BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang berusaha untuk bangkit kembali menjadi salah satu kekuatan besar di dunia. Usaha Jepang untuk bangkit kembali dilakukan melalui kekuatan ekonomi dan industri. Selain itu, Jepang juga dikenal sebagai negara yang memiliki soft power, atau kekuatan yang berasal dari daya tarik. Untuk memperkuat soft power, Jepang menjalankan berbagai cara, salah satunya adalah diplomasi publik. Diplomasi publik Jepang dapat dilihat dari berbagai hal. Yang paling populer dari diplomasi publik Jepang adalah kebudayaannya, seperti anime, manga, musik, sushi, serta kegiatan pendidikannya, seperti pertukaran pelajar dan kursus Bahasa Jepang. Komitmen Jepang dalam menjalankan diplomasi publik sangat kuat dan Jepang menyadari pentingnya hal tersebut sehingga terbentuklah Divisi Diplomasi Publik dalam Kementerian Luar Negeri Jepang. Kegiatan diplomasi publik yang dilakukan oleh pemerintah Jepang semakin lama semakin bervariasi dan tak lupa melibatkan pihak-pihak nonpemerintah. Jepang melaksanakan diplomasi publik untuk mempengaruhi masyarakat di berbagai negara. Diplomasi publik dapat dikatakan cukup unik, karena yang menjadi target sasaran adalah masyarakat, bukan pemerintah. Salah satu kawasan yang menjadi perhatian utama Jepang dalam diplomasi publik adalah Asia Tenggara. Asia Tenggara menjadi kawasan penting bagi diplomasi Jepang. Dilihat dari sisi historis, saat Perang Dunia II, Jepang sempat menginvasi dan mengokupasi beberapa wilayah di kawasan ini. Setelah perang berakhir, Jepang berusaha untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara di Asia Tenggara. Setelah pembentukan organisasi regional Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN pada tahun 1967, keinginan Jepang untuk menjadi mitra penting kawasan ini semakin kuat, terbukti dengan kehadiran Jepang dalam
1
pertemuan ASEAN yang kedua pada tahun 1977. 1 Namun, kedekatan Jepang dengan ASEAN pun terancam. Seiring dengan kebangkitan Cina pasca Perang Dingin, di mana Cina menjadi salah satu kekuatan ekonomi besar di Asia, posisi Jepang sebagai ‘pemimpin’ pun tergeser. Kebangkitan Cina di Asia Tenggara membuat Jepang harus mencari strategi yang lebih efektif dalam membina hubungan dengan kawasan tersebut. Cina menjadi mitra dagang favorit bagi kawasan Asia Tenggara, sekaligus menjalin hubungan erat dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Kondisi perekonomian domestik Jepang pun tidak semaju era 1970-an dan 1980-an karena saat ini Jepang mengalami kondisi ‘economic bubble’.
Untuk
mempertahankan
posisinya
di
Asia
Tenggara,
Jepang
membutuhkan soft power yang bisa diperoleh salah satunya melalui diplomasi publik. Kebangkitan Cina dan kaitannya dengan diplomasi publik Jepang menjadi latar belakang penulisan skripsi ini. Penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana diplomasi publik dijalankan oleh Jepang dalam menanggapi Kebangkitan Cina di kawasan Asia Tenggara. 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimana diplomasi publik Jepang dilakukan terhadap Asia Tenggara dalam menanggapi kebangkitan Cina? 1.3. Landasan Konseptual Dalam menjawab rumusan masalah tersebut, skripsi ini menggunakan beberapa konsep dalam ilmu hubungan internasional, yaitu:
Diplomasi Publik Diplomasi publik diartikan sebagai usaha-usaha yang dilaksanakan
pemerintah Jepang dalam mempengaruhi opini internasional terhadap kebijakan 1
Ministry of Foreign Affairs of Japan, Japan – ASEAN Relation,
diakses 15 April 2013
2
nasional dan luar negerinya melalui aktivitas-aktivitas hubungan kemasyarakatan atau pertukaran intelektual yang menargetkan media atau kelompok masyarakat.2 Diplomasi publik merupakan salah satu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam memperkokoh soft power. Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, diplomasi publik diperlukan untuk meningkatkan rasa pengertian mengenai Jepang di antara masyarakat luas yang berada di negara lain, serta untuk meningkatkan pandangan dan persepsi akan ketertarikan terhadap Jepang.
3
Usaha-usaha diplomasi publik yang dilaksanakan oleh Jepang, khususnya Kementerian Luar Negeri Jepang yang bekerja sama dengan The Japan Foundation, antara lain mencakup pengenalan kebudayaan tradisional, populer (pop culture), serta berbagai daya tarik lain yang dimiliki Jepang kepada negaranegara lain, menyediakan dukungan untuk mempromosikan studi Bahasa Jepang di berbagai negara, serta meningkatkan pertukaran antar individu (people-topeople exchange) dengan negara-negara lain di dunia.4 Menurut Joseph Nye, terdapat tiga dimensi dalam diplomasi publik. Yang pertama, daily communications, komunikasi sehari-hari, di mana pemerintah menjelaskan keputusan-keputusan yang telah diambil dalam menjalankan kebijakan domestik dan luar negerinya. Dalam menjelaskan keputusan-keputusan tersebut, pemerintah seringkali tidak melibatkan pihak pers asing, padahal hal ini sangat penting untuk membentuk citra dan preferensi masyarakat internasional terhadap suatu negara. Yang kedua, strategic communications, atau komunikasi strategis. Pemerintah mengatur tema-tema spesifik yang berhubungan dengan kebijakan yang telah diambil untuk mewakili kampanye kebijakan tersebut secara simbolik. Dimensi terakhir adalah membangun hubungan jangka panjang serta menjaganya dengan individu-individu negara lain melalui beasiswa, pertukaran, pelatihan, seminar, konferensi, dan akses ke saluran media yang ada. Setiap
2
O. Kazuo, ‘Japan’s Cultural Diplomacy: Past and Present’, Join Research for International Peace and Culture of Aoyama Gakuin University, Tokyo, 2009.p.2. 3 Ministry of Foreign Affairs of Japan, Public Diplomacy, diakses 10 April 2013 4 Ministry of Foreign Affairs of Japan, Public Diplomacy, diakses 10 April 2013
3
dimensi dari diplomasi publik ini memainkan peran penting dalam menciptakan ketertarikan negara lain dan mencapai hasil yang diinginkan.
Soft Power Dalam ilmu hubungan internasional, kita mengenal konsep power. Joseph
Nye mengartikan power sebagai “suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dalam mencapai hasil yang kau inginkan.” 5 Kemampuan tersebut dapat dijalankan melalui beberapa cara, yaitu paksaan, pembayaran, dan ketertarikan. Nye kemudian merumuskan suatu konsep yang disebut soft power. Jika pada saat Perang Dunia I dan II negara yang memiliki power tertinggi adalah yang angkatan militernya kuat, setelah masa peperangan power bisa didapatkan melalui ketertarikan atau attraction, tidak terbatas pada paksaan atau pembayaran saja. Soft power adalah “suatu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk mencapai hasil yang diinginkan bukan dengan paksaan atau pembayaran, melainkan dengan ketertarikan.”6Soft power yang dimiliki suatu negara terletak pada tiga sumber utama, yaitu kebudayaannya, nilai-nilai politiknya, dan kebijakan luar negerinya. 7 Melalui soft power, suatu negara dapat membentuk preferensi negara lain terhadapnya, sehingga negara lain tersebut ikut menginginkan apa yang ia inginkan untuk tercapai. Dengan begitu, suatu negara tidak perlu memaksa agar negara lain melakukan hal yang tidak diinginkan, karena negara lain tersebut akan dengan sendirinya melakukan apa yang negara pertama inginkan. Soft power saling berhubungan dengan diplomasi publik. Menurut Nye, soft power dihasilkan ole beberapa sumber daya seperti nilai-nilai yang ditampilkan oleh kebudayaan suatu negara, kehidupan sehari-hari, kebijakan internal, dan cara berinteraksi dengan negara lain. Diplomasi publik adalah instrumen yang digunakan oleh pemerintah dalam memobilisasi sumber daya5
J. Nye, Jr., Soft power: the Means to Success in World Politics, Public Affairs, New York, 2004, p. 2. 6 J. Nye, Jr., Soft power: the Means to Success in World Politics, p. 5. 7 J. Nye, Jr., Soft power: the Means to Success in World Politics, p. 5.
4
sumber daya tersebut untuk berkomunikasi dan menarik masyarakat di negara lain. Untuk itu, penggunaan diplomasi publik dalam rangka mengokohkan soft power pun haruslah tepat. Apabila sumber daya yang dipromosikan tidak menarik, dampak yang dirasakan bisa jadi negatif. Tabel 1.3.1. Sumber Soft Power yang Dimobilisasi Melalui Diplomasi Publik
(Sumber: J. Nye, Jr., Soft Power and Public Diplomacy, p. 107) Apabila hard power dinilai dari kekuatan militer dan ekonomi, maka Jepang sedikit timpang. Secara militer, Jepang bergantung kepada Amerika Serikat (AS). Kedua negara tersebut memiliki perjanjian kerjasama keamanan, di mana Jepang yang telah mengalami demiliterisasi bisa mendapat bantuan keamanan dari angkatan militer AS. Secara ekonomi, Jepang dikenal sebagai negara yang kuat. Pasca kekalahannya di Perang Dunia II, Jepang bangkit melalui industrialisasi yang masif. Selain itu, Jepang juga dikenal sebagai negara pendonor. Menurut World Bank, Jepang adalah negara pendonor terbesar kedua di dunia.8 Bantuan-bantuan pembangunan banyak sekali diberikan oleh negara ini.
8
World Bank, Development Assistance from Japan,
5
Untuk itu, Jepang mungkin tidak bisa memperkokoh power melalui koersi, tetapi negara ini mampu menggunakan pembayaran agar negara lain membantunya dalam mencapai kepentingan nasional. Untuk melengkapi ketimpangan dalam hard power, keberadaan soft power bagi Jepang sangat penting. Untuk itu, Jepang berusaha memperkuat tiga sumber utama soft power, yaitu kebudayaan, nilai-nilai politik, dan kebijakan luar negeri. 1.4. Argumentasi Utama Diplomasi publik sudah lama dijalankan oleh Jepang sebagai metode yang “menyentuh” langsung masyarakat luas di luar negeri. Terdapat perubahan yang cukup signifikan dalam diplomasi publik yang dilaksanakan Jepang, khususnya dalam menanggapi kebangkitan Cina. Jepang sebagai negara yang kaya akan budaya merasa penting untuk mengemas kembali kebudayaannya sebagai alat diplomasi publik. Perubahan dalam diplomasi publik dapat dikatakan sebagai reaksi cepat dalam hal ini. Jepang memanfaatkan kebudayaan populernya, atau pop culture, dalam melaksanakan diplomasi publiknya. Jika sebelum kebangkitan Cina Jepang lebih fokus kepada dunia pendidikan dan pengenalan kebudayaan tradisional, Jepang pasca kebangkitan Cina menaruh perhatian lebih kepada kebudayaan populernya, seperti manga (komik khas Jepang), anime (animasi a la Jepang), J-Pop (musik pop a la Jepang), serta kecanggihan teknologinya. Strategi ini didukung oleh pemerintah Jepang demi menjadi mitra utama Asia Tenggara yang selalu dekat dengan negara-negara ASEAN. Selain kebudayaan populer, strategi lain yang digunakan oleh Jepang ialah lebih aktif dalam kegiatan humanitarian. Ketika kawasan Asia Tenggara dilanda bencana alam, Jepang dengan cepat menanggapi hal tersebut dengan menyediakan bantuan, bahkan turun langsung ke lapangan untuk membantu memulihkan kondisi pasca bencana alam. Jepang sendiri adalah negara yang sudah cukup sering dilanda bencana alam, maka pengalaman tersebut digunakan untuk membantu negara-negara ASEAN yang membutuhkan. Inilah yang menjadi nilai tambah Jepang apabila ANEXTN/0,,contentMDK:20647244~menuPK:1685924~pagePK:1497618~piPK:217854~theSite PK:273812,00.html> diakses pada 20 Maret 2013
6
dibandingkan dengan Cina yang saat ini menjadi mitra dagang penting bagi ASEAN. Apabila dilihat dari aktivitas-aktivitas diplomasi publik Jepang tersebut, Jepang memang sangat berkomitmen untuk menarik perhatian masyarakat internasional. Namun, masih ditemui hambatan dalam pelaksanaan diplomasi publik Jepang, terutama apabila Jepang ingin mempertahankan posisinya di kawasan Asia Tenggara. Hambatan tersebut adalah sejarah kekejaman Jepang selama mengokupasi wilayah-wilayah di Asia Tenggara saat masa Perang Dunia II dan tindakan Jepang yang terlalu merespon apa yan dilakukan Cina untuk soft power-nya sehingga diplomasi publik lama-lama kurang inovatif. 1.5. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan data kualitatif mengenai diplomasi publik, soft power, politik pemerintahan Jepang, hubungan Jepang dengan Cina, serta hubungan Jepang dengan Asia Tenggara. Data kuantitatif juga akan digunakan untuk menunjang penelitian ini, seperti data mengenai opini publik terhadap Jepang. 1.6. Jangkauan Penelitian Yang menjadi jangkauan penelitian adalah diplomasi publik Jepang yang dilakukan pada masa setelah Perang Dingin terhadap Asia Tenggara, karena pada masa itulah kebangkitan Cina di kawasan Asia Tenggara dimulai. 1.7. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri atas lima bab. Bab pertama dalam skripsi ini berisi pendahuluan yang membahas latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama, metode penelitian, jangkauan penelitian, serta sistematika penulisan.
7
Setelah pendahuluan, bab selanjutnya adalah pembahasan. Pada bab kedua yang berjudul “Perkembangan Diplomasi Publik dan Kebangkitan Cina” ini terdapat paparan mengenai sejarah diplomasi publik Jepang, peran pemerintah dalam diplomasi publik Jepang, dan aktor non-pemerintah dalam diplomasi publik Jepang, serta membahas mengenai kebangkitan Cina. Bab kedua berisi penjelasan dasar mengenai topik skripsi ini sebelum masuk ke pembahasan selanjutnya dan analisis. Bab ketiga dalam skripsi ini adalah “Diplomasi Publik Jepang Pasca Kebangkitan Cina” yang membahas bagaimana diplomasi publik yang dilakukan Jepang pasca kebangkitan Cina terutama terhadap kawasan Asia Tenggara. Kemudia, penulis juga membahas hambatan yang ditemukan dalam masingmasing aktivitas diplomasi publik yang dilaksanakan oleh Jepang. Pembahasan dalam bab ini sekaligus menjawab pertanyaan yang menjadi rumusan masalah skripsi ini. Terakhir, skripsi ini ditutup dengan bab keempat, yaitu kesimpulan. Dalam bab terakhir ini, penulis memberikan ringkasan mengenai apa yang dibahas dalam tulisan ini serta pendapat akhir.
8