BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Konflik yang terjadi dalam sebuah negara merupakan hal yang lazim terjadi jika berbicara era modern dewasa ini. Berbagai perbedaan antara sebuah kelompok atau lebih, tidak jarang mengalami eskalasi dan harus diselesaikan dengan cara kekerasan seperti perang. Internal Conflict (konflik internal) seperti ini tentu memiliki metode tersendiri dalam penyelesaiannya. Begitu pula dengan konflikkonflik lainnya seperti konflik internasional yang terjadi antara dua negara atau lebih. Konflik Internal sebuah negara adalah salah satu kasus yang sering terjadi bahkan di era modern seperti saat ini. Pemberontakan terhadap sebuah pemerintahan merupakan sebuah dinamika yang sering ditemui jika berbicara dalam konteks hubungan internasional. Rivalitas politik yang menghasilkan sebuah pihak kalah, tentu akan berakibat fatal terhadap pihak-pihak lainnya yang merasa dirugikan. Keadaan tersebut biasa menjadi latar belakang dari penggunaan coercive action (tindakan koersif) atau penggunaan kekerasan agar kepentingan pihak-pihak tersebut bisa terealisasi. Kasus pemberontakan dalam sebuah negara terhadap sebuah pemerintahan merupakan kasus yang kerap terjadi di Negara-negara Afrika. Afrika sebagai sebuah benua yang dianggap paling tertinggal dalam konteks perkembangan di masa kini, masih dihadapkan dengan penyelesaian konflik melalui kekerasan yang tidak jarang
1
menghasilkan melayangnya nyawa rakyat yang menjadi korban dari konflik itu sendiri. Terdapat banyak kasus di Afrika, bisa dilihat di Sudan dengan konflik antara agama Islam dan Kristen, di Somalia dengan kasus perompak Somalia, hingga ke Zimbabwe dengan pemerintahan seorang diktator bernama Robert Mugabe yang kerap menjadi fokus internasional terkait masalah pelanggaran hak asasi manusia. Kebanyakan dari konflik-konflik tersebut telah berlangsung selama waktu yang tidak singkat, termasuk sebuah konflik yang bermula di Uganda Utara, disebabkan oleh kelompok yang disebut sebagai Lord’s Resistance Army (Tentara Pertahanan Tuhan).1 Kelompok Lord’s Resistance Army merupakan sebuah kelompok militan yang hingga kini belum juga mendapatkan cukup perhatian internasional. Pelanggaran hak asasi manusia secara masif yang dilakukan kelompok ini-lah yang akhirnya membedakan Lord’s Resistance Army dengan kelompok-kelompok militan dan pemberontak lainnya yang bertahan hingga kini. Pemerkosaan, pembunuhan, dan yang paling parah adalah pemaksaan anak-anak untuk menjadi bagian dari Lord’s Resistance Army merupakan beberapa pelanggaran hak asasi manusia yang hingga kini terus dilakukan oleh kelompok LRA ini.2 Ideologi yang diterapkan oleh Lord’s Resistance Army sangat unik, dan dapat dikaji dari segi historis, dan lebih spesifik melalui pemahaman akan masalah politik di Uganda. Kerumitan banyak terjadi dalam menganalisa kelompok Lord’s Resistance Army ini sebab LRA di satu
1
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations; Theories and Approaches 3rd edition, Oxford University Press, New York, 2007, hal. 101. 2 The Lord’s Resistance Army. http://www.globalsecurity.org/military/world/para/lra.htm. Diakses tanggal 10 November 2012.
2
sisi dapat dikatakan sebagai sebuah kelompok separatis, dan bahkan kelompok teroris modern.3 Tahun 1987 menjadi awal munculnya kelompok Lord’s Resistance Army. Kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok etnis yang ada di Uganda, menginspirasi seorang Joseph Kony untuk membawa keadilan kembali di Uganda melalui kekuatan yang menurutnya diberikan langsung oleh tuhan. Joseph menyebut dirinya seorang nabi, yang diberikan kewajiban oleh tuhan untuk membawa restorasi politik dan perdamaian di Uganda melalui kekerasan, yang kala itu di Uganda, dihadapkan dengan banyak masalah.4 Sejak saat itu, kelompok Lord’s Resistance Army (LRA) yang telah bertahan selama 25 tahun lebih itu tidak pernah kehilangan akal dalam memberi terror kepada rakyat Uganda. Permasalahan dalam memahami LRA adalah tujuan dari kelompok Lord’s Resistance Army itu sendiri. Kepentingan kelompok Lord’s Resistance Army yang cenderung dinamis seiring dengan waktu, menjadi penghambat utama bagi beberapa aktor yang ingin bernegosiasi dengan kelompok yang telah membunuh hingga ribuan warga ini. Beberapa
pemerintahan yang
mendapat dampak langsung dari Lord’s Resistance Army seperti Uganda, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratis Congo hingga kini selalu menemui kesulitan. Jumlah warga yang diperkirakan meninggal akibat konflik dengan kelompok Lord’s Resistance Army ini di tahun 2008-2011 sebanyak
3
Walter Laquer, New Terrorism; Fanaticism and Weapons of Mass Destruction, Oxford University Press, New York, 1999, hal. 262. 4 Background: Lord’s Resistance Army, http://www.guardian.co.uk/katine/2007/oct/20/about.uganda. Diakses tanggal 18 November 2012.
3
2.400 orang.5 Organisasi internasional juga hingga kini menemui banyak kesulitan dalam mengatasi masalah ini, terutama Uni Afrika dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Internasionalisasi konflik yang terjadi bermula saat LRA dan pemerintahan Uganda sama-sama menegosiasikan sebuah perjanjian perdamaian di tahun 2006. Perjanjian tersebut disebut sebagai Juba Talks dan berlangsung hingga 2008.6 Juba talks ternyata hanya digunakan oleh LRA untuk melarikan diri dari Uganda, menuju perbatasan dari negara Sudan Selatan, Congo, dan Republik Afrika Tengah. Penyebaran tersebut hingga kini membawa ancaman kepada keempat negara tersebut. Kebijakan-kebijakan dari berbagai aktor internasional telah
berupaya
menyelesaikan masalah LRA ini. Kebijakan yang dikeluarkan Uni Afrika misalnya yang akan merencanakan pengiriman 5,000 pasukan menuju perbatasan-perbatasan di negara-negara yang mendapatkan dampak LRA di pertengahan tahun 2012 dianggap sebagai salah satu solusi yang komprehensif dalam pemberantasan LRA.7 Masalah yang muncul adalah komitmen dari empat negara yang mendapat pengaruh LRA tersebut, yakni Uganda, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratis Congo, dalam pemberantasan kelompok tersebut. Perlawanan militer telah dilakukan, namun signifikansi dari komitmen negara menyebabkan hasil yang didapatkan tidak maksimal, dan malah
memberikan lebih banyak waktu bagi
Joseph Kony untuk merekrut lebih banyak warga untuk bergabung dalam LRA ini.
5
Key Statistics, http://theresolve.org/key-statistics. Diakses tanggal 15 November 2012. Adam Branch, Displacing Human Rights: War and Intervention in Northern Uganda, Oxford University Press, New York, 2011, hal.30. 7 Ibid 6
4
Permasalahan utama lainnya yang muncul adalah kurangnya koordinasi negaranegara tersebut dengan sesama negara dan organisasi-organisasi internasional yang terkait. Kenyataan ini sangat tidak rasional, melihat urgensi yang dibawa oleh kelompok LRA tersebut. Salah satu cara mengatasi kelompok pemberontakan adalah mengetahui motif dari kelompok tersebut, yang ingin mereka perjuangkan hingga mati. Pemahaman akan motif dari kelompok pemberontak, akan membawa berbagai aktor untuk mengatasi pemberontak tersebut dengan cara mediasi konflik, yang berusaha menyatukan kepentingan dari aktor pemberontak, dan aktor-aktor berkepentingan lainnya. LRA mampu bertahan hingga sekarang sebab keunikan motif yang dimilikinya, yang dapat dikategorisasikan menjadi 2 bagian, yaitu motif internal dan eksternal. Motif ini-lah yang membuat LRA mampu bertahan hingga sekarang. Motif internal menjadi motif yang paling mengerikan dalam LRA ini. Seringkali kelompok LRA melakukan kekerasan dan pembunuhan massal di desadesa terpencil yang terletak di empat negara korban LRA. Alasan pembunuhan massal tersebut daripada eksternal, sebenarnya merupakan motif internal. Kenyataan bahwa mayoritas kekuatan LRA merupakan hasil dari penculikan, maka LRA menggunakan sebuah mekanisme doktrinasi melalui ketakutan, guna membangun yang namanya kesetiaan dalam kelompok LRA ini. Seringkali kita temui bahwa kelompok LRA melakukan kekerasan bahkan terhadap anggota LRA itu sendiri. Motif dibalik tindakan tersebut juga merupakan motif internal yang bertujuan membangun sebuah rasa takut. Akan tetapi, tujuan 5
kekerasan dalam internal LRA adalah memberikan contoh kepada seluruh anggota LRA, bahwa siapapun yang ingin melakukan pemberontakan terhadap kelompok LRA, akan mendapatkan hal yang sama dengan apa yang dialami anggota LRA yang disiksa ini. Banyaknya anggota LRA yang merupakan child soldier (tentara anak-anak), maka mekanisme menakuti yang diterapkan LRA sangat mempan dalam membangun ketakutan, sekaligus loyalitas dalam diri anggota LRA itu sendiri. Meskipun tidak begitu terlihat, terdapat usaha dari berbagai aktor dalam penyelesaian kasus LRA ini di tingkatan internasional, misalnya oleh organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merupakan organisasi yang sejak berdiri di tahun 1945, menjadi harapan dunia internasional agar terdapat penyelesaian konflik yang damai. PBB telah berusaha melakukan berbagai mekanisme yang dianggap mampu mengurangi kekuatan dari Lord’s Resistance Army itu sendiri. Perpanjangan dan penambahan mandat yang diberikan kepada MONUSCO (United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo) yang merupakan sebuah misi pasukan perdamaian PBB dalam mengatasi perang sipil di Congo adalah salah satu pendekatan militer yang telah dilakukan PBB.8 PBB dianggap sebagai salah satu organisasi yang memiliki kewajiban dalam merespon masalah yang terjadi akibat eksistensi LRA. Dalam mengatasi berbagai kasus konflik yang ada, PBB membentuk sebuah lembaga yang disebut sebagai
8
United Nations Department of Public Information, Basic Facts About the United Nations, United Nations Publication, New York, 2011, hal. 75.
6
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang merupakan lembaga yang memiliki otoritas penuh dalam menerapkan mekanisme penyelesaian konflik. Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) terdiri atas 15 negara, dan 5 negara diantaranya memiliki hak veto yang merupakan hak untuk menolak sebuah resolusi secara langsung, tanpa adanya diskusi terlebih dahulu oleh forum Dewan Keamanan. Berbagai konflik telah diatasi oleh PBB dalam bentuk mandat Peacekeeping maupun secara Humanitarian intervention di beberapa negara Afrika, yang memang dianggap sebagai benua dimana konflik merupakan hal yang lazim terjadi. Kasus LRA yang jelas merupakan bukan hanya sebuah ancaman internal sebuah negara, namun merupakan sebuah ancaman keamanan regional (akibat pengaruh yang diberikan kepada empat negara), maka tentunya PBB melalui lembaga seperti Dewan Keamanan PBB, memiliki tanggung jawab yang besar dalam penyelesaian konflik LRA itu sendiri. Kerjasama yang intensif melalui pemberian intelijen dan arahan kepada Uni Afrika, dan negara-negara yang mendapatkan dampak langsung dari LRA ini adalah salah satu solusi lainnya yang telah dilakukan oleh PBB. Pertanyaan paling besar yang muncul adalah signifikansi solusi yang telah diberikan oleh PBB tersebut dalam pemberantasan LRA secara keseluruhan, berdasarkan analisa kebijakan berbagai badan PBB dalam beberapa tahun terakhir ini. Analisa kebijakan PBB perlu dilakukan dalam menganalisa signifikansi dari kehadiran PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki obligasi untuk menciptakan perdamaian dunia, dan mengupayakan mekanisme-mekanisme dalam menciptakan perdamaian tersebut. 7
Urgensi dari pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army ini sebenarnya sudah terlihat dari puluhan tahun lalu, ketika Lord’s Resistance Army melakukan pembantaian secara berkelanjutan di berbagai desa di Uganda Utara. Masalah akan tetapi tidak berhenti disitu, sebab di masa kini perkembangan Lord’s Resistance Army sangat pesat. Internasionalisasi konflik yang melibatkan Lord’s Resistance Army dan beberapa negara yang terletak di wilayah tengah Benua Afrika menjadi salah satu contoh mengapa masalah Lord’s Resistance Army ini harus diselesaikan secepatnya. Dampak dari Lord’s Resistance Army kini tidak hanya dirasakan di Uganda, namun telah menyebar ke tiga negara tetangga dari Uganda, sehingga membuat masalah lebih rumit, serta kemungkinan lebih banyak rakyat yang menjadi korban juga semakin meningkat.9 Penelitian akan secara khusus difokuskan pada beberapa hal. Penelitian ini akan mengkaji lebih dalam tentang berbagai kontribusi yang diberikan PBB dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army dalam bentuk apapun. Penelitian ini juga akan menganalisa kendala yang dihadapi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan kelompok tersebut dari tahun 2008 hingga 2012, mengingat berbagai dinamika yang terjadi antara Perserkiatan Bangsa-Bangsa dan kelompok LRA tersebut. B. Batasan dan Rumusan Masalah Penulis akan meneliti lebih dalam tentang aktor Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebih spesifik terhadap badan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army di Afrika. Penulis akan 9
Ibid, hal. 76.
8
tetapi juga akan mendeskripsikan hubungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan berbagai aktor seperti Uni Afrika, dan negara-negara yang mendapatkan dampak langsung dari perbuatan-perbuatan Lord’s Resistance Army seperti Republik Afrika Tengah, Republik Demokratis Congo, Sudan Selatan, dan Uganda. Eskalasi konflik terjadi pada tahun 2008 akibat kegagalan dari forum negosiasi Juba Talks. Keterlibatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam kasus Lord’s Resistance Army ini juga terlihat mulai di tahun 2008. Penulis karena hal tersebut, akan membatasi waktu dari tahun 2008 hingga 2012 berbicara tentang tindakantindakan
yang
telah
dilakukan
oleh
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
dalam
pemberantasan kelompok tersebut. Penulis juga meneliti kendala yang dihadapi dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army. Untuk itu, penulis merumuskan dua pertanyaan penelitian sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana kontribusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 2008-2012? 2. Bagaimana kendala Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 20082010?
9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kontribusi Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa dalam pemberantasan Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 20082012. 2. Untuk mengetahui kendala Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pemberantasan Lord’s Resistance Army di Afrika tahun 2008-2010. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan menjadi bahan kajian bagi pengembangan studi Hubungan Internasional di masa mendatang, khususnya bagi pemerhati masalah konflik internasional dan yang tertarik untuk menganalisis kelompok Lord’s Resistance Army serta kaitannya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa di masa yang akan mendatang. 2. Sebagai referensi tambahan bagi pengkaji konflik internasional khususnya mengeni kelompok Lord’s Resistance Army.
10
D. Kerangka Konseptual Benua Afrika merupakan benua yang dipenuhi oleh banyak konflik yang disebabkan oleh beragam hal. Konflik antar etnis, hingga konflik memperebutkan sumber daya alam sebuah negara kerap menjadi alasan utama terjadinya konflikkonflik tersebut. Motif yang biasanya menjadi latar belakang konflik di Afrika tidak terjadi dalam kasus Lord’s Resistance Army
yang memiliki tujuan yang sangat
berbeda dengan kelompok pemberontak pada umumnya. Sejak tahun 2000an, kelompok ini menjadi pusat perhatian banyak pemerhati hak asasi manusia, dan organisasi internasional terbesar di masa kini, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Organisasi Internasional menurut Cheever dan Haviland adalah pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik melalui peretemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala.10 Terdapat dua macam organisasi internasional secara umum, yakni
IGO
(Intergovernmental
Organization)
dan
INGO
(International
Nongovernmental Organization).11 Pendekatan Liberal merupakan awal mula fokus dunia internasional terhadap aktor-aktor seperti organisasi internasional. Ide tersebut pertama dikemukakan oleh Haas (paradigma liberalism institusionalisme). Liberal Institusionalisme menyatakan bahwa adanya ketidakmampuan pemerintah negara dalam memberikan kesejahteraan dan keamanan kepada warga negara tersebut. Organisasi internasional memiliki 10
John Baylis dan Steven Smith, The Globalization of World Politics; An Introduction to International Relations, Oxford University Press, New York, 2001, hal. 185. 11 Ibid
11
obligasi moral dalam menutupi kekurangan tersebut, melalui optimalisasi organisasi internasional yang mampu fasilitasi kepentingan nasional bersama.12 Pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi internasional seperti PBB melewati berbagai tahapan yang tidak terlepas dari kepentingan nasional negaranegara. Sebuah negara tentu sangat membutuhkan kehadiran dari sebuah organisasi internasional dalam keadaan dimana negara tersebut tidak mampu menyelesaikan sebuah masalah (isu politik, ekonomi, atau isu lainnya) tanpa bantuan aktor tersebut.13 Masalah yang utama dihadapi oleh negara-negara adalah dalam merealisasikan sebuah bantuan dengan organisasi internasional, negara memiliki obligasi untuk menyerahkan sebagian dari kedaulatannya kepada organisasi internasional tersebut. Hal tersebut terjadi sebab dalam memberikan asistensi, organisasi internasional pasti akan melakukan sidang yang nantinya akan menentukan bentuk asistensi yang diberikan. PBB merupakan organisasi internasional terbesar saat ini, dan melalui Dewan Keamanan PBB, PBB ini diharapakan mampu membawa perdamaian di tempattempat berkonflik yang ada di dunia. Kasus Lord’s Resistance Army yang terjadi di Uganda tahun 1980an merupakan salah satu tanggung jawab dari PBB, mengingat adanya ketidakmampuan pemerintahan Uganda dalam menyelesaikan masalah tersebut.14 PBB tentunya memiliki banyak srategi dalam pemberantasan kelompok
12
John Baylis dan Steven Smith, The Globalization of World Politics; An Introduction to International Relations, Oxford University Press, New York, 2001, hal. 190. 13 Scott Burchill dan Andrew Linklater, Theories of International Relations, ST. Martin’s Press, New York, 2009, hal. 98. 14 New UN Report Highlights Lord’s Resistance Army Atrocities Against Children, http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=42163&Cr=LRA&Cr1. Diakses tanggal 20 November 2012.
12
tersebut, namun efektifitas masih banyak dipertanyakan. Salah satu penghambat paling besar bisa dilihat dari berbagai prosesi pengambilan keputusan yang rumit, serta adanya kooperasi yang kurang dengan organisasi internasional lainnya seperti African Union (Uni Afrika) dan Negara-negara anggota PBB lainnya. Kenyataan tersebut membuat penyelesaian konflik semakin kompleks, mengingat dibutuhkannya resolusi dan mekanisme penyelesaian konflik dalam kasus ini. Perbedaan merupakan hal yang mendasari konflik apapun yang ada. Konflik merupakan perbedaan dalam hal sosio-kultural, politik, ataupun ideologi sehingga membuat seseorang atau kelompok melakukan perlawanan dimana salah satu bentuknya adalah melalui kekerasan.15 Konflik dalam konteks hubungan internasional dapat dipecahkan dalam dua kategori, yaitu external conflict, dan internal conflict. Perbedaan keduanya pada dasarnya hanya terletak pada tingkatan dari konflik tersebut, dimana ada konflik yang berlangsung di dalam sebuah negara, dan konflik yang terjadi antar negara.16 Berbagai macam konflik tentunya membutuhkan mekanisme resolusi konflik yang berbeda. Mekanisme resolusi konflik yang tepat dibutuhkan agar tidak terjadi eskalasi konflik dan konflik bisa dipecahkan dengan cepat. Terdapat beberapa konflik yang membutuhkan mediator dalam penyelesaiannya, bahkan ada pula yang membutuhkan sebuah tindakan koersif.
15
Ho-Won Jeong, Understanding Conflict and Conflict Analysis, SAGE Publications Ltd., London, 2008, hal. 5. 16 Conflict. http://oxforddictionaries.com/definition/english/conflict. Diakses tanggal 20 November 2012.
13
Kasus LRA merupakan sebuah konflik yang sangat unik. Keunikan motif yang awal mulanya merupakan motif freedom fighters dengan penerapan ideologi Kristen sebagai sebuah negara, kini berubah menjadi motif untuk bertahan hidup. Berbagai penyerangan yang bersifat Hit and Run yang dilakukan oleh LRA, merefleksikan bahwa walaupun kelompok ini ingin bertahan hidup, LRA masih mampu memberikan ancaman besar bagi dunia internasional. Johan Galtung menjelaskan di tahun 1960an mengenai asymmetric conflict dan symmetric conflict. Asymmetric Conflict merupakan konflik yang terjadi antara aktor yang memiliki kekuatan tidak imbang, misalnya konflik antara mayoritas dan minoritas, antara sebuah pemerintahan dan kelompok separatis. Symmetric Conflict merupakan konflik diantara dua aktor yang tidak memiliki sumber daya yang signifikan.17 LRA dapat dikategorikan sebagai asymmetric conflict. Galtung kemudian menjelaskan bahwa dalam resolusi konfliknya, beberapa perubahan perlu dilaksanakan yakni de-eskalasi konflik, dan upaya transformasi hubungan dan kepentingan yang bertabrakan antar aktor yang berkonflik. Berbagai tahapan terjadinya sebuah konflik, membuat resolusi konflik sendiri menjadi lebih rumit. Konflik yang terjadi pada kasus LRA merupakan konflik yang kini memasuki fase konflik aktif. Spesifik apabila berbicara masalah konflik aktif, penyelesaiannya apabila negosiasi dan diplomasi telah gagal, hanyalah melalui metode war limitation yang berarti berbagai aktor diharapkan untuk melakukan
17
Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse dan Hugh Miall, Contemporary Conflict Resolution, Polity Press, Cambridge, 2011, hal. 10.
14
penerapan perdamaian, serta pengiriman pasukan untuk mendukung prosesi perdamaian dan stabilisasi. Resolusi Konflik dalam penerapannya, dapat menerapkan beberapa metode, termasuk penyelesaian konflik oleh beberapa aktor, yang biasa disebut sebaga Collective Security. Collective Security merupakan perjanjian dimana setiap negara dalam sistem, menyetujui bahwa sebuah masalah keamanan merupakan masalah bersama, serta menyetujui sebuah respon secara kolektif dalam menghadapi agresi.18 Menurut mantan presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, sebuah kerjasama militer dibutuhkan dalam penyelesaian sebuah konflik. Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa merupakan latar belakang pernyataan dari Woodrow tersebut, dengan harapan bahwa Liga Bangsa-Bangsa secara ideal, diobligasikan untuk menyelesaikan sebuah perang dengan cara kekerasan. Liga Bangsa-Bangsa pada akhirnya gagal disebabkan oleh kerasnya kepentingan nasional beberapa negara, yaitu kegagalan Liga Banga-Bangsa dalam menarik negara-negara besar waktu itu. Istilah Collective Security akan tetapi masih digunakan dalam penyelesaian sebuah kasus konflik yang melibatkan kerjasama beberapa negara di dalamnya (misalnya NATO).19 Bentuk dari Collective Security sangat beragam. Collective Security dapat berbentuk sebuah system aliansi keamanan, dimana Negara-negara bergabung sebagai respon terhadap sebuah masalah eksternal yang spesifik. Era modern seperti ini, istilah Collective Security dapat menjelaskan mengapa beberapa negara 18
Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, International Relations: Key Concepts, Routledge, London, 2002, hal. 131. 19 Ibid
15
menggabungkan kekuatan militernya, untuk menghadapi sebuah ancaman keamanan yang dihadapi oleh beberapa negara tersebut. North Atlantic Treaty Organization merupakan salah satu organisasi Collective Security yang ada hingga kini, namun kini banyak terlihat Negara-negara yang melakukan aplikasi Collective Security untuk mengatasi beberapa kasus saja (bersifat sementara) dan ada pula yang langsung merupakan mandat dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konsep Collective Security akan digunakan dalam menganalisa berbagai perkembangan Collective Security dalam pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army oleh beberapa aktor. Keamanan kolektif telah dilaksanakan oleh negara-negara yang langsung mendapatkan dampak dari konflik LRA tersebut. Analisis lebih dalam akan dilakukan mengenai tingkat kesuksesan dari kerjasama tersebut, serta kaitan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mengoptimalkan usaha Collective Security tersebut. Kerjasama yang dilakukan oleh Congo, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Uganda juga dikaitkan dengan organisasi internasional selain PBB, yaitu Uni Afrika. Hasil analisis tersebut digunakan dalam melihat sedalam apa kontribusi PBB dalam pemberantasan kelompok LRA tersebut, serta hambatan apa yang dihadapi selama beberapa tahun terakhir.20 Kunci dari kesuksesan Collective Security adalah kepentingan nasional yang sama dalam menghadapi sebuah ancaman eksternal. PBB sebagai organisasi internasional yang berkomitmen dalam menyelesaikan berbagai konflik yang ada hingga kini, perlu dianalisa perannya dalam menyatukan kepentingan nasional dalam 20
Ibid
16
upaya menghadapi kelompok LRA ini. Kompleksitas kepentingan nasional yang terdapat dalam PBB juga akan menjadi pertimbangan analisa dalam penelitian penulis, dimana faktor yang mampu memberi akselerasi terhadap sebuah resolusi konflik adalah kepentingan-kepentingan nasional yang terdapat dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Spesifik akan lebih banyak dibahas malasah forum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konsep Organisasi Internasional, Resolusi Konflik, dan Collective Security akan digunakan dalam menganalisa peranan PBB dalam kasus Lord’s Resistance Army. Ketiga konsep akan digunakan dalam mendapatkan jawaban terhadap aktor yang paling bertanggung jawab, dan resolusi yang tepat diterapkan seperti apa. Konsep tersebut akan penting dalam mendalami rumusan-rumusan masalah yang telah dibatasi oleh penulis sebelumnya. Namun, tujuan utama dari konsep-konsep tersebut adalah penyelesaian konflik yang terjadi akibat eksistensi dari kelompok Lord’s Resistance Army tersebut. E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif, dimana metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan fakta-fakta dari usaha pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Jenis dan Sumber Data
17
Jenis data yang penulis gunakan adalah data sekunder, yang diperoleh dari berbagai literature dan hasil olahan yang diperoleh dari berbagai sumber. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah telaah pustaka (Library Search) yaitu dengan cara mengumpulkan data dari literatur yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas, dan kemudian menganalisanya. Literatur ini berupa buku-buku, dokumen, jurnal-jurnal, majalah, surat kabar, dan situs-situs internet ataupun laporan-laporan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan penulis teliti. Bahan-bahan tersebut akan dikumpulkan dari tempat-tempat berikut ini: a. Center for Strategies and International Studies (CSIS) di Jakarta. b. United Nations Information Center (UNIC) di Jakarta. c. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin d. Perpustakaan Fisip Unhas 4. Teknik Analisis Data Teknik Analisis yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, dengan menganalisa kemudian disimpulkan sedangkan data kuantitatif digunakan sebagai data pelengkap untuk menjelaskan data kualitatif. 5. Metode Penulisan
18
Metode penulisan yang penulis gunakan adalah metode deduktif, dimana penulis terlebih dahulu akan menggambarkan permasalahan secara umum, lalu kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.
19
BAB II TELAAH PUSTAKA
A. Organisasi Internasional Negara dalam konteks hubungan Internasional merumuskan berbagai kebijakan luar negeri untuk mencapai yang disebut national interest (kepentingan nasional). Dalam mencapai kepentingan nasional sebuah negara, negara terlebih dahulu perlu mengetahui dan mengukur kemampuan dari negara sendiri. Seringkali negara tidak mampu untuk memenuhi kepentingan nasionalnya secara independen, sehingga membutuhkan aktor-aktor negara lain yang dianggap mampu membantu negara tersebut dalam pencapaian kepentingan nasionalnya. Keadaan tersebut yang menjadi faktor utama sebuah negara menjadi anggota berbagai organisasi internasional, yang kemudian akan menjadi bagian dari kerjasama multilateral melalui perjanjian-perjanjian internasional. Organisasi Internasional dibentuk berdasarkan kepentingan nasional negaranegara yang menjadi anggota. Hal ini terjadi karena organisasi internasional dalam pengambilan keputusannya, akan ditentukan oleh hasil dari negosiasi para anggota organisasi internasional tersebut. Negara yang tidak mampu menyelesaikan atau memenuhi kepentingan nasionalnya secara independen akan menjadi bagian dari organisasi internasional tersebut setelah menyetujui secara internal negara, bahwa merupakan sebuah urgensi untuk menjadi bagian dari organisasi internasional
20
tersebut. Sekilas dapat disimpulkan bahwa organisasi internasional merupakan sebuah lembaga yang akan selalu menguntungkan negara, sebab tujuan untuk membantu kepentingan nasional negara. Namun, sering terlihat bahwa negara menjadi anggota beberapa organisasi internasional, dan juga menolak keanggotaan sebuah organisasi internasional lainnya dengan berbagai alasan. Menyerahkan kedaulatan negara kepada forum internasional dari organisasi internasional tersebut, menjadi faktor utama hal tersebut. Kedaulatan dapat didefinisikan sebagai hak yang dimiliki aktor negara untuk menentukan arah kebijakan dalam negeri maupun luar negeri.21 Dalam pengambilan keputusan sebuah organisasi internasional, proses tersebut akan meghilangkan sebagian dari kedaulatan negara. Keadaan ini terjadi sebab negara tidak lagi memiliki otoritas untuk sepenuhnya menentukan arah kebijakan terhadap negerinya, akan tetapi ditentukan oleh forum dari organisasi internasional tersebut, yang tentunya terdiri atas beberapa negara anggota. Tentunya ini merupakan keadaan modern dari dinamika hubungan internasional, tidak seperti masa sebelum perang dunia II, dimana negara memutuskan apapun tanpa intervensi pengambilan keputusan, yang diakibatkan oleh ketidakhadiran organisasi internasional. Adapun sejarah dari organisasi internasional tersebut, dapat dilihat dalam konsep Liberal Institusionalisme yang dibentuk pada masa-masa setelah kejatuhan dari Liga Bangsa-Bangsa. Pasca keruntuhan Liga Bangsa-Bangsa, beberapa pendapat
21
Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, International Relations: The Key Concepts, Routledge, London, 2002, hal. 316.
21
muncul untuk mendirikan organisasi lainnya, yang memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan dengan Liga Bangsa-Bangsa sebelumnya. Menurut Haas, institusi regional dan nasional merupakan sebuah hal yang sangat penting bagi negara-negara yang mulai memiliki kapasitas menjalankan fungsi negara berkurang. 22 David Mitrany, seorang ahli dalam konsep integrasi, menyatakan bahwa kerjasama transnasional dibutuhkan dalam penyelesaian berbagai konflik yang terjadi di tahun 1940an tersebut. David Mitrany juga mengemukakan tentang konsep Ramification, dimana kerjasama di
sebuah sektor, akan membuat pemerintahan untuk
mengembangkan kerjasama dalam bidang-bidang lainnya.23 Liberal Institusionalisme menjelaskan banyak tentang keuntungan dari sebuah organisasi internasional. Masa di tahun 1940an menjadi awal mula pendapat yang menyatakan pentingnya organisasi internasional untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang tidak mampu diselesaikan oleh aktor negara itu sendiri. Dalam perkembangan dinamika hubungan internasional, terbukti bagaimana pentingnya liberal institusionalisme dalam pembentukan berbagai peran masif beberapa organisasi internasional dalam penyelesaian berbagai konflik dan permasalahan umum yang tidak mampu diselesaikan oleh aktor negara itu sendiri. Definisi
universal
dari
organisasi
internasional
sangat
sulit
untuk
didefinisikan. Dalam sebuah sisi, organisasi internasional dapat diartikan sebagai Intergovernmental Organization (organisasi internasional antar pemerintah), namun 22
John Baylis dan Steven Smith, The Globalization of World Politics; Second Edition, Oxford University Press Inc., New York, 2001, hal.169. 23 Ibid, hal. 171.
22
dapat juga diartikan sebagai organisasi non-pemerintah yaitu NGO (NonGovernmental Organization). Meskipun demikian, penulis akan menggunakan definisi organisasi internasional yang berdasarkan organisasi antara pemerintahan negara. Organisasi Internasional merupakan wadah negara-negara dalam menjalankan tugas bersama, baik dalam bentuk kerjasama yang sifatnya koordinatif maupun subordinatif. Definisi tersebut merupakan karakterisasi umum dari sebuah organisasi internasional, apabila dilihat dari fungsi dan tujuan dari organisasi internasional tersebut. Organisasi Internasional menurut Cheever dan Haviland adalah pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan staf secara berkala. Namun sekarang tujuan berdirinya sebuah organisasi internasional sangat beragam, sehingga secara umum organisasi internasional memiliki beberapa ciri yang disebutkan oleh Leroy Bennet24, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
A permanent organization to carry on a continuing set of functions; Voluntary membership of eligible parties; Basic instrument stating goals, structure, and methods of operation; A broadly representative consultative conference organ; Permanent secretariat to carry on continous administrative, research and information functions.
24
Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Indonesia, 2004, hal. 5
23
Organisasi Internasional berdasarkan ciri-ciri yang telah dikemukakan oleh Leroy Bennet, menunjukkan betapa terorganisirnya sebuah organisasi internasional. Meskipun demikian, yang paling penting dilihat dalam sebuah organisasi internasional adalah tujuan dari organisasi itu sendiri. Tujuan serta legalitas dari sebuah organisasi internasional dapat dilihat dari Piagam atau Charter dari organisasi tersebut, yang akan menguraikan apa saja yang menjadi landasan terbentuknya organisasi internasional tersebut. Selain itu, akan terdapat penjelasan yang jelas tentang kinerja dan sistem yang diterapkan dalam organisasi tersebut. Perkembangan sebuah organisasi internasional tentunya akan bergantung pada hasil dari organisasi internasional tersebut, apakah telah mewakili kepentingan nasional negara, atau malah sebaliknya. Namun, Inis L. Claude Jr.25 mengemukakan beberapa prasyarat yang mesti dipenuhi oleh organisasi internasional, jika ingin berkembang dengan cepat, yaitu: 1. The world must be divided into a number of states as independent political units; 2. A substantial measure of contact must exist between sub-devision; 3. The states must develop an awareness of the problem which arise out of their coexistence; 4. On this basis they must recognize the need for creation of institutional devices and systematic methods for regulating their relation each other.
Kehadiran organisasi internasional, memiliki kaitan yang sangat erat dengan hukum internasional yang diterapkan di era modern saat ini. Status organisasi internasional
25
sebagai
subjek hukum
internasional
yang membantu proses
Ibid, hal. 6.
24
pembentukan hukum internasional itu sendiri, dapat dikatakan sebagai alat untuk memaksakan agar kaidah hukum internasional ditaati. Hukum internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan negara satu sama lain.26 Setiap organisasi internasional memiliki kewenangan yang berbeda, namun setiap perjanjian yang dihasilkan merupakan sebuah hukum internasional. Terdapat banyak contoh, namun salah satu contoh jelas dari organisasi internasional yang meghasilkan perjanjian yang mengikat kepada semua anggotanya adalah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap resolusi yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan ini, memiliki sifat yang mengikat untuk diterapkan oleh negara yang menjadi fokus resolusi Dewan Keamanan tersebut. Kenyataan ini terjadi sebab dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Keamanan memiliki otoritas untuk menghasilkan resolusi yang berkaitan dengan keamanan global, dan sifat dari resolusi tersebut adalah mengikat langsung kepada semua negara, meskipun negara tersebut tidak menjadi bagian dari pembahasan resolusi yang disetujui nantinya. Klasifikasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki beberapa macam. Metode yang paling mudah untuk melakukan klasifikasi terhadap organisasi internasional antar pemerintah (Intergovernmental) adalah klasifikasi organisasi internasional berdasarkan tujuan organisasi dan keanggotaan organisasi tersebut. 26
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hal. 1.
25
Secara keanggotaan, terdapat organisasi internasional universal. Tujuan organisasi general, salah satu contohnya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan organisasi dengan tujuan spesifik adalah organisasi-organisasi seperti IAEA (International Atomic Energy Agency) dan WHO (World Health Organization).27 Sedangkan klasifikasi organisasi intrnasional berdasarkan keanggotaan lainnya adalah organisasi internasional regional. Klasifikasi organisasi ini secara general misalnya Uni Afrika (African Union), Uni Eropa (European Union), dan ASEAN
(Association
of
Southeast
Asian
Nations).
Klasifikasi
organisasi
internasional regional berdasarkan tujuan yang spesifik adalah organisasi-organisasi seperti NATO (North Atlantic Treaty Organization), NAFTA (North American Free Trade Agreement) dan organisasi bersifat spesifik dan regional lainnya.28 Adapun beberapa syarat sebuah organisasi disebut sebagai organisasi internasional adalah sebagai berikut29; 1. Tujuannya haruslah merupakan tujuan internasional; 2. Harus mempunyai anggota, dimana setiap anggota mempunyai hak suara; 3. Didirikan berdasarkan pada anggaran dasar dan harus mempunyai markas besar (headquarters) demi kelangsungan organisasi, 4. Pejabat/pegawai yang mempunyai tugas menjalankan pekerjaan organisasi harus terdiri dari berbagai bangsa/negara.;
27
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations; Theories and Approaches 3rd edition, Oxford University Press, New York, 2007, hal. 109. 28 Ibid 29 Clive Archer, International Organizations; Third Edition, Routledge, New York, 2001, hal. 24.
26
5. Organisasi harus dibiayai oleh anggota yang berasal dari berbagai negara/bangsa. Organisasi harus berdiri sendiri (independent) dan harus masih aktif. Organisasi yang tidak aktif lebih dari lima tahun tidak diakui lagi. Penulis dalam penelitian ini, akan fokus terhadap organisasi internasional universal, yang bertujuan general yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa. Terdapat beberapa hal yang perlu diteliti dalam menganalisa PBB ini, yakni bagaimana mekanisme penentuan anggota dari PBB, proses pengambilan keputusan, serta sifat dari keputusan yang dihasilkan. Adapun PBB terdiri atas banyak badan dan organisasi spesialisasi, maka penulis akan fokus pada Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) dalam menjelaskan ketentuan-ketentuan tersebut. Persyaratan keanggotaan di PBB dibagi menjadi 2 bagian. Pertama adalah anggota asli (original member) dan anggota yang akan datang (admitted member). Negara anggota asli didefinisikan oleh PBB sebagai negara-negara yang berpartisipasi langsung terhadap United Nations Conference on International Organization di San Fransisco. Mekanisme lainnya dalam penentuan negara anggota asli adalah apakah negara tersebut menandatangani Deklarasi Pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1 Januari 194230.
30
Rumki Basu, The United Nations; Structure and Functions of an International Organization, Sterling Publishers, India, 2004, hal. 134.
27
Negara-negara lainnya yang tidak masuk kedua kriteria di atas, termasuk ke dalam negara-negara yang baru akan datang. Persyaratan keanggotaan baru PBB dijelaskan dalam Pasal 4(1), Pasal 4(2) serta Pasal 18(2) dalam piagam PBB31; Pasal 4(1): Memberhip in the United Nations is open to all other peace loving states which accept the obligations contained in the present charter and, in the judgement of the organization, are able and willing to carry out these obligations. Pasal 4(2): The admission of any such state to membership in the United Nations will effected by a decision of the General Assembly upon the recommendation of the Security Council. Pasal 18(2): Decisions of the General Assembly on important questions shall be made by two-thirds majority of the members present and voting.
Pengambilan Keputusan dalam sebuah organisasi internasional merupakan hal yang sangat krusial dalam kesuksesan sebuah organisasi internasional. Alasan utama sebuah negara menjadi bagian dari organisasi internasional sebab adanya kebutuhan negara-negara agar kepentingan nasionalnya dipenuhi atau setidaknya dibantu oleh organisasi tersebut. Selepas dari kepentingan dipenuhi atau tidak, hal yang paling penting dalam hal ini adalah transparansi, dan sistem pengambilan keputusan yang bisa dikatakan adil bagi semua negara anggota yang menjadi bagian dari organisasi internasional tersebut. Organisasi internasional memiliki beban yang berat dalam memenuhi kepentingan dari banyak aktor negara. Aktor negara tentunya memasuki ruangan
31
Ibid, hal. 135.
28
forum
organisasi
internasional
dengan
kepentingan-kepentingannya
sendiri.
Organisasi internasional harus memastikan bahwa tidak ada negara yang kepentingannya tidak difasilitasi. Kegagalan untuk memenuhi satu saja kepentingan nasional, dapat berakibat fatal terhadap organisasi tersebut di masa yang akan mendatang. Dalam organisasi internasional universal secara umum, terdapat beberapa fase pengambilan keputusan dalam organisasi tersebut. Fase tersebut terdiri atas prosesi rumusan teks keputusan, diskusi usulan, dan pengambilan keputusan.32 Fase pertama yaitu rumusan teks keputusan, merupakan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan dengan baik sebelum diusulkan nantinya pada forum organisasi tersebut. Berbagai cara dilakukan oleh delegasi negara dalam memperlancar sidang forum nantinya, misalnya menanyakan kepada negara lainnya tentang rumusan teks yang telah dibuat. Pada saat sidang berlangsung, maka tentu akan mendapatkan pandangan-pandangan yang berbeda akan masalah yang dibahas. Semua pandangan tersebut akan dituangkan dalam teks keputusan, atau yang biasa disebut sebagai Resolusi. 33 Diskusi suatu usulan dan pengambilan voting merupakan 2 tahapan terakhir dalam pengambilan keputusan organisasi internasional universal. Diskusi usulan merupakan usulan-usulan yang diusulkan oleh negara, yang negara tersebut anggap mampu menyelesaikan topik pembahasan yang sedang diperdebatkan dalam sidang 32
Benedetto Conforti, Law and Practice of the United Nations, Martinus Nijhoff Publishing, Netherlands, 2005, hal. 99. 33 S. Robert Jordan, International Organizations; A Comparative Approach to the Management of Cooperation, Greenwood Publishing Group, USA, 2001, hal. 34.
29
atau forum organisasi internasional. Usulan tersebut yang berbentuk proposal (penjelasan spesifik) bisa berasal dari satu negara ataupun dari beberapa negara, yang kemudian proposal tersebut diedarkan untuk dibahas lebih spesifik. Setelah merumuskan resolusi, maka akan memasuki tahap pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan dalam mayoritas organisasi internasional, menerapkan yang namanya kesetaraan suara (equality of the voting) yakni setiap negara memiliki 1 suara saja. Terdapat beberapa mekanisme penentuan pengambilan suara. Misalnya dalam Sidang Umum PBB (General Assembly), dalam pemilihan resolusi, dibutuhkan suara 2/3 dari keseluruhan anggota Sidang Umum tersebut. Berbeda dengan Dewan Keamanan yang terdiri atas 15 negara, dan kehadiran hak veto tentu mengubah pola pemilihan resolusi tidak seperti Sidang Umum PBB.34 Meskipun demikian, mayoritas organisasi internasional akan menerapkan yang namanya konsensus atau mayoritas. Mendapatkan suara mayoritas penting hanya untuk memastikan bahwa resolusi yang diterapkan merupakan hasil dari kepentingan nasional banyak negara dan tidak merupakan kepentingan nasional beberapa negara saja. Sementara itu, suara konsensus kerap sulit untuk menghasilkan sebuah resolusi, sebab sulitnya untuk menyamakan persepsi tentang semua bagian dari sebuah resolusi. Akan tetapi, konsensus banyak dianggap sebagai satu-satunya metode pengambilan keputusan yang tidak akan mengecewakan aktor siapapun dalam organisasi internasional universal tersebut.
34
Ibid
30
Sifat dan bentuk dari resolusi yang dihasilkan juga merupakan hal yang sangat penting dalam organisasi internasional. Hasil atau outcome pertama adalah dalam bentuk rekomendasi. Sebuah organisasi internasional dalam beberapa keadaan hanya memberikan saran atau opini saja mengenai sebuah permasalahan, yang dimana rekomendasi tersebut tidak bersifat mengikat (tidak harus diterapkan). Banyak badan di bawah PBB yang menghasilkan resolusi yang berbentuk rekomendasi (kadang digunakan istilah Resoulution dalam PBB). Outcome yang biasanya muncul dalam rekomendasi adalah penjelasan umum masalah, serta langkah-langkah umum yang sebaiknya dilaksanakan sebagai respon masalah.35 Deklarasi merupakan outcome lainnya dari sebuah organisasi internasional. Deklarasi merupakan klarifikasi suatu keadaan atau fakta yang dibutuhkan untuk suatu penerapan hukum. Kebutuhan dunia internasional akan pengaturan secara universal dalam berbagai bidang, menjadi alasan lainnya deklarasi diterapakan. Deklarasi seperti Universal Declaration of Human Rights 1948 merupakan salah satu contoh perjanjian yang tidak mengikat negara-negara, namun karena berisi beberapa anjuran kepada pemerintahan yang umum akan perlindungan HAM, maka mayoritas negara-negara dalam PBB menyetujui deklarasi tersebut. Deklarasi tidak bersifat mengikat, namun karena faktor-faktor seperti deklarasi merupakan masalah umum, maka jarang terdapat negara yang tidak menyetujui atau menerapkan deklarasi tersebut.
35
Nigel D. White, The Law of International Organizations; Second Edition, Manchester University Press, UK, 2005, hal. 77.
31
Setelah itu, terdapat juga outcome yang bersifat mengikat antar semua negara anggota organisasi internasional tersebut. Tidak terdapat resolusi yang mengikat dalam PBB selain dari resolusi keamanan yang dihasilkan oleh Dewan Keamanan PBB. Meskipun PBB membahasakan agar negara anggota menerapkan resolusi tersebut, namun tidak terdapat sanksi yang akan diberikan apabila tidak dilaksanakan oleh aktor negara. Khusus berbicara masalah organisasi PBB, maka terlihat dalam Piagam PBB Pasal 25 dan Pasal 2(6) mengenai mengikatnya sebuah resolusi36; Pasal 25
Pasal 2(6)
: “The members of the United Nations agree to accept and carry out the decisions of the Security Council in accordance with the Present Charter”. : “The organization shall ensure that States which are not members of the United Nations act in accordance with these principles so far as may be necessary for the maintenance of international peace and security”.
Berdasarkan beberapa uraian tentang konsep organisasi internasional, penulis akan membahas dalam penelitian ini lebih fokus terhadap PBB itu sendiri. Meskipun demikian, penulis akan kaitkan organisasi PBB dengan organisasi regional yang terdapat di Afrika yaitu Uni Afrika (African Union). Dewan Keamanan PBB yang merupakan forum yang mengatasi masalah ancaman-ancaman global, juga akan penulis teliti lebih banyak dalam hal resolusi yang telah diterapkan dalam kasus Lord’s Resistance Army di Afrika. Berhubung fokus peneliti ke Dewan Keamanan PBB, maka sifat dari resolusi yang diterapkan adalah legally binding (mengikat)
36
A.S. Muller, International Organizations and Their Host States; Aspects of Their Legal Relationship, Kluwer Law Internation, Netherlands, 1995, hal. 16
32
kepada semua negara yang menjadi anggota PBB, dan perlu dihargai oleh negaranegara yang belum atau tidak menjadi anggota PBB. B. Resolusi Konflik Dasar dari sebuah resolusi konflik, adalah pemahaman dari konflik itu sendiri. Pertama yang paling penting dianalisa adalah beberapa macam dan alasan mengapa konflik terjadi, bahkan dalam kehidupan sehari-hari. Konflik telah ada sejak kehadiran manusia di muka bumi, sebab banyaknya perbedaan yang dimiliki oleh manusia, menyebabkan terjadinya perbedaan paham dimana perbedaan paham itu sendiri merupakan konflik kepentingan antar individu. Beberapa macam konflik yang bersifat destructive (desktruktif) adalah beberapa konflik yang merupakan perang sipil (antar 2 kelompok dalam sebuah negara), ataupun ketika sebuah konflik telah memasuki tahapan kekerasan Terdapat banyak pemahaman dan definisi dari konflik. Dahrendorf37 mendefinisikan konflik sebagai sebuah keadaan yang terjadi akibat adanya tekanan yang mengelilingi keputusan dalam beberapa pilihan, yang kadang dimanifestasi melalui konfrontasi antar pihak. Definisi lainnya yang dijelaskan oleh Azar38, bahwa konflik merupakan perbedaan dalam opini, pertentangan, dan argumen yang terjadi dalam sebuah hubungan manusia, dalam organisasi, komunikasi, ataupun dalam tingkatan internasional. Akibat pengertian konflik yang begitu luas, maka beberapa
37
Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse dan Hugh Miall, Contemporary Conflict Resolution; Third Edition, Polity Press, Cambridge, 2011, hal.19. 38 Ho-Won Jeong, Understanding Conflict and Conflict Analysis, Sage Publications, London, 2008, hal. 6.
33
aktor mencoba memberi definisi konflik yang lebih spesifik, guna mendapatkan pemahaman yang lebih mudah akan konflik itu sendiri. John W. Burton39 kemudian berusaha memberikan sebuah perbedaan antara konflik dan sengketa (sebab kedua istilah ini sering diintegrasikan menjadi satu bagian), dimana Burton menjelaskan Konflik sebagai tantangan terhadap norma-norma yang berlaku, hubungan, dan peraturan dalam pengambilan keputusan, sehingga konflikpun terjadi. Sengketa di sisi lainnya merupakan keadaan ketidakpuasan dalam sebuah implementasi kebijakan, sehingga sengketa pun terjadi dalam kasus tersebut. Definisi konflik beragam, juga berdasarkan tingkatan dan aktor yang terlibat dalam konflik. Konflik yang terjadi antara 2 manusia, 2 kelompok dalam sebuah negara, ataupun antar 2 negara, membutuhkan pemahaman latar belakang yang berbeda dalam pemahamannya. Keadaan ini tentunya membawa tantangan tersendiri dalam resolusi konflik, sebab adanya ketergantungan pemahaman konflik itu sendiri sebelum bisa melangkah dalam pembahasan resolusi konflik yang tepat. Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan adanya perbedaan yang terjadi antar berbagai aktor, merupakan dasar dari konflik itu sendiri. Berdasarkan keadaan tersebut, maka karakterisasi kepetingan aktor yang terlibat dalam konflik, menjadi langkah pertama dalam penyelesaian sebuah konflik. Setelah mendapatkan pemahaman dasar dari konflik, perlu diketahui apa saja yang menjadi akibat dari konflik. Perbedaan nilai-nilai dan adanya perbedaan kekuatan atau power oleh berbagai aktor, menyebabkan terjadinya konflik. Eskalasi 39
Ibid, hal. 7.
34
konflik kemudian terjadi dalam keadaan mispersepsi ataupun miskomunikasi. Banyak faktor lain juga menjadi dasar sebuah konflik. Adanya kebutuhan ekonomi, ataupun adanya sumber daya yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia menjadi beberapa contoh kasus sumber terjadinya konflik. Berbicara konteks hubungan internasional, Ross40 mengatakan bahwa konflik dalam beberapa negara terjadi akibat adanya pencampuran konsiderasi sosio-ekonomi dan budaya, dengan status kelompok minoritas dalam ranah politik. Keadaan konflik yang berbicara masalah kelompok-kelompok sosial, membawa kompleksitas tersendiri dalam setiap kasus konflik. Setiap kelompok memiliki keinginan dalam meningkatkan pengaruhnya dalam negara, dan ingin meningkatkan dominasinya dalam negara tersebut. Keadaan tersebut menimbulkan sebuah konflik, yang tidak mampu memiliki penyelesaian konflik yang cepat, akibat prosesi negosiasi dan usaha mencapai keinginan setiap kelompok tersebut. Keadaan konflik menjadi semakin rumit ketika sebuah kelompok memiliki dominasi dan kekuatan yang lebih dibanding kelompok lainnya, dan menimbulkan usaha mobilisasi massa secara masif dilakukan oleh aktor-aktor yang merasa minoritas dalam sebuah negara. Kelompok-kelompok minoritas yang menjadi sumber konflik, kemudian dapat dikarakterisasi sebagai sebuah konflik etnis (salah satu contoh konflik). Dalam konflik etnis, konflik biasanya terjadi akibat bantahan dan penolakan terhadap akses pengambilan keputusan, serta penolakan untuk melakukan pembagian yang adil 40
Ibid
35
terhadap kekuasaan dalam institusi politik. Identifikasi ketidakadilan yang berkaitan erat dengan keadaan ekonomi, serta identifikasi perbedaan etnis, mampu dengan mudah menyebabkan eskalasi konflik. Ketidakpuasan terhadap kekuasaan politik, tidak meratanya pengembangan ekonomi, dan adanya asumsi diskriminasi yang disebabkan oleh perbedaan kelompok etnis, merupakan beberapa faktor utama terjadinya konflik etnis. Meskipun demikian, konflik etnis bisa saja terjadi akibat semua keadaan yang disebutkan di atas. Konflik kerap merupakan hal yang terjadi akibat sumber-sumber multi-dimensional dalam artian, konflik tidak terjadi hanya akibat satu faktor saja, akan tetapi terjadi akibat beberapa hal yang saling berkaitan, dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Dalam setiap resolusi konflik, Ho-Won Jeong mengatakan bahwa tahap pertama yang dibutuhkan adalah pemahaman akan konflik apa yang ingin diselesaikan. Tahap pertama ini terdiri atas 4 bagian secara umum, yakni parties, goals, issues dan interests.41 Parties (aktor-aktor yang terlibat) merupakan hal pertama yang perlu diketahui. Pengetahuan untuk mengetahui individu dan kelompok yang memiliki posisi kuat dalam dinamika konflik yang terjadi. Usaha dibutuhkan dalam menganalisa siapa saja pelaku dari konflik, dan kemungkinan korban akibat konflik tersebut itu siapa. Aktor-aktor yang menjadi pelaku dari konflik tentunya memiliki sebuah struktur yang telebih dahulu perlu dipahami, sebab adanya aktor yang hanya menjalankan perintah, dan adanya aktor yang memerintahkan sebuah tindakan secara langsung kepada anggota kelompok. Beberapa contoh dari aktor41
Ho-Won Jeong, Understanding Conflict and Conflict Analysis, Sage Publications, London, 2008, hal. 21.
36
aktor yang dimaksud adalah individu, kelompok, dan institusi yang memiliki peranan yang signifikan terhadap outcome sebuah konflik nantinya. Tidak hanya berhenti disitu, karena dalam konflik yang melibatkan aktor-aktor tersebut, terdapat beberapa aktor yang tidak terlibat langsung dalam konflik, namun memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap keberlangsungan sebuah konflik. Beberapa aliansi dari aktor-aktor, ataupun pemerhati, memiliki kontribusi yang tidak jarang sangat signifikan dalam penyediaan sumber daya aktor-aktor yang terlibat, sehingga secara tidak langsung berdampak terhadap outcome dari sebuah konflik. Para pemerhati ataupun aliansi ini muncul disebabkan oleh banyak faktor, beberapa diantaranya adalah faktor kesamaan etnis, warna kulit, bahasa, gender, dan banyak faktor lainnya. Goals (target) adalah hal kedua yang perlu dipahami dalam tahap pertama menganalisa sebuah konflik. Target dalam hal ini, dapat didefinisikan sebagai sebuah kondisi masa depan yang masing-masing aktor ingin capai. Target bisa dalam bentuk wilayah, politik, ekonomi, dan banyak target lainnya. Terkadang formulasi target yang diaspirasikan oleh sebuah aktor tidak dapat tergolong sebagai hal yang rasional. Keadaan ini membutuhkan aktor resolusi konflik untuk memisahkan beberapa kepentingan yang esensial (pokok) dan kepentingan yang non-esensial (sekunder).42 Dalam banyak kasus, target yang ingin dicapai oleh sebuah aktor bersifat dinamis, dan sangat bergantung terhadap sumber daya yang dimiliki oleh aktor tersebut. Sering terjadi, sebuah aktor yang awalnya memiliki target yang sangat masif, namun pada akhirnya menyerah terhadap target yang tergolong sangat minim akibat sumber daya
42
John A. Vasquez, The War Puzzle Revisited, Cambridge University Press, New York, 2009, hal.22.
37
yang mungkin saja telah habis. Persediaan sumber daya dalam beberapa kasus menjadi motif utama mengapa adanya dinamika dalam penentuan target sebuah aktor. Issues (persoalan) merupakan beberapa bagian pertentangan yang dialami oleh aktor-aktor yang terlibat langsung dengan konflik. Konsiderasi terjadinya konflik akibat perbedaan-perbedaan yang ada, sehingga perbedaan itulah yang sering dianggap sebagai persoalan utama terjadinya konflik. Persoalan biasanya merupakan persoalan ekonomi, aspirasi sosial, individu, atau kelompok. Kesulitan dalam setiap mekanisme penyelesaian sebuah konflik banyak terletak pada persoalan ini, sebab sebuah penyelesaian pada akhirnya akan menguntungkan satu pihak, namun akan merugikan pihak lainnya. Penyelesaian konflik akan tetapi sangat bergantung terhadap apa saja yang menjadi persoalan diantara kedua pihak, agar dapat menentukan persoalan inti dan persoalan turunan yang seharusnya bukan merupakan prioritas dalam penyelesaian konflik tersebut. Terakhir yang perlu diketahui sebagai tahap pertama resolusi konflik adalah interests (kepentingan). Kepentingan ini menjadi alasan utama sebuah aktor atau kelompok akan melakukan konflik dari awal, dan merupakan dasar tercapainya sebuah penyelesaian konflik yang mampu disetujui oleh kedua pihak. Kepentingan ini dapat didefinisikan sebagai apa saja yang menjadi hal yang ingin dicapai oleh aktor-aktor yang terlibat dalam konflik. Kerumitan dalam resolusi konflik muncul pada saat penentuan aktor A mendapat apa saja, dan aktor B serta aktor-aktor lainnya mendapatkan apa. Keadaan ini menjadi latar belakang utama mengapa terjadi perselisihan, sehingga aktor-aktor yang terlibat konflik akan menegosiasikan untuk
38
mendapatkan keuntungan yang paling banyak dibanding aktor lainnya. Deadlock pun biasanya tidak dapat dihindari dalam proses fasilitasi kepentingan-kepentingan aktor yang terlibat. Kepentingan ini dapat disimpulkan sebagai bagian yang penting dalam merumuskan sebuah resolusi konflik, yang tingkat kesuksesannya bergantung pada fasilitasi kepentingan aktor-aktor yang terlibat. Tahapan selanjutnya dalam resolusi konflik, banyak bergantung terhadap mekanisme penyelesaian konflik tersebut.
Dalam konteks ilmu hubungan
internasional, terdapat beberapa sifat dari resolusi konflik yang wajib disertakan dalam setiap resolusi konflik itu sendiri, menurut Johan Galtung43, yakni: 1. Multilevel: resolusi konflik harus menyertakan semua tingkatan konflik, yakni
konflik
antar-individu,
antar-kelompok,
dan
antar
aktor
internasional, regional, dan nasional, 2. Multidisciplinary: resolusi konflik harus menyertakan beberapa ilmu termasuk ilmu politik, hubungan internasional, ilmu pengembangan, hinga ilmu psikologi, mengingat konflik merupakan sebuah masalah multidimensional yang melibatkan banyak ilmu, 3. Both analytic and normative: analisis dalam hal transformasi sebuah keadaan yang memperlihatkan kekerasan, menuju keadaan yang netral dan aman. Transformasi yang dimaksudkan adalah transformasi sosial dan politik,
43
Johan Galtung, Peace by Peaceful Means; Peace, Conflict, Development, and Civilization, International Peace Research Institute, Oslo, 1996, hal. 20.
39
4. Both theoretical and practical: resolusi konflik harus merupakan gabungan dari teori dan implementasi. Berdasarkan beberapa tolak ukur dan parameter yang telah disebutkan oleh Johan Galtung, muncul-lah beberapa mekanisme dan model penyelesaian konflik. Model resolusi konflik yang penulis akan fokuskan adalah pada resolusi konflik yang berkaitan dengan aktor ketiga, dan merupakan model resolusi konflik asimetris (asymmetric conflict). Konflik asimetris merupakan konflik yang terjadi antara sebuah kekuatan yang besar melawan kekuatan yang kecil, misalnya konflik antara pemerintah dan kelompok pemberontak, atau konflik antara mayoritas dan minoritas.44 Keadaan ini sangat unik, sebab seringkali kekuatan di atas yang memiliki sumber daya jauh lebih banyak, cenderung akan menang, sehingga salah satu cara terbaik dalam penyelesaian konflik tipe ini adalah melakukan perombakan dan perubahan struktur sesuai dengan aspirasi dari kelompok yang melakukan pemberontakan. Konsep terbaru muncul di tahun 1990an dimana resolusi konflik dapat dilihat dari keterlibatan aktor ketiga dalam resolusi konflik itu sendiri, serta waktu intervensi. Setiap konflik memiliki beberapa tahapan, yang diikuti dengan tipe intervensi yang cocok. Fisher dan Keashly45 di tahun 1991 memberikan 4 tahapan konflik, dan intervensi yang cocok dilakukan oleh pihak ketiga pada setiap konfliknya. Pertama adalah Conflict Formation (formasi dari konflik) yang 44
Johan Galtung dan Charles Webel, Handbook on Peace and Conflict Studies, Routledge, USA, 2007, hal. 36. 45 Ibid, hal. 40.
40
merupakan tahap awal pecahnya konflik yang bersifat masif. Keadaan ini digambarkan oleh munculnya tidak hanya perbedaan, tetapi ketegangan dan perpecahan yang terjadi antara masyarakat sebuah negara. Intervensi yang tepat dilakukan dalam tahap ini adalah Prevention (pencegahan) yang dilakukan melalui intervensi
militer untuk
mengehentikan aktor
yang berinisiasi
melakukan
penyerangan pertama. Intervensi di tahap ini menjadi esensial dalam pencegahan konflik, terutama pencegahan eskalasi konflik yang mungkin terjadi. Tahap kedua adalah Violent Conflict (konflik dengan kekerasan) yang merupakan tahap yang paling parah dalam sebuah konflik. Terjadinya kekerasan dalam konflik merupakan alasan utama mengapa banyak dikembangkan konsepkonsep mengenai resolusi konflik, sebab korban yang berjatuhan bisa mencapai ratusan bahkan ribuan nyawa. Terutama dengan begitu banyaknya krisis kemanusiaan yang akan terjadi dalam fase tersebut. Intervensi yang tepat dilakukan dalam tahap ini adalah Peacekeeping (pemeliharaan perdamaian) dimana aktor eksternal yang melakukan intervensi tidak diperbolehkan untuk memihak pada sebuah aktor, namun hanya mampu berdasarkan hukum internasional, untuk mengambil posisi netral, dan mengupayakan agar aktor-aktor yang berkonflik melakukan gencatan senjata. Tahap ketiga adalah Conflict Transformation (transformasi konflik) yang merupakan tahap dimana kekerasan konflik telah berkurang. Keadaan ini masih sangat rawan terhadap munculnya konflik aktif kembali, namun berbagai aktor sedang memasuki tahapan perdamaian, meskipun kelompok pemberontakan atau penuntut belum sepenuhnya bubar. Intervensi yang cocok pada masa ini adalah
41
Peacemaking (penerapan perdamaian). Intervensi perdamaian ini membantu beberapa institusi yang dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian di wilayah bekas konflik aktif tersebut. Tahap terakhir merupakan social change (perubahan sosial) yang merupakan keadaan dimana mulai terjadi perbedaan-perbedaan dalam masyarakat sebuah negara. Keadaan ini merupakan akhir dari ketegangan yang telah terjadi pada tahap-tahap sebelumnya. Intervensi yang tepat dalam hal ini adalah Peacebuilding (pembangunan perdamaian), dimana aktor eksternal yang melakukan intervensi, memiliki tujuan untuk membantu aktor negara dalam pembangunan negara yang tentu telah dihadapkan dengan berbagai kehancuran selama konflik aktif terjadi. Tahap ini merupakan tahap dimana tidak terdapat lagi konflik, dan kepentingan nasional mengarah pada pembangunan kembali negara, bukan lagi taktik menghancurkan atau menegosiasi dengan kelompok pemberontak. konflik juga menjadi salah satu faktor dibutuhkannya sebuah intervensi eksternal dalam sebuah konflik. Di tahun 1996, Johan Galtung46 menjelaskan sebuah model resolusi konflik yang penulis anggap penting dalam mencari resolusi konflik terhadap kelompok Lord’s Resistance. Model tersebut bernama Spheres of Cosmopolitan Conflict Resolution.47 Dijelaskan dalam model ini, bahwa sebuah konflik terjadi awalnya pada tingkatan state/social level (tingkat internal negara). Seiring dengan waktu, beberapa konflik akan menyebar, sehingga membawa sebuah 46
Jorgen Johansen dan John Y. Jones, Experiments with Peace: Celebrating Peace on Johan Galtung's 80th Birthday, Pambazuka Press, UK, 2010, hal. 33 47 Ibid
42
ancaman terhadap tingkatan regional di sekitar terjadinya konflik tersebut. Keadaan yang lebih rumit lagi terlihat ketika ancaman konflik sebuah negara menyebar menjadi ancaman global level (ancaman tingkat global) dimana kehadiran sebuah konflik membawa ancaman bagi dunia internasional, melebihi ancaman regional. PBB dalam hal ini memiliki obligasi untuk mengatasi masalah yang telah diakibatkan oleh LRA. Walaupun awalnya merupakan konflik internal Uganda, ancaman regional yang telah terjadi hingga kini memperlihatkan kebutuhan intervensi aktor yang lebih didirikan untuk perdamaian dunia. Sesuai dengan model konflik Johan Galtung di tahun 1996, maka terlihat jelas bagaimana konflik LRA telah mencapai tingkatan regional, dimana sebuah konflik internal telah menyebar atau mengalami Regional Spillover menuju negara-negara tetangga dari Uganda itu sendiri. Dalam mengatasi konflik sepeti ini, penulis juga akan lebih fokuskan pembahasan penyelesaian konflik, sesuai dengan metode resolusi konflik yang tertera dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Resolusi konflik dalam organisasi PBB bergantung terhadap penyelesaian konflik yang tertera dalam piagam PBB, Chapter VI: Pacific Settlement of Disputes. Pasal 33 secara spesifik menjelaskan bagaimana bentuk penyelesaian konflik yang diterapkan oleh PBB. Terdapat tahap-tahap yang perlu dilaksanakan dalam penyelesaian sebuah konflik. Tahap-tahap tersebut adalah mencari solusi dari konflik melalui negosiasi, mediasi, penyelesaian konflik melalui judicial internasional,
43
ataupun melalui metode-metode damai lainnya.48 Dewan Keamanan PBB setelah itu diberikan hak untuk menerapkan sebuah metode tersendiri (termasuk cara koersif penyelesaian masalah) apabila terlihat adanya kegagalan dalam penyelesaian konflik dengan cara yang damai. Terdapat 2 badan utama dalam PBB yang diberikan otoritas dalam menyelesaikan konflik. Sidang Umum PBB merupakan badan pertama, dan memiliki obligasi dan hak untuk memberikan rekomendasi dan saran kepada aktor-aktor yang berkonflik . kekuasaan lebih luas diberikan kepada badan Dewan Keamanan PBB, yang memiliki hak untuk menerapkan sebuah mekanisme penyelesaian konflik (bahkan termasuk intervensi kemanusiaaan) kepada aktor-aktor yang sedang berkonflik.49 Dewan Keamanan PBB dapat bertindak apabila dihadapkan dengan 2 macam persengketaan50, yaitu: 1. Persengkataan yang dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, dan 2. Peristiwa-peristiwa
yang mengancam
perdamaian,
atau
melanggar
perdamaian atau tindakan-tindakan serangan (agresi). Penulis akan fokus pada resolusi konflik berdasarkan mekanisme yang telah ditetapkan dalam piagam PBB. Terlihat jelas tahap-tahap yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan koersif dalam pemberantasan sebuah 48
Charter of the United Nations. http://www.un.org/en/documents/charter/chapter6.shtml. Diakses tanggal 26 Desember 2012. 49 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Justitia Study Group Bandung, Bandung, 1986, hal. 281. 50 Ibid
44
ancaman keamanan internasional. Sidang Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB merupakan 2 lembaga utama yang akan jadi fokus, dan akan menitikberatkan terhadap peranan Dewan Keamanan PBB sebagai satu-satunya badan PBB yang diberikan wewenang penyelesaian konflik, dan memiliki resolusi yang bersifat mengikat. Kontribusi badan-badan tersebut akan dianalisa dalam kaitannya pada pemberantasan kelompok Lord’s Resistance Army. C. Collective Security Keputusan negara untuk melakukan Collective Security didasarkan pada yang disebut kepentingan nasional (national interest). Kepentingan nasional sebuah negara dipengaruhi oleh berbagai macam faktor internal dan eksternal. Kerap beberapa negara memiliki prioritas kepentingan yang berbeda diantara negara-negara lainnya. Masalah yang dihadapi oleh sebuah negara akan membantu aktor negara dalam merumuskan kepentingan nasionalnya, yang nanti akan diaplikasikan melalui kebijakan politik luar negeri. Kepentingan nasional dalam penerapan keamanan nasional (national security) merupakan salah satu prioritas utama bagi negara-negara, dengan alasan pentingnya menjaga kedaulatan yang diancam oleh sebuah ancaman internal maupun eksternal. National Security menurut Nye51, merupakan hilangnya ancaman terhadap nilai-nilai utama negara. Banyak parameter yang digunakan dalam menganalisa tingkat keamanan nasional sebuah negara yaitu integritas wilayah, kedaulatan,
51
Trevor C. Salmon dan Mark F. Imber, Issues In international Relations; 2nd Edition, Routledge, New York, 2008, hal. 74.
45
populasi, kebudayaan, dan kemakmuran perekonomian negara tersebut.52 Banyak cara yang digunakan untuk melindungi keamanan nasional sebuah negara, namun arah yang lebih lazim dalam perlindungan keamanan nasional adalah perlindungan melalui cara-cara yang bersifat militer seperti angkatan perang. Keamanan nasional jika tidak mampu diatasi oleh aktor negara sendiri, akan di asistensi oleh aktor eksternal. Keadaan ini biasa disebut sebagai Intervention (intervensi). Keamanan nasional sebuah negara tidak mampu dijamin oleh pemerintahan negara tersebut sebab adanya kemungkinan ancaman internal yang dihadapi telah berkembang masif, dan membutuhkan campur tangan aktor eksternal dalam membantu penyelesaian konflik yang terjadi. Ancaman eksternal juga menjadi alasan sebuah intervensi dilakukan dari awal. Ancaman yang dalam hal ini mempengaruhi banyak negara misalnya, membutuhkan sebuah kerjasama kooperatif antar beberapa negara yang prihatin atau mendapat dampak langsung dari ancaman, sehingga secara kolektif mampu menyelesaikan kasus ancaman yang dihadapi. Keadaan ini biasa diselesaikan oleh mekanisme Collective Security. Collective Security sering terjadi dalam keadaan sebuah negara yang tidak memiliki kapasitas yang cukup dalam menyelesaikan sebuah ancaman keamanan yang terjadi di negara itu sendiri. Negara yang menjadi anggota pada Collective Security ini terdiri atas negara-negara yang berbeda, sesuai dengan kepentingan negara-negara tetangga dalam melihat ancaman yang dihadapi. Ancaman yang bersifat regional, cenderung akan diselesaikan dengan sebuah Collective Security 52
Ibid, hal. 75.
46
yang bersifat regionalisme (terdiri atas beberapa negara dari sebuah kawasan yang sama).53 Tidak seperti intervensi kemanusiaan yang sering bertabrakan dengan kedaulatan negara, negara yang memutuskan untuk menjadi bagian sebuah operasi atau organisasi Collective Security, tidak dipaksakan oleh pihak siapapun, sehingga murni merupakan keinginan negara yang bersangkutan. Kedaulatan (Sovereignity) dibagi menjadi 2, yaitu kedaulatan internal dan kedaulatan eksternal. Kedaulatan internal merupakan kekuatan yang dimiliki negara, atas warga negaranya, tanpa adanya intervensi dari aktor eksternal dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan nasib negara secara internal. Kedaulatan eksternal merupakan hak negara dalam membentuk masa depan negara tanpa intervensi, serta mendefinisikan identitas nasionalnya.54 Collective Security tidak bertentangan dengan kedaulatan sebuah negara karena bersifat tidak memaksa, akan tetapi bersifat sukarela. Cara tersebut merupakan alternatif respon sebuah ancaman keamanan, dengan outcome harapan adalah sebuah perdamaian. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kant55, dimana setiap peperangan pasti terdapat solusi. Kant menjelaskan bagaimana sebuah perang itu tidak alami dan tidak masuk akal, dan merupakan alat buatan dan bukanlah hasil dari hubungan sosial atau keganjilan sifat manusia yang tidak sempurna. State of Anarchism yang sering diungkapkan oleh kaum realis dianggap tidak masuk akal, melihat dasar setiap 53
Chester A. Cracker, Osler Fan Hampson dan Pamela Aall, Turbulent Peace; The Challenges of Managing International Conflict, United States Institute of Peace Press, Washington, 2001, Hal. 230. 54 Trevor C. Salmon dan Mark F. Imber, Issues in International Relations; 2nd Edition, Routledge, New York, 2008, hal. 40. 55 Scott Burchill dan Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2009, hal. 41.
47
manusia itu baik, dan tidak ingin berkonflik, sesuai dengan pendapat-pendapat para realis. Berangkat dari dasar itu, liberalisme mengembangkan berbagai konsep dan teori mengenai penyelesaian konflik secara damai, oleh aktor-aktor seperti organisasi internasional apabila konflik yang dihadapi bersifat internasional. Collective Security awal mulanya merupakan ide dari Idealism dibawah paradigma liberalisme. Idealisme menitikberatkan terhadap sebuah konstruksi kewenangan internasional, dimana kebebasan negara menjadi salah satu alasan terjadinya masalah dan konflik internasional. Dalam mengatasi keadaan tersebut, negara dianjurkan untuk mempromosikan pembangunan perdamaian melalui hubunga yang sehat antar negara, dan negara-negara dianjurkan menjadi bagian dari organisasi internasional. Tidak berhenti disitu, dasar dari idealisme liberal adalah kebutuhan untuk formasi organisasi internasional untuk fasilitasi segala transisi dari konflik menuju perdamaian. Liga Bangsa-Bangsa akan tetapi gagal membuktikan efektifitas dari collective security di tahun 1920an ketika perang dunia terjadi, sehingga dianggap bahwa collective security merupakan sebuah mekanisme gagal dalam usaha mengatasi konflik yang ada saat itu.56 Collective Security kemudian dikembangkan lagi di tahun 1940an dibawah Liberalism Institusionalism. Liberal institusionalisme menaruh banyak harapan kepada institusi internasional untuk mengambil peran-peran yang tidak mampu dipenuhi oleh aktor negara. Institusi tersebut yang nantinya akan membantu 56
Scott Burchill, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit dan Jacque True, Theories of International Relations; Third Edition, Palgrave MacMilan, New York, 2005, hal. 55.
48
pengembangan beberapa bidang atau pemecahan beberapa masalah yang tidak mampu ditangani oleh aktor negara itu sendiri. Kehancuran dari Liga Bangsa-Bangsa yang menjadi dasar pemikiran Idealisme waktu awal tahun 1900an, menimbulkan sebuah kebutuhan untuk mengubah institusi tersebut dengan sebuah institusi yang dianggap lebih mampu dalam memberikan pertolongan kepada aktor negara dalam hal keamanan. Institusi yang akan bertanggung jawab terhadap perdamaian internasional dan keamanan internasional.57 Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian dibentuk tahun 1945, dengan Dewan Keamanan PBB sebagai badan yang menangani masalah konflik dan perang. Belajar dari kesalahan Liga Bangsa-Bangsa, PBB kali ini melalui Dewan Keamanannya, menetapkan 5 negara super untuk mendapatkan hak veto. Keadaan tersebut membuka peluang terjadinya Collective Security karena otoritas yang dimiliki Dewan Keamanan PBB dalam penentuan aktor dan perang apa saja yang akan diintervensi, melalui beberapa aktor yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan itu sendiri.58 Manfaat yang didapatkan oleh aktor negara setelah menjadi bagian dari institusi internasional, menjadi fondasi dari liberal institusionalisme. David Mitrany59 menjelaskan bagaimana sebuah kerjasama transnasional dibutuhkan dalam penyelesaian masalah bersama. Berangkat dari itu, Haas60 kemudian melakukan elaborasi dengan mengatakan bahwa institusi internasional dibutuhkan bagi negara-
57
Ibid, hal. 58. Alexander Orakhelashvili, Collective Security, Oxford University Press, New York, 2011, hal. 11. 59 Martin Griffiths, International Relations Theory for the Twenty-First Century; An Introduction, Routledge, USA, 2007, hal.22. 60 Ibid, hal. 23. 58
49
negara berdaulat yang kapasitasnya dalam mencapai tujuan-tujuannya telah berkurang atau memang tidak mampu. Berdasarkan beberapa nilai historis dari collective security, maka dapat ditarik beberapa definisi. George Schwarzeberger61 mendefinisikan collective security sebagai tindakan gabungan/ kolektif guna mencegah atau memberantas segala penyerangan terhadap dunia internasional. Van Dyke62 mendefinisikan collective security sebagai sebuah sistem dimana beberapa negara melaksanakan tindakan kolektif, demi keamanan individu negara-negara tersebut. A.K. Chaturvedi63 mendefinisikan collective security sebagai sebuah perjanjian antar beberapa negara untuk melindungi kepentingan nasional masing-masing, keselamatan dan integritas, terhadap sebuah ancaman yang mengancam selama beberapa periode waktu, dengan cara penggabungan kekuatan. Adapun definisi secara umum collective security berdasarkan kesimpulan definisi-definisi di atas, yaitu collective security merupakan sebuah rencana pemeliharaan perdamaian melalui organisasi yang terdiri atas negaranegara berdaulat dimana anggota saling menjaga satu sama lain dalam mencegah serangan. Konsep terlihat sebagai “security for individual nation by collective means” atau keamanan sebuah negara, melalui tindakan kolektif.
61
Danish Sarooshi, The United Nations and the Development of Collective Security; The Delegation by the UN Security Council of It’s Chapter VII Powers, Oxford University Press, New York, 1999, hal. 5. 62 Ibid, hal. 7. 63 Ibid, hal. 8.
50
Dalam menjamin kesuksesan dari sebuah collective security, terdapat beberapa hal yang perlu dilaksanakan. Menurut Palmer dan Perkings64, sebuah sistem collective security harus cukup kuat untuk bisa mencegah agresi dalam bentuk apapun dari kekuatan manapun atau dari kombinasi kekuatan manapun. Prinsip juga menjadi penentu kesuksesan collective security, dimana negara anggota harus rela untuk menerapkan sebuah sanksi, bahkan harus siap dalam kemungkinan terburuk yaitu perang aktif. Meskipun dibutuhkan kemampuan siap perang, juga tidak akan berhasil apabila negara-negara anggota memiliki ambisi yang berlebihan untuk terus memberikan sanksi dan keinginan terus menerus untuk terjun dalam perang. Terdapat 4 prinsip utama dalam collective security menurut Rourke dan Boyer65, yaitu: 1. Negara anggota menyetujui untuk tidak menggunakan persenjataan, kecuali dalam keadaan pertahan diri, 2. Sebuah serangan terhadap salah satu anggota, merupakan serangan ke semua anggota, 3. Menyatu dalam menekan segala agresi, dan mengembalikan perdamaian, 4. Semua anggota setuju
untuk menyediakan sumber daya materi atau
pasukan yang diperlukan dalam membangun pasukan collective security dengan asosiasi PBB, demi mengembalikan perdamaian.
64
Paul Wilkinson, International Relations; A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York, 2007, hal. 46. 65 Joachim Krause dan Natalino Ronzitti, The EU, The UN, and Collective Security; Making Multilateralism Effective, Routledge, New York, 2012, hal. 12.
51
Adapun beberapa alasan utama mengapa prinsip dan sistem collective security dianggap sangat menerik oleh beberapa aktor negara66; 1. Pertama: collective security menjanjikan keamanan kepada semua negara anggotanya, tidak hanya bagi negara anggota dengan kekuatan terbesar, dan keadaan dimana setiap negara berada dalam situasi yang terancam perang kapan saja, maka collective security dianggap mampu memberi jaminan keamanan, 2. Kedua: collective security secara prinsip menyediakan jauh lebih banyak kepastian dalam hubungan internasional, setidaknya dalam ranah jaminan keamanan dalam keadaan konflik atau perang aktif, 3. Ketiga: collective security fokus terhadap sebuah masalah yang nyata dan jelas, yaitu keadaan agresi, yang secara hukum internasional didefinisikan sebagai pelanggaran militer terhadap integritas wilayah dan kemerdekaan politis dari sebuah negara anggota. Istilah collective security yang digunakan PBB pertama kali diterapkan pada tahun 1990 dalam kasus invasi Kuwait, tanggal 2 Agustus 1990. Invasi yang dilakukan oleh Iraq terhadap Kuwait mengundang respon yang negatif dari dunia internasional, sehingga menerapkan sanksi ekonomi secara langsung. Iraq yang waktu itu bersikeras mengatakan Kuwait sebagai bagian dari Iraq, terus melanjutkan invasinya, sehingga sebuah tindakan militer koalisi yang dipimpin oleh Amerika
66
Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, International Relations: The Key Concepts, Routledge, New York, 2002, hal. 56.
52
Serikat menjadi alternatif penyelesaian konflik. Dibutuhkan waktu 16 minggu untuk menghancurkan militer Iraq di Kuwait waktu itu, namun dunia internasional telah mendapatkan gambaran jelas akan bentuk sebuah collective security.67 Prinsip dari collective security dan kaitannya dengan PBB dapat terlihat dari Artikel 48 dan 49 dari piagam PBB. Artikel-artikel tersebut menjelaskan akan tindakan yang tepat dalam penerapan keputusan Dewan Keamanan PBB dalam pemeliharaan perdamaian, harus dipatuhi dan dilakukan oleh seluruh anggota PBB, atau beberapa saja sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan. Ide dibalik collective security dan PBB kini adalah, sebuah penyerangan terhadap salah satu anggota PBB, adalah respon yang wajib diperlihatkan oleh semua anggota PBB lainnya. Terdapat beberapa artikel lainnya dalam Piagam PBB yang menyinggung masalah tindakan kolektif dalam eliminasi sebuah ancaman68; Pasal 1
: “Effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the supression of acts of agression or other breaches of peace”
Pasal 43
: “Armed forces, assistance and facilities, including rights of passage, necessary for the purpose of maintaining international peace and security…” “..if the Security Council finds that an act of agression or other threats to the peace has occurred, and if the parties concerned do not comply with such measures as the Council shall deem necessary..”
67
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations; Theories and Approaches 3rd edition, Oxford University Press, New York, 2007, hal. 170. 68 Anthony Clark Arend dan Robert J. Beck, International Law and the Use of Force, Routledge, New York, 1993, hal. 112.
53
Berdasarkan Piagam PBB yang beberapa artikel spesifik menjelaskan masalah collective security, analisis penelitian akan fokus terhadap obligasi PBB dalam kaitannya dengan Lord’s Resistance Army. Penulis akan menggunakan konsep collective security dalam menganalisa beberapa kasus dalam penelitian ini. Beberapa diantaranya adalah efektifitas Uni Afrika dan collective security yang diinisiasi oleh beberapa negara Afrika melalui Dewan Keamanan PBB dalam memberantas kelompok LRA, sehingga penting adanya intervensi aktor lain. Collective security juga akan penulis gunakan dalam menganalisa peran PBB sebagai aktor pemelihara perdamaian dunia, dalam usaha pemberantasan kelompok LRA yang membawa ancaman yang bersifat internasional tersebut.
54
BAB III ORGANISASI INTERNASIONAL DAN KELOMPOK LORD’S RESISTANCE ARMY
A. Perserikatan Bangsa-Bangsa A.1 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Perserikatan Bangsa-Bangsa dibentuk pada akhir perang dunia kedua, sebagai hasil dari inisiatif beberapa negara. Negara-negara yang melakukan inisiasi pembentukan PBB tersebut merupakan negara-negara yang memimpin perang melawan Jepang dan German di Perang Dunia kedua, yakni Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Negara-negara tersebut ingin membentuk sebuah organisasi internasional bertujuan membangun perdamaian, dengan memperbaiki dan belajar dari beberapa kesalahan yang dilakukan saat menjalankan organisasi internasional League of Nations (Liga Bangsa-Bangsa). Pertemuan tersebut merupakan dasar dari terbentuknya Perserikatan BangsaBangsa, yang diharapkan merupakan penyempurnaan dari Liga Bangsa-Bangsa. Pada tahun 1945, perwakilan dari 50 negara bertemu di San Fransisco dalam pertemuan United Nations Conference on International Organization, untuk merumuskan Piagam PBB. Delegasi dalam pertemuan tersebut menyatukan beberapa bagian kesepakatan yang telah disepakati oleh perwakilan dari Cina, AS, Inggris, dan Uni Soviet di Dumbarton Oaks (AS) bulan Agustus-Oktober 1994. Perumusan Piagam
55
PBB dilakukan, dan pada akhirnya ditandatangani pada 26 Juni 1945, oleh 51 perwakilan negara, yang dikenal nantinya sebagai origin states.69 Perserikatan Bangsa-Bangsa terdiri atas struktur yang masing-masing institusi diberi mandat yang berbeda-beda. Institusi pertama adalah Secretariat (Sekretariat) yang merupakan badan yang menjalankan tugas kesekretariatan dari organisasi PBB. Sekretariat ini dipimpin oleh Secretary-General, yang kemudian akan menerapkan kebijakan umum bagi organisasi, serta arahan umum. Institusi kedua dibawah PBB adalah General Assembly (Sidang Umum) yang merupakan badan utama PBB yang terdiri atas 193 negara. Setiap negara dalam Sidang Umum PBB memiliki satu hak suara, dan segala keputusan penting yang ingin diputuskan, memerlukan jumlah 2/3 dari keseluruhan negara dalam forum. Sidang Umum PBB membahas tentang segala masalah yang dihadapi oleh negara-negara, meskipun resolusi yang nantinya dihasilkan tidak bersifat mengikat kepada semua negara (hanya berbentuk rekomendasi).70 Institusi ketiga dalam PBB adalah Economic and Social Council (ECOSOC). ECOSOC merupakan badan utama dalam koordinasi penyelesaian masalah ekonomi dan sosial, yang terdapat dalam PBB. ECOSOC terdiri atas 54 negara anggota, yang dirotasi berdasarkan wilayah geografis negara setiap 3 tahun. Alokasi negaranya adalah 14 kursi untuk negara Afrika, 11 negara Asia, 6 negara Eropa Timur, 10 negara Amerika Latin, serta 13 negara Eropa Barat dan negara-negara lainnya. 69
History of the United Nations. http://www.un.org/en/aboutun/history/. Diakses tanggal 2 Januari 2013. 70 Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 267.
56
Institusi keempat dalam PBB adalah International Court of Justice (Mahkamah Internasional). Mahkamah Internasional terdiri atas 15 hakim yang langsung dipilih oleh Sidang Umum PBB, dan Dewan Keamanan PBB. Trusteeship Coucil merupakan salah satu badan supervisi yang melakukan pengamatan dan asistensi terhadap 11 negara yang berada dibawah kekuasaan 7 negara anggota PBB. Trusteeship Council kemudian dibubarkan pada tahun 1949 setalah kemerdekaan Palau.71 Institusi terakhir dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah United Nations Security Council (Dewan Keamanan PBB). Dewan Keamanan PBB merupakan badan yang memiliki kewenangan dan hak dalam menentukan segala resolusi yang berhubungan dengan keamanan dan perdamaian internasional. Tidak seperti badan lainnya yang berada dibawah PBB, Dewan Keamanan menghasilkan sebuah resolusi yang bersifat mengikat langsung negara-negara anggota PBB, mesti anggota lainnya tidak berkontribusi langsung terhadap prosesi penentuan resolusi tersebut. Keunikan utama dalam Dewan Keamanan PBB adalah hadirnya 2 macam keanggotaan, yaitu Permanent Members dan Non-permanent members. Permanent Members (anggota permanen) merupakan negara-negara yang posisinya dalam Dewan Keamanan tidak akan diganti lagi. Terdapat 5 negara permanen dalam Dewan Keamanan PBB, yakni Amerika Serikat, Republik Rakyat Cina, Perancis, Rusia, dan Inggris. Posisi startegis dimiliki oleh kelima negara tersebut, bukan hanya sebab posisi kelima negara yang tidak mungkin lagi digantikan
71
Ibid, hal. 269.
57
oleh negara lain, akan tetapi juga karena adanya hak yang disebut Veto Rights (Hak Veto) yang diberikan kepada kelima negara tersebut. Hak Veto merupakan hak yang dimiliki oleh kelima negara permanen Dewan Keamanan PBB, dalam pengambilan keputusan sebuah resolusi. Sama dengan Sidang Umum PBB, Dewan Keamanan PBB akan menjalani prosesi negosiasi dan pembahasan sebuah masalah. Hak Veto memberikan kekuatan untuk menolak resolusi yang ingin diterapkan oleh Dewan Keamanan, yang merupakan hasil dari negosiasi. Singkat kata, hak veto merupakan merupakan hak yang diberikan kepada negara-negara tertentu, untuk membatalkan sebuah resolusi yang dianggap tidak searah dengan kepentingan nasional negara pemegang hak veto tersebut.72 Konsiderasi Dewan Keamanan PBB sebagai badan keamanan internasional, tentunya kemampuan dalam pengendalian resolusi adalah sebuah kekuatan yang sangat besar bagi penerapan resolusi keamanan, sesuai dengan kepentingan nasional. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional dilakukan melalui beberapa metode dibawah Piagam PBB. Adapun negara non-permanen dalam Dewan Keamanan PBB, terdiri atas 10 negara. Berbeda dengan anggota permanen Dewan Keamanan, 10 negara tersebut tidak memiliki hak veto yang mampu membatalkan langsung sebuah resolusi keamanan yang disetujui sebelumnya oleh mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB. Keanggotaan non-permanen Dewan Keamanan PBB dipilih langsung melalui
72
David M. Malone, The UN Security Council; From the Cold War to the 21 st Century, Lynne Rienner Publishers Inc., USA, 2004, hal. 351.
58
mekanisme voting dalam Sidang Umum PBB, dan negara yang terpilih akan menjabat sebagai negara non-permanen selama periode waktu 2 tahun. Rotasi akan dilakukan kembali ketika masa 2 tahun tersebut telah usai. Negara yang kini menjadi anggota non-permanen dari Dewan Keamanan PBB, dan masa keanggotaannya adalah73, Argentina (2014), Azerbaijan (2013), Australia (2014), Guatemala (2013), Luxembourg (2014), Morocco (2013), Pakistan (2013), Republic of Korea (2014), Rwanda (2014), Togo (2013). Dewan Keamanan PBB sebagai badan internasional yang menangani masalah keamanan, diberikan beberapa fungsi dan kekuatan dibawah Piagam PBB (United Nations Charter), yaitu74; 1. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2. Formulasi perencanaan dalam menciptakan sistem untuk meregulasi persenjataan, 3. Mendorong negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyelesaikan sebuah konflik dengan cara-cara damai, 4. Melakukan investigasi terhadap segala sengketa atau situasi yang bisa mengarah terhadap perselisihan internasional, dan merekomendasikan syarat perdamaian terhadap aktor-aktor yang terlibat,
73
Current Members of the United Nations Security Council. http://www.un.org/en/sc/members/. Diakses tanggal 4 Januari 2013. 74 United Nations Department of Public Information, Basic Facts About the United Nations, United Nations, New York,2011, Hal. 8-9.
59
5. Mendeterminasikan kehadiran sebuah ancaman terhadap perdamaian atau agresi, dan merekomendasikan tindakan yang sebaiknya negara lakukan, 6. Mendorong negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperhatikan langkah-langkah tersebut, untuk mencegah sebuah situasi semakin parah, 7. Mendorong negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menerapkan beberapa tindakan yang tidak termasuk pasukan bersenjata, atau sanksi, yang akan berpengaruh terhadap keputusan Dewan Keamanan, 8. Menggunakan cara pemaksaan untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan internasional, 9. Mendorong penyelesaian dengan cara damai terhadap penyelesaian sengketa lokal melalui perjanjian regional, dan menggunakan perjanjian regional tersebut dibawah otoritasnya, 10. Merekomendasi kepada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam pemilihan Secretary-General, dan bersamaan dengan Sidang Umum, memilih hakim International Court of Justice, 11. Meminta International Court of Justice untuk memberikan nasehat terhadap pertanyaan legal, dan 12. Merekomendasi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap pengakuan anggota baru ke dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
60
Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Keamanan PBB dapat bertindak75: 1. Atas inisiatif Dewan Keamanan PBB (Pasal 34, piagam PBB), 2. Atas permintaan negara anggota (Pasal 35(1), piagam PBB), 3. Atas permintaan bukan negara anggota (Pasal 35(2), piagam PBB), 4. Atas permintaan Majelis Umum/Sidang Umum (Pasal 11, Piagam PBB), dan 5. Atas permintaan Sekretaris Jenderal (Pasal 99, Piagam PBB).
Respon Dewan Keamanan PBB terhadap sebuah ancaman keamanan yang baru saja terjadi, biasanya sangat beragam. Akan tetapi, Dewan Keaman awal mulanya akan merekomendasikan aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah konflik/sengketa untuk menyelesaikan masalah dengan cara damai. Dewan Keamanan memiliki hak untuk mengirim kelompok atau aktor mediator dalam asistensi prosesi perdamaian dalam konflik tersebut. Sementara dalam sebuah konflik yang kemungkinan akan menghasilkan collateral damage yang tinggi, maka kepentingan utama dari Dewan keamanan PBB adalah untuk mendorong negosiasi gencatan senjata, yang tentunya akan menghambat terjadinya eskalasi konflik. Dewan Keamanan juga bisa mengirim pasukan perdamaian atau membentuk operasi militer intervensi kemanusiaan sebagai respon untuk mengurangi ketegangan. Dalam keadaan dimana sebuah negara melanggar hukum internasional (namun bukan
75
Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 290.
61
merupakan konflik), Dewan Keamanan bisa dengan tegas menerapkan sanksi ekonomi, embargo senjata, dan larangan bepergian. Metode-metode yang diterapkan dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional, pertama adalah enforcement (pemaksaan) sebagai respon terhadap ancaman keamanan dan perdamaian internasional. Cara pemaksaan tersebut dilakukan melalui sanksi ekonomi hingga militer, sesuai dengan Piagam PBB Chapter VII: Action with respect to threats of peace, breaches of the peace, and acts of agression.76 Dewan Keamanan telah diberikan kewenangan untuk menggunakan cara pemaksaan melalui sanksi di saat prosesi negosiasi telah gagal, dan terjadi ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasional. Sanksi telah diberikan kepada beberapa negara dalam waktu 10 tahun ini, yaitu Afganistan, Korea Utara, Iran, Iraq, dan beberapa negara Afrika yang pemerintahannya melakukan pelanggrana hak asasi manusia berskala masif terhadap rakyatnya sendiri. Sanksi diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB guna memberikan sebuah takanan kepada negara yang bersangkutan, sekaligus merupakan peringatan kepada negara tersebut agar bertindak sesuai dengan perintah Dewan Keamanan. Sanksi juga dianggap sebagai tahap pertama, dan Dewan Keamanan akan mengambil tindakan bersifat militer apabila negara yang diberi sanksi tetap mengabaikan perintah Dewan keamanan. Negara secara keseluruhan akan merasakan dampak dari sanksi, namun belakangan Dewan Keamanan memberikan sanksi yang fokus terhadap aktor utama
76
Peter Wallensteen dan Carina Staibano, International Sanctions; Between Words and Wars in the Global System, Frank Cass, New York, 2005, hal. 7.
62
yang melakukan pelanggaran HAM, misalnya diktator dan kelompok pemegang kekuasaan negara. Bentuk sanksi yang diberikan adalah pembekuan aset, blokir transaksi finansial, dan beberapa sanksi lainnya. Ketika sanksi yang diberikan oleh Dewan Keamanan terus diabaikan, Dewan Keamanan akan bertindak dengan metode militer. Keadaan ini diperlihatkan dari Dewan Keamanan yang memberi otoritas penuh kepada operasi militer, untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam sebuah negara. Sebuah operasi militer terdiri atas negara-negara yang telah ditunjuk oleh Dewan Keamanan PBB. Setiap operasi memiliki mandat yang berbeda, tergantung pada karakterisasi konflik yang terjadi. Bentuk operasi militer bisa merupakan misi pemberantasan kelompok pemberontak seperti di Mogadishu (Somalia) tahun 1992, atau dalam bentuk no-fly zone seperti yang terjadi di Libya, tahun 2011.77 Enforcement ini kembali diperkuat di tahun 2005 setelah lahirnya Responsibility to Protect. Responsibility to Protect merupakan dasar filosofi yang digunakan sebagai respon dari hadirnya kejahatan perang, pembunuhan massal, dan terancamnya kehidupan masyarakat di sebuah negara. Filosofi tersebut akan digunakan dalam membenarkan intervensi kemanusiaan dalam kasus yang sangat parah, perihal pelanggaran hak asasi manusia. Responsibility to Protect muncul pada World Summit di New York, yang mempertemukan kepala-kepala negara. Terdapat 2 poin penting yang dideklarasikan dalam pertemuan tersebut, yaitu78:
77
Compendium of United Nations Security Council Sanctions Lists. http://www.un.org/sc/committees/list_compend.shtml. Diakses tanggal 17 Januari 2013. 78 Alex J. Bellamy, Responsibility To Protect, Polity Press, Cambridge, 2009, hal. 68.
63
“Each individual state has the responsibility to protect its populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing, and crimes against humanity. This responsibility entails the prevention of such crimes, including their incitement, through appropriate and and necessary means. We accept that responsibility and will act in accordance with it. The international community through the United Nations, also has the responsibility to use appropriate diplomatic, humanitarian, and other peaceful means, in accordance with Chapter VI and VIII of the Charter, to help to protect populations from these crimes.” “In this context, we are prepared to take collective action, in a timely and decisive manner, through the United Nations Security Council, in accordance with the Charter, including Chapter VII, on a case-by-case basis and in cooperation with relevant regional organizations as appropriate, should peaceful means be inadequite and national authorities are manifestly failing to protect their populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity.”
Deklarasi yang dilakukan tahun 2005 memberikan pesan yang sangat tegas terhadap dunia internasional, terutama para diktator dan pemerintahan nondemokratis. Dalam sebuah keadaan dimana aktor negara tidak memiliki kapasitas dalam melindungi warga negaranya sendiri, maka dunia internasional diberikan obligasi untuk campur tangan, sesuai dengan Chapter VII dalam Piagam PBB. Penggunaan militer dalam eradikasi ancaman keamanan dan perdamaian kemudian dianggap sebagai hal yang diperbolehkan dalam upaya eradikasi tersebut. Metode kedua adalah Peacekeeping yang merupakan sebuah metode alternatif dan efektif dalam observasi gencatan senjata, dan pemisahan kubu yang berkonflik. Penjaga perdamaian sangat berbeda dengan sebuah operasi militer, sebab penjaga perdamaian tidak diperbolehkan untuk menggunakan senjatanya. Namun kini, penggunaan senjata diperbolehkan agar tujuan dari penggunaan tersebut adalah secara
64
fisik melindungi masyarakat setempat. Keunikan dari peacekeeping yang tidak fokus terhadap kekerasan militer, dianggap sebagai sebuah metode yang tepat digunakan di tempat-tempat konflik, agar menuju sebuah perdamaian dan tidak mengancam nyawa para prajurit. Peacekeeping memiliki keunikan dalam kekuatan dan legitimasi. Kemampuan Dewan Keamanan dalam mengirim pasukan penjaga perdamaian dalam bentuk militer atau kepolisian dari seluruh negara, dalam banyak kasus telah memperlihatkan efektifitas dari operasi tersebut. Pasukan perdamaian menyediakan keamanan, bantuan politik dan pembangunan perdamaian untuk membantu negara-negara dalam fase transisi dari konflik ke perdamaian. Alasan ini yang menjadikan pasukan perdamaian tidak dapat dikirim ketika terjadi eskalasi perang, dan biasanya akan dikirim dalam keadaan kedua pihak yang berperang telah menyetujui sebuah perjanjian perdamaian. Pasukan Perdamaian kemudian akan masuk dan memastikan perjanjian tersebut berjalan dengan lancar, dan memberikan perlindungan kepada warga dalam konflik yang mendadak pecah. Pasukan Perdamaian didasarkan pada 3 prinsip dasar79; 1. Consent of the parties (persetujuan aktor-aktor), 2. Impartiality (keadilan), dan 3. Non-use of force except in self-defence and defence of the mandate (tidak menggunakan kekerasan kecuali dalam keadaan perlindungan diri dan perlindungan terhadap mandat).
79
What is Peacekeeping? http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/peacekeeping.shtml. Diakses tanggal 3 Januari 2013.
65
Peacekeeping bersifat sangat fleksibel, dan Dewan Keamanan telah membentuk dan mengirim pasukan perdamaian di banyak negara. Saat ini, terdapat 15 operasi pasukan perdamaian aktif yang ditempatkan di 4 benua yang berbeda. Pasukan perdamaian bersifat sangat multidimensional yang tidak hanya ditunjuk untuk menjalin perdamaian dan keamanan, tetapi juga untuk fasilitasi proses politik, melindungi warga negara, asistensi gencata senjata, demobilisasi dan reintegrasi mantan pemberontak, mendukung organisasi pemilihan umum, melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia, serta mengembalikan hukum sebagai aturan yang mengikat dalam negara.80 Dewan Keamanan PBB akan melakukan respon terhadap krisis dari seluruh belahan dunia, berdasarkan kasus per kasus. Meskipun demikian, terdapat beberapa konsiderasi yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB dalam mengirimkan sebuah pasukan perdamaian81, yaitu: 1. Whether there is a ceasefire in place and the parties have committed themselves to a peace process intended to reach a political settlement (apabila terdapat gencatan senjata di tempat dan aktor-aktor telah komitmen untuk melakukan prosesi perdamaian untuk mencapai kesepakatan politik);
80
Ramesh Thakur dan Albrecht Schnabel, United Nations PeaceKeeping Operations; Ad Hoc Missions, Permanent Engagements, United Nations Press, USA, 2001, hal. 48. 81 Role of the Security Council in Peacekeeping Operations. http://www.un.org/en/peacekeeping/operations/rolesc.shtml. Diakses tanggal 6 Januari 2013.
66
2. Whether a clear political goal exists and whether it can be reflected in the mandate (apabila terdapat tujuan politik yang jelas dan bisa direfleksikan dalam mandat); 3. Whether a precise mandate for a UN operation can be formulated (apabila sebuah mandat operasi PBB bisa diformulasikan); dan 4. Whether the safety and security of UN personnel can be reasonably ensured, including in particular whether reasonable guarantees can be obtained from the main parties or factions regarding the safety and security of UN personnel (apabila keamanan dari personil PBB dapat dijamin, termasuk jaminan yang dapat diberikan oleh aktor-aktor yang berkonflik). Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah operasi pasukan perdamaian melalu aplikasi dari sebuah resolusi Dewan Keamanan. Resolusi akan menjelaskan besarnya operasi (dari segi personil) dan mandat yang diberikan. Dewan Keamanan akan melakukan observasi terhadap
perkembangan dari pasukan perdamaian
tersebut, dan akan dilakukan beberapa sesi komite/committee sessions untuk membahas perkembangannya. Dewan Keamanan PBB memiliki hak untuk memperanjang/menambahkan mandat, atau mengakhiri mandat jika dianggap perlu. A.2 Keberadaan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afrika Benua Afrika merupakan benua yang dipenuhi dengan konflik dan masalah sosial. Berbeda dengan benua-benua lainnya yang ada, negara-negara dalam benua
67
Afrika kerap dihadapkan dengan konflik yang berbentuk konflik etnis, konflik agama, hingga konflik yang menyangkut kelompok pemberontak dan pemerintahan. Banyak usaha yang telah dilakukan oleh dunia internasional dalam usahanya mengatasi berbagai konflik yang terjadi di Afrika, kadang menghasilkan keberhasilan, kadang gagal. Merupakan obligasi organisasi-organisasi internasional dalam memberi asistensi negara-negara, yang telah tidak mampu mengatasi masalah sosial ataupun perang yang terjadi dalam internal negara. Dalam konflik-konflik yang terjadi di Afrika, masalah yang lebih rumit terjadi dibanding konflik-konflik yang biasanya terjadi di benua lainnya. Keadaan konflik yang berlangsung secara terus menerus menimbulkan banyak masalah sosial di masa depan negara-negara Afrika. Ancaman pembunuhan dan penculikan yang berbagai kelompok lakukan terhadap masyarakat-masyarakat di Afrika, menyebabkan banyak terjadinya pengungsi yang mengungsi hingga ke perbatasan-perbatasan negara. Internally Displaced Persons (IDP) juga akan meningkat drastis ketika konflik-konflik terjadi. Permasalahan utama yang terjadi adalah krisis kemanusiaan sebagai akibat dari konflik-konflik tersebut, yaitu ketika masyarakat mulai kehilangan kapasitas untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti tempat berlindung, makanan, hingga akses terhadap minuman. Dasar keadaan ekonomi masyarakat Afrika yang tergolong miskin secara keseluruhan memperparah keadaan ketika konflik terjadi. Dari segi keamanan, Uni Afrika dan Dewan Keamanan PBB memiliki obligasi dalam usaha perdamaian di negara-negara Afrika. PBB menganggap bahwa
68
benua Afrika merupakan benua yang dilanda krisis konflik secara terus-menerus. Sekilas PBB menganggap Afrika sebagai prioritas, dengan memberi asistensi melawan Apartheid di Afrika Selatan, dukungan aktif dalam kemerdekaan Namibia, hingga asistensi perdamaian melalui UN Peacekeeping Missions (Operasi Pasukan Perdamaian PBB) di 25 konflik aktif yang berlokasi di berbagai wilayah Afrika.82 Secretary-General (pempinan/ketua umum) dari PBB sejak tahun 1990an, telah menyerukan kepada negara-negara Afrika untuk tidak menggunakan cara kekerasan sebagai bentuk dari penyelesaian konflik. Diserukan agar negara-negara Afrika menggunakan metode poltik dan damai seperti negosiasi, dalam resolusi sebuah konflik yang terjadi antar 2 pihak. Meski demikian, hingga kini PBB memegang peranan aktif dalam usaha penyelesaian konflik di berbagai negara di Afrika. Beberapa contoh yang terjadi di tahun 2010, yakni perpanjangan mandat operasi Pasukan Perdamaian PBB Cote D’Ivore, Demokratis Republik Congo, Sierra Leone, dan Sudan. Pada tahun yang sama, PBB juga memerintahkan peranan aktif berbagai aktor dalam mengatasi perompak Somalia yang sering beroperasi di wilayah Gulf of Aden.83 Pertama, kontribusi keamanan PBB di wilayah East Africa (Afrika Timur). Konflik Sudan merupakan konflik yang telah berlangsung, bahkan sejak kemerdekaan Sudan di 1 Januari 1956. Pemerintahan Sudan yang merupakan mayoritas dari agama Islam, menerapkan kebijakan yang secara spesifik fokus 82
United Nations Department of Public Information, Basic Facts About the United Nations, United Nations, New York, 2011, Hal. 71. 83 Peter Eichstaedt, Pirate State; Inside Somalia’s Terrorism at Sea, Lawrence Hill Books, USA, 2010, hal. 153.
69
terhadap pembentukan negara Islam dan isolasi terhadap agama-agam selain Islam (termasuk Kristen). Berbagai kelompok pemberontakan seperti SPLA/M (Sudan People’s Liberation Army/Movement) merupakan salah satu kelompok yang berjuang demi perebutan sumber daya alam, kekuasaan, agama, dan tentunya kemerdekaan. Konflik terus berlanjut antara pihak pemberontak dan pemerintahan Sudan, hingga Dewan Keamanan PBB di tahun 2005, membentuk United Nations Mission in the Sudan (UNMIS), yang memiliki mandat untuk mendukung implementasi salah satu hasil perjanjian perdamaian, yaitu CPA (Comprehensive Peace Agreement). UNMIS memegang peranan penting dalam referendum Sudan 2011, yang pada akhirnya menghasilkan lahirnya negara Sudan Selatan di tahun yang sama.84 Selain itu, Darfur juga menjadi pusat perhatian Dewan Keamanan PBB di tahun 2007. Omar Al Bashiir yang di tahun itu melakukan pembunuhan massal terhadap warga Kristen di Darfur melalui kelompok-kelompok yang dibayar oleh Omar Al Bashiir, mendapatkan perhatian sebab besarnya angka kematian akibat perintah tersebut. Dewan Keamanan PBB di tahun 2007, kemudian membentuk operasi perdamaian terbesar yang pernah dikirim oleh PBB, yaitu The African UnionUnited Nations Hybrid Operation in Darfur (UNAMID) yang menyatukan kekuatan PBB yang berjumlah 22.000 personil, dan 3,000 pasukan Uni Afrika, dalam sebuah misi untuk membawa perdamaian melalui perlindungan warga sipil di Darfur (Sudan Barat).85
84 85
Mansour Khalid, War and Peace in Sudan, Routledge, New York, 2010, hal. 330. Ibid, hal. 331.
70
Somalia merupakan contoh lain dari keterlibatan PBB dalam konflik-konflik di Afrika. Somalia merupakan salah satu negara gagal yang ada di dunia hingga kini, akibat banyaknya konflik perang sipil dan kehadiran Perompak Somalia yang tidak terkendali. Perang sipil yang pecah di tahun 1991 akibat kudeta militer, mengundang respon aktif Dewan Keamanan PBB yang akhirnya membentuk United Nations Operation in Somalia I (UNOSOM I) pada tahun 1992 yang dilanjutkan menjadi UNOSOM II pada tahun 1993. Eskalasi konflik yang terjadi membuat kesulitan bagi pasukan perdamaian PBB dalam mengendalikan situasi kacau yang terjadi saat itu, sehinggga Dewan Keamanan PBB memberikan mandat kepada Uni Afrika di tahun 2007 untuk mengirimkan pasukan perdamaian, yang kemudian dikenal sebagai African Union Mission in Somalia (AMISOM).86 Eritrea dan Ethiopia merupakan 2 negara terakhir di wilayah Afrika Tengah dan Afrika Timur yang mendapatkan bantuan dari Dewan keamanan PBB. Jatuhnya pemerintahan militer Ethiopia di tahun 1991, memunculkan banyak aspirasi masyarakat yang menginginkan kemerdekaan Eritrea dari negara Ethiopia. Memastikan netralitas dan kemurnian referendum yang berlangsung nantinya, PBB mengirim misi United Nations Observer Mission to Verify the Referendum in Eritrea (UNOVER), yang memiliki mandat untuk melakukan observasi terhadap referendum
86
Jean-Marc Coicaud, Beyond the National Interest; The Future of UN Peacekeeping and Multilateralism in an Era of US Primacy, United States Institute of Peace, Washington, 2007, hal. 27.
71
yang berlangsung saat itu. Eritrea kemudian mendeklarasikan kemerdekaannya di tahun 1993.87 Dalam perjalanan pembentukan negara Eritrea, sering terjadi konflik dengan Ethiopia masalah perbatasan. Pertama kali tejadi di tahun 1998, dimana konflik dilatar belakangi oleh adanya sengketa wilayah. Konflik berlanjut selama 2 tahun, hingga kedua negara menyetujui perjanjian perdamaian. Asistensi transisi menuju perdamaian dibantu oleh PBB, melalui pengiriman 4,200 pasukan yang dikenal sebagai United Nations Mission in Ethiopia and Eritrea (UNMEE). UNMEE tersebut diberikan mandat untuk melakukan observasi dan memastikan bahwa kedua negara tetap berpegang teguh terhadap perjanjian yang kedua pihak setujui di tahun 2000. Patroli dilakukan oleh UNMEE dan pasukan Eritrea dan Ethiopia di beberapa zona konflik. Hubungan kedua negara perlahan membaik, dan pada akhirnya Ban Ki-Moon menghentikan dan membubarkan mandat UNMEE tersebut di tahun 2008.88 Kedua, kontribusi keamanan PBB di wilayah West Africa (Afrika Barat). Sierra Leone merupakan salah satu konflik yang terjadi di kawasan tersebut. Negara ini dihadapkan dengan konflik pemberontakan dan kudeta militer sejak tahun 1990an. Tahun 1992 merupakan awal mula kasus tersebut, dimana pasukan militer melakukan kudeta terhadap presiden Sierra Leone waktu itu. Negosiasi aktor ketiga oleh OAU (Organization of African Unity) berhasil membuat pemerintahan yang dikuasi oleh militer, untuk dikembalikan kepada pemerintahan berbasis masyarakat. Pemilihan 87
James J. Sutterlin, The United Nations and the Maintenance of International Security; A Challenge to be Met (2nd ed), Greenwood Publishing Group Inc., USA, 2003, hal. 48. 88 Ibid, hal. 49.
72
umum dilaksanakan tahun 1996, namun kembali terjadi kudeta militer di tahun 1997. Berbagai kejadian tersebut mengundang respon Dewan Keamanan PBB dengan cara pembentukan United Nations Observer Mission in Sierra Leone (UNOMSIL) dengan mandat untuk melakukan observasi terhadap gencatan senjata dan pembentukan ulang militer Sierra Leone, dan observasi keadaan keamanan di Sierra Leone.89 Namun 2 tahun kemudian, eskalasi konflik terjadi akibat gabungan kelompok pemberontak dan bekas militer Sierra Leone yang kemudian menguasai wilayah yang lebih luas, menyebabkan 700.000 warga kehilangan rumah, dan 450.000 pengungsi. Dewan Keamanan PBB merespon dengan membentuk United Nations Mission in Sierra Leone (UNAMSIL) sebagai pengganti UNOMSIL, dengan mandat melindungi warga sipil, dan asistensi pemerintahan dalam melawan kelompok pemberontak. Proses perdamaian di Sierra Leone kemudian berjalan, dan UNAMSIL dibubarkan pada tahun 2005, dengan meninggalkan sebuah pencapaian besar dalam asistensi Sierra Leone kepada perdamaian.90 Liberia merupakan negara lainnya di Afrika Barat yang menghadapi masalah keamanan dan mendapat bantuan dari PBB. Setalah menjalani prosesi pemilihan umum di tahun 1997, konflik kembali pecah pada tahun 1999.91 Terdapat 2 kelompok pemberontakan di Liberia waktu itu, yakni Liberians United for Reconciliation and Democracy (LURD) dan Movement for Democracy in Liberia (MODEL). Kedua
89
Jean E. Krasno, The United Nations; Confronting the Challenges of a Global Society, Lynne Rienner Publishers Inc., USA, 2004, hal. 239. 90 Ibid 91 United Nations Department of Public Information, Basic Facts About the United Nations, United Nations, New York, 2011, hal. 75.
73
kelompok pemberontak atau freedom fighter tersebut melakukan pemberontakan hingga di tahun 2003, dan segala negosiasi yang berusaha dilakukan oleh organisasi regional, tidak menghasilkan resolusi yang memuaskan bagi ketiga pihak. Eskalasi konflik dan kegagalan aktor negara dan organisasi internasional dalam mengatasi konflik yang terjadi, membuat Dewan Keamanan PBB membentuk United Nations Mission in Liberia (UNMIL) pada September, 2003. Misi tersebut terdiri atas 15,000 pasukan militer dengan mandat melakukan pengamatan gencatan senjata, pengamatan terhadap demobilisasi dan reintegrasi dari semua pasukan bersenjata, serta perlindungan terhadap institusi-institusi pemerintahan.92 Cote d’Ivore merupakan negara terakhir yang dilanda dengan konflik, jika berbicara wilayah Afrika Barat. Konflik di Cote d’Ivore terjadi pada Desember 1999, saat terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh General Robert Guei. Kebijakan radikal untuk tetap bertahan sebagai presiden dilakukan oleh Guei, yang menimulkan protes masif di tahun 2000. Guei kemudian melarikan diri dari Cote d’Ivore, dan Gbagbo mendeklerasikan dirinya sebagai presiden baru. Dewan Kemanan PBB melihat ketidakjelasan dalam pemerintahan Cote d’Ivore akibat konflik antar pemberontakan, sehingga Dewan Keamanan membentuk United Nations Operation in Cote d’Ivore (UNOCI) di tahun 2004. UNOCI diberikan beberapa mandat oleh Dewan Keamanan PBB, yakni mengamati dan memastikan berjalannya beberapa perjanjian perdamaian
92
Ibid, hal. 76.
74
yang pemerintahan Cote d’Ivore telah setujui dengan beberapa kelompok pemberontak.93 Ketiga adalah kontribusi keamanan PBB di wilayah Central Africa (Afrika Tengah). Republik Demokratis Congo adalah salah satu negara, yang hingga kini terus mendapatkan bantuan keamanan dalam bentuk pasukan perdamaian, dalam menjalin kestabilan keamanan di Republik Demokratis Congo. Setelah genosida di Rwanda tahun 1994, terdapat 1,2 juta pengungsi yang menuju ke Republik Demokratis Congo. Provinsi-provinsi tempat pengungsi korban genosida Rwanda, mulai terbentuk beberapa gerakan pemberontakan sejak tahun 1996. Uganda dan Rwanda yang mendukung pemberontakan tersebut, membuat kelompok pemberontak yang bernama Congolese Rally for Democracy ini, membuat Republik Demokratis Congo kesulitan dalam mengembalikan wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kelompok tersebut.94 Terdapat sebuah perjanjian perdamaian antara pihak-pihak yang dianggap mengambil peran dalam konflik yang terjadi di Republik Demokratis Congo tersebut. Republik Demokratis Congo, Angola, Namibia, Rwanda, Uganda dan Zimbabwe menandatangani Perjanjian Gencatan Senjata Lusaka di tahun 1999. Pada tahun yang sama, Dewan Keamanan PBB membentuk United Nations Mission in the Democratic Republic of the Congo (MONUC) untuk memberi asistensi dalam implementasi. Republik Demokratis Congo tidak pernah sejak itu berada dalam keadaan yang 93
Thomas Turner, The Congo Wars; Conflict, Myth and Reality, Zed Books Ltd., London, 2007, hal. 156. 94 Alex J. Bellamy dan Paul Williams, Understanding Peacekeeping, Polity Press, Cambridge, 2010, hal. 155.
75
damai, namun kehadiran MONUC telah setidaknya mengurangi ancaman pembunuhan sebagai akibat dari perang militer melawan kelompok pemberontakan tersebut. Beberapa perang tetap terjadi di berbagai wilayah yang ada di Republik Demokratis Congo, sehingga Dewan Keamanan PBB memperluas mandat yang diberikan kepada MONUC, dan mengubah nama misinya menjadi United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo (MONUSCO) di tahun 2009.95 Republik Afrika Tengah merupakan salah satu negara lainnya yang dihadapkan dengan beberapa konflik di masa lalu, dengan campur tangan PBB. Muncul pasukan bersenjata yang melakukan pemberontakan di beberapa wilayah Republik Afrika Tengah pada tahun 1990an. Respon Dewan Keamanan PBB dalam kasus tersebut adalah pembentukan United Nations Mission in the Central African Republic (MINURCA) di tahun 1998. Mandat yang diberikan kepada MINURCA adalah untuk membantu pemerintah Republik Afrika Tengah untuk meningkatkan kapasitas keamanan Republik Afrika Tengah. Kesulitan banyak dihadapi oleh MINURCA, sebab sejak adanya pasukan PBB di Republik Afrika Tengah, terdapat 2 kali usaha kudeta oleh 3 kelompok pemberontak yang ada di Republik Afrika Tengah. Meskipun demikian, MINURCA memiliki peran yang sangat besar dalam
95
Alex J. Bellamy dan Paul Williams, Understanding Peacekeeping, Polity Press, Cambridge, 2010, hal. 157.
76
memediasi perjanjian perdamaian 2008 antara pemerintah Republik Afrika Tengah dan 3 kelompok pemberontak utama yang ada di Republik Afrika Tengah tersebut.96 Beberapa contoh resolusi Dewan Keamanan PBB yang membentuk sebuah pasukan yang akan memberi asistensi kepada aktor negara di atas, hanya beberapa dari sekian banyak pasukan perdamaian PBB yang telah dikirim oleh Dewan Keamanan PBB. Benua Afrika sebagai benua yang masih banyak terdapat konflik aktif dalam bentuk konflik asimetris dan simetris, membuat Dewan Keamanan PBB bekerja keras dalam usahanya mengatasi, atau setidaknya berkontribusi terhadap prosesi penyelesaian konflik tersebut. Hingga kini, masih terdapat beberapa operasi dan misi keamanan PBB di beberapa negara Afrika. B. Uni Afrika B.1 Uni Afrika dalam Pemeliharaan Perdamaian di Afrika Merealisasikan kepentingan nasional sebuah negara kadang merupakan tugas yang sulit dilaksanakan. Terbatasnya kapasitas negara dalam mencapai kepentingan tersebut menjadi faktor utama mengapa negara akan melakukan berbagai kerjasama bilateral maupun multilateral sebagai usaha mencapai kepentingan tersebut. Organisasi internasional dalam hal ini memiliki tujuan dalam pencapaian kepentingan nasional tersebut. Namun, kehadiran organisasi internasional seperti PBB yang bersifat universal, kadang tidak mampu untuk merealisasi dan memberi asistensi
96
Jean E. Krasno, The United Nations; Confronting the Challenges of a Global Society, Lynne Rienner Publishers Inc., USA, 2004, hal. 237.
77
terhadap kepentingan nasional setiap negara anggotanya karena banyaknya negara keanggotaan organisasi tersebut. Pembentukan organisasi internasional yang bersifat regional memiliki tujuan yang lebih spesifik dibandingkan organisasi universal. Organisasi regional dianggap mampu memberikan asistensi langsung kepada aktor negara dalam usaha pencapaian kepentingan nasionalnya. Terdapat banyak organisasi regional yang dibentuk berdasarkan wilayah, misalnya European Union, ASEAN (Association of SouthEast Asian Nations), dan African Union. Organisasi regional tersebut beranggotakan negara-negara yang dibatasi, khusus berdasarkan wilayah, sehingga tidak semua negara bisa mendapatkan status keanggotaan dalam organisasi regional tersebut. Uni Afrika (African Union) merupakan salah satu organisasi regional yang ada hingga kini. Sama dengan organisasi regional lainnya, Uni Afrika memiliki tujuan sebagai asistensi kepentingan nasional negara-negara yang khusus kepada negara-negara yang ada di Benua Afrika. Uni Afrika awalnya dibentuk tahun 1963 dengan nama OAU (Organization of African Unity), dan memiliki dasar yang sama dengan ASEAN yaitu Non-Interference atau tidak boleh melakukan intervensi terhadap kedaulatan negara-negara Afrika. OAU kemudian banyak mendapatkan kritikan atas dasar tersebut, karena pada akhirnya tidak berkontribusi banyak terhadap berbagai pelanggaran HAM yang ada di Afrika. Kasus Rwanda di tahun 1993
78
menjadi salah satu contoh nyata bagaimana OAU memiliki respon yang sangat pasif.97 OAU kemudian dirubah menjadi AU (African Union), yang dibentuk tanggal 9 Juli 2002. Jumlah keanggotaan Uni Afrika di tahun 2002 sebanyak 52 negara. Secara umum, Uni Afrika memiliki beberapa tujuan dasar yang digunakan sebagai dasar menjalankan organisasi Uni Afrika ini. Tujuan dasar tersebut diantaranya, akselerasi integrasi politik dan sosio-ekonomi di benua Afrika, menciptakan stabilitas dan perdamaian di Afrika, promosikan institusi demokratis, pemerintahan demokratis, dan perlindungan hak asasi manusia dan mengurangi tingkat kemiskinan, mengembangkan perekonomian, serta menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di Afrika. Perbedaan mendasar dari OAU dan Uni Afrika ini adalah, Uni Afrika mengenali adanya hak intervensi atas dasar kemanusiaan. Dalam perkembangannya, kini terdapat 49 negara dalam Uni Afrika akibat adanya beberapa negara yang melakukan pelanggaran terhadap Piagam Uni Afrika. Negara Guinea dikeluarkan tahun 2008 karena terjadi kudeta militer, Madagascar dikeluarkan tahun 2009 akibat krisis politik, dan Niger dikeluarkan tahun 2010 akibat kudeta militer.98 Dalam menjalankan tugas sebagai sebuah organisasi regional, Uni Afrika membentuk beberapa badan yang memiliki spesialisasi tertentu. Terdapat 8 badan yang berbeda dibawah Uni Afrika, yakni Sidang Umum, Badan Eksekutif, Parlemen Afrika, Pengadilan Afrika, Komite Spesialisasi Teknis, Badan Ekonomi, Sosial, dan 97
Paul D. Williams, Enhancing Civilian Protection in Peace Operations: Insights from Africa, The Africa Center for Strategic Studies September, 2010, hal. 8. 98 Ibid
79
Budaya, Badan Keamanan dan perdamaian, serta Badan Institusi Finansial. Terdapat 2 badan yang berkaitan dengan masalah keamanan dan perdamaian di dalam organisasi Uni Afrika ini. Pertama, dan merupakan badan tertinggi dari Uni Afrika adalah The Assembly (Sidang Umum). Sidang Umum Uni Afrika terdiri atas semua anggota Uni Afrika dan mengambil keputusan resolusi berdasarkan mayoritas 2/3 dari keseluruhan suara anggota. Tujuan utama dalam Sidang Umum Uni Afrika adalah menentukan dasar kebijakan bagi organisasi Uni Afrika, membentuk badan baru jika diperlukan, dan memutuskan sebuah intervensi negara anggota, apabila negara anggota tersebut menginginkan intervensi dari Uni Afrika.99 Badan kedua yang menangani masalah keamanan di Uni Afrika adalah Badan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika (Peace and Security Council African Union). Badan ini mirip fungsinya dengan Dewan Keamanan PBB, yaitu melakukan respon terhadap segala kasus ancaman keamanan internasional. Tujuan dasar dari Badan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika ini adalah melakukan pengiriman Pasukan Perdamaian PBB, dan intervensi kemanusiaan guna mencegah terjadinya genosida, kejahatan perang, serta kejahatan terhadap kemanusiaan. Meskipun demikian, keputusan untuk melakukan intervensi tetap berada dibawah keputusan Sidang Umum Uni Afrika, bukan pada Badan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika. Kenyataan tersebut menjadi pembeda utama diantara Badan Keamanan Uni Afrika dan Dewan keamanan di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
99
Paul D. Williams, The African Union’s Conflict Management Capabilities, Council on Foreign Relations October, 2011, hal. 11-13.
80
Badan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika secara resmi dibentuk tahun 2004, sebagai sebuah keamanan kolektif dan sistem respon konflik yang efektif. Beberapa tujuan utama dari Uni Afrika adalah mempromosikan perdamaian, keamanan, dan stabilitas. Kedua melakukan antisipasi dan pencegahan konflik, ketiga mempromosikan dan implementasi program-program pembangunan perdamaian. Terakhir adalah menciptakan dan mengembangkan kebijakan luar negeri perihal keamanan yang searah diantara sesama anggota Uni Afrika. Secara umum dan berdasarkan historis, Uni Afrka dianggap sebagai salah satu organisasi internasional yang memiliki peran dan inisiatif yang tinggi apabila berbicara masalah pengiriman pasukan-pasukan perdamaian ataupun untuk intervensi pencegahan konflik, apabila dibandingkan dengan kebanyakan organisasi internasional lainnya. Kenyataan ini tentunya merupakan nilai tambah bagi Uni Afrika. Keaktifan dari Uni Afrika dalam hal pemeliharaan perdamaian dapat dilihat dari keaktifan pengiriman pasukan ke berbagai wilayah konflik yang ada di Afrika. Berikut beberepa operasi militer Uni Afrika sejak tahun 2003 hingga 2011100; 1. AU Mission in Burundi (AMIB), berlokasi di Burundi, durasi misi 20032004, jumlah pasukan 3,250, kontributor pasukan terbanyak adalah Afrika Selatan, mandat utama sebagai Pasukan Perdamaian, 2. AU Military Observer Mission in the Comoros (MIOC), berlokasi di Comoros, durasi misi 2004, jumlah pasukan 41, kontributor pasukan terbanyak Afrika Selatan, mandat utama Observasi, 100
Ibid
81
3. AU Mission in Sudan (AMIS), berlokasi di Darfur, durasi misi 2004-2007, jumlah pasukan 7,700, kontributor pasukan terbanyak Nigeria, Rwanda, Afrika Selatan, Senegal dan Ghana, mandat utama Pasukan Perdamaian dan perlindungan warga sipil, 4. Special Task Force Burundi, berlokasi di Burundi, durasi misi 2006-2009, jumlah pasukan 750, kontributor pasukan terbanyak 750, mandat utama perlindungan petinggi-petinggi negara, 5. AU Mission for Support to the Elections in the Comoros (AMISEC), berlokasi di Comoros, durasi misi 2006, jumlah pasukan 1,260, kontributor pasukan terbanyak Afrika Selatan, mandat utama monitor pemilihan umum, 6. AU Misssion in Somalia (AMISOM), berlokasi di Mogadishu (Somalia), durasi misi 2007 hingga sekarang, jumlah pasukan 9,000, kontributor pasukan terbanyak Uganda dan Burundi, mandat utama dukungan terhadap rezim, 7. AU Electoral and Security Assistance Mission to the Comoros (MAES), berlokasi di Comoros, durasi misi 2007-2008, jumlah pasukan 350, kontributor pasukan terbanyak Afrika Selatan, mandat utama mendukung pemilihan umum, 8. Democracy in Comoros, berlokasi di Comoros, durasi mandat 2008, jumlah pasukan 1,350, kontributor pasukan terbanyak Tanzania dan Sudan, mandat utama penerapan demokrasi, dan;
82
9. AU-UN Hybrid Operation in Darfur (UNAMID), berlokasi di Darfur, durasi mandat 2008 hingga sekarang, jumlah pasukan 23,000, kontributor pasukan terbanyak Nigeria, Rwanda, Egypt dan Ethiopia, mandat utama pasukan perdamaian dan perlindungan warga sipil. Untuk sebuah organisasi regional yang tergolong masih sangat baru, Uni Afrika memiliki peran penting dalam pemeliharaan perdamaian Afrika. Dapat disimpulkan 4 poin utama dalam hal peran Uni Afrika dan pemeliharaan perdamaian melalui pasukan perdamaian Uni Afrika101; 1. Operasi militer Uni Afrika bergantung terhadap partisipasi dari beberapa negara kontributor. Salah satu kontributor utama terhadap operasi militer yang ada di Uni Afrika adalah Afrika Selatan. Terlihat pola yang sangat jelas, bagaimana negara-negara anggota Uni Afrika belum sepenuhnya memiliki keinginan besar dalam kontribusi pasukan dalam upaya pemeliharaan perdamaian di Afrika, 2. Uni Afrika memiliki ketergantungan terhadap bantuan eksternal. Sejak tahun 2008 hingga 2012 misalnya, AMISOM $800 Juta akibat adanya kekurangan sumber daya yang dimiliki oleh Uni Afrika spesifik jika berbicara masalah kasus AMISOM. Uni Afrika kini juga masih sangat bergantung terhadap asistensi logistik dan pelatihan militer yang diberikan oleh Uni Eropa dan NATO. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa banyak
101
Paul D. Williams, The African Union’s Conflict Management Capabilities, Council on Foreign Relations October, 2011, hal. 17.
83
negara anggota Uni Afrika tidak memiliki kepentingan nasional yang besar terhadap investasi pemeliharaan perdamaian melalui Uni Afrika, 3. Uni Afrika memiliki kesulitan dalam menyetujui mandat operasi militer. Hal ini menjadi penghambat terhadap ketegasan mandat yang pada akhirnya disetujui dalam forum Uni Afrika, dan; 4. Uni Afrika menciptakan berbagai operasi militer dengan harapan asistensi/ operasi gabungan pada akhirnya dengan PBB. Tentu hal ini bisa diterima, mengingat Piagam PBB Bab VIII tentang Regional Arrangements. Namun masalah yang ditemui, Uni Afrika terlihat terlalu ambisius dalam mengirimkan pasukan perdamaian di terlalu banyak wilayah di Afrika, sebelum menciptakan sebuah konsep operasi militer yang jelas. Secara keseluruhan, Uni Afrika tergolong salah satu organisasi internasional yang proaktif mengatasi masalah keamanan wilayahnya. Kenyataan bahwa prinsip dasar organisasi memperbolehkan adanya intervensi atas dasar kemanusiaan, menjadi faktor utama kesuksesan Uni Afrika dalam melakukan operasi militer di berbagai wilayah. Uni Afrika meskipun dihadapkan dengan banyak masalah seperti perang sipil yang berkelanjutan, kudeta militer, hingga begitu banyak masalah domestik di dalam keanggotaan Uni Afrika, namun telah aktif dalam usaha ancaman keamanan negara-negara anggota. Kenyataan tersebut yang membedakan antara Uni Afrika dengan ASEAN misalnya yang tidak memiliki otoritas dan kewenangan untuk melakukan intervensi masalah domestik, meski atas dasar kemanusiaan.
84
B.2 Respon Uni Afrika Terhadap Lord’s Resistance Army Uni Afrika sebagai sebuah organisasi regional sejak pembentukannya di tahun 2002, telah berkomitmen untuk mengatasi konflik yang terjadi di Afrika. Berbagai pengiriman operasi militer yang dilakukan telah merefleksikan konsistensi dan kesriusan Uni Afrika dalam membantu aktor negara mengatasi berbagai ancaman keamanan yang ada. Kasus yang terjadi di Uganda sejak tahun 1987 juga telah masuk dalam radar perhatian Uni Afrika, dimana sebuah kelompok pemberontakan yang disebut Lord’s Resistance Army (LRA) telah melakukan banyak pelanggaran HAM dalam usaha memperjuangkan kaum Acholi. Uni Afrika menganggap kasus LRA sebagai kasus yang sangat penting. LRA merupakan kasus pertama dimana sebuah konflik menyangkut lebih dari 2 aktor negara. Pengaruh LRA dan mobilisasi yang cepat oleh LRA telah membawa penyebaran LRA di 4 negara, yakni Republik Demokratis Congo, Sudan Selatan, Uganda, hingga negara Republik Afrika Tengah. Respon kuat dari Uni Afrika baru muncul di tahun 2012. Sebenarnya besar kemungkinan muncul lebih dini dibandingkan 2012, namun adanya permainan kepentingan nasional dalam keputusan Sidang Umum dan Badan keamanan dan Perdamaian Uni Afrika, menyebabkan respon muncul di waktu eksistensi LRA setelah lebih 15 tahun.102 Awal mulanya, Uni Afrika tidak memiliki perhatian yang besar terhadap kelompok LRA. Peran dari PBB yang telah menegosiasikan pentingnya 102
African Union Hunts Uganda Rebel Groups. http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/09/2012919145754887151.html. Diakses tanggal 2 Maret 2013.
85
pemberantasan kelompok LRA yang menjadi latar belakang ketegasan Uni Afrika dalam menghadapi kelompok pemberontakan ini. Dewan Keamanan PBB memberikan mandat kepada badan UNOCA (United Nations Regional Office on Central Africa) untuk menegosiasikan sebuah resolusi keamanan agar Uni Afrika melaksanakan sebuah inisiatif kolektif dalam pemberantasan kelompok LRA.103 UNOCA berhasil menegosiasikan kepada Uni Afrika akan sebuah tindakan kolektif menghadapi ancaman LRA. Pada bulan Maret 2012, Uni Afrika mengumumkan sebuah tindakan keamanan kolektif yang disebut sebagai African Union Regional Cooperation Initiative (Inisiatif Kooperasi Regional Uni Afrika). Kooperasi ini merupakan sebuah upaya pemberantasan LRA yang pada umumnya terdiri atas 5,000 pasukan dibawah sebuah komando Uni Afrika. Pasukan tersebut akan terdiri atas pasukan dari Sudan Selatan, Republik Demokratis Congo, Republik Afrika tengah dan Uganda. Dunia Internasional merespon postif upaya dan deklarasi dari Uni Afrika ini, dimana keputusan tersebut jelas telah memberikan kesan positif sekali lagi kepada Uni Afrika sebagai organisasi regional yang memberikan yang terbaik terhadap upaya pemeliharaan perdamaian di Benua Afrika.104 Penting bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menegosiasikan sebuah upaya pemberantasan kelompok LRA melalui Uni Afrika. Alasan pertama adalah agar terdapat sebuah upaya pemberantasan dari organisasi regional. Representasi
103
African Union Force Steps Up Hunt for Joseph Kony. http://www.bbc.co.uk/news/world-africa17498382. Diakses tanggal 2 Maret 2013. 104 African Union Hunts Uganda Rebel Groups. http://www.aljazeera.com/news/africa/2012/09/2012919145754887151.html. Diakses tanggal 2 Maret 2013.
86
seperti hal tersebut penting tidak hanya agar Uni Afrika lebih independen dalam mempromosikan perdamaian di Afrika, namun juga bernmanfaat untuk meningkatkan kesadaran negara-negara Afrika dalam menjalin keamanan di wilayah mereka sendiri. Alasan kedua adalah karena kebijakan yang mendorong Uni Afrika membentuk sebuah resolusi keamanan itu searah dengan Piagam PBB. Dalam Piagam PBB Bab VIII tentang Regional Arrangements dikatakan bahwa PBB sebaiknya mendorong organisasi regional untuk proaktif dalam menghadapi sebuah ancaman, dana apabila bertindak pasif, PBB baru bisa melakukan tindakan-tindakan yang lebih tegas dalam mengatasi hal tersebut. Pada akhirnya, keputusan Uni Afrika untuk mengirim pasukan sangatlah penting, sebab kesuksesan dari PBB dalam upaya pemberantasan kelompok LRA tidak terlepas dari konsistensi dan upaya Uni Afrika beserta keempat negara pengaruh LRA dalam pemberantasan kelompok tersebut. C. Kelompok Lord’s Resistance Army C.1 Sejarah Lord’s Resistance Army Kelompok pemberontak Lord’s Resistance Army (LRA) dibentuk karena sebuah perpecahan dan konflik antar etnis yang terjadi di Uganda. Dasar konflik yang terjadi di Uganda disebabkan karena adanya perebutan kekuatan di pemerintahan dan di militer. Keadaan ini awalnya muncul ketika masih masa kolonialisasi, namun kembali diterapkan pasca kemerdekaan Uganda pada tanggal 09 Oktober 1962.105 Terjadinya perpecahan diantara Utara dan Selatan Uganda terjadi ketika Inggris
105
Conciliation Resources, When Will This End and What Will it take? People’s Perspectives on Adressing the Lord’s Resistance Army Conflict, November 2011, hal. 5.
87
melakukan rekrut militer terhadap warga Utara dan Selatan Uganda. Meskipun begitu, Inggris melakukan konsentrasi pengembangan ekonomi Uganda dan pengenalan industri dan sistem pertanian di wilayah Uganda Selatan (kelompok etnis Baganda). Kebijakan tersebut membentuk sebuah tantangan besar dalam pembentukan negara yang bisa menyatu satu sama lainnya. Para kelompok etnis yang berada di Uganda Utara (Acholi dan West Nile) dikatakan oleh kaum Inggris, bahwa mereka adalah prajurit. Kemerdekaan di tahun 1962 tidak membawa perdamaian di Uganda, karena sejak itu, terus bermunculan pemimpin diktator yang bahkan telah melakukan pembunuhan terhadap rakyatnya sendiri. Rezim diktator Idi Amin (1971-1979) bertanggung jawab atas kematian oposisi yang berjumlah 300.000 orang. Konflik perebutan kekuasaan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama rezim diktator Milton Obote (1980-1985) berjumlah 100.000 orang.106 Pemerintahan Yoweri Museveni kemudian dimulai pada tahun 1986, melalui kudeta terhadap presiden Uganda waktu itu, yaitu Tito Okolle. Sebuah kelompok pemberontak yang bernama National Resistance Army (NRA) dibawah perintah Yoweri Museveni berhasil menguasai beberapa wilayah Uganda, termasuk wilayah penduduk Acholi. NRA banyak melakukan pelanggaran HAM kepada warga Uganda Utara, yang menyebabkan muncul beberapa gerakan pemberontakan, melawan pemerintahan Museveni. Salah satu diantaranya adalah Uganda People’s Democratic Army (UPDA). Pada tahun yang sama, muncul kelompok pemberontak lain yang 106
Ibid, hal. 6.
88
dikenal sebagai Holy Spirit Movement yang didirikan oleh Alice Lakwena.107 Alice Lakwena merupakan seseorang yang memulai gerakan perlawanan terhadap Museveni, dan mengatakan dirinya adalah seorang nabi yang terus mendapatkan pesan dari tuhan untuk melakukan perlawanan. Gerakan
pemberontakan
yang
dilakukan
Alice
Lakwena
kemudian
menginspirasi Joseph Kony. Joseph Kony kemudian banyak melakukan ceramah dengan mengatakan dirinya juga adalah seorang nabi yang diberikan ilham dan tugas untuk melindungi dan mempertahankan hak kaum Acholi. Joseph Kony kemudian membentuk kelompok Lord’s Resistance Army pada tanggal 1 April 1987, dan keluar dari desa Odek untuk melakukan perlawanan di wilayah-wilayah luar. Joseph Kony bertemu dengan beberapa anggota sisa dari kelompok pemberontak melawan Idi Amin di tahun 1970an, yaitu Uganda National Liberation Front dan merekrut anggota sisa dari kelompok pemberontak tersebut.108 LRA dan kelompok Holy Spirit Movement bergerak untuk tujuan yang sama, namun di wilayah yang berbeda. Holy Spirit Movement dikalahkan di distrik Jinja pada tahun 1988, dan Lakwena kabur menuju Kenya. Kony melihat kesempatan tersebut untuk merekrut para anggota sisa Holy Spirit Movement dan juga sisa dari kelompok pemberontak Uganda People’s Democratic Army (UPDA). Pemimpin UPDA yaitu Odong Latek meyakinkan Kony untuk menggunakan taktik conventional
107
Adam Branch, Displacing Human Rights; War and Intervention in Northern Uganda, Oxford University Press Inc., New York, 2011, hal 56. 108 Andre Le Sage, Countering the Lord’s Resistance Army in Central Africa, Institute for National Strategic Studies SF No. 270, 2011, hal. 3.
89
guerilla warfare, terutama taktik serangan mendadak di desa-desa.109 Sejak saat itu, LRA terus berkembang dan tidak berhenti dalam menyebar rasa takut terhadap masyarakat yang ada di Uganda, bahkan hingga ke negara-negara tetangga. LRA kini tetap dipimpin oleh Joseph Kony. Jumlah anggota dalam LRA telah menurun drastis menjadi 250, namun kapasitas LRA dalam melakukan kehancuran dan pembunuhan masih sangat aktif dan berbahaya. Hingga tahun 2012, hanya terdapat 3 komandan utama dan pemimpin utama yang masih hidup dar LRA, yakni Joseph Kony, Dominic Ongwen, dan Okot Odhiambo. 2 lainnya telah meninggal dalam peperangan, yaitu Vincent Otti
dan Raska Lukwiya pada tahun 2007.110
Kelompok LRA merupakan salah satu kelompok pemberontak yang unik jika berbicara masalah agenda (tujuan) dan motif dari pemberontakannya. Sama seperti kelompok pemberontak lainnya, LRA juga memiliki motif dari semua tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang selama ini dilakukan. Motif tersebut dapat dibagi menjadi 2 motif utama, yaitu motif spiritual, dan motif politis. Dari segi motif spiritual, Joseph Kony merupakan seorang anak dari orang tua yang memiliki reputasi mistis yang tinggi di masyarakat. Kony sejak pembentukan LRA, merasa dirinya sedang memenuhi kewajiban spiritual sebagai seorang messenger of god (nabi). Kony selalu merasa bahwa dia diutus oleh tuhan, untuk menyelamatkan dan melindungi kaum Acholi.
109
Adam Branch, Displacing Human Rights; War and Intervention in Northern Uganda, Oxford University Press Inc., New York, 2011, hal 59. 110 United Nations General Assembly, Report of the International Criminal Court, United Nations: New York, 2008, hal. 8.
90
Tindakan awal dari Joseph Kony membuktikan kepercayaan spiritual yang dimiliki oleh Kony. Kony berusaha mendapatkan dukungan dari populasi Uganda Utara pada November 1987, sebagai upaya menghukum pasukan militer pemerintahan yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kaum Utara Uganda.111 Pada akhirnya, Kony membentuk sebuah kesatuan dari berbagai kelompok pemberontak yang ada di Uganda Utara, menjadi satu kelompok. Meskipun begitu, dasar utama kepercayaan spiritual dari Kony adalah masalah sosiopolitik kaum Acholi waktu itu. Kony tidak jauh berbeda dengan Alice Lakwena yang memiliki visi untuk menyelamatkan kaum Acholi dari waktu-waktu sulit yang dihadapi. Perbedaan utama Kony dengan orang-orang seperti Lakwena, adalah tak ada seorang pun yang menyetujui ide Kony sebagai seorang nabi yang diturunkan oleh tuhan, sebuah penolakan yang Kony terima dengan tidak ramah. Kony pernah berbicara langsung masalah menjadi seorang Nabi dengan Lakwena, namun Lakwena menertawai Kony, dan mengatakan dia tidak pantas untuk memimpin sebuah kelompok pemberontak. Kony kemudian memisahkan diri dari kelompok yang telah dibentuk oleh Alice Lakwena, dan membentuk kelompok pemberontak lain. Dimensi spiritual dari LRA merupakan hasil interpretasi kitab suci dengan interpretasi yang berbeda oleh Kony. Penggunaan kekerasan yang digunakan oleh Kony menyebabkan banyak masyarakat Acholi untuk menolak bergabung dalam
111
International Crisis Group, Northern Uganda: Understanding and Solving the Conflict, 14 April 2004, hal. 3.
91
kelompok LRA. Keadaan ini yang menyebabkan Kony menggunakan beberapa interpretasi personal kitab suci, untuk membenarkan kekerasan terhadap warga sipil yang menolak permintaannya menjadi bagian dari LRA. Metode yang sering digunakan adalah pembunuhan untuk membunuh iblis yang terdapat dalam kaum Acholi (istilah buat mereka yang menolak).112 Interpretasi Kony kemudian berubah menjadi sangat destruktif. Akhir 1980an, LRA melakukan konsentrasi serangan terhadap para angkatan militer pemerintahan. Namun sejak tahun 1992, LRA mulai melakukan penyerangan terhadap warga sipil. Tindakan ini dibuktikan dengan sebuah pernyataan yang Kony berikan terhadap anggotanya, tentang sebuah ilham yang baru saja Ia dapatkan. Kony mengatakan bahwa LRA diberikan kewajiban untuk menghukum semua orang yang menolak permintaannya menjadi anggota LRA, dan anak-anak dari mereka harus diculik, dan dibakar hingga mati. Pernyataan di tahun 1992 tersebut diperlihatkan oleh beberapa kasus penyerbuan LRA di tahun yang sama. Anggota LRA membakar rumah warga, menculik anak, dan menggunakan machetes (parang) untuk menghukum (dalam artian membunuh) warga tersebut. Kenyataan ini juga sebagai bentuk balas dendam terhadap warga yang mendukung pemerintah, dan menerapkan sistem pertahanan diri dengan menggunakan panah yang diberikan oleh pemerintahan di beberapa desa, di tahun 1991-1992.113
112
Adam Branch, Displacing Human Rights; War and Intervention in Northern Uganda, Oxford University Press Inc., New York, 2011, hal 65. 113 Ibid
92
LRA merupakan sebuah kelompok pemberontak yang mendasari segala tindakannya berdasarkan motif spiritual. Namun pertanyaan utama jika berbicara masalah kelompok pemberontakan adalah agenda politik dibalik tindakannya. Kebanyakan kelompok pemberontak akan memiliki sebuah agenda politik, yang jika tercapai, maka kelompok pemberontak akan menghentikan kekerasan yang dilakukan. Asumsi ini akan tetapi, membawa banyak kebingungan dan pertanyaan jika berbicara masalah kelompok pemberontak LRA. Kenyataan bahwa Kony mengatakan akan melindungi kaum Acholi, namun membunuh mereka dalam waktu yang sama, merupakan salah satu contoh kebingungan yang terjadi jika berbicara agenda politik. Pernyataan dari beberapa mantan pasukan LRA memperjelas kebingungan dari motif politik dari LRA. Beberapa mantan anggota LRA mengatakan bagaimana Kony telah mendoktrin semua anggota untuk membenci pemerintahan, yang ingin menghancurkan dan isolasi kaum Acholi. Namun di waktu lainnya, anggota LRA lainnya menceritakan bahwa lebih banyak pengalaman doktrin Ia dapatkan tentang membangun ketakutan kepada anak-anak yang baru diculik. Mantan anggota lainnya juga mengatakan mereka ingin menjatuhkan pemerintahan, dan menggantinya dengan pemerintahan yang pro terhadap kaum Acholi. Segala ketidakjelasan dari agenda politik yang dideklarasikan oleh Kony kepada anggotanya, memperlihatkan bahwa LRA tidak memiliki motif atau agenda politik yang pasti. Pernyataan itu dipertegas
93
ketika tahun 2002, LRA membunuh James Opaka yang berusaha melakukan transformasi LRA melalui program politik yang lebih jelas.114 LRA yang kemudian berjalan dari tahun 1987 tidak memperlihatkan sebuah agenda politik yang jelas setelah masa-masa tersebut. Akan tetapi, LRA tidak dapat dipisahkan dari proses aspirasi politik, karena munculnya LRA merupakan akibat dari ketidakpuasan kaum Acholi terhadap pemerintahan. Penjelasan yang tepat dalam menganalisa agenda politik tersebut adalah adanya kemungkinan Kony tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam proses politik dan kekuatan pemerintahan, sehingga Kony tidak mampu mengubah ketidakpuasannya terhadap pemerintahan, menjadi sebuah perlawanan melalui kelompok oposisi partai. Penjelasan lainnya adalah karena kekuatan dan ketakutan. Kekuatan yang telah dibangun oleh LRA melalui pembunuhan terhadap warga sipil, kemungkinan menimbulkan sebuah ketakutan jika mereka keluar dari pedalaman hutan untuk menjadi kelompok oposisi yang sesuai dengan kebudayaan politik sebuah negara pada umumnya, mereka langsung akan dibunuh akibat kejahatan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Terlepas dari agenda atau motif LRA, perlu juga dipahami beberapa taktik operasi yang selama ini digunakan oleh LRA. Taktik tersebut dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu taktik pasukan anak-anak dan taktik operasi militer. Taktik pasukan militer anak-anak merupakan salah satu ciri khas dari LRA, yang digunakan Kony karena beberapa hal. Pertama adalah kemudahan dalam doktrin, yang mempercepat 114
Linda M. Keller, Achieving Peace with Justice: The International Criminal Court and Ugandan Alternative Justice Mechanisms, Connecticut Journal of International Law Vol 23:209, 2008, hal. 228.
94
dan memastikan sebuah perintah akan diikuti. Anak-anak akan mengikuti setiap gerakan yang diajarkan oleh Kony, karena kemudahan doktrinasi tersebut. Alasan kedua adalah mobilitas LRA yang begitu cepat jika menggunakan tentara anak-anak. Anak-anak berjalan lebih cepat, dan tidak berhenti untuk istirahat dalam jangka waktu yang pendek. Kapasitas untuk mengangkat barang-barang yang dicuri juga semakin meningkat jika menggunakan anak-anak. Jumlah tentara anakanak yang LRA miliki begitu banyak, sehingga ketidakpuasan terhadap asistensi anak-anak dalam pengangkatan barang kemudian akan dibunuh, dan diganti oleh yang lainnya. LRA tidak menemukan kesulitan apapun dalam mobilitas perpindahan dari tempat ke tempat, karena penggunaan anak sebagai tentara LRA. Alasan terakhir mengapa anak-anak dijadikan taktik utama dalam LRA adalah kemudahan dalam mendoktrin ketakutan. Terdapat beberapa cara yang digunakan LRA dalam membangun ketakutan terhadap tentara anak-anak Kony. Pertama dengan memaksa membunuh komunitas warga yang diserbu oleh LRA waktu itu, dan anak tersebut akan dibunuh jika tidak membunuh warga sipil. Kedua dengan membunuh tentara anak-anak yang ada dalam LRA. Beberapa kali LRA akan melakukan metode kedua untuk membangun ketakutan antar sesama anggota LRA agar tidak melakukan pemberontakan, ataupun lari dari LRA. Kedua metode tersebut membangun rasa takut, dan membuat anak-anak tersebut lebih mudah diperintah dan didoktrin agar tidak melawan nilai-nilai dalam LRA.
95
Taktik kedua yang digunakan oleh LRA adalah operasi militer. Layaknya kelompok pemberontakan lainnya, LRA menganggap bahwa dengan penggunaan persenjataan dan kekerasan, LRA akan menghadapi kemudahan yang lebih dalam memastikan keinginannya tercapai. LRA meski merupakan kelompok pemberontak, LRA tidak memiliki markas di Uganda Utara, ataupun di salah satu dari 4 negara yang LRA kini masuki. LRA melakukan penyerangan di desa-desa terpencil dengan membawa 100 sampai 160 pasukan, lalu membagi diri menjadi kelompok yang masing-masing terdiri atas 20 pasukan. Serangan yang dilakukan LRA bertujuan untuk mengambil harta dan segala kebutuhan dari LRA namun agar pencurian tersebut bisa berjalan lancar, maka penyerangan brutal dilakukan untuk menimbulkan trauma dan membuat warga kabur dari rumah mereka. Dalam periode 2008 hingga sekarang, metode militer yang digunakan oleh LRA sering merupakan taktik hit and run (tabrak, lalu lari), dimana LRA hanya melakukan penyerangan, lalu kabur dari tempat penyerangan tersebut.115 Pemerintahan Uganda telah melakukan beberapa mekanisme dalam upaya pemberantasan kelompok pemberontak yang mulanya merupakan masalah domestik. Beberapa operasi militer untuk membunuh anggota LRA telah secara relatif berhasil, namun LRA melakukan penyebaran di wilayah-wilayah perbatasan lainnya. Kenyataan tersebut yang membuat LRA kini tersebar hingga di Republik Afrika
115
Linda M. Keller, Achieving Peace with Justice: The International Criminal Court and Ugandan Alternative Justice Mechanisms, Connecticut Journal of International Law Vol 23:209, 2008, hal. 230.
96
Tengah, Republik Demokratis Congo, dan Sudan Selatan. Operation Iron Fist merupakan operasi militer paling berpengaruh terhadap jumlah LRA. Operation Iron Fist berlangsung tahun 2002, sebagai respon dari besarnya penyebaran LRA di Uganda. Operasi tersebut dilaksanakan setelah pemerintah Sudan (Khartoum) waktu itu telah memutuskan segala bantuan untuk kelompok LRA, dan adanya izin yang diberikan Sudan untuk memasuki wilayah Sudan Selatan untuk memberantas kelompok LRA. Operasi ini terdiri atas 10.000 pasukan, dan telah berhasil melumpuhkan beberapa anggota dan markas-markas kecil LRA. Hingga tahun 2004 sejak operasi tersebut dijalankan, Menteri Pertahanan Uganda Amama Mbabazi mengatakan bahwa pasukan militer telah membunuh sebanyak 928 anggota LRA dari tahun 2003 sampai tahun 2004. Operation Iron Fist telah melumpuhkan LRA dalam segi jumlah, akan tetapi operasi tersebut tidak mampu menangkap satupun anggota senior dari LRA, dan yang menjadi komando utama dari LRA itu sendiri. Hasil dari operasi tersebut, juga adalah penyebaran LRA ke wilayah-wilayah sekitar Uganda.116 Joseph Kony menyadari kerusakan yang terjadi akibat berbagai operasi militer yang dilakukan Uganda sejak tahun 2002. Kenyataan tersebut membuat Kony mengusulkan gencatan senjata, dan menyatakan bahwa LRA terbuka terhadap proses negosiasi. Operasi militer kemudian dihentikan untuk sementara dengan harapan bahwa konflik dengan LRA akan berakhir dengan cara non-koersif. Meski demikian,
116
Andre Le Sage, Countering the Lord’s Resistance Army in Central Africa, Institute for National Strategic Studies SF No. 270, 2011, hal. 5.
97
Kony memiliki agenda yang berbeda yang tidak sesuai dengan aktor-aktor pemerintah. Kony menggunakan taktik tersebut agar gempuran militer dapat dihentikan untuk sementara, dan waktu tersebut akan dimanfaatkan untuk melakukan penyebaran terhadap negara-negara tetangga (wilayah perbatasan). Tahun 2006 menjadi tahun LRA melakukan penyebaran secara keseluruhan, dari Uganda menuju negara Republik Demokratis Congo, Republik Afrika Tengah, dan Sudan Selatan. Penyebaran tersebut dilakukan dalam waktu 2 tahun, dimana sedang dilakukan negosiasi yang disebut Juba Talks antara pemerintahan Uganda dan perwakilan dari LRA yang bukan merupakan anggota senior LRA karena adanya ketakutan akan ditahan.117 Penyebaran di Sudan Selatan pertama terjadi di tahun 2006, Republik Demokratis Congo di tahun 2008, dan Republik Afrika Tengah pada Februari 2008.118 Sadar bahwa kapasitas LRA telah menurun drastis akibat serangan operasi militer, Joseph Kony menginisiasi sebuah prosesi perdamaian melalui negosiasi. Negosiasi tersebut dikenal sebagai Juba Talks. Juba Talks merupakan negosiasi antara kelompok LRA dan pemerintah Uganda, yang dimediasi oleh wakil Presiden Sudan Riek Machar, yang berlangsung dari bulan Juni 2006 di wilayah Sudan Selatan. Juba Talks pertama menghasilkan sebuah gencatan senjata di September 2006, dan waktu itu merupakan sebuah kemajuan pesat jika dibandingkan dengan
117
Ibid The LRA in Congo, CAR, and South Sudan. www.enoughproject.org/conflicts/lra/congo-car-southsudan. Diakses tanggal 20 Januari 2012. 118
98
usaha-usaha lainnya yang telah dijalani selama 20 tahun lebih. Beberapa poin menjadi alasan kegagalan dari Juba Talks tersebut.119 Kegagalan pertama disebabkan oleh adanya perintah penangkapan Joseph Kony oleh ICC (International Criminal Court). Selama proses negosiasi berlangsung, negosiasi oleh beberapa pihak menginginkan Kony untuk menyerah, dan menyerahkan diri kepada ICC di waktu yang sama. Akibatnya, Kony merespon dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan tindakan yang telah dituduhkan oleh dunia internasional. Ancaman tersebut juga menjadi alasan mengapa Joseph Kony tidak pernah hadir dalam forum negosiasi yang sedang berlangsung, sehingga LRA diwakili oleh perwakilan lainnya yaitu Vincent Otti. Kejadian ini menjadi penghambat utama, sebab ancaman tersebut membawa kemarahan kepada para anggota kelompok LRA, sehingga kepercayaan terhadap prosesi negosiasi menjadi hilang. Kegagalan kedua disebabkan oleh ketidakpercayaan Kony kepada negosiasi tersebut. Beberapa poin selama 2 tahun negosiasi, Museveni (pemerintah Uganda) berusaha memberikan tempat aman agar semua kelompok LRA bisa berkumpul di suatu tempat. Adanya ancaman akan ditangkap atau dibunuh berdasarkan beberapa operasi militer yang dilancarkan tahun-tahun lalu untuk memberantas kelompok LRA membuat Kony enggan untuk menerima tawaran dalam negosiasi tersebut. Meski demikian, kegagalan utama terjadi selama negosiasi karena Uganda terus
119
Mareike Schomerus, The Lord’s Resistance Army in Sudan: A History and Overview, Institute of International Studies HSBA Working Paper 8, 2007, hal. 38.
99
menjalankan proses pemburuan anggota LRA selama negosiasi 2 tahun tersebut berlangsung. Terlihat jelas pada November 2006 ketika Kony menyatakan melalui perwakilannya, bahwa Ia ingin mundur dari Juba Talks akibat pembunuhan yang dilakukan militer Uganda terhadap 3 anggota LRA. Secara umum, Juba Talks menghasilkan negosiasi yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap perang melawan LRA. Pernyataan tersebut dapat disimpulkan melihat adanya ketidakseriusan kedua pihak dalam menyelesaikan konflik secara damai. Pihak Uganda sangat terlihat jelas, bagaimana Uganda terus melanggar ketentuan dalam perjanjian yang menghasilkan gencatan senjata tersebut. Perjanjian gencatan senjata telah disetujui selama 5 kali dalam 2 tahun negosiasi, akan tetapi Uganda terus menjalankan operasi militer dalam rangka memburu kelompok LRA yang tentunya berpengaruh terhadap keputusan Kony tentang Juba Talks. LRA sendiri juga tidak memperlihatkan sebuah keinginan besar dalam menyelesaikan konflik dengan cara damai. Keadaan tersebut bisa terlihat setelah kematian salah satu anggota senior LRA yaitu Vincent Otti di tahun 2007, yang langsung dieksekusi oleh Kony karena besarnya keinginan Vincent Otti (sebagai perwakilan LRA dalam Juba Talks) untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan cara damai.120 Kegagalan dari Juba Talks membuat pemerintah Uganda melancarkan sebuah operasi militer baru. Operasi militer tersebut adalah Operation Lightning Thunder
120
Ibid, hal. 40.
100
pada tanggal 14 Desember 2008.121 Berbeda dengan operasi militer sebelumnya, kali ini Operation Lightning Thunder mendapatkan dukungan dari ke-empat negara yang mendapat dampak langsung dari ancaman yang diberikan oleh LRA. Mengingat penyebaran yang saat itu telah dilakukan oleh kelompok LRA, operasi militer tersebut memiliki kesulitan dalam melacak keberadaan dari kelompok LRA. Ditambah faktor-faktor yang tidak diperhitungkan seperti cuaca dan akses terhadap wilayah terpencil menjadi penghalang terhadap mobilisasi dan kecepatan operasi militer yang dijalani. Secara
keseluruhan,
Operation
Lightning
Thunder
dianggap
tidak
berkontribusi besar terhadap pemberantasan kelompok LRA. Sebaliknya, LRA telah terlebih dahulu melakukan mobilisasi ulang di wilayah-wilayah yang sangat terpencil di Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Republik Demokratis Congo, dan operasi tersebut telah membawa kemarahan dari kelompok LRA. Christmas Massacre yang telah menewaskan lebih 400 warga sipil merupakan salah satu penyerangan paling besar yang dilakukan di akhir tahun 2008 pasca Operation Lightning Thunder.122 Lemahnya militer Republik Demokratis Congo dan Republik Afrika Tengah, dan adanya konflik internal di Sudan, membuat militer Uganda (UPDF) menjadi pasukan militer yang berperan paling besar dalam operasi tersebut. Berbagai operasi militer yang telah dilakukan sebelumnya belum mampu secara
121
United Nations Organization Mission in the Democratic Republic of the Congo dan Office of the High Commissioner for Human Rights, Summary of Fact Finding Missions on Alleged Human Rights Violations Committed by the Lord’s Resistance Army (LRA) in the Districts of Haut-Uele and Bas-Uele in Orientale Province of the Democratic Republic of the Congo, United Nations: New York, 2009, hal. 13. 122 Ibid
101
tuntas memberantas kelompok LRA, menunjukkan keunikan dan kesulitan yang dihadapi dunia internasional dalam mengatasi kelompok tersebut. C.2 Resolusi Keamanan Terhadap Lord’s Resistance Army Resolusi keamanan yang diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB memiliki sifat dan kekuatan yang berbeda dengan resolusi yang biasa diterapkan oleh PBB. Berbeda dengan resolusi yang dikeluarkan oleh Sidang Umum PBB, sifat dari Resolusi Dewan Keamanan PBB bersifat mengikat, dan akan diterapkan meskipun mendapatkan perlawanan dari aktor-aktor negara lainnya yang tidak masuk menjadi anggota Dewan Keamanan. Penulis fokus terhadap resolusi keamanan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB, sebab hanya Dewan Keamanan yang merupakan organisasi dengan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah ancaman keamanan yang ada di dunia, termasuk masalah LRA yang memberikan ancaman langsung terhadap beberapa negara anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tidak jauh berbeda dengan resolusi pada umumnya, Resolusi Dewan Keamanan PBB memiliki tujuan sebagai dasar dari beberapa langkah yang akan dijalankan sebagai respon ancaman keamanan tersebut, sehingga jelas parameter yang ingin dicapai dalam sebuah misi. Parameter dan batasan tersebut sangat penting, guna menghindari segala kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu, atau beberapa anggota keamanan PBB. Dalam memahami isi sebuah Resolusi Dewan Keamanan PBB, maka perlu diketahui bahwa sebuah Resolusi Dewan Keamanan PBB terdiri atas 2 hal. Pertama
102
adalah Preambulatory Clauses, yang merupakan pembuka dari resolusi keamanan tersebut. Pembuka ini bisa terdiri atas banyak hal, misalnya latar belakang masalah, resolusi-resolusi sebelumnya yang telah disetujui oleh Dewan Keamanan PBB, serta beberapa prinsip dasar yang disetujui dalam proses pembuatan resolusi tersebut. Kedua adalah Operative Clauses, yang merupakan beberapa poin-poin penyelesaian masalah yang disetujui dalam prosesi pembuatan resolusi oleh Dewan Keamanan PBB. Operative Clauses akan diterapkan dalam mengatasi masalah keamanan yang sedang dibahas oleh Dewan Keamanan PBB. Berbicara masalah Resolusi Dewan Keamanan PBB dan LRA, terdapat beberapa resolusi keamanan yang telah disetujui oleh Dewan Keamanan. Semua resolusi yang diterapkan memiliki tujuan untuk mengurangi dan pada akhirnya memberantas secara keseluruhan pengaruh LRA yang dulu hingga kini semakin meluas. Beberapa resolusi yang telah diterapkan dari tahun 2008 hingga 2012 adalah Resolusi 1812 (tahun 2008), Resolusi 1991 (tahun 2011) dan Resolusi 1996 (tahun 2011). Resolusi pertama yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam menanggappi masalah LRA adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB 1812. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1812 diadopsi oleh Dewan keamanan PBB pada tanggal 30 April 2008. Dewan Keamanan PBB menambahkan LRA dalam resolusi tersebut, setelah kegagalan dari Juba Talks tahun 2008 (sebuah perjanjian perdamaian) dan Christmas Massacre yang terjadi Desember 2008 yang menewaskan lebih dari 400
103
warga sipil.123 Perpanjangan mandat dari UNMIS (United Nations Mission in Sudan) merupakan bagian utama dari Resolusi Dewan Keamanan PBB 1812, yang merupakan sebuah misi perdamaian PBB dengan tujuan melindungi warga yang menjadi korban akibat perang Sudan antara pemerintahan Sudan (Khartoum) yang mayoritas Islam, dan para pemberontak dari Sudan Selatan yang mayoritas Agama Kristen. Dewan Keamanan PBB dalam Resolusi 1812 menanggapi masalah dengan LRA pada Preambulatory Clause. Pasal tersebut menjelaskan124; “Recalling the need to make full use of its current mandate and capabilities with regard to the activities of militias and armed groups such as the Lord’s Resistance Army (LRA) in Sudan, as stated in resolution 1663.” Pasca beberapa kejadian yang menewaskan ratusan rakyat akibat LRA, Dewan keamanan PBB kemudian menghasilkan resolusi yang tegas dalam menanggapi masalah tersebut. Resolusi 1812 memberikan fokus terhadap perluasan mandat UNMIS di tahun 2008, untuk mengikutsertakan ancaman yang dihadapi terhadap kelompok LRA. Resolusi kedua yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam menanggapi masalah LRA adalah Resolusi 1991 tahun 2011. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1996 diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 Juni 2011. Resolusi ini memberikan fokus terhadap situasi keamanan yang terjadi di Republik Demokratis Congo. Inti dari resolusi 1991 yang pertama adalah 123
United Nations Security Council, Resolution 1812 (2008), Adopted by the Security Council at its 5882nd meeting on 30 April 2008, United Nations: New York, 2008, hal. 1 124 Ibid
104
perpanjangan terhadap mandat MONUSCO yang diperpanjang hingga 30 Juni 2012, dengan mandat utama memberikan asistensi kepada pemerintahan Republik Demokratis Congo, dan memberikan perlindungan kepada warga sipil.125 Resolusi 1991 juga menjelaskan tentang ancaman LRA yang diberikan kepada warga sipil. Pertama adalah pasal 13, dimana Dewan Keamanan PBB menegaskan kepada kelompok LRA untuk menghentikan segala ancaman yang diberikan kepada warga sipil di Congo, terutama terhadap wanita dan anak-anak. Kedua adalah pasal 14, yang memberikan otoritas kepada MONUSCO untuk melindungi warga sipil yang mendapatkan dampak langsung dari kehadiran LRA. MONUSCO juga diharapkan berperan aktif dalam usaha pemberantasan LRA secara kolektif yang akan dilakukan oleh beberapa negara di Afrika Tengah. Resolusi ketiga yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB dalam menanggappi masalah LRA adalah Resoulsi 1996 tahun 2011. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1996 diadopsi oleh Dewan Keamanan PBB pada tanggal 9 July 2011.126 Secara umum, Resolusi Dewan Keamanan PBB 1996 ini menjelaskan beberapa langkah yang harus dilakukan oleh Dewan Keamanan, Sudan, dan Sudan Selatan dalam menjalani transisi pemerintahan yang dihasilkan dalam referendum beberapa bulan yang lalu waktu itu. Dewan Keamanan memiliki kewajiban dalam menjaga perdamaian di tempat-tempat dengan kemungkinan konflik yang tinggi, seperti yang terjadi di Sudan Selatan. Meskipun demikian, Resolusi Dewan 125
United Nations Security Council, Resolution 1991 (2011) Adopted by the Security Council at its 6568th Meeting on 28 June 2011, United Nations: New York, 2011, hal. 2. 126 United Nations Security Council, Resoultion 1996 (2011), Adopted by the Security Council at its 6576th Meeting on 8 July 2011, United Nations: New York, 2011, hal. 1.
105
Keamanan PBB 1996 memberikan beberapa penjelasan tentang cara mengatasi kelompok LRA yang juga telah tersebar ke wilayah Sudan selatan di tahun tersebut. Operative Clause Resolusi Dewan Keamanan PBB 1996 pertama menjelaskan tentang pembentukan UNMISS (United Nations Mission in the Republic of South Sudan). UNMISS akan dibentuk daru tanggal 9 July 2011 dan berlangsung selama setahun. Jumlah personil yang akan menjalankan peran tersebut adalah 7,000 pasukan perdamaian PBB. Beberapa mandat yang diberikan kepada UNMISS adalah sebagai berikut127; 1. Mendukung konsolidasi perdamaian untuk kepentingan perkembangan ekonomi di jangka panjang, 2. Memberikan
dukungan
terhadap
pemerintahan,
terutama
masa
pemerintahan transisi, 3. Memberi masukan dan asistensi kepada pihak militer dan kepolisian Republik Sudan Selatan dalam memenuhi kewajiban untuk melindungi rakyat dari segala ancaman, 4. Mencegah tejadinya kekerasan dan konflik, dengan melakukan patroli di tempat-tempat yang memperlihatkan ancaman konflik yang besar, dan melakukan perlindungan secara fisik terhadap rakyat Sudan Selatan yang menghadapi ancaman tersebut secara langsung.
127
Ibid, hal. 4.
106
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1996 yang menjelaskan tentang LRA adalah pasal 15.128 Pasal 15 memberikan perintah kepada UNMISS untuk berkoordinasi dengan pemerintah Republik Sudan Selatan untuk berpartisipasi dalam koordinasi regional dan mekanisme informasi untuk meningkatkan kapasitas perlindungan dari penyerangan yang dilakukan LRA. Kapasitas tersebut dimaksudkan sebagai kemampuan melindungi rakyat, dan mendukung segala mekanisme yang akan menghasilkan gencatan senjata, demobilisasi, serta reintegrasi dari mantan kelompok LRA itu sendiri. Selain itu UNMISS juga diberikan mandat dalam kerjasama dengan MONUSCO (United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of Congo) dan Uni Afrika dalam menyatukan informasi dalam rangka perlawanan terhadap kelompok LRA tersebut.
128
Ibid, hal. 6.
107
BAB IV PERANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA DALAM PEMBERANTASAN LORD’S RESISTANCE ARMY
A. Kontribusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Dalam Pemberantasan Kelompok Lord’s Resistance Army Tahun 2008 – 2012 Dewan keamanan PBB sebagai badan dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melaksanakan beberapa hal guna memberantas kelompok Lords’s Resistance Army ini. Beberapa resolusi yang telah diterapkan dari tahun 2008 hingga 2012 adalah Resolusi 1812 (2008), Resolusi 1991 (tahun 2011) dan Resolusi 1996 (tahun 2011). Ketiga resolusi tersebut merupakan resolusi keamanan yang memiliki peran untuk mengarahkan Dewan Keamanan dan dunia internasional terhadap respon yang tepat dalam menghadapi LRA. Meskipun tidak memiliki detail yang cukup tentang mekanisme pemberantasan, namun Dewan Keamanan telah menggunakan resolusiresolusi tersebut, yang digabungkan dengan resolusi-resolusi sebelum tahun 2008, untuk mengetahui secara umum cara pemberantasan LRA tersebut.129 Pembatasan penelitian menjadi tahun 2008 hingga 2012 tidak terlepas dari salah satu faktor yaitu terjadinya kasus pembantaian terbesar sepanjang kehadiran LRA. Tahun 2008 menjadi tahun dimana prosesi negosiasi Juba Talks gagal akibat ketidakinginan LRA untuk menjalani negosiasi. Namun, tahun 2008 penting karena Christmas Massacre di Sudan Selatan terjadi dan menewaskan 800 warga sipil waktu
129
. United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 2.
108
itu. Respon pertama PBB di tahun 2008 melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB 1812 muncul dan merupakan tindakan Dewan Keamanan pertama yang pernah ada. Resolusi tersebut memberikan mandat kepada UNMIS di Sudan untuk menyertakan ancaman LRA dalam mandat yang sudah ada di Sudan. Pemberantasan sebuah kelompok pemberontak bukanlah perkara yang mudah. Berbeda dengan penyelesaian sebuah konflik antar negara, konflik dengan pemberontak memerlukan layar penyelesaian konflik yang rumit, dan bisa berlangsung selama waktu yang tidak singkat. LRA merupakan salah satu contoh jelas sulitnya menyelesaikan sebuah kasus konflik jika salah satu aktor yang dihadapi adalah kelompok pemberontak. Kerumitan lebih terlihat jelas dalam kasus LRA ini, sebab adanya tujuan yang tidak jelas yang diberikan oleh LRA kepada para aktor yang terlibat dalam negosiasi, yang telah menyebabkan metode diplomasi dan negosiasi tidak mampu berjalan sesuai dengan harapan. Ada banyak cara yang berbeda tentang penyelesaian konflik yang melibatkan aktor kelompok pemberontak. Penggunaan cara koersif seperti militer merupakan salah satu metode paling sering digunakan oleh aktor negara, misalnya di Sri Lanka dalam memberantas kelompok Tamil Tigers yang mampu diberantas dengan menyatakan perang dengan kelompok tersebut. Cara diplomasi merupakan salah satu cara lainnya, seperti yang telah dilakukan
oleh
pemerintah
Indonesia
dalam
menghadapi
kelompok
pemberontak/freedom fighters yaitu GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh, Indonesia. Kedua metode paling terkenal tersebut dalam beberapa kasus tidak dapat dipisahkan, sehingga kedua metode digunakan dalam usaha sebuah negara
109
memberantas kelompok pemberontak. Seiring dengan waktu, dunia internasional telah menggunakan gabungan kedua metode dalam menghadapi kelompok LRA, bahkan hingga sekarang. Perserikatan Bangsa-Bangsa (secara spesifik Dewan Keamanan) telah menggunakan metode Multidimensional Approach yang merupakan pendekatan multidimensional dalam menghadapi kelompok LRA dari tahun 2008-2012. Pembelajaran yang didapatkan oleh PBB sejak kegagalan Juba Talks di tahun 2008 adalah, sangat beresiko untuk memberikan waktu LRA untuk membentuk ulang formasi kelompoknya karena LRA hanya akan gunakan janji untuk melakukan negosiasi untuk kepentingan pribadi. PBB sejak saat itu telah melakukan eliminasi terhadap pendekatan negosiasi kepada kelompok LRA. Sejak Juba Talks, PBB akan tetapi telah meningkatkan upaya untuk memberikan sebuah fasilitas kepada para anggota LRA, dengan tujuan membangun sebuah keinginan oleh anggota LRA itu sendiri untuk melarikan diri dari LRA. Kehadiran beberapa misi pasukan perdamaian PBB di wilayah Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah dan Republik Demokratis Congo juga membantu proses pemberantasan LRA. Misi pasukan perdamaian tersebut telah diperpanjang untuk melingkupi proteksi dan perlawanan kepada kelompok LRA untuk tujuan perlindungan warga sipil. Pembagian informasi antara PBB dan negara-negara yang mendapat pengaruh LRA juga telah terjalin sejak tahun 2008 dan berlangsung hingga sekarang, dengan tujuan mengetahui pergerakan LRA yang terkini. Beberapa solusi tersebut adalah pendekatan PBB dalam segi nonkoersif.
110
Meski telah berkontrbusi besar dalam hal non-koersif, tetap sebuah kelompok pemberontak perlu diatasi dengan cara militer. PBB telah memperpanjang mandat yang diberikan kepada pasukan perdamaian yang ada di Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah dan Republik Demokratis Congo. Pasukan perdamaian PBB tidak diperbolehkan untuk melakukan operasi militer dengan tujuan menghancurkan atau memberantas sebuah pihak atau kelompok, akan tetapi kehadiran pasukan perdamaian PBB telah membatasi ruang gerak LRA, dan telah memberikan perlawanan dasar ketika diserang terlebih dahulu oleh kelompok LRA. Akan tetapi, kontribusi terbesar PBB dalam pemberantasan LRA adalah pembentukan UNOCA (United Nations Regional Office for Central Africa). UNOCA telah berperan aktif membantu Dewan Keamanan, untuk membangun relasi dengan Uni Afrika dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Pada akhirnya, dibentuk yang namanya African Union Regional Task Force yang merupakan pendekatan yang telah diinisiasi oleh PBB melalui Uni Afrika sebagai pendekatan militer dalam memberantas kelompok LRA. Kerjasama miiliter tersebut terdiri atas pasukan asal negara yang mendapat dampak langsung dari kelompok LRA. Secara umum, kontribusi PBB dalam pemberantasan kelompok LRA dari tahun 2008 hingga 2012 dapat disimpulkan menjadi beberapa pendekatan, yakni pendekatan politik, militer, dan pendekatan mekanisme
pendukung pemberantasan kelompok
LRA.
Ketiga
pendekatan tersebut merupakan realisasi dari 5 tujuan utama yang Dewan Keamanan ingin bentuk sebagai respon dari eksistensi LRA yang tidak kunjung mereda, yakni130; 130
United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed
111
1. Strategic goal one: the African Union-led Regional Cooperation Initiative against the Lord’s Resistance Army is fully operational and implemented, 2. Strategic goal two: efforts to promote the protection of civilians are enhanced, 3. Strategic goal three: current disarmament, demobilization, repatriation, resettlement and reintegration activities are expanded to cover all LRAaffected areas, 4. Strategic goal four: a coordinated humanitarian and child protection response is promoted in all LRA-affected areas, 5. Strategic goal five; peacebuilding, human rights, rule of law, and long-term development support is provided to LRA-affected governments to enable them to establish authority across their territory.
Kebijakan-kebijakan yang telah diterapkan oleh PBB diharuskan untuk merespon keunikan dari konflik etnis Afrika ini. PBB sejak pembentukannya di tahun 1945 telah menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dalam menghadapi konflik etnis. Dalam kasus pemberontakan di Sudan misalnya, PBB telah mengirim Pasukan Perdamaian untuk membantu prosesi perdamaian antara pemerintahan Khartoum Sudan melawan kelompok pemberontakan SPLA/M. Kasus intervensi di Mali oleh Perancis juga telah disetujui dan didorong oleh Dewan Keamanan PBB. Pendekatanpendekatan tegas seperti pengiriman pasukan perdamaian PBB bahkan sampai intervensi kemanusiaan yang dilakukan di Afrika Utara, telah menyebabkan deeskalasi konflik. Menanggapi berbagai perang yang terjadi antar etnis di Afrika memang membutuhkan berbagai pendekatan yang unik. Afrika dikenal sebagai negara yang akibat perbedaan paham dan pengembangan perekonomian yang tidak merata, sering to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 10-16.
112
jatuh dalam konflik yang berkepanjangan. Kehadiran kudeta militer, dan perang antar etnis menjadi beberapa alasan utama terjadinya konflik berkepanjangan tersebut. Tidak heran, mengapa intervensi pihak ketiga dari organisasi internasional sering terjadi. LRA ini juga merupakan sebuah kasus akibat konflik antar etnis. Kolonialisasi
Inggris
yang
mengembangkan
sistem
pertanian
dan
perekonomian hanya untuk kaum Baganda (Uganda Selatan) menjadi salah satu faktor utama konflik etnis di Uganda. Kaum acholi dari Uganda Utara yang merasa diabaikan, bahkan menjadi korban dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan dominasi Baganda, membuat berbagai gerakan pemberontakan terjadi. Awal kemunculan LRA dilatarbelakangi oleh keinginan untuk melindungi dan merepresentasi kaum Acholi agar bebas dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan dominasi Baganda. Dominasi pemerintahan oleh kaum Baganda mewarnai konflik antar etnis yang terjadi di Uganda tersebut. Pemerintahan yang muncul tahun 1962 sejak kemerdekaan hingga saat ini, semua merupakan pemerintahan yang didominasi oleh kaum Baganda. Pemerintahan Idi Amin dari tahun 1971 hingga 1979 telah menjadi tersangka terhadap pembunuhan 300.000 kelompok oposisi (kaum Acholi) selama pemerintahannya. Begitu pula selama pemerintahan Miton Obote di tahun 1980 hingga 1985. Pemerintahan Uganda bahkan saat ini yang naik sejak tahun 1986 yaitu Yoweri Museveni, kerap memberikan perintah kepada UPDA (Uganda People’s Democratic Army) untuk melakukan pembantaian di beberapa wilayah dominasi Kaum Acholi. PBB pun melakukan berbagai mekanisme dalam menangani konflik
113
etnis tersebut. Kelima tujuan strategis di atas kemudian direalisasikan melalui beberapa pendekatan, yaitu pendekatan politik, militer, dan mekanisme pendukung. A.1 Political Front (Pendekatan Politik) Pendekatan politik yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB tidak terlepas dari organisasi internasional African Union (Uni Afrika). Dewan Keamanan PBB dan Uni Afrika telah menjalin hubungan yang baik sejak pembentukan badan keamanan Uni Afrika yang disebut Peace and Security Council of the African Union pada tahun 2004. Kerjasama intensif telah dilakukan oleh kedua badan tersebut agar terdapat respon yang tepat dalam mengatasi berbagai masalah keamanan yang terjadi di benua Afrika. Seperti yang penulis uraikan dalam Bab III tentang Uni Afrika, berbagai kerjasama akan dilakukan Uni Afrika dan PBB, untuk mencapai sebuah tujuan yang dianggap membutuhkan kooperasi yang intensif antar kedua organisasi tersebut. Masalah keamanan bisa merupakan pencegahan konflik, pemeliharaan perdamaian, ataupun pembangunan perdamaian di sebuah negara atau wilayah. Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi ancaman regional yang LRA berikan, menggunakan media Uni Afrika, agar perdamaian dapat tercipta. Dewan Keamanan PBB melakukan kerjasama langsung dengan Uni Afrika, juga melakukan kerjasama melalui media UNOAU (United Nations Office to African Union) dan UNOCA (United Nations Regional Office for Central Africa) yang mendapatkan mandat langsung oleh Dewan Keamanan PBB untuk menjalankan negosiasi tersebut.
114
Pertama adalah Dewan Keamanan yang memberikan mandat kepada UNOAU (United Nations Office to African Union). UNOAU adalah badan yang bertujuan meningkatkan hubungan antara PBB dan Uni Afrika pada bidang keamanan dan perdamaian, dan untuk memberikan dukungan demi kesuksesan berbagai operasi. UNOA juga terkenal dengan koordinasi dengan pasukan perdamaian yang ditempatkan dalam benua Afrika. UNOA memiliki beberapa tujuan umum, yakni untuk memberikan asistensi kepada Uni Afrika dalam mengembangkan kerjasama keamanan yang efektif, dan meningkatkan kerjasama antara Uni Afrika dan PBB. Mandat yang Dewan Keamanan PBB berikan sejak tahun 2012 saat pembentukan kerjasama Uni Afrika secara regional dalam menghadapi LRA adalah asistensi terhadap131; 1. Pengembangan dan review terhadap konsep dan arahan operasi, 2. Pengembangan struktur operasional inisiatif Uni Afrika (RTF), 3. Pengembangan kebijakan dan standar operasional dari inisiatif, termasuk standar perlindungan warga sipil, 4. Bantuan logistik dalam operasional militer melawan LRA, 5. Pengembangan informasi startegis untuk digunakan melawan LRA. UNOAU akan bertindak sebagai jembatan penghubung antara Uni Afrika dan PBB, dalam pemberian asistensi kepada Uni Afrika tersebut.
131
United Nations Security Council, Report of the Secretary-General on the Lord’s Resistance Armyaffected Areas Pursuant to Security Council Press Statement, United Nations: New York, 2011, hal.1.
115
Pembentukan UNOCA merupakan salah satu kontribusi terbesar PBB dalam pemberantasan kelompok LRA. UNOCA (United Nations Regional Office for Central Africa) merupakan sebuah sebuah organisasi regional dibawah PBB yang diberikan mandat untuk mencegah terjadinya konflik dan mendukung segala prosesi perdamaian di wilayah Afrika Tengah yang dibentuk pada bulan Maret 2011 di Libreville, Gabon. UNOCA bekerja langsung dibawah United Nations Department of Political Affairs, yang pembentukannya di tahun 2011 telah disetujui oleh Dewan Keamanan PBB, dan pembiayaan organisasi telah disetujui oleh Sidang Umum PBB. UNOCA diberikan mandat selama 2 tahun sejak pembentukannya di tahun 2011, untuk membantu beberapa institusi PBB dalam merealisasikan misi politik dengan mandat regional.132 LRA merupakan sebuah ancaman keamanan regional, dimana penyelesaian yang tepat membutuhkan pendekatan regional. UNOCA setelah mendapatkan mandat dari Dewan Keamanan PBB, melangsungkan kerjasama intensif dengan melibatkan Uni Afrika dan keempat negara yang menjadi korban konflik LRA, guna memaksimalkan berbagai usaha yang dibutuhkan untuk memberantas kelompok LRA. Kepala UNOCA, yaitu Mr. Abou Moussa telah melakukan berbagai pendekatan intensif sejak pembentukan di tahun 2011 agar keempat negara yaitu
132
United Nations Security Council, Report of the Secretary-General on the Activities of the United Nations Regional Office for Central Africa and on Areas Affected by the Lord’s Resistance Army, United Nations: New York, 2012, hal. 7.
116
Uganda, Demokratis Republik Congo, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah, terus memiliki komitmen politis untuk memberantas kelompok LRA.133 Hasil dari pendekatan intensif kepada keempat negara dan Uni Afrika adalah terbentuknya sebuah inisiatif militer regional yang dibentuk untuk memberantas kelompok LRA. Berdasarkan pengalaman dari beberapa operasi militer yang dilancarkan oleh Uganda, terlihat bagaimana penyebaran LRA dan kurangnya kerjasama dan hubungan antara negara-negara korban menyebabkan operasi militer yang dilancarkan menjadi terhambat dan akhirnya gagal. Kenyataan tersebut membuat Abou Moussa untuk mendorong sebuah kerjasama militer yang bersifat regional, dengan tujuan memberantas kelompok LRA tersebut. Kerjasama tersebut disebut sebagai African Union Cooperation Initiative against LRA, yang terdiri atas Joint Coordination Mechanism dan African Union Regional Task Force yang diketuai oleh Kolonel Dick Prit Olum dari Uganda, sebagai komandan misi. Joint Coordination Mechanism merupakan badan yang menyatukan komando negara-negara Uni Afrika dalam memberantas kelompok LRA. Sedangkan African Union Regional Task Force merupakan perlawanan militer yang dibentuk oleh Uni Afrika setelah dorongan UNOCA, yang terdiri atas personil militer keempat negara korban LRA. African Union Cooperation Initiative against LRA dibentuk pada Maret 2012, dan Regional Task Force terdiri atas pasukan yang berasal dari Uganda, Demokratis Republik Congo, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah. UNOCA
133
Andre Le Sage, Countering the Lord’s Resistance Army in Central Africa, Institute for National Strategic Studies SF No. 270, 2011, hal. 8.
117
telah berhasil menyatukan kepentingan keempat negara tersebut dalam memberantas kelompok LRA, sehingga masing-masing negara memiliki keinginan untuk berkontribusi dalam pemberantasan kelompok LRA. Dewan Keamanan PBB menerima dengan senang hati, terhadap keputusan Uni Afrika tersebut dan telah bersedia untuk membantu operasi militer Uni Afrika melalui penyediaan keperluankeperluan militer yang dibutuhkan untuk membuat sukses operasi militer yang telah dijalankan. Hingga Desember 2012, terdapat 2,860 pasukan dalam Regional Task Force tersebut, dengan harapan akan meningkat menjadi maksimal 5,000 pasukan. Asal dari pasukan tersebut antara lain 2,000 pasukan dari Uganda, 500 pasukan dari Sudan Selatan, dan 360 dari Republik Afrika Tengah. Pengiriman pasukan tersebut akan berlangsung secara bertahap.134 Pendekatan politis yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB untuk mempercepat segala inisiasi militer secara regional telah berkontribusi besar terhadap pemberantasan kelompok LRA. Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang pertama melalui pendekatan politis adalah menurunnya jumlah kelompok LRA itu sendiri. Hingga tahun 2012, diperkirakan bahwa jumlah LRA kini menurun hingga 250 – 500 jumlah anggota, jauh berbeda dari jumlah perkiraan LRA di tahun 2008 yaitu 500-1000 anggota. Jumlah tersebut telah menurun drastis akibat kerjasama militer Uni Afrika dan PBB melalui Regional Task Force sejak Maret 2012 hingga Desember 2012. Menurunnya jumlah anggota LRA sejak negosiasi UNOCA dalam pembentukan kerjasama regional militer tergolong tidak besar, akan tetapi 134
United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 10.
118
kemampuan LRA dalam menyebar teror sejak April 2012 telah menurun drastis sebab berkurangnya anggota LRA. LRA memiliki kemampuan untuk melakukan teror di beberapa tempat sekaligus, karena Kony kerap memecah belah jumlah LRA menjadi beberapa kelompok dan melakukan penyerangan di beberapa tempat sekaligus. Kemampuan tersebut telah berkurang drastis, terutama sejak Kony mengetahui bahwa kini terdapat 2,860 pasukan yang mengejar kelompoknya. Desember 2012 juga menjadi waktu Regional Task Force membunuh salah satu senior dari LRA yaitu Binansio Okamu di wilayah perbatasan Republik Afrika Tengah, yaitu seorang senior LRA yang dikenal telah melakukan ratusan pembunuhan terhadap warga sipil sejak pembentukan LRA.135 Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang kedua melalui pendekatan politis adalah penyatuan dari kerjasama negara-negara korban LRA. Operasi militer yang sering diinisasi oleh negara-negara korban LRA memiliki koordinasi yang sangat minim dengan negara-negara lainnya. Tidak jarang negara yang melintasi wilayah negara lainnya akan berkonflik di perbatasan, meski tujuannya adalah pemberantasan kelompok LRA melalui inisiasi militer. Hasil dari pendekatan politis yang telah dilakukan oleh UNOCA telah berhasil menyatukan keempat negara tersebut, dan telah membantu dalam membentuk sebuah jaringan hubungan yang jelas antar keempat negarat melalui pembentukan Regional Task Force. Akibatnya, negara-negara seperti Uganda yang selama ini dikenal telah aktif
135
United Nations Security Council, Report of the Secretary-General on the Activities of the United Nations Regional Office for Central Africa and on Areas Affected by the Lord’s Resistance Army, United Nations: New York, 2012, hal. 11.
119
dalam menyatakan perang dan mencari kelompok LRA, dapat bekerja lebih efisien dalam sebuah payung koordinasi yang memiliki kapasitas yang jauh lebih dibandingkan jika berperang sendiri. UPDF (Ugandan People’s Democratic Front) yang merupakan nama bagi pasukan militer Uganda, telah menyerahkan ribuan pasukan militernya kepada Regional Task Force sejak Oktober 2012.136 Kenyataan tersebut menunjukkan adanya keberhasilan oleh UNOCA dalam menegosiasikan kerjasama militer antara keempat negara yang dahulunya telah menjalankan operasi milternya masing-masing, sehingga menghasilkan perang yang lebih efektif dalam memberantas kelompok LRA secara perlahan. Kontribusi terhadap pemberantasan kelompok LRA yang kedua melalui pendekatan politis adalah adanya penghematan dalam menindak sebuah kelompok pemberontak. Pengggunaan UNOCA sebagai pendekatan politis merupakan hal yang sangat efektif yang diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB. Keputusan Dewan Keamanan PBB sejak tahun 2008 untuk melakukan intervensi kemanusiaan atau mengirim pasukan perdamaian telah mengambil begitu banyak sumber daya PBB, sehingga UNOCA dianggap sebagai langkah strategis dalam mengatasi sebuah konflik. Terlihat jelas dari hasilnya, bagaimana Uni Afrika telah menyetujui untuk mengirim maksimal 5,000 pasukan untuk memberantas sebuah kelompok pemberontak yang jumlahnya kini hanya mencapai tidak lebih dari 500 anggota. Pendekatan politis tersebut sangat penting, mengingat kapasitas PBB dalam mengirim pasukan sangat minim, melihat banyaknya pasukan perdamaian yang dikirim ke 136
United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 15.
120
semua bagian di dunia saat ini, dan masih aktif hingga sekarang. Pengiriman pasukan perdamaian ataupun membentuk sebuah intervensi kemanusiaan juga sangat sulit terealisasi, sebab minimnya kepentingan nasional yang dimiliki oleh beberapa negara kontributor terbesar terhadap operasi-operasi militer dibawah PBB. Bentuk antisipasi yang dilakukan penulis anggap sangat tepat sebagai respon dari ancaman regional, melalui negosiasi untuk menyatukan kerjasama regional tersebut. A.2 Military Front (Pendekatan Militer) Pendekatan Militer yang digunakan oleh Dewan Keamanan PBB tidak seperti biasanya dalam merespon kasus LRA. Berbagai korban yang diakibatkan oleh kehadiran LRA, tetap membuat Dewan Keamanan cermat dalam pengambilan keputusan yang tepat dalam menindak kelompok LRA, yaitu dengan cara fokus terhadap pasukan perdamaian yang awalnya memiliki mandat terhadap perlindungan warga sipil di negara tertentu, menjadi mandat yang baru untuk menghadapi LRA jika secara kebetulan terjadi konfrontasi. Pendekatan militer seperti intervensi kemanusiaan tidak dilaksanakan oleh Dewan Keamanan PBB, melihat adanya banyak alternatif dalam memberantas kelompok tersebut. Kenyataan ini tentunya sangat berbeda dengan beberapa intervensi kemanusiaan atau pengiriman pasukan perdamaian yang dilaksanakan dalam masa 2008 hingga 2012, seperti No-Fly Zone di Libya, dan pasukan perdamaian di Mesir. Penulis telah jelaskan di Bab III penelitian ini tentang Perserikatan BangsaBangsa. Penulis menguraikan bahwa pasukan perdamaian telah dikirim oleh PBB
121
dalam banyak wilayah dan kasus konflik yang terjadi di Afrika. Pasukan Perdamaian tersebut tentu mendapatkan mandat langsung dibawah Dewan Keamanan PBB, sesuai dengan uraian tugas Dewan Keamanan PBB di Bab III. Selama beberapa tahun terakhir, tugas yang diberikan kepada Pasukan Perdamaian telah berkembang secara signifikan sebagai respon dari pola konflik yang semakin kompleks. Meskipun setiap Pasukan Perdamaian PBB diberikan tugas yang berbeda-beda, namun terdapat beberapa prinsip dasar Pasukan Perdamaian yang tugasnya telah dimandat oleh Dewan keamanan PBB. Secara umum, Pasukan perdamaian PBB memiliki tugas untuk137; 1. Mencegah pecahnya konflik atau penyebaran konflik lintas batas negara, 2. Stabilkan situasi konflik pasca gencatan senjata, untuk menciptkan lingkungan yang mendukung tercapainya sebuah perjanjian damai, 3. Memberikan asistensi terhadap implementasi perjanjian perdamaian, 4. Membantu negara untuk melakukan transisi menuju pemerintahan demokratis. Beberapa pasukan perdamaian telah hadir di negara-negara korban dari LRA sejak waktu yang lama. Peran serta Dewan Keamanan PBB dalam hal ini ada dua, yakni perpanjangan mandat pasukan perdamaian tersebut menjadi beberapa bulan atau tahun lebih, dan penambahan mandat untuk mengikutsertakan masalah LRA sebagai tanggung jawab dari pasukan perdamaian tersebut. Di Republik Demokratis
137
James J. Sutterlin, The United Nations and the Maintenance of International Security; A Challenge to be Met (2nd ed), Greenwood Publishing Group Inc., USA, 2003, hal. 32.
122
Congo,
terdapat
pasukan
perdamaian
yaitu
MONUSCO
(United
Nations
Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo) yang telah dibentuk sejak 30 November 1999. Pasukan perdamaian juga hadir di Sudan Selatan, yaitu UNMISS (United Nations Mission in South Sudan). UNMISS dibentuk pada tanggal 9 Juli 2011, dan terdiri atas 5,508 pasukan perdamaian PBB. UNMISS telah mendapatkan penambahan mandat, untuk melindungi warga sipil dari serangan LRA, dan melakukan patroli dan pengawalan untuk perjalanan di beberapa daerah Sudan Selatan. Terkahir adalah pasukan perdamaian di Republik Afrika Tengah yaitu BINUCA (United Nations Integrated Peacebuilding Office in the Central African Republic). BINUCA dibentuk pada tahun 2000 yang bertujuan untuk membantu dan memberikan asistensi kepada pemerintahan dalam pembangunan nasional negara Republik Afrika Tengah.138 Operasi pasukan perdamaian yang ketiganya telah dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB, telah mengalami penambahan mandat akibat masalah yang dihadapi dengan LRA. Pertama adalah MONUSCO. MONUSCO secara umum melakukan fokus terhadap perlindungan warga sipil dari serangan LRA di Republik Demokratis Congo. MONUSCO telah banyak berkontribusi terhadap angkatan militer Republik Demokratis Congo yaitu FARDC (Military of the Republic of the Congo) dalam bentuk pemberian bantuan logistik, bantuan perangkat militer dan finansial, serta bantuan pelatihan militer kepada FARDC yang melakukan operasi militer yang
138
United Nations Security Council, Report of the Secretary-General on the Lord’s Resistance Armyaffected areas Pursuant to Security Council Press Statement, United Nations: New York, 2011, hal. 8.
123
bertujuan memberantas kelompok LRA. Beberapa pangkalan militer telah dibangun oleh MONUSCO di wilayah Duru, Bangdi, Ngilima dan Niangara dari Haut Uele di tahun 2010.139 Di wilayah-wilayah tersebut, MONUSCO rutin telah melakukan patroli siang dan malam, dan telah melakukan pengawalan kepada warga sipil yang ingin bepergian ke pasar ataupun tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Pada tahun yang sama, MONUSCO melakukan patroli dalam jumlah masif di wilayahwilayah tersebut, saat akhir tahun 2010, 2011, dan 2012, sebagai aksi pencegahan penyerangan LRA akhir tahun seperti yang terjadi tahun 2008 dalam penyerangan Christmas Massacres.140 Kedua adalah BINUCA di Republik Afrika Tengah, yang berlangsung intensif sejak tahun 2010. Intensif berlangsung pada tahun tersebut sebab pasukan perdamaian MINURCAT (United Nations Mission in the Central African Republic and Chad) berakhir di tahun 2010, sehingga yang tersisa kini adalah BINUCA. BINUCA sejak tahun 2008 telah melakukan beberapa mekanisme, yakni asistensi dalam membangun koordinasi antara pemerintahan pusat, dan pemerintahan regional dan sub-regional dalam pembagian informasi perihal LRA. Meski BINUCA tidak diberikan mandat sebesar yang diberikan kepada MONUSCO dan UNMISS, akan tetapi BINUCA telah berkontribusi dalam pemberantasan kelompok LRA melalui pembagian informasi penting terhadap keberadaan dan berbagai penyerangan di Republik Afrika Tengah,
139
Andre Le Sage, Countering the Lord’s Resistance Army in Central Africa, Institute for National Strategic Studies SF No. 270, 2011, hal. 3. 140 Ibid
124
dan berkontribusi terhadap informasi penting untuk militer Republik Afrika Tengah perihal LRA. Ketiga adalah pasukan perdamaian di Sudan Selatan, yaitu UNMISS. UNMISS yang dibentuk tahun 2011 diberikan mandat untuk koordinasi dengan pemerintah Sudan Selatan yang baru dalam perlindungan warga negara dari penyerangan yang dilakukan oleh kelompok LRA (sama dengan MONUSCO). Program UNMISS secara umum tidak jauh berbeda jika berbicara masalah LRA, dan UNMISS memiliki peran yang aktif dalam melindungi anggota LRA yang memutuskan untuk melarikan diri dari LRA. Uganda merupakan satu-satunya negara yang tidak memiliki pasukan perdamaian yang aktif di tahun 2008-2012, akan tetapi Pasukan perdamaian di kedua negara di atas telah aktif dalam memberikan asistensi dalam bentuk informasi keberadaan dan perkembangan kepada pasukan militer Uganda yaitu UPDF, guna membantu pasukan UPDF dalam pemberantasan kelompok tersebut sebelum tahun 2012. Pendekatan militer yang digunakan oleh Dewan Keamanan PBB dalam kasus LRA, telah berpengaruh besar terhadap pemberantasan kelompok LRA secara perlahan. Alasan pertama adalah adanya peningkatan kapasitas militer nasional. UNMISS dan MONUSCO yang masing-masing berada di negara Sudan Selatan dan Republik Demokratis Congo, telah memberikan banyak asistensi dalam bentuk penyediaan bantuan logistik militer, hingga bantuan melalui pelatihan militer. Bantuan tersebut sangat berpengaruh terhadap kapasitas angkatan militer nasional dalam menghadapi kelompok LRA, terutama sejak tahun 2012 dimana Uni Afrika
125
membentuk Regional Task Force yang juga terdiri atas pasukan militer Sudan Selatan dan Republik Demokratis Congo. Kapasitas militer setiap prajurit sangat vital dalam kesuksesan perang melawan LRA. Kenyataan ini bisa dilihat dari LRA yang sering membentuk kelompok-kelompok penyerangan kecil, dan melakukan penyerangan di wilayah-wilayah terpencil. Menjadi tantangan besar bagi pasukan militer negara dalam memberantas LRA, sebab konsentrasi pasukan militer sangat sedikit di wilayah terpencil, dan akses yang sulit menjadi salah satu faktor utama sedikitnya konsentrasi tersebut. Kapasitas angkatan militer menjadi salah satu unsur terpenting, apabila jumlah pasukan militer di sebuah wilayah sangat sedikit. Alasan kedua pendekatan militer Dewan Keamanan dianggap sukses dalam pemberantasan kelompok LRA adalah keberhasilan dalam membatasi ruang gerak LRA. Penambahan mandat yang diberikan kepada UNMISS dan MONUSCO, telah membuat kedua operasi pasukan perdamaian tersebut untuk melakukan pengawalan militer kepada warga sipil, dan patroli di berbagai wilayah, dalam waktu-waktu tertentu dalam sehari. Patroli tersebut telah dengan signifikan membatasi ruang gerak dari LRA, bahkan yang terletak di wilayah terpecil dan di perbatasan keempat negara tersebut. LRA mampu bergerak dengan bebas dari satu wilayah menuju wilayah lainnya karena pengetahuan bahwa tidak terdapat pasukan militer apapun yang melakukan penjagaan yang ketat di wilayah-wilayah penyerangan LRA tersebut. Patroli dan pengawalan yang dilakukan telah secara signifikan menutupi begitu banyak wilayah di Republik Demokratis Congo dan Sudan Selatan, sehingga salah
126
satu ciri khas LRA yaitu melakukan penyerangan di tempat terpencil, menjadi sulit untuk dilaksanakan sejak penambahan mandat. Kelompok LRA telah secara signifikan terpengaruh oleh kenyataan tersebut, karena ketergantungan LRA untuk menyerang juga di tempat-tempat yang tidak terjaga oleh keamanan. LRA melakukan penyerangan di wilayah tersebut karena mengetahui bahwa wilayah penyerangan yang mereka akan serang adalah wilayah yang akan mudah untuk diserang, dan mudah untuk melakukan pembunuhan dan mencuri barang-barang milik warga. LRA di tahun 2012 dianggap sebagai kelompok pemberontak yang melakukan penyerangan dengan tujuan untuk tetap bertahan hidup. Patroli yang dilakukan dalam skala besar telah melingkupi wilayah yang luas, sehingga memberikan opsi yang sangat sedikit akan pilihan wilayah penyerangan yang bisa diserang oleh LRA. Terbatasnya ruang gerak LRA terihat dari menurunnya jumlah penyerangan yang terjadi dari tahun 2010 hingga saat ini di tahun 2012. Tahun tersebut merupakan tahun dimana mandat-mandat yang Dewan Keamanan PBB berikan kepada UNMISS dan MONUSCO, telah diperbanyak untuk melingkupi masalah dengan LRA. Tahun 2010, terdapat 470 penyerangan LRA, mengakibatkan 709 warga meninggal akibat penyerangan tersebut. 2011 terdapat 284 penyerangan dengan 154 warga meninggal. Tahun 2012 menunjukkan 222 penyerangan, dan 41 warga meninggal. Jumlah penyerangan yang terjadi, dan jumlah korban yang berjatuhan tentu telah berkurang dengan drastis jika dibandingkan sebelum-sebelumnya saat mandat pasukan
127
perdamaian belum ditambahkan, dan 400 lebih warga yang dibunuh dalam bulan Desember 2008 menjadi salah satu pembanding jelas.141 Perang yang dinyatakan oleh pemerintah Uganda terhadap LRA sejak tahun 2000an, telah membuat LRA lari dari negara tersebut. Penyerangan yang terjadi kini hanya berlangsung di tiga negara lainnya. Beberapa kasus penyerangan di tahun 2011 sendiri adalah 34 di Republik Afrika Tengah, 28 di Sudan Selatan, dan 222 penyerangan di Republik Demokratis Congo. Pola memperlihatkan adanya perpindahan wilayah penyerangan yang lebih fokus di wilayah Congo, akan tetapi jumlah penyerangan telah berkurang drastis di tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010 yang jumlah penyerangan mencapai 470.142 Penyerangan tersebut menghasilkan beberapa krisis kemanusiaan, yakni pembunuhan, pemerkosaan, hingga penculikan. A.3 Supporting Mechanicms (Mekanisme Pendukung) Pendekatan militer dan politik yang telah dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB telah membawa hasil yang positif dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Akan tetapi, Dewan Keamanan dalam memastikan tujuan pemberantasan bisa berhasil, maka dilakukan beberapa mekanisme pendukung yang dianggap bisa membantu perang melawan LRA. Salah satu mekanisme pendukung yang paling besar pengaruhnya terhadap pemberantasan kelompok LRA adalah Disarmament,
141
Invisible Children dan Resolve LRA Tracker, LRA Crisis Tracker; Annual Security Brief 2011, 2011, hal. 5. 142 United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 13.
128
Demobilization, Repatriation, Resettlement and Reintegration (gencatan senjata, demobilisasi, repatriasi, pengembalian, dan reintegrasi) atau disingkat DDRRR. Secara umum, program ini memiliki tujuan untuk melemahkan LRA dari segi pengurangan jumlah anggota LRA itu sendiri. DDRRR memiliki peran yang sangat penting dalam melumpuhkan kelompok LRA secara internal. LRA sebagai sebuah kelompok pemberontak, memiliki ketergantungan terhadap jumlah massa yang banyak untuk melancarkan segala operasi militer yang ingin dijalankan, sama seperti kelompok pemberontak pada umumnya. Kekurangan anggota akan menyebabakan ketidakmampuan kelompok pemberontak tersebut untuk melancarkan beberapa penyerangan yang direncanakan sebelumnya. Memahami efektifitas dari DDRRR, perlu dipahami terlebih dahulu akan keanggotaan dari LRA itu sendiri. Kelompok pemberontak dikenal dengan anggota yang sangat setia terhadap tujuan dari pemberontakan tersebut. Kelompok pemberontakan seperti SPLA/M di Sudan, OPM di Papua Indonesia, FAARC di Colombia, serta IRA di Irlandia/Inggris merupakan beberapa contoh kelompok pemberontak yang mampu bertahan lama akibat adanya dukungan yang besar oleh beberapa kelompok masyarakat, sehingga anggota akan terus berdatangan untuk membantu tujuan mulia pemberontakan tersebut. Meski dikelompokkan sebagai kelompok pemberontak, LRA memiliki tujuan yang tidak dimiliki oleh kelompok pemberontak lainnya, yaitu tidak memiliki tujuan.
129
Pembentukan kelompok LRA di tahun 1980an yang ingin membebaskan dan menyelamatkan kaum Acholi kini tidak terlihat sama sekali dalam tindakan-tindakan penyerangan yang dilakukan oleh LRA. Kini LRA melakukan penyerangan hanya dengan tujuan internal yaitu membangun secara paksa rasa kesetiaan dan rasa takut agar tidak memberontak. Secara eksternal, tujuan LRA adalah menjauhkan penyerangan terhadap LRA, melalui unjuk kekuatan dengan cara penyerangan tersebut. Berbeda dengan kelompok pemberontak lainnya, keanggotaan dalam LRA tidak dapat dikategorikan sebagai kelompok yang menyetujui tujuan dari LRA itu sendiri. Mayoritas anggota yang kini ada di dalam LRA adalah anggota yang dipaksa menjadi anggota LRA. Keanggotaan LRA terdiri atas masyarakat yang diculik, yang mayoritas adalah anak-anak. Menumbuhkan rasa takut dalam anak-anak merupakan hal yang LRA anggap lebih mudah, jika dibandingkan doktrinasi orang dewasa, sehingga LRA terus melakukan penculikan anak-anak untuk menjadi anggota dalam LRA. Hanya ketakutan akan dibunuh oleh anggota senior LRA yang menjadi penghambat dari anak-anak tersebut untuk melakukan pelarian dari LRA. Beberapa kasus penangkapan LRA terhadap anak-anak yang hendak melarikan diri juga meningkatkan ketakutan anak-anak tersebut, sebab mereka yang ingin melarikan diri dan ditangkap akan disiksa terlebih dahulu didepan semua anggota LRA. Anak tersebut dijadikan contoh brutalitas LRA, dan mudahnya LRA melakukan tindak teror terhadap anggotanya sendiri. PBB menyadari pentingnya tradisi tersebut dalam
130
LRA, sehingga membentuk DDRRR sebagai usaha membangun inisiatif dalam diri anggota LRA, untuk dengan segera melarikan diri. Tidak berhenti disitu, sebab terdapat beberapa faktor penghambat inisiatif untuk melarikan diri dari LRA. Ketakutan terbesarnya untuk kembali ke masyarakat adalah ketakutan akan diserang oleh warga yang menjadi korban penyerangan LRA di masa lalu. Alasan tersebut menjadi sebab DDRRR membuat mekanisme secara bertahap apabila telah kembali ke komunitasnya, yaitu reintegrasi kembali dalam komunitas asalnya. Melihat besarnya potensi DDRRR dalam memberantas kelompok LRA dari dalam organisasi tersebut, Dewan Keamanan kemudian memberikan mandat kepada MONUSCO, UNMISS dan BINUCA dalam memberikan asistensi DDRRR tersebut untuk dijalani. MONUSCO, UNMISS dan BINUCA merupakan aktor utama yang diberikan mandat oleh Dewan Keamanan PBB dalam menjalankan DDRRR. Ketiga misi tersebut diberikan kewenangan sesuai dengan masing-masing mandat yang diberikan, dan akan melakukan koordinasi dengan beberapa aktor nasional dan sub-regional yang dianggap bisa membantu kesuksesan dari DDRRR. Konsentrasi utama dari DDRRR adalah tempat-tempat yang baru saja dihadapkan dengan penyerangan, ataupun wilayah-wilayah yang dianggap akan dilewati oleh LRA nantinya. Tim DDRRR MONUSCO memberikan bantuan teknis kepada BINUCA dan UNMISS dalam implementasi DDRRR di lapangan.
131
BINUCA yang ada di Republik Afrika Tengah merupakan salah satu aktor yang menjalankan DDRRR. BINUCA sejak tanggal 17 Juni 2008 telah mengambil peran menyebarkan informasi tentang program DDRRR, dengan harapan akan membangun keinginan anggota LRA untuk melarikan diri. BINUCA melalui stasiunstasiun radio di Republik Afrika Tengah, menyiarkan informasi tentang keamanan dari DDRRR. Radio tersebut juga digunakan untuk membuat rakyat lokal terima terhadap anggota LRA yang memutuskan untuk melarikan diri, berhubung banyaknya penyerangan yang masih terjadi terhadap mantan anggota LRA.143 MONUSCO sejak tahun 2007 hingga 2012 telah menjalankan DDRRR dalam usahanya melumpuhkan LRA dari segi keanggotaan. MONUSCO melalui unit DDRRR telah membuat dan menyebarkan selebaran yang berisi program DDRRR dalam bahasa lokal. Selebaran tersebut tidak hanya disebarkan di wilayah perbatasan Republik Demokratis Congo, tetapi juga disebarkan di wilayah perbatasan dari Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah. Tahun 2011, unit DDRRR juga telah memanfaatkan Radio regional untuk menyebarkan informasi tentang DDRRR, yakni di stasiun radio di Obo (Republik Afrika Tengah), Yambio dan Ezo (Sudan Selatan), Dungu dan Faradje (Republik Demokratis Congo).144 Terdapat beberapa kasus sukses dari DDRRR selama beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2010, terdapat 361 orang yang melarikan diri dari LRA. Peningkatan terjadi di tahun 2011, dimana terdapat 424 anggota LRA yang berhasil melarikan diri. 143
United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 4. 144 Ibid, hal. 3.
132
Sejak tahun 2011, terdapat jumlah pelarian anggota LRA yang meningkat secara signifikan, dan tren tersebut akan menambah sesuai dengan fasilitas yang DDRRR berikan kepada calon anggota yang ingin melarikn diri.145 Mekanisme pendukung lainnya adalah Joint Information and Operations Centre (JIOC). JIOC merupakan sebuah usaha PBB dalam menggabungkan informasi relevan dalam usaha pencarian dan pemberantasan kelompok LRA. Rumitnya pergerakan LRA membuat adanya kebutuhan untuk menggabungkan informasiinformasi dari wilayah atau negara yang berbeda, agar dapat lebih memahami arah gerakan dari kelompok LRA itu sendiri. JIOC dibentuk pada tahun 2011, dan bermarkas di dalam MONUSCO (Republik Demokratis Congo) di Dungu. JIOC memiliki tujuan utama untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang berhubungan dengan LRA. Informasi tersebut bisa berupa laporan penyerangan, laporan pergerakan, dan laporan-laporan lainnya tentang LRA. Sejak tahun 2011, JIOC telah mengumpulkan informasi intelijen dari Amerika Serikat, dari MONUSCO, BINUCA, dan UNMISS, yang semua merupakan informasi yang berkontribusi besar terhadap pengejaran LRA.146 Sejak pembentukan Regional Task Force di tahun 2012, JIOC telah melakukan pemberian informasi kepada Regional Task Force tersebut akan informasi yang dianggap sangat penting dalam upaya pemberantasan kelompok LRA di masa yang akan mendatang. JIOC juga digunakan sebagai media MONUSCO, untuk menyebarkan mekanisme yang mendetail akan 145
Invisible Children dan Resolve LRA Tracker, LRA Crisis Tracker; Annual Security Brief 2011, 2011, hal. 4. 146 United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 17.
133
DDRRR, sehingga memiliki kontribusi yang signifikan terhadap angkatan militer nasional yang ingin menerapkan DDRRR tersebut secara tiba-tiba dalam kasus-kasus tertentu. JIOC telah berkontribusi besar terhadap pembagian informasi antar keempat negara korban LRA. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, JIOC telah mampu untuk dijadikan media untuk menerima informasi penting tentang kehadiran LRA, yang otomatis akan memiliki efektifitas terhadap usaha pemberantasan kelompok LRA. Upaya negara-negara seperti Uganda di awal tahun 2000an yang melancarkan serangan, pada akhirnya menghadapi kegagalan akibat menyebarnya kelompok LRA di negara perbatasan lainnya. Mengingat LRA adalah ancaman keamanan regional, maka informasi yang didapatkan oleh sebuah negara tentang LRA tersebut, bisa menentukan efektifitas hingga kesuksesan operasi militer yang dilancarkan oleh sebuah negara. JIOC telah berkembang menjadi sumber informasi yang dimanfaatkan oleh aktor negara yang melakukan pengejaran terhadap LRA di tahun 2008-2011, dan kini digunakan oleh African Union Regional Task Force dalam usaha kolaboratif pemberantasan kelompok LRA. Dewan Keamanan PBB dalam menghadapi ancaman LRA telah bertindak sesuai dengan otoritas yang diberikan lewat Piagam PBB. Penjelasan tentang Dewan Keamanan PBB telah dijelaskan melalui Piagam PBB Bab 5, dan lebih spesifik berbicara masalah fungsi dan kekuatan pada pasal 24. Pasal 24 nomor 1 menjelaskan bahwa, dalam rangka menghasilkan efektifitas PBB, seluruh anggota PBB memberikan otoritas Dewan Keamanan saja sebagai satu-satunya badan PBB yang
134
menangani masalah ancaman keamanan internasional.147 Penjelasan lebih dalam dijelaskan dalam pasal 24 nomor 2, yang menyatakan bahwa dalam melaksanakan fungsi tersebut, maka Dewan Keamanan PBB diberikan kewajiban untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip PBB, dimana kekuatan tersebut dijelaskan secara detail dalam bab 6, 7, 8 dan 12.148 Secara umum, tindakan yang diambil oleh Dewan Keamanan PBB akan masalah LRA, sejalan dengan prinsip-prinsip yang disetujui dalam PBB itu sendiri. Penyelesaian konflik dengan cara yang damai merupakan sebuah kemajuan besar dalam hal keikutsertaan organisasi internasional, dalam menciptakan suasana kondusif dan aman dalam sebuah negara. Piagam PBB Bab 6 tentang Peace Settlement of Disputes (penyelesaian sengketa dengan cara damai) Pasal 33, telah menjelaskan tentang langkah yang boleh diambil oleh Dewan Keamanan dalam merespon sebuah konflik. Pasal 33 Nomor 1 menjelaskan bahwa, setiap aktor yang terlibat dalam konflik harus menyelesaikan konfliknya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, perjanjian regional, ataupun melalui cara damai lainnya.149 Nomor 2 di pasal yang sama lebih jauh menjelaskan bagaimana Dewan Keamanan PBB memiliki otoritas untuk mendorong prosesi damai tersebut agar terlaksana. Pendekatan politis yang diputuskan oleh Dewan Keamanan PBB yang mendorong UNOCA untuk melaksanakan negosiasi agar keempat negara korban LRA bisa mengatasi ancaman dari LRA itu sendiri.
147
United Nations, United Nations Charter 1945, Bab 5, Pasal 24. Ibid 149 United Nations, United Nations Charter 1945, Bab 6, Pasal 33. 148
135
Negosiasi juga dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB melalui UNOCA, untuk menciptakan yang namanya Regional Task Force. Regional Task Force yang terdiri atas maksimal 5,000 pasukan Republik Demokratis Congo, Uganda, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah adalah hasil dari negosiasi UNOCA kepada Uni Afrika, agar menerapkan sebuah langkah tegas dalam rangka menghadapi ancaman regional yang LRA berikan. Dewan Keamanan yang mendorong proses tersebut sudah sesuai dengan Piagam PBB Bab 8 tentang Regional Arrangements (perjanjian regional) Pasal 52 Nomor 3, yang menyatakan bahwa Dewan Keamanan harus mendorong perkembangan penyelesaian konflik melalui perjanjian regional atau melalui aktor regional.150 Dewan Keamanan PBB yang telah mendorong Uni Afrika dan keempat negara korban LRA telah mengikuti langkah-langkah penyelesaian sengketa secara damai, yang juga menyatakan Dewan Keamanan diharapkan untuk mendorong penyelesaian konflik secara regional sebelum ikut campur dalam penyelesaian konflik tersebut. Legalitas Pasukan Perdamaian PBB tidak disebutkan secara langsung dalam Piagam PBB. Pasukan Perdamaian PBB sering digunakan sebagai alat untuk mencapai penyelesaian konflik dengan cara damai, sejak berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam Piagam PBB, penjelasan yang mengarah terhadap legalitas dari Pasukan Perdamaian PBB dapat dilihat dalam Bab 6 dan Bab 7. Bab 6 tentang Peace Settlement of Disputes (penyelesaian sengketa dengan cara damai), dan Bab 7 tentang Action with Respect to the Peace, Breaches of the Peace and Acts of
150
United Nations, United Nations Charter 1945, Bab 8, Pasal 52.
136
Agression (tindakan yang menghargai perdamaian, dan respon terhadap tindakan agresi) masing-masing telah digunakan oleh Dewan Keamanan PBB dalam melegalisasi pengiriman dan perpanjangan mandat dari Pasukan Perdamaian PBB. Kehadiran Pasukan Perdamaian PBB dianggap sebagai solusi yang menghargai kedaulatan, dan sejalan dengan PBB itu sendiri yang berusaha menciptakan keadaan damai hingga pasca konflik aktif. MONUSCO dan UNMISS merupakan 2 contoh Pasukan Perdamaian PBB yang kini aktif, dan diberikan peran untuk ikut serta dalam perang melawan LRA dalam bentuk yang tidak frontal. Pengiriman pasukan tersebut, Dewan Keamanan menganggap telah tepat guna menciptakan keadaan damai di negara-negara korban konflik LRA. Penerapan DDRRR dan JIOC juga merupakan sebuah respon damai terhadap konflik, yaitu dengan cara strategis melawan perang dengan LRA. B. Kendala
Dewan
Keamanan
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Dalam
Pemberantasan Kelompok Lord’s Resistance Army Tahun 2008 – 2012 Kendala yang dihadapi oleh Dewan Keamanan dalam pemberantasan LRA tergolong sangat rumit. Meskipun telah terdapat perkembangan yang pesat terhadap perang melawan LRA yang diarahkan langsung oleh PBB, akan tetapi banyak dihadapi kendala dari Dewan Keamanan itu sendiri dan keadaan eksternal terhadap perang melawan LRA. Berbagai perkembangan seperti pembentukan African Union Regional Task Force di tahun 2012 merupakan lompatan besar, jika dibandingkan dengan beberapa usaha dari PBB dalam mengatasi LRA melalui Dewan Keamanan dari tahun 2008 hingga 2011.
137
Kendala yang dihadapi oleh PBB dalam hal ini terdiri atas beberapa hal. Beberapa program utama yang telah dijalankan oleh Dewan Keamanan dalam usaha pemberantasan kelompok LRA masing-masing dihadapi dengan kendala yang signifikan. Kendala pertama adalah kendala yang dihadapi dalam penerapan mandat Pasukan Perdamaian, yang sangat membatasi ruang gerak dari kemampuan pemberantasan LRA sebab mandat yang terbatas. Kendala kedua yang ditemuai adalah kendala terhadap penerapan African Union Regional Task Force yang dipengaruhi oleh berbagai dinamika politis yang terjadi dalam negara-negara korban LRA (Republik Demokratis Congo, Uganda, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah). Kendala terakhir yang dihadapi adalah kendala pada penerapan program DDRRR (Disarmament, Demobilization, Repatriation,
Resettlement, and
Reintegration) yang selama ini mulai diterapkan sejak tahun 2008 oleh MONUSCO dan kemudian menyebar ke BINUSCA dan UNMISS. B.1 Penerapan Penambahan Mandat Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa Pengambilan keputusan dalam Dewan Keamanan PBB merefleksikan kebijakan Dewan Keamanan yang berdasar pada kepentingan pemegang hak veto. Meskipun terdapat 15 anggota, namun 5 anggota diantaranya memiliki hak spesial yang biasa dikenal sebagai Hak Veto. Hak Veto merupakan hak yang dimiliki oleh Amerika Serikat, Perancis, Inggris, Rusia dan Republik Rakyat Cina, untuk secara langsung membatalkan
sebuah
resolusi
keamanan
yang ingin
diterapkan.
Kemampuan tersebut berarti, Dewan Keamanan PBB akan bertindak menghadapi
138
sebuah ancaman internasional hanya apabila kelima negara pemegang hak veto setuju melakukan tindakan demikian. Keadaan ini menjadi salah satu penghambat utama Dewan Keamanan dalam menerapkan sebuah perlawanan keras sebagai respon dari kehadiran LRA. Seperti yang penulis uraikan di Bab II dan III, tentang Collective Security dan Dewan Keamanan PBB. Keputusan terhadap intervensi dalam bentuk apapun harus disetujui oleh prosedur dalam organisasi inisiator keamanan kolektif tersebut (dalam hal ini Dewan Keamanan PBB). Dewan Keamanan dalam menghadapi ancaman LRA memiliki beberapa pilihan. Akan tetapi, pilihan yang dipilih oleh Dewan Keamanan yang fokus terhadap regionalisme dan pemanfaatan pasukan perdamaian PBB dianggap sebagai respon yang sangat lamban dan tidak memperlihatkan keseriusan yang besar dalam menanggapi ancaman tersebut. Beberapa alasan hal tersebut terjadi adalah pertama kehadiran Arab Uprising di tahun 2010. Bermula dari negara Tunisia dan menyebar ke hampir seluruh negara di Timur Tengah, perhatian Dewan Keamanan dan dunia internasional terfokus pada berbagai demonstrasi massal dan pembantaian oleh diktator yang membutuhkan respon yang lebih cepat dibanding dengan ancaman LRA. Dunia internasional berada dalam perdebatan untuk intervensi atau tidak intervensi dalam beberapa kasus negara Timur Tengah yang sedang menghadapi gejolak tersebut. Alasan kedua adalah terbatasnya kapasitas dari Dewan Keamanan dalam menindak dengan tegas. Tindakan tegas akan menghasilkan sebuah mandat yang dalam kasus ini akan secara ideal menuju kemungkinan mandat untuk melaksanakan
139
Humanitarian Intervention (intervensi kemanusiaan). Kendala utama yang dihadapi dalam menindak tegas LRA sehingga menggunakan opsi perpanjangan mandat adalah terbatasnya kapasitas dan keinginan dunia internasional untuk mengirimkan sebuah operasi militer dalam menghadapi LRA. Mengirim pasukan khusus untuk mengatasi LRA menjadi tidak mungkin, melihat banyaknya operasi milter dengan tujuan pembangunan perdamaian yang dilokasikan di berbagai benua saat ini. Keadaan tersebut membuat Dewan Keamanan menggunakan penambahan mandat sebagai alternatif. Berangkat dari pernyataan di atas maka muncul kendala utama Dewan Keamanan dalam pemberantasan kelompok LRA, yaitu penggunaan pasukan perdamaian PBB. Meskipun telah muncul sebuah inisiatif dari Uni Afrika untuk menyelesaikan masalah dengan LRA, namun bentuk intervensi langsung PBB dalam kasus LRA tersebut adalah melakukan beberapa tambahan operasi militer melalui pasukan perdamaian yang ada yaitu MONUSCO dan UNMISS. Kekurangan utama dari penggunaan pasukan perdamaian tersebut adalah, pasukan perdamaian tidak memiliki mandat ataupun otoritas untuk secara langsung melakukan pembunuhan terhadap kelompok pemberontakan LRA. Pasukan Perdamaian hanya diperbolehkan melakukan penyerangan setalah diserang terlebih dahulu, sehingga pengejaran lebih lanjut tidak boleh dilaksanakan. Keadaan tersebut menjadi pukulan yang sangat berat, sebab LRA merupakan kelompok yang perlu dilakukan pengejaran secara konstan agar bisa secara keseluruhan diberantas. Jumlah Pasukan Perdamaian yang berlokasi
140
di Sudan Selatan dan Republik Demokratis Congo juga masih jauh dari ideal apabila ingin melakukan patroli terhadap semua wilayah ancaman LRA. Sejak tahun 2008 hingga 2011, terlihat kesulitan dari keadaan di atas. LRA mampu bertahan hingga sekarang, sebab ruang gerak yang mereka miliki masih sangat luas. Ketika pemerintah Uganda menyatakan perang melawan LRA, kendala terbesar Uganda adalah saat LRA mempercepat laju dan menyebar ke begitu banyak wilayah. Jumlah pasukan perdamaian PBB yang terbatas, dan mandat sebagai penjaga perdamaian saja, menjadi alasan mengapa perang melawan LRA tidak bisa maksimal, berhubung besarnya kemungkinan untuk memperluas jangkauan dan ruang gerak LRA itu sendiri. Kesulitan lainnya yang dihadapi oleh PBB adalah keberadaan LRA itu sendiri. Sama dengan mayoritas kelompok pemberontak, bahwa lokasi markas dan operasi akan selalu dirahasiakan dan merupakan tempat yang terpencil dan sulit dijangkau. Keputusan tersebut diambil oleh kelompok pemberontak dengan alasan menghilangkan kemungkinan penangkapan atau penyerangan terhadap kelompok tersebut. Pasukan Perdamaian PBB MONUSCO dan UNMISS memiliki kesulitan yang besar dalam menghadapi LRA, sebab lokasi yang begitu terpencil. Lokasi yang terpencil menyebabkan LRA tidak mampu untuk melakukan patroli ataupun melakukan pengawalan militer ke beberapa wilayah terpencil. Hal tersebut telah memperluas ruang gerak LRA, sehingga bisa terus melakukan penyerangan di tempat-tempat yang tidak dijangkau oleh Pasukan Perdamaian tersebut. Masalah ini menjadi kendala ketika Pasukan Perdamaian PBB memiliki sebuah tujuan untuk
141
membatasi ruang gerak LRA, yang memiliki dampak langsung terhadap keberlangsungan LRA itu sendiri. B.2 Penerapan African Union Regional Task Force Kesuksesan dari upaya PBB dalam menangani kasus LRA akan bergantung kepada kemampuan kerjasama regionalisme dari Uni Afrika. UNOCA telah bekerja dalam pembentukan kerjasama militer yaitu Regional Task Force yang direncanakan terdiri atas maksimal 5,000 pasukan. Tugas dari UNOCA akan terus berlanjut dalam memberikan asistensi kepada African Union Regional Task Force melalui kerjasama dengan UNOAU, agar perang melawan LRA dapat berlangsung dengan efektif. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah, African Union Regional Task Force masih memiliki banyak kekurangan yang jauh dari kemampuan Dewan Keamanan bisa selesaikan. Seperti yang dikatakan oleh Johan Galtung di tahun 1996 tentang Spheres of Cosmopolitan Conflict, aktor ketiga sangat penting dalam kasus ini. Bab II penelitian tentang Resolusi Konflik menjelaskan bagaimana peran serta sebuah aktor ketiga sangat penting dalam merespon sebuah ancaman keamanan yang telah mengalami Regional Spillover (menyebar secara regional). Uni Afrika melalui Regional Task Force dalam hal ini merupakan bentuk intervensi aktor ketiga yang nyata dan ideal sebagai upaya pemberantasan kelompok LRA. Meskipun demikian, aplikasi dari RTF ini masih dihadapkan dengan banyak kendala.
142
Pemerintahan Uganda melalui UPDF (Uganda People’s Democratic Front) telah mengambil peran yang paling aktif dalam kasus LRA sebelum pembentukan RTF di tahun 2012. Sejak pembentukan LRA, Uganda telah menyatakan perang dan sangat terlihat sejak tahun 2000an melalui operasi militer yang melakukan pengejaran terhadap kelompok tersebut. Uganda dari keempat negara korban LRA, merupakan negara yang menempatkan ancaman LRA sebagai prioritas dari pemerintah Uganda yang harus diselesaikan. Masalah yang muncul adalah Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, dan Republik Demokratis Congo tidak memiliki inisiatif yang sama dengan Uganda dari tahun 2008 tersebut. Hal tersebut membuat upaya dari MONUSCO dan UNMISS menjadi pasif dan kurang efektif, mengingat sangat tergantungnya Pasukan Perdamaian terhadap angkatan militer nasional negara. Negosiasi yang dilakukan secara terus menerus hanya dapat berhasil sejak pembentukan UNOCA di tahun 2011, dan telah setidaknya membangun urgensi masalah LRA kepada negara-negara korban. Meskipun demikian, hingga sekarang masih terlihat kurangnya komitmen diantara negara-negara korban LRA dalam memberantas kelompok tersebut. UNOCA memiliki kendala yang besar dalam mendorong keempat negara korban LRA untuk kontribusi lebih banyak pasukan. Perencanaan dari African Union Regional Task Force adalah untuk mengirimkan 5,000 pasukan dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Akan tetapi, UNOCA hanya mampu untuk menegosiasi dan mendapatkan jumlah pasukan sebanyak 2,860. Jumlah yang jauh dari ideal untuk bisa melakukan pengejaran terhadap LRA yang kini telah menyebar
143
ke wilayah-wilayah yang mencapi 115,000 mil persegi.151 Komitmen yang kurang membuat UNOCA menjadi semakin sulit untuk membuat Sudan Selatan, Republik Demokratis Congo dan Republik Afrika Tengah untuk mengirim lebih banyak pasukan. Kesulitan dalam African Union Regional Task Force (AU-RTF) sebagai usaha paling besar Dewan Keamanan dan UNOCA dalam memberantas LRA, adalah kapasitas dari pasukan militer yang tidak imbang. AU-RTF yang terdiri atas 3 negara saat ini, masih tidak memiliki kapasitas yang cukup bahkan untuk menjalankan sebuah operasi militer standar. Misalnya sebuah kelompok angkatan militer yang berlokasi di Nzara, Sudan Selatan. UPDF yang merupakan angkatan militer Uganda di lain sisi, memiliki kapasitas dan pengalaman yang cukup dalam memberantas kelompok LRA. Hingga akhir tahun 2012, proses AU-RTF terus berjalan dalam lingkup wilayah negara masing-masing untuk sementara. Alasannya adalah belum terdapat komando yang begitu jelas dalam AU-RTF yaitu Concept of Operations (CONOPS) yang telah disetujui oleh keempat negara. CONOPS menentukan konsep operasi militer yang akan dijalani, dan juga bagaimana rantai komando yang akan diterapkan nantinya. CONOPS juga esensial dalam menentukan misi, area operasi, taktik, logistik, dan strategi secara keseluruhan. Adanya kecurigaan berdasarkan sejarah menjadi salah satu kesulitan untuk menyatukan pemikiran tersebut. Uganda misalnya 151
ASADHO, ACAJ, CDJP, The Enough Project, EurAc, Global Center for the Responsibility to Protect, Group LOTUS, IKV Pax Christi, Invisible Children, Resolve, dan SAIPED, Getting Back on Track; Implementing the UN Regional Strategy on the Lord’s Resistance Amy Desember 2012, 2012, hal. 10.
144
yang dahulunya telah memberikan dukungan kepada kelompok pemberontak di Republik Demokratis Congo yaitu M23, yang menyebabkan Republik Demokratis Congo tidak memberikan izin kepada Uganda untuk memasuki wilayahnya walau dalam rangka pengejaran LRA.152 Konflik terhadap CONOPS yang belum disetujui telah berdampak langsung terhadap akses wilayah LRA. UNOCA hingga kini belum mampu mendorong Republik Demokratis Congo untuk berkontribusi terhadap pasukan militer AU-RTF. Tertutupnya Congo terhadap negosiasi tersebut telah membuat banyak wilayah kosong yang bisa dimasuki oleh LRA karena kurangnya penjagaan yang ada, menjadikan Congo harus menghadapi jumlah penyerangan terbanyak di tahun 2011 sebanyak 222, hampir 5 kali lebih banyak dibandingkan penyerangan di Republik Afrika Tengah dan di Sudan Selatan.153 Banyaknya wilayah yang tidak terjaga dengan ketat yang juga tidak mampu dijangkau oleh patroli MONUSCO, membuat Congo sarang LRA yang tepat selama periode 2008-2012. Congo juga merupakan negara paling pasif dari segi kebijakan domestik terhadap LRA, jika dibandingkan dengan 3 negara korban lainnya. Hal ini tentunya menjadi kendala besar PBB dalam memberantas kelompok LRA, akibat kesulitan negosiasi antar aktor yang terlibat. Sulit bagi Dewan Keamanan melalui UNOCA agar bisa memenuhi tugasnya dalam keadaan tersebut. Masalah politik yang muncul diantara beberapa negara anggota dalam AU-RTF, telah membuat kesulitan besar kepada PBB untuk menyatukan kekuatan negara-negara tersebut. 152 153
Ibid Ibid
145
B.3 Penerapan Disarmament, Demobilization, Repatriation, Resettlement, and Reintegration (DDRRR) Sejak tahun 2008 hingga 2012, PBB dihadapkan dengan beberapa kendala dalam penerapan program DDRRR. Program DDRRR memiliki dampak yang sangat signifikan dalam mengurangi jumlah dari kelompok LRA. Berhubungan LRA bukan merupakan organisasi yang terdiri atas anggota yang setia terhadap tujuan dari pemberontakan, maka mengurangi jumlah dari kelompok tersebut merupakan tujuan esensial dalam usaha pemberantasan kelompok LRA. Usaha pengurangan jumlah dapat dilakukan dengan cara pembunuhan langsung melalui cara koersif, atau menerapkan pendekatan agar anggota kelompok dengan sendirinya melarikan diri dari kelompok. DDRRR menggunakan taktik kedua, dan terbukti telah meningkatkan inisiatif dari puluhan hingga ratusan anggota LRA untuk melarikan diri dari kelompok LRA itu sendiri. Beberapa kendala akan tetapi tetap dihadapi oleh aktor pelaksana dari program DDRRR tersebut. Pertama adalah media penyebaran informasi yang digunakan oleh MONUSCO. Inisiatif untuk melarikan diri dari LRA akan muncul apabila anggota merasa bahwa ada peluang untuk melarikan diri, dan pemerintah mampu memberikan perlindungan kepada mantan anggota tersebut dari kemungkinan penyerangan oleh warga sebagai bentuk balas dendam. Penyebaran melalui selebaran selama ini dimanfaatkan oleh MONUSCO, juga melalui stasiun radio FM. Radio dianggap sebagai media yang sangat tepat dalam menyebarkan program DDRRR yang dikenal sebagai ‘Come Home’ di
tempat-tempat yang terpencil (sulit dijangkau) dan
146
merupakan mekanisme yang sangat efektif. Penggunaan radio akan tetapi hanya mencakup 30% dari keseluruhan wilayah korban LRA yang ada di Republik Afrika Tengah. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa wilayah yang sangat terpencil, yang juga tidak memiliki akses terhadap media radio. Hal tersebut merupakan kendala terbesar, mengingat pergerakan LRA fokus di wilayah-wilayah yang sangat terpencil seperti wilayah yang tidak memiliki akses radio, sehingga memberi dampak signifikan terhadap efektifitas pemberantasan terhadap kelompok LRA.154 Kendala kedua adalah adanya keraguan keamanan terhadap program DDRRR oleh anggota LRA yang berencana melarikan diri. UNOCA dan UNOAU telah memberikan dorongan kepada Uni Afrika agar menerapkan sebuah mekanisme yang akan menjamin keamanan bagi mereka mantan anggota LRA. Adanya ketakutan akan diserang oleh warga jika kembali ke komunitasnya masing-masing merupakan salah satu masalah terbesar dari kesuksesan program DDRRR. Pemerintahan masingmasing negara yang tidak transparan dalam hal informasi akan perlakuan yang akan diberikan kepada para mantan anggota LRA, telah membangun rasa takut terhadap kemungkinan prosekusi. Keraguan juga terbangun karena ketidakjelasan terhadap titik pertemuan. DDRRR di beberapa wilayah Republik Demokratis Congo menerapkan yang namanya Assembly Points (titik pertemuan). Titik pertemuan diciptakan oleh MONUSCO untuk mempermudah pelarian anggota LRA yang ingin melarikan diri. 154
ASADHO, ACAJ, CDJP, The Enough Project, EurAc, Global Center for the Responsibility to Protect, Group LOTUS, IKV Pax Christi, Invisible Children, Resolve, dan SAIPED, Getting Back on Track; Implementing the UN Regional Strategy on the Lord’s Resistance Amy Desember 2012, 2012, hal. 11.
147
Titik pertemuan tersebut akan menjadi titik penjemputan anggota LRA yang telah melarikan diri, dan akan dibawa menuju tempat yang aman. Proyek tersebut dilaksanakan oleh MONUSCO sejak Januari 2012, dan telah menemui beberapa kendala dalam penerapannya. Titik pertemuan yang ditetapkan oleh MONUSCO terletak di wilayah yang sangat terpencil, dan belum menjamin bahwa wilayahnya merupakan wilayah yang bebas dan aman dari LRA. MONUSCO juga menetapkan titik tersebut pada tempat dimana patroli yang dilakukan tidak secara rutin. Ketakutan dan keraguan terhadap program DDRRR paling jelas terlihat di Uganda. Uganda serta beberapa wilayah lainnya masih mengalami masalah dalam implementasi DDRRR. Meskipun telah didorong oleh PBB dan Uni Afrika agar menghargai HAM mantan anggota LRA, namun masih banyak pelanggaran yang sering dilakukan. Beberapa kasus saat tentara anak-anak dari LRA menyerahkan diri kepada UPDF, UPDF kerap melakukan kekerasan kepada anak tersebut karena sebelumnya telah menyerang angkatan militer Uganda. 155 Kedua faktor yaitu akses terhadap informasi dan ketidakjelasan beberapa hal dalam DDRRR itu sendiri menjadi faktor penghambat PBB dalam pemberantasan kelompok LRA dalam hal mengurangi jumlah LRA secara perlahan.
155
United Nations Security Council, Letter Dated 25 June 2012 from the Secretary-General Adressed to the President of the Security Council, United Nations: New York, 2012, hal. 19.
148
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan data-data dan fakta-fakta di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kelompok Lord’s Resistance Army
(LRA) merupakan sebuah kelompok
pemberontak yang dibentuk pada tanggal 1 April 1987. LRA dibentuk sebagai bentuk kekecewaan beberapa rakyat Uganda Utara terhadap pemerintahan yang terkesan melakukan diskriminasi terhadap kaum Acholi. Joseph Kony kemudian membentuk LRA sebagai wujud perlawanan terhadap pemerintahan Uganda, yang hingga kini masih terus berkembang. Kelompok LRA dikenal dengan
pelanggaran
HAM
berat
dengan
melakukan
pembunuhan,
pemerkosaan, dan perekrutan anak-anak untuk menjadi tentara anak-anak. Perkembangan
LRA
terus
berkembang,
dan
yang
dulunya
hanya
mempengaruhi Uganda, kini Republik Afrika Tengah, Republik Demokratis Congo, dan Sudan Selatan juga mendapat dampaknya. 2. Dalam mengatasi kelompok pemberontakan tersebut, organisasi internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berkontribusi banyak dalam pemberantasan kelompok LRA. Obligasi PBB melalui Dewan keamanan PBB telah diberikan mandat untuk mengatasi segala ancaman yang diberikan oleh aktor siapapun. Sejak tahun 2008, terdapat 3 Resolusi Dewan Keamanan PBB
149
yang secara langsung mendorong dilaksanakan tindakan yang tegas dalam mengatasi ancaman regional tersebut. Pendekatan politik dilakukan melalui UNOCA (UN Regional Office on Central Africa) dibawah mandat Dewan Keamanan telah berhasil menegosiasikan pembentukan pendekatan militer kolektif oleh keempat korban LRA. Pendekatan militer dilakukan dengan menambahkan mandat dari Pasukan Perdamaian PBB yang berada di Republik Demokratis Congo (MONUSCO:) dan Sudan Selatan (UNMISS), untuk melakukan patroli dan pengawalan di beberapa wilayah penyebaran dari LRA. Pendekatan terakhir melalui pemanfaatan radio lokal dan penyebaran selebaran yang berusaha mengajak anggota LRA untuk melarikan diri dari LRA. Beberapa dari pendekatan tersebut telah berkontribusi dalam membatasi ruang gerak, dan mengurangi jumlah anggota yang pada akhirnya melemahkan kelompok LRA. 3. Kendala yang dihadapi oleh PBB dalam pemberantasan kelompok LRA ada beberapa. Mandat yang diberikan Dewan Keamanan kepada Pasukan Perdamaian PBB saja, telah secara signifikan membatasi kemampuan Dewan Keamanan dalam menindak secara militer kelompok LRA, sebab mandat yang secara umum adalah perlindungan warga sipil. Kendala lainnya adalah segala pendekatan yang digunakan PBB sangat tergantung terhadap komitmen negara-negara korban LRA dan Uni Afrika sendiri. Meskipun memperlihatkan kemajuan, namun komitmen yang tidak maksimal menjadi faktor penghambat terbesar.
150
B. Saran Adapun saran-saran yang penulis dapat berikan dengan melihat kondisi yang dipaparkan di atas adalah : 1. Perlunya Dewan Keamanan PBB memberi asistensi dalam hal sumber daya militer seperti perangkat militer dan pelatihan yang lebih. Pemberantasan kelompok LRA akan sangat bergantung terhadap sumber daya dan kapasitas dari militer, sehingga Dewan Keamanan diperlukan dalam bantuan nyata tersebut. Asistensi bisa diberikan secara langsung, maupun melalui aktor ketiga yaitu Uni Afrika. 2. Perlunya Dewan Keamanan PBB ikut serta dalam memperbaiki rantai komando dari perang melawan LRA dan hubungan bilateral Republik Demokratis Congo dan Uganda. Berbagai aktor yang memiliki peran masingmasing melawan LRA, perlu disatukan dalam sebuah komando. Kehadiran Pasukan Perdamaian PBB, operasi militer kolektif dibawah Uni Afrika, dan militer
masing-masing
negara
korban
LRA,
akan
membuat
usaha
pemberantasan semakin rumit dan kompleks, sebab banyaknya aktor yang terlibat. Hal ini bisa diatasi melalui Komando yang jelas dalam menjalankan misi pemberantasan kelompok LRA. Perbaikan dalam hubungan bilateral juga menjadi salah satu faktor dari kegagalan komando perang melawan LRA di tahun 2008-2012. Perbaikan hubungan bilateral antara Pemerintahan Uganda dan Republik Demokratis Congo perlu dilakukan melalui peningkatan kerjasama di berbagai bidang keamanan dibutuhkan, agar proses memasuki
151
wilayah negara lainnya tidak akan dihadapkan dengan hambatan-hambatan yang ada. Dewan Keamanan dalam hal ini melalui Sekretaris-General perlu untuk melakukan negosiasi dengan kedua negara agar tidak terdapat kecurigaan-kecurigaan dalam perang melawan LRA. 3. Perlunya Dewan Keamanan PBB mengambil posisi yang tegas terhadap segala aktor negara yang tidak maksimal dalam perang melawan LRA, berhubung perang tersebut sudah berlangsung lama dan mempengaruhi wilayah Afrika Tengah secara regional. Komitmen diharapkan dapat tumbuh melalui ketegasan Dewan Keamanan PBB, yaitu dalam bentuk pemberian sanksi seperti embargo ekonomi atau embargo senjata. Sanksi untuk aktor pemerintahan misalnya pembekuan aset atau larangan terbang. Sanksi tersebut diharapkan akan meningkatkan ketegasan dari Republik Demokratis Congo, Republik Afrika Tengah, Uganda, dan Sudan Selatan agar fokus dan tegas dalam upaya pemberantasan kelompok LRA, mengingat kesuksesan PBB dalam Regional Task Force bergantung terhadap komitmen keempat negara pengaruh tersebut.
152