitian ini terlihat bahwa warung kopi Tak Kie memiliki daya tarik yang berbeda dengan konsep café modern seperti yang jamak dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan mewah. Tak Kie mampu menarik pengunjung karena tempatnya yang masih khas dengan bangunan dan perabotan tua. Di tempat ini pengunjung biasanya lebih banyak bernostalgia tentang masa lalu dengan pengunjung lain yang umumnya sama-sama saling kenal. Alasan kesenangan merupakan pokok masalah yang dilihat dalam penelitian ini. Kegiatan makan di restoran memberikan pengalaman tersendiri bagi pelakunya khususnya pengalaman yang berhubungan dengan kesenangan. Kesenangan dicapai oleh konsumen umumnya ketika mereka mendapatkan kepuasan dalam proses konsumsi: material masakan yang berhubungan dengan rasa dan selera, pelayanan, dan kesan spesifik yang diciptakan oleh tempat. Lebih lanjut, penelitian ini melihat adanya pengaruh tempat terhadap kepuasan pelanggan di warung kopi Tak Kie tanpa mengecilkan peran produk yang disajikan, misalnya es kopi susu sebagai minuman yang menjadi andalan. Tak Kie pun bukan warung kopi biasa karena di sini juga menyediakan berbagai jenis makanan khas, entah dijual oleh pemilik Tak Kie atau oleh penjual lain di depannya. Setiap pembeli bebas memesan makanan apa saja yang dijual oleh penjual di depan warung dan dimakan di Tak Kie tanpa harus membayar sewa tempat. Warde dan Martens (2000: 194) dalam salah satu bagian penelitiannya menyebutkan bahwa kondisi tempat makan menjadi salah satu faktor penentu
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
14
munculnya sensasi kesenangan pada konsumen. Pada satu sisi mungkin konsumen akan lebih memperhatikan rasa dan porsi makanan yang disajikan. Mereka menyebutkan beberapa termin yang digunakan respondennya untuk menggambarkan pengalaman yang didapat selama berlangsungnya sebuah kegiatan eating out: “’nice’, ‘really nice’, ‘very nice’, ‘good’, ‘enjoyable’, ‘lovely’, ‘fabulous’, ‘I loved it’, dan ‘I liked it’” (ibid: 191). Bagi sebagian orang, mungkin ukuran porsi yang disajikan menjadi masalah. Tetapi bagi sebagian lainnya porsi tidak menjadi masalah selama mereka merasa nyaman dengan kondisi tempat makan. Faktor lain yang ikut mendukung terciptanya sensasi kesenangan pada konsumen yang senang melakukan kegiatan eating out adalah sosialisasi. Warde dan Martens menemukan bahwa bagi sebagian orang, kegiatan eating out memang sengaja dilakukan untuk menciptakan proses sosialisasi di luar kegiatan sehari-hari, entah di lingkungan tempat tinggal atau lingkungan tempat kerja. Sosialisasi sebagai tujuan membuat faktor-faktor lain menjadi lebih kecil perannya dalam penciptaan sensasi kesenangan pada konsumen. Bahkan, jika makanan yang disajikan tidak dapat memberikan kesan baik, maka sosialisasi dapat mengobatinya. Penelitian warung kopi Tak Kie sebagai sebuah ruang dilihat dari konsep eating out yang dilakukan dan pengalaman serta sensasi kesenangan yang didapat konsumen. Eating out sebagai sebuah kegiatan memiliki konsep yang luas melampaui sebuah kegiatan konsumsi semata karena di dalamnya juga terkandung aspek sosialisasi, kesenangan, loyalitas konsumen, dan memori kolektif untuk kasus Tak Kie.
1.6. Sistematika Penulisan Sistenatika penulisan penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab yang terdiri dari: Bab 1. Pendahuluan. Bagian ini akan berisi latar belakang masalah, permasalahan dan pertanyaan penelitian, tujuan, metodologi penelitian, landasan teori penelitian serta sistematika penulisan. Bab 2. Penjabaran konsep eating out, kesenangan, dan gaya hiddup masyarakat
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.
15
kota urban dalam konteks warung kopi Tak Kie dan Bakoel Koffie Bab 3. Hasil analisis. Bab ini memaparkan hasil analisis data dan informasi yang diperoleh lewat wawancara dan pengamatan di dua warung kopi: Tak Kie Dan Bakoel Koffie. Hasil analisis ini memberikan gambaran karakteristik konsumen dalam mendapatkan kesenangan mengkonsumsi di warung kopi. Dalam skala yang lebih luas, terlihat karakteristik pola aktivitas waktu luang
masyarakat kota urban yang terekam dalam dua warung
kopi tersebut. Bab 4. Kesimpulan. Bagian ini akan menguraikan kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian sensasi kesenangan pada kedua konsumen kedai kopi.
Universitas Indonesia
Sensasi kesenangan..., Melati Sosrowidjojo, FIB UI, 2010.