1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kesehatan adalah kebutuhan yang mendasar dan esensial bagi setiap manusia dalam menjalani kehidupan yang berkualitas. Setiap individu memiliki hak atas kesehatan yang sama, tanpa pembedaan antara satu dengan yang lainnya atas dasar alasan apapun. Hal ini diakui baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Pengakuan terhadap hak atas kesehatan sebagai bagian dari hak dasar manusia dapat ditemui pada Konstitusi World Health Organization (WHO) 1946, yang mendeklarasikan penikmatan atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau tanpa adanya pembedaan berdasarkan ras, agama, keyakinan politik atau kondisi ekonomi atau sosial sebagai salah satu hak dasar setiap manusia.5 Pengakuan ini dipertegas dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan, termasuk berhak atas perawatan medis.6 Falsafah dasar jaminan hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia merupakan raison d’etre kemartabatan manusia.7 Pengakuan terhadap hak atas kesehatan memberikan implikasi bahwa negara berkewajiban untuk menjamin suatu kondisi agar setiap individu dapat memiliki kesehatan yang sebaik-baiknya. Kondisi ini meliputi jaminan akses atas perumahan yang layak, air yang bersih, sanitasi yang baik, lingkungan yang sehat, kecukupan
5
Mukadimah Konstitusi World Health Organization 1946. Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. 7 Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia: Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 152. 6
2
pangan dan gizi, kondisi kerja yang sehat dan aman, edukasi dan informasi terkait kesehatan yang memadai, demikian pula akses atas pelayanan kesehatan.8 Sistem kesehatan yang efektif dan terintegrasi khususnya yang berkaitan dengan faktorfaktor penentu kesehatan dan pelayanan kesehatan merupakan aspek utama untuk mewujudkan hak atas standar kesehatan tertinggi yang dapat dijangkau.9 Berdasarkan Komentar Umum Nomor 14 mengenai Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi yang Dapat Dijangkau, terdapat tiga jenis kewajiban yang dibebankan pada Negara Pihak Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966 terkait hak atas kesehatan, yakni:10 1. Menghormati, yaitu menahan diri untuk tidak mengganggu penikmatan hak atas kesehatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Melindungi, yaitu mengambil langkah-langkah untuk mencegah pihak ketiga mengganggu penikmatan hak atas kesehatan. 3. Memenuhi, yaitu dengan mengadopsi peraturan, kebijakan, pendanaan dan langkah-langkah lain yang sesuai untuk mewujudkan hak atas kesehatan. Meskipun kewajiban utama untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan berada pada Negara Pihak Kovenan, seluruh anggota masyarakat baik individual, profesi kesehatan, masyarakat setempat, organisasi antar pemerintah, organisasi non pemerintah, organisasi masyarakat maupun sektor bisnis privat memiliki tanggung jawab pula untuk mewujudkan hak atas kesehatan. Negara Pihak
8
“The Right to Health”, World Health Organization, http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs323/en/, diakses pada tanggal 10 Oktober 2014. 9 United Nations High Commissioner for Human Rights, 2008b, The Right to Health: Fact Sheet Number 31, Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, Geneva, p. 27. 10 United Nations Committee on Economic, Social and Cultural Rights, 2000, “General Comment Number 14: The Right to the Highest Attainable Standard of Health”, Refworld, http://www.ref world.org/docid/4538838d0.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2014.
3
Kovenan dalam hal ini harus menciptakan kondisi yang dapat memudahkan pelaksanaan tanggung jawab pihak-pihak tersebut.11 Sebagaimana hak asasi manusia lainnya, prinsip dasar hak asasi manusia yakni prinsip kesetaraan dan prinsip non diskriminasi merupakan unsur kritis hak atas kesehatan.12 Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara pada situasi yang sama, sedangkan larangan diskriminasi adalah bagian dari kesetaraan hak asasi manusia.13 Hal ini berarti bahwa faktor-faktor penentu kesehatan dan pelayanan kesehatan sebagai komponen utama hak atas kesehatan harus dapat diakses oleh setiap individu tanpa diskriminasi. Prinsip non diskriminasi dalam hak atas kesehatan terletak pada elemen aksesibilitas hak atas kesehatan, yang memiliki empat dimensi yang saling tumpang tindih, yakni:14 1. 2. 3. 4.
Non diskriminasi (non discrimination). Akses secara fisik (physical accessibility). Akses ekonomi atau keterjangkauan (economical accessibility). Akses informasi (information accessibility).
Non diskriminasi berarti bahwa fasilitas, barang dan pelayanan kesehatan harus dapat diakses oleh setiap individu, khususnya oleh kelompok masyarakat rentan atau yang termarginalisasi, tanpa diskriminasi atas dasar apapun. Prinsip non diskriminasi menjadi landasan pula bagi ketiga dimensi lainnya. Fasilitas, barang dan pelayanan kesehatan harus terjangkau secara fisik dengan aman dan terjangkau secara ekonomis khususnya oleh kelompok masyarakat rentan, termarginalisasi atau yang tidak diuntungkan secara sosial dengan dasar non diskriminasi. Demikian pula
11
Ibid. United Nations High Commissioner for Human Rights, 2008b, loc. cit., p. 7. 13 Manfred Nowak, 2003, Pengantar Pada Rezim HAM Internasional, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, hlm. 66. 14 United Nations Committee on Economic, Social and Cultural Rights, 2000, loc. cit. 12
4
setiap individu memiliki hak yang sama untuk mencari, menerima dan memberikan informasi mengenai permasalahan kesehatan yang dialaminya.15 Dengan demikian hak asasi manusia menghendaki pengakuan atas akses pelayanan kesehatan bagi setiap individu.16 Perspektif hak asasi manusia, kelompok masyarakat rentan (vulnerable groups) kerapkali membutuhkan perhatian khusus, dikarenakan rentan terhadap diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Hal yang sama ditemui dalam konteks hak atas kesehatan, bahwa kelompok masyarakat rentan cenderung menerima perlakuan yang tidak semestinya dalam menghadapi permasalahan kesehatan sehingga lebih rentan terhadap penyakit.17 Kelompok masyarakat rentan diantaranya meliputi anakanak, wanita, lanjut usia, pengungsi dan pencari suaka, orang-orang tanpa kewarganegaraan, kelompok minoritas, buruh migran, penyandang cacat, penderita HIV/ AIDS dan kelompok-kelompok lainnya yang termarginalisasi.18 Di antara kelompok tersebut, pengungsi dan pencari suaka dapat dikatakan memiliki kerentanan paling besar. Hal ini dikarenakan pengungsi dan pencari suaka pada umumnya tidak memperoleh perlindungan dari negara manapun, baik dari negara asalnya maupun dari negara penerima.19 Selama proses pencarian suaka, pengungsi seringkali menghadapi berbagai pembatasan terkait akses ke wilayah aman, bahkan tidak jarang pengungsi dan 15
United Nations High Commissioner for Human Rights, 2008b, op. cit., p. 4. Katarina Tomasevski, “Hak Atas Kesehatan”, dalam Ifdhal Kasim dan Johanes da Masenus Arus, 2001, Dimensi-Dimensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Esai-Esai Pilihan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, hlm 277. 17 United Nations High Commissioner for Human Rights, 2008b, loc. cit. 18 “Human Rights Vulnerable and Disadvantaged Groups”, Unipune, http://www.unipune.ac.in/pdf_ files/Book_II_final_17-9-12.pdf, diakses pada tanggal 10 Oktober 2014. 19 Besmellah Rezaee, 2014, “The Human Face of Refugee Policy”, Right Now, http://rightnow.org. au/topics/asylum-seekers/the-human-face-of-refugee-policy/, diakses pada tanggal 13 Oktober 2014. 16
5
pencari suaka ditahan atau dipulangkan secara paksa ke wilayah tempat kehidupan, kemerdekaan dan keamanan mereka terancam.20 Pada saat sampai di negara penerima, pengungsi dan pencari suaka cenderung memiliki risiko kematian yang tinggi, dikarenakan buruknya kondisi kesehatan dan ketergantungan mereka pada bantuan dari pihak lain. Pada umumnya penyebab kematian meliputi diare, campak, infeksi pernafasan akut, malaria dan kekurangan gizi. Penularan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS juga kerap terjadi di antara pengungsi dan pencari suaka, yang salah satunya disebabkan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi.21 Selain itu, pengungsi dan pencari suaka rentan mengalami penyimpangan psikologis dan permasalahan kesehatan mental, khususnya depresi dan post traumatic stress disorder akibat berbagai kesengsaraan dan peristiwa traumatis yang dialaminya.22 Berdasarkan data United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), di kawasan Asia Tenggara terdapat 523.592 orang pengungsi dan pencari suaka pada bulan September 2014, dengan rincian 500.364 orang dari Myanmar, 4.786 orang dari Sri Lanka, 4.282 orang dari Afghanistan, 3.077 orang dari Pakistan dan 11.083 orang dari negara-negara lainnya.23 Dari keseluruhan jumlah tersebut, 4.131 pengungsi dan 5.450 pencari suaka tinggal di Indonesia.24 Letak Indonesia yang berada di antara negara-negara penerima pengungsi ataupun pencari suaka seperti
20
United Nations High Commissioner for Human Rights, 2008a, Human Rights and Refugees: Fact Sheet Number 20, Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, Geneva, p. 2. 21 “Healthcare in Refugee Camps and Settlements”, United For Sight, http://www.uniteforsight. org/refugee-health/module1, diakses pada tanggal 13 Oktober 2014. 22 “Mental Health in Refugee Camps and Settlements”, United For Sight, http://www.uniteforsight. org/refugee-health/module2, diakses pada tanggal 13 Oktober 2014. 23 “United Nations High Commissioner for Refugees Regional Office for South-East Asia Fact Sheet”, United Nations High Commissioner for Refugees, http://www.unhcr.org/50001b6a9.html, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014. 24 “Indonesia Fact Sheet”, United Nations High Commissioner for Refugees, http://www.unhcr.org/ 50001bda9.html, diakses pada tanggal 12 Oktober 2014.
6
Malaysia, Thailand dan Australia menjadikan Indonesia sebagai negara transit yang strategis. Di Indonesia, hak atas kesehatan mendapatkan jaminan konstitusi melalui pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah mengalami empat kali amandemen. Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.25 Hak setiap orang untuk memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau diatur pula dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.26 Namun demikian, pengaturan terkait pengungsi dan pencari suaka di Indonesia belum memiliki dasar hukum yang kuat. Sebagai konsekuensi belum diaksesinya Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 dan Protokolnya, pengungsi dan pencari suaka yang tinggal di Indonesia dikategorikan sebagai orang asing yang tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian atau imigran ilegal sesuai Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal. Hal ini berdampak pada ditempatkannya pengungsi dan pencari suaka di tempat penahanan, yang dikenal dengan sebutan Rumah Detensi Imigrasi. Penempatan pengungsi dan pencari suaka di Rumah Detensi Imigrasi menimbulkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia, termasuk halnya hak atas kesehatan. Permasalahan yang kerap muncul adalah kondisi Rumah Detensi 25 26
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
7
Imigrasi yang tidak layak, lamanya waktu tunggu serta terbatasnya bantuan kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan dan kesehatan.27 Sebagai alternatif dari tindakan penahanan di Rumah Detensi Imigrasi, sejak awal tahun 2000 International Organization for Migration (IOM) menjalankan suatu program untuk mengakomodasi pengungsi dan pencari suaka yang berada di Indonesia, yang kemudian dikenal sebagai Regional Cooperation Arrangement (RCA) Project. Melalui program tersebut IOM Indonesia memfasilitasi pengungsi dan pencari suaka, kemudian menempatkan mereka di tempat perlindungan dengan konsep terbuka (open shelters) di berbagai wilayah di Indonesia. Namun demikian, pada awalnya lokasi tempat perlindungan tidak selalu tetap dan bantuan kebutuhan dasar yang diberikan belum mencukupi. Kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan dan bantuan hukum merupakan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh penghuni tempat perlindungan.28 Pada beberapa tahun terakhir Pemerintah Indonesia dan IOM Indonesia memperkuat koordinasi penanganan pengungsi dan pencari suaka di wilayah Indonesia dan menghasilkan beberapa alternatif tindakan penahanan sebagai berikut:29 1. Pemerintah Indonesia dan IOM Indonesia menandatangani Memorandum of Understanding terkait penempatan pengungsi dan pencari suaka di noncustodial refugee shelter di Sekupang, Batam. 2. IOM Indonesia bekerja sama dengan Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara mengoperasikan kompleks Dinas Sosial Kota Stabat di Langkat, Sumatera Utara sebagai tempat perlindungan bagi pengungsi anak-anak yang terpisah dari orang tuanya (unaccompanied minors).
27
“Masalah Perlindungan”, Suaka-Indonesian Civil Society Network for Refugee Rights Protection, http://suaka.or.id/public-awareness/id-masalah-perlindungan/, diakses pada tanggal 7 Oktober 2014. 28 Ophelia Field, 2006, Alternatives to Detention of Asylum Seekers and Refugees, Office of the United Nations High Commissioner for Refugees, Geneva, p. 124. 29 Steve Hamilton, “Alternatives to Detention”, International Organization for Migration Indonesia Newsletter, Issue 4, 2014, pp. 1-4.
8
3. IOM Indonesia, melalui koordinasi dengan pemerintah setempat, menyewa dua buah rumah pribadi di Medan dan Makassar yang difungsikan sebagai tempat perlindungan bagi migran wanita. 4. Pemerintah Indonesia dan IOM Indonesia membentuk empat puluh enam fasilitas rumah komunitas (community house) di enam kota di Indonesia sebagai tempat pemukiman bagi pengungsi, pencari suaka dan migran. Di Yogyakarta, IOM Indonesia khususnya melalui Sub Kantor IOM Indonesia di Yogyakarta bekerja sama dengan Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta untuk memfasilitasi penempatan pengungsi yang telah memperoleh status di community house. Community house dibentuk sejak tahun 2012 dengan konsep government model shelter, memanfaatkan Rumah Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai tempat perlindungan bagi pengungsi, dengan pengawasan oleh Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta. Di samping para pengungsi yang dipindahkan dari Rumah Detensi Imigrasi, Rumah Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi DIY juga dihuni oleh fakir miskin dan anak terlantar berkewarganegaraan Indonesia.30 Sebagaimana halnya dengan community house dan tempat perlindungan lainnya, penempatan pengungsi di Rumah Perlindungan Sosial Dinas Sosial Provinsi DIY ditujukan untuk memberikan solusi yang lebih baik bagi pengungsi, sekaligus meningkatkan akses pengungsi terhadap berbagai kebutuhan dasar yang diperlukan, termasuk halnya kebutuhan pengungsi atas akses pelayanan kesehatan.
30
Data hasil wawancara dengan narasumber Bapak P. Hananto Kuscahyono selaku Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I Yogyakarta pada tanggal 9 Maret 2015.