1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan taraf kesejahteraan kehidupan manusia yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Menghadapi proses globalisasi yang berpengaruh pada kehidupan nasional, diperlukan suatu visi dan rencana pendidikan yang lebih terarah. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan program pendidikan yang terfokus pada pengembangan kemampuan melalui matematika. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini (Depdiknas: 2005). Dalam standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah mata pelajaran matematika dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tanggal 23 Mei 2006 tentang standar isi (Yuli, 2009) telah disebutkan bahwa mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
2
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Sebagaimana yang diungkapkan Gagne (Nurdin, 2004) matematika memiliki objek kajian yang bersifat abstrak berupa konsep, fakta, operasi, dan prinsip. Objek kajian matematika tersebut tersusun secara hirarkis, mulai dari yang paling konkret sampai dengan yang paling abstrak, mulai dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling kompleks. Oleh karena itu, cara mempelajari matematika berbeda dengan cara mempelajari mata pelajaran lainnya. Belajar matematika memerlukan kesiapan intelektual yang memadai, aktivitas mental yang tinggi, dan kemampuan kognitif yang kompleks, seperti kemampuan berpikir divergen, kemampuan berpikir konvergen, kreativitas, persepsi, kemampuan pemecahan masalah, dan gaya kognitif. Mengacu kepada tujuan pendidikan nasional bahwa merupakan hal yang penting membangun Sumber Daya Manusia (SDM) yang kreatif. Dalam (UU SISDIKNAS: 2003) dikatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Guilford berpendapat (Munandar: 1992) kreativitas atau kemampuan berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal. Padahal kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu
3
kemampuan yang diharapkan dimiliki oleh setiap siswa untuk menghadapi tantangan perkembangan IPTEK saat ini. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian Hans Jellen dan Klaus Urban (Supriadi, 2009: 8) yang dilakukan pada tahun 1991 terhadap anak-anak Indonesia usia sekolah ternyata dibandingkan dengan 8 negara lain, anak Indonesia menampilkan ekspresi kreatif yang paling rendah. (negara-negara sampel adalah : Filipina, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, India, RRC, Kamerun, Zulu, Indonesia). Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian OECP PISA (Adiyoga, 2008) dukungan Bank Dunia terhadap 7355 siswa usia 15 tahun dari 290 SLTP/SMA/SMK se-Indonesia pada tahun 2003, diketahui 70% siswa RI hanya mampu menguasai matematika sebatas memecahkan satu permasalahan sederhana (tahap I), belum menyelesaikan dua masalah (tahap II), belum mampu menyelesaikan masalah kompleks (tahap III), dan masalah rumit (tahap IV). Lebih jauh lagi hasil survey tahun 2007 World Competitiveness Year Book memaparkan daya saing pendidikan di Indonesia dari 55 negara yang disurvei Indonesia berada pada urutan 53 (Mulia, 2010). Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari dunia pendidikan, lebih khususnya lagi tidak terlepas dari proses pembelajaran di kelas yang merupakan salah satu komponen dari pendidikan. Metode pembelajaran matematika yang diterapkan di sekolah, pada umumnya menggunakan metode pembelajaran ekspositori yaitu pembelajaran
4
dimulai dengan penyampaian materi, pemberian contoh soal oleh guru, dan dilanjutkan dengan pengerjaan soal-soal latihan rutin oleh siswa, pola belajar cenderung menghafal dan mekanistis. Lebih khusus lagi dalam pembelajaran matematika, dalam pembelajarannya di kelas guru tidak mengaitkan dengan skema (pengalaman) yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematis. Dalam kegiatan pembelajaran terdapat dua pendekatan pembelajaran yang cukup dominan
yaitu pendekatan tradisional dan pendekatan
konstruktivisme. Ada suatu perbedaan yang sangat berarti antara pendekatan konstruktivisme
dengan
pendekatan
tradisional,
yang
masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Di dalam konstruktivisme, peran guru bukan pemberi jawaban akhir atas pertanyaan siswa, melainkan mengarahkan mereka untuk membentuk (mengonstruksi) pengetahuan matematika sehingga diperoleh struktur matematika. Sedangkan dalam pendekatan tradisional, guru mendominasi pembelajaran dan guru senantiasa menjawab ’dengan segera’ terhadap pertanyaan-pertanyaan siswa. Hal lain yang tidak kalah penting dalam pembelajaran adalah kesiapan siswa ketika berada di kelas. Sebagian besar, siswa tidak memiliki persiapan untuk pembelajaran, siswa hanya mempersiapkan dirinya untuk mendapat transferan ilmu dari gurunya, akibatnya hasil pembelajaran kurang maksimal. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan suatu pendekatan pembelajaran
matematika
yang
memiliki
karakteristik
pembelajaran
5
berdasarkan paham konstruktivisme dan dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan dan mengkonstruksi sendiri ide-ide matematis serta menjaga suasana selama proses belajar agar tetap kondusif. Pengkondisian suasana selama proses pembelajaran sangat penting guru lakukan karena berkembangnya kemampuan berpikir kreatif siswa dalam pembelajaran harus ditunjang iklim yang baik (right climate) dan dorongan yang penuh dari berbagai komponen terhadap kemampuan berpikir kreatif siswa, termasuk guru (Hendrayana, 2008). Pembelajaran yang memiliki karakteristik tersebut di atas adalah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem posing. Pendekatan problem posing merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada kegiatan mengajukan masalah atau soal yang dilakukan oleh siswa sendiri. Pembentukan soal ini memberikan kesempatan seluasluasnya kepada siswa untuk mengkontruksi pengetahuan sesuai dengan perkembangan kemampuan berpikirnya (Kartini dalam Supriadi, 2009: 239). Problem posing atau pengajuan masalah adalah salah satu cara yang efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Tim Penelitian Tindakan Matematika (TPTM) (2002 : 2) mengatakan bahwa : 1. Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan membentuk masalah. 2. Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah.
6
English (Uswanto, 2007: 15) berpendapat bahwa pendekatan problem posing dapat membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan anak terhadap matematika sebab ide-ide matematika siswa dicobakan untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan performa dalam pemecahan masalah. Dalam kegiatan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing, siswa diminta untuk mengajukan masalah dari situasi yang diberikan oleh guru. Dalam hal ini siswa mengajukan banyak pertanyaan kemudian menjawab dengan sejumlah jawaban yang sesuai dengan pertanyaan yang telah dibuat. Siswa juga diharapkan mampu melahirkan ungkapan atau masalah-masalah yang baru dan unik yang tidak terpikirkan oleh siswa lain. Kegiatan tersebut diharapkan dapat mengembangkan aspek-aspek berpikir kreatif siswa yang merupakan dasar untuk mengukur kreativitas siswa. Hal ini sesuai dengan Silver et al. (1996: 75) yang mengatakan bahwa pemecahan masalah dan pengajuan masalah dapat meningkatkan kemampuan kreativitas melalui dimensi kreativitas, yaitu pemerincian (namely), kefasihan (fluency), fleksibilitas dan kebaruan (novelty). Pendekatan problem posing (pengajuan masalah) dapat dilakukan secara individu (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari siswa yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar belakangi oleh situasi yang diberikan. Masalah matematika yang diajukan oleh siswa yang dibuat secara
7
berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut. Akan tetapi berbeda dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil, akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan baik (Hamzah, 2003: 10). Selain itu ada beberapa keuntungan lain yang akan didapat dengan belajar
dalam
kelompok-kelompok
kecil,
diantaranya
adalah
dapat
memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah, dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan berdiskusi, dan dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa menghargai dan menghormati pribadi temannya, menghargai pendapat orang lain, serta saling membantu sesama anggota kelompok dalam usaha mencapai tujuan bersama. Merujuk pada latar belakang di atas, penulis tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pedekatan problem posing dalam kelompok kecil dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa SMA. Oleh karena itu, penulis memberi judul penelitian ini “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa melalui Pendekatan Pembelajaran Matematika Problem Posing.”
8
B. Rumusan dan Batasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah
peningkatan
kemampuan
berpikir
kreatif
siswa
yang
menggunakan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing dalam kelompok kecil lebih baik dibandingkan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran secara konvensional? 2. Bagaimana sikap siswa terhadap penerapan pendekatan problem posing dalam kelompok kecil yang telah dilaksanakan? Mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya maka dilakukan pembatasan masalah pada hal-hal berikut: 1. Mengingat bahan kajian matematika yang sangat luas, maka penelitian ini dibatasi hanya pada pokok bahasan sistem persamaan linear. 2. Subyek penelitian ini adalah siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Padalarang, kelas X semester dua, tahun ajaran 2010/2011.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem
9
posing dalam kelompok kecil dengan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran secara konvensional. 2. Mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing dalam kelompok kecil.
D. Manfaat Penelitian Apabila tujuan yang dimaksud tercapai, terdapat beberapa manfaat yang dapat disumbangkan bagi guru, siswa serta peneliti, di antaranya adalah: 1. Bagi siswa, melalui pembelajaran dengan pendekatan problem posing dalam kelompok kecil ini siswa mampu mengelaborasi ide-ide atau gagasan-gagasan yang mereka miliki sehingga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. 2. Bagi guru matematika, sebagai salah satu masukan untuk memilih dan mengembangkan alternatif pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. 3. Bagi sekolah, sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. 4. Bagi peneliti, mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan problem posing dalam kelompok kecil. 5. Bagi dunia penelitian, memberi gambaran tentang penerapan pendekatan problem posing dalam kelompok kecil yang bisa dijadikan masukan dalam mengembangkan penelitian-penelitian selanjutnya.
10
E. Definisi Operasional Untuk menghindari perbedaan atau kekurangjelasan makna, berikut ini adalah beberapa istilah penting dalam penelitian ini. 1. Berpikir kreatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan yang meliputi indikator: i. Kemampuan berpikir lancar (fluency) yaitu kemampuan mencetuskan banyak pertanyaan. ii. Kemampuan berpikir luwes (flexibility) yaitu kemampuan mengajukan masalah yang dapat dipecahkan dengan cara yang berbeda-beda. iii. Kemampuan
berpikir
orisinil
(originality)
yaitu
kemampuan
melahirkan ungkapan yang baru dan unik. iv. Kemampuan berpikir elaboratif (elaboration) yaitu kemampuan mengembangkan suatu gagasan atau produk. 2. Kreativitas adalah produk atau hasil dari buah pikir seseorang yang baru, asli, dan berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. 3. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran klasikal/biasa yang menggunakan metode ekspositori. Pembelajarannya dimulai dengan penyampaian materi, pemberian contoh soal oleh guru, dan dilanjutkan dengan pengerjaan soal-soal latihan oleh siswa. 4. Pendekatan problem posing merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mengharuskan siswa mengajukan masalah atau pertanyaan dari situasi yang diberikan oleh guru kemudian siswa menyelesaikan sendiri masalah yang telah dibuat tersebut.
11
5. Kelompok kecil merupakan kelompok belajar yang terdiri dari 3-4 siswa tiap kelompok dimana kemampuan siswa dalam tiap kelompok adalah heterogen.
F. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem posing dalam kelompok kecil lebih baik dibandingkan dengan peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa yang menggunakan pembelajaran secara konvensional.”