1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keberhasilan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah dan masyarakat. Peran aktif masyarakat dalam proses pendidikan secara tidak langsung akan memberikan ruang gerak yang lebih luas sehingga masyarakat akan semakin dewasa dan semakin mandiri dalam menentukan masa depannya. Tingkat kedewasaan dan kemandirian masyarakat merupakan ciri yang tepat untuk menyongsong masa depan yang penuh tantangan dan peluang. Melihat kebutuhan masyarakat akan pelayanan pendidikan tidak dapat terakomodir secara keseluruhan melalui jalur persekolahan, maka pemerintah mengembangkan pelayanan kebutuhan masyarakat akan pendidikan melalui dua jalur pendidikan nasional, yakni jalur pendidikan sekolah atau pendidikan formal dan jalur pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal. Pendidikan luar sekolah (PLS) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memilki tugas dan tanggung jawab secara bersama-sama dengan jalur pendidikan sekolah dalam ruang lingkup yang berbeda. Keberadaan pendidikan luar sekolah adalah mengakomodir warga masyarakat yang karena suatu hal kebutuhan akan pendidikannya tidak dapat terlayani oleh pendidikan jalur persekolahan. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah baik dilembagakan maupun tidak, melalui kegiatan belajar
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
2
mengajar yang tidak berjenjang dan berkesinambungan pada satuan PLS yang meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus dan satuan pendidikan yang sejenis. Pendidikan Luar sekolah bertugas untuk menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, yang siap menghadapi perubahan sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan mutu sumber daya manusia dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi Human Development Indeks (HDI) suatu negara. Tiga komponen yang menjadi faktor penentu kualitas HDI atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM), meliputi: a). Kesehatan; b). Pendidikan; dan c). Pendapatan perkapita di suatu wilayah. Data United Nations Development Programs (UNDP) tahun 2000 mengungkapkan informasi bahwa Human Development Index kita sangat rendah. IPM Indonesia ternyata turun dari urutan 110 pada tahun 2000 menjadi urutan 111 pada tahun 2003 dari 174 negara yang dikaji oleh UNDP yang merupakan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi tahun 2008 dari 179 negara yang diteliti IPM Indonesia berada di urutan ke- 108 berada diatas Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Namun masih berada dibawah Brunei yang berada di urutan ke-27, Singapura ke-28, Malaysia ke-62, Thailand ke-80, Philipina ke-101 dan Srilangka ke-103 (http:// hdr. Undp.org/hdr 2008). Dari data tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembangunan Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain, bahkan dikawasan Asia Tenggara sekalipun. Sementara kita maklumi bersama bahwa pendidikan berhubungan langsung dengan isu-isu krusial seperti kemisikinan, kesehatan, kelompok sosial , kesejahteraan dan demokrasi.
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
3
Oleh karena itu kebijakan pemerintah dibidang Pendidikan Luar Sekolah tahun 2002–2005 ditujukan pada empat masalah klasik, yaitu pemerataan, mutu, relevansi dan efisiensi (Jalal, 2001: 2-3). Pada aspek pemerataan, tampak bahwa masalah putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan pendidikan merupakan persoalan serius yang dapat mempengaruhi penuntasan wajib belajar sembilan tahun dan yang paling mengkhawatirkan adalah mutu sumber daya manusia Indonesia yang tidak pernah mengalami peningkatan yang berarti (Bappenas, 1998: 3). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) memaparkan per Maret 2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa (13,33%) atau turun 1,51 juta dibandingkan Maret 2009. Kondisi tersebut saat ini tetap buruk dengan dampak krisis dan resesi global. Sementara dengan melihat tingkat pertumbuhan penduduk yang sebesar 1,49 persen per tahun atau sebesar 3,5 juta jiwa ( BKKBN: 2011) maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun tersebut menjadi 241 juta jiwa, hal ini menunjukkan laju penduduk terus membengkak, tapi juga memberi dampak luas bagi penyediaan pangan, pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja. Angka pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2011 telah mencapai 9,25 juta jiwa. Sementara itu berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Gorontalo bahwa jumlah penduduk Kota Gorontalo adalah 179.991 Jiwa, dimana 2803 jiwa diantaranya adalah pengangguran (Dinas Pendidikan Kota Gorontalo, 2011). Hal ini belum termasuk pengangguran setengah terbuka, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 30 jam perminggu. Tingginya angka pengangguran tersebut, perlu diatasi dengan
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
4
menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang unggul. Berkenaan dengan banyaknya pengangguran, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengungkapkan informasi bahwa setiap tahun terjadi penambahan angkatan kerja baru sekitar 2,5 juta orang, dan yang terserap disektor formal dan informal rata-rata hanya sekitar 20-30% (http//www. Nakertrans.go.id,2007). Rendahnya prosentase daya serap tersebut bukan semata-mata karena sempitnya lapangan kerja, akan tetapi kualifikasi yang diinginkan oleh lembaga pencari tenaga kerja tidak terpenuhi oleh pencari kerja. Informasi ini memberikan petunjuk bahwa masyarakat sangat memerlukan pendidikan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan dunia usaha/industri, agar dapat dijadikan bekal untuk memasuki lapangan kerja atau usaha mandiri. Disamping itu, permasalahan yang berkaitan dengan merosotnya rasa kebangsaan dikalangan pemuda yang mengarah pada disintegrasi bangsa, penggunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas dan etos kerja yang rendah makin meningkat setiap saat. Masalah kemiskinan dan pengangguran bukan saja menjadi masalah pendidikan tetapi bisa jadi masalah politik, namun paradigma pendidikan liberal mendominasi pemikiran tentang pendidikan, baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal seperti berbagai macam pendidikan melalui pelatihan dan keterampilan. Akar dari pendidikan liberal adalah pandangan yang menekankan pada kemampuan, melindungi hak dan kebebasan serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan demi menjaga stabilitas jangka panjang (Fakih, 2001:20). Dalam pandangan PLS, pengangguran atau pengangguran terampil memerlukan reorientasi untuk melihat lagi kemampuan dan masalah-masalah
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
5
yang dihadapi sehubungan dengan dunia kerja, dengan reorientasi barangkali ada bagian kemampuan pada dirinya yang perlu dimuktahirkan sesuai dengan tuntutan perubahan keadaan. Peningkatan kemampuan untuk meraih kembali peluang kerja baru yang masih tersedia atau menciptakan lapangan-lapangan kerja baru secara inovatif. Tuntutan peningkatan kemampuan ini merupakan aktualisasi dari konsep belajar sepanjang hayat. Coombs (1994: 121) berpendapat bahwa pendidikan luar sekolah yang tepat seperti kursus dan pelatihan dapat dijadikan sebagai alternatif selain pendidikan sekolah untuk mengurangi kemiskinan. Lebih lanjut Bellante dan Jakson (1990:172) mengutarakan bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan mempengaruhi tingkat pendapatan. Mereka yang mempunyai pendidikan dan keterampilan lebih tinggi cenderung memperoleh pendapatan yang lebih tinggi pula. Salah satu cara mendapatkan pelajaran baru untuk memuktahirkan pengetahuan, keterampilan dan/atau sikap itu adalah melalui program pelatihan atau training atau institutional program. Meskipun telah demikian banyak program pengentasan kemiskinan atau program penanggulangan pengangguran telah diselenggarakan namun hasilnya belum dikatakan memuaskan. Untuk itu maka penyelenggaraan layanan pendidikan nonformal harus mengikuti dinamika dan perubahan yang terjadi dengan menciptakan sumber daya manusia yang kaya akan pengetahuan dan keterampilan hidup serta ditunjang dengan nilai-nilai profesionalisme. Pendidikan kecakapan hidup (life skill education) pada intinya adalah penyelenggaraan pendidikan nonformal yang dapat dijadikan sebagai solusi dalam rangka mengikuti perubahan dan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
6
sekaligus
untuk
mengatasi
pengangguran,
pengentasan
kemiskinan
dan
pemberdayaan. Seiring dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah angka pengangguran dan penanganan masyarakat miskin yang jumlahnya semakin meningkat. Pendidikan kecakapan hidup merupakan konsepsi yang dimaksud memberikan kepada seseorang bekal pengetahuan, keterampilan dan kecakapan fungsional berupa pribadi, sosial akademik dan vocasional, agar seseorang mampu bekerja atau berusaha mandiri dengan memanfaatkan potensi yang ada pada lingkungannya. Pengenalan pendidikan kecakapan hidup (life skill education) pada semua jenis dan jenjang pendidikan pada dasarnya didorong oleh anggapan bahwa relevansi antara pendidikan dengan kehidupan nyata kurang erat. Kesenjangan antara keduanya dianggap lebar, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Pendidikan makin terisolasi dari kehidupan nyata sehingga tamatan pendidikan dari berbagai jenis dan jenjang pendidikan dianggap kurang siap menghadapi kehidupan nyata. Suatu pendidikan dikatakan relevan dengan kehidupan nyata jika pendidikan tersebut sesuai dengan kehidupan nyata. Hal ini tentu sangat membutuhkan kemampuan seorang pendidik atau fasilitator menyajikan suatu proses pembelajaran dengan menggunakan model-model pembelajaran yang disesuaikan karakteristik dan kebutuhan peserta didik atau peserta pelatihan. Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
7
suatu pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Berkenaan dengan model pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil (dalam Supriawan dan Surasega, 1990: 32) mengetengahkan 4 (empat) kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan informasi; (3) model personalhumanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku. Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut diidentikkan dengan strategi pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan pada beberapa program pelatihan dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (pelatih,
pengajar,
fasilitator,
instruktur,
dan
sejenisnya)
tidak
terlalu
mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu warga belajar itu mampu menemukan alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Warga belajar (peserta pelatihan) pada hakekatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itu, peserta pelatihan dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya.
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
8
Artinya, peserta pelatihan akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka. Peserta pelatihan memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Peserta pelatihan mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dan lain-lain). Oleh karena sifat belajar bagi peserta pelatihan adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar. Namun demikian, pembelajaran perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbing atau fasilitator, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud. Keterbukaan seorang pembimbing atau fasilitator sangat membantu bagi kemajuan peserta pelatihan dalam mengembangkan potensi pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
9
psikologis dan psikis peserta pelatihan. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat peserta pelatihan mendapat ejekan, hinaan, atau dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan dapat diciptakan. Bagi peserta pelatihan, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar. Pada akhirnya,peserta yang mengikuti pelatihan ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi peserta pelatihan tentunya mempunyai kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok yang dirasakan berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan. Dalam hal lainnya, tidak dapat disangkal bahwa peserta pelatihan belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
10
tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil. Usaha-usaha kearah penerapan pendidikan kecakapan hidup dalam program pelatihan telah dicobakan oleh beberapa ahli, berdasarkan empat asumsi dasar peserta pelatihan seperti telah dijelaskan di atas yaitu: konsep diri, akumulasi pengalaman, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Asumsi dasar tersebut dijabarkan dalam proses perencanaan kegiatan pendidikan dengan langkahlangkah sebagai berikut: (a). Menciptakan suatu struktur untuk perencanaan bersama. Secara ideal struktur semacam ini seharusnya melibatkan semua pihak yang akan terkenai kegiatan pendidikan yang direncanakan, yaitu termasuk para peserta kegiatan belajar atau warga belajar, guru atau fasilitator, wakil-wakil lembaga dan masyarakat; (2). Menciptakan iklim belajar yang mendukung untuk peserta pelatihan untuk belajar. Adalah sangat penting menciptakan iklim kerjasama yang menghargai antara fasilitator dan peserta pelatihan. Suatu iklim belajar dapat dikembangkan dengan pengaturan lingkungan phisik yang memberikan kenyamanan dan interaksi yang mudah, misalnya mengatur kursi atau meja secara melingkar, bukan berbaris-berbaris ke belakang. fasilitator lebih bersifat membantu bukan menghakimi; (3). Diagnosa sendiri kebutuhan belajarnya. Diagnosa kebutuhan harus melibatkan semua pihak, dan hasilnya adalah kebutuhan bersama; (4) Formulasi tujuan. Agar secara operasional dapat dikerjakan maka perumusan tujuan itu hendaknya dikerjakan bersama-sama dalam
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
11
deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diatas; (5) Mengembangkan model umum. Ini merupakan aspek seni dari perencanaan program, dimana harus disusun secara harmonis kegiatan belajar dengan membuat kelompok-kelompok belajar baik kelompok besar maupun kelompok kecil; (6). Perencanaan evaluasi. Seperti halnya dalam diagnosa kebutuhan, dalam evaluasi harus sejalan dengan prinsip-prinsip dari peserta pelatihan, yaitu sebagai pribadi dan dapat mengarahkan diri sendiri. Kegiatankegiatan tersebut dilaksanakan untuk mengembangkan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran kecakapan hidup tersebut merupakan suatu model yang berorientasi pada keterampilan proses. Proses pembelajaran menekankan pada kegiatan ketrampilan proses yang digunakan untuk mengungkap dan menemukan fakta dan konsep serta menumbuhkan sikap dan nilai yang dilakukan oleh peserta pelatihan. Proses pembelajaran dengan pendekatan ini dimulai dari obyek nyata atau obyek yang sebenarnya dengan menggunakan pengalaman langsung, sehingga peserta pelatihan diharapkan terjun dalam kegiatan belajar mengajar yang lebih realistis, juga diajak ,dilatih, dan dibiasakan melakukan observasi langsung dan membuat kesimpulan sendiri. Tujuan pembelajaran kecakapan hidup sebagai proses adalah untuk meningkatkan keterampilan berpikir peserta pelatihan, sehingga mereka bukan hanya mampu dan terampil dalam bidang psikomotorik, melainkan juga mempunyai kemampuan berpikir kritis dalam memecahkan masalah.
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
12
Selain itu, terdapat beberapa pendekatan yang diterapkan dalam pendidikan kecakapan hidup, satu diantaranya adalah pendekatan andragogi. Pendekatan andragogi merupakan upaya membelajarkan orang dewasa. Pembelajaran orang dewasa lebih menekankan pada membimbing dan membantu orang dewasa untuk menemukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka memecahkan, masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Ketepatan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil belajar peserta pelatihan. Dalam andragogi peranan fasilitator adalah mempersiapkan seperangkat atau prosedur untuk mendorong dan melibatkan secara aktif seluruh peserta pelatihan yang dikenal dengan pendekatan partisipatif, yang meliputi elemen-elemen: a) menciptakan iklim dan suasana yang mendukung proses belajar mandiri, b) menciptakan mekanisme dan prosedur untuk perencanaan bersama dan partisipatif, c) melakukan diagnosis kebutuhankebutuhan belajar yang spesifik, d) merumuskan tujuan program yang memenuhi kebutuhan belajar, e) merencanakan pola pengetahuan belajar, f) melakukan dan menggunakan pengalaman belajar dengan metode dan teknik yang memadai dan g) mengevaluasi hasil belajar dan mendiagnosis kembali kebutuhan-kebutuhan belajar, sebagai model proses. Berdasarkan pada implikasi andragogi dalam praktik pembelajaran pada kegiatan pelatihan maka seorang fasilitator harus dapat mempersiapkan dan mengatur keberlanjutan prosedur pembelajaran yang melibatkan peserta pelatihan dalam proses pembelajaran dalam bentuk: (a) menciptakan kondisi yang konduksif untuk pembelajaran, (b) menciptakan mekanisme perencanaan yang
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
13
memberikan timbal balik, (c) mendiagnosis kebutuhan untuk pembelajaran, (d) merumuskan tujuan program pembelajaran yang memuaskan kebutuhan, (e) mengkonstruksi pengalaman pembelajaran yang sesuai, (f), mengevaluasi tingkat pencapaian hasil pembelajaran dan mendiagnosis kembali kebutuhan belajar. Pengembangan model pembelajaran andragogi dalam meningkatkan kecakapan hidup disesuaikan dengan kondisi daerah atau lingkungan peserta pelatihan
sehingga
bentuk-bentuk
keterampilan
yang
diharapkan
dapat
dikuasainya. Dalam hal ini substansi materi pembelajaran mengacu pada hasil analisis terhadap keunggulan lokal daerah dan diterapkan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta pelatihan sehingga dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar. Dengan adanya model pembelajaran yang sedemikian rupa maka diharapkan keterampilan berusaha peserta pelatihan akan meningkat. Uraian di atas mengindikasikan bahwa pelatihan dengan menggunakan model pembelajaran andragogi mutlak dilaksanakan pada pelatihan-pelatihan pendidikan
nonformal.
Namun
kenyataannya,
pelatihan-pelatihan
yang
dilaksanakan masih menggunakan cara-cara konvensional dan belum menerapkan pendekatan andragogi sehingga pendidikan kecakapan hidup yang diharapkan dapat meningkatkan keterampilan dan perilaku peserta pelatihan tidak tercapai dengan baik. Pada umumnya peserta tidak mengalami perubahan setelah mengikuti pelatihan yang diberikan bahkan perilaku wirausaha yang diharapkan tidak meningkat. Hal ini disadari bahwa pendekatan andragogi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup, terutama bagi pemuda putus sekolah.
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
14
Demikian pula halnya dengan pelatihan yang dilaksanakan bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. Pada umumnya pelatihan yang diberikan belum dapat
mengembangkan
kemampuan
peserta
pelatihan,
terutama
model
pembelajaran pelatihan dan juga pendampingan setelah pelatihan tersebut selesai dilaksanakan. Salah satu pelatihan yang diberikan oleh pemerintah maupun lembaga masyarakat bagi pemuda putus sekolah adalah pelatihan tentang pengolahan enceng gondok sebagai salah satu tumbuhan yang hidup liar di Danau Limboto. Bagi masyarakat Gorontalo, enceng gondok hanya dianggap sebagai tumbuhan pengganggu
sehingga
terbuang
secara
percuma.
Walaupun
ada
yang
memanfaatkannya, terbatas pada makanan ternak dan menjualnya jika ada yang membelinya. Perilaku masyarakat tersebut menunjukkan bahwa jiwa dan perilaku wirausaha belum nampak dan belum berkembang dengan baik. Hal ini tentunya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan enceng gondok tidak terkelola dengan baik. Bila masyarakat memiliki jiwa wirausaha, maka masyarakat akan berusaha memanfaatkan enceng gondok dengan sebaik-baiknya dalam kerangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya. Usaha dan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas telah banyak cara yang dilakukan mulai dengan memberikan pelatihan tentang bagaimana mengolah enceng gondok menjadi suatu bahan kerajinan yang bernilai jual tinggi, mengolah enceng gondok menjadi pupuk organik sampai pada usaha membersihkan danau dari enceng gondok.
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
15
Dari beberapa permasalahan yang telah diungkapkan di atas menggugah penulis untuk menelitinya, dengan melakukan studi eksplorasi berbagai faktor yang berasal dari ketidakmampuan peserta pelatihan mendayagunakan hasil belajar setelah pembelajaran. Setelah itu, penelitian ini dilanjutkan dengan mengembangkan suatu model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah dengan harapan agar setiap pemuda putus sekolah yang telah mengikuti pembelajaran atau pelatihan tentang pengolahan enceng gondok dapat memiliki bekal keterampilan yang memadai setelah mereka mengikuti pelatihan pada kelompok usaha produktif yang ada khususnya di Kota Gorontalo. Dalam penelitian ini, model pembelajaran andragogi dilaksanakan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku pemuda putus sekolah dalam pengolahan enceng gondok. Materi enceng gondok diangkat dalam pelatihan ini dengan alasan: (1) enceng gondok dapat ditemui di mana saja, terutama di Danau Limboto; (2) enceng gondok hanya dijadikan sebagai makanan ternak; (3) enceng gondok dianggap sebagai tanaman liar yang menjadi penyebab mendangkalnya Danau Limboto; (4) enceng gondok dapat dijadikan sebagai bahan keterampilan kerajinan tangan yang bernilai jual tinggi. Dari hasil observasi diperoleh bahwa kelompok usaha yang menitik beratkan pelatihannya pada enceng gondok di Kota Gorontalo ada dua kelompok usaha yaitu kelompok usaha yang berada di Kelurahan Dembe yang berada di Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo dan di Kelurahan Libuo Kecamatan Dungingi Kota Gorontalo, kedua wilayah ini berada tepat dipesisir Danau
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
16
Limboto. Adapun peserta pelatihan yang tercatat dalam kelompok usaha ini berjumlah 20 orang. Sebagian besar peserta pelatihannya adalah pengangguran atau pemuda putus sekolah yang karena masalah ekonomi keluarga tidak dapat melanjutkan pendidikan formalnya (Bidang PNFI Diknas Kota Gorontalo, 2011). Oleh
sebab
itu,
untuk
mengatasi
permasalahan
tersebut
perlu
dikembangkan suatu model pembelajaran andragogi. Pelaksanaan pelatihan yang selama ini dilaksanakan dengan model pembelajaran sebelumnya di rasa belum optimal karena belum menunjukkan kecakapan hidup yang diharapkan, khususnya bagi pemuda putus sekolah. Hal ini disadari bahwa model pembelajaran dengan pendekatan andragogi merupakan suatu model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuannya dalam proses pelatihan baik dalam bentuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, penilaian, maupun pengembangan sehingga peserta pelatihan dapat mengetahui perkembangan hasil belajarnya. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu adanya rancangan model pembelajaran yang baru dengan melihat model pembelajaran yang sudah ada. Pengembangan model tersebut dibuat sesuai dengan kebutuhan peserta pelatihan sehingga melalui pelatihan dapat ditingkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan sebagai keluarannya, serta berdampak pada pertumbuhan usaha baru dan pendapatan serta kesejahteraan keluarga. Pengembangan model pembelajaran yang akan dibuat yaitu “Pengembangan Model Pembelajaran Andragogi Untuk Meningkatkan Kecakapan Hidup bagi Pemuda Putus Sekolah di Kota Gorontalo”. Pengembangan model tersebut
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
17
diasumsikan dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan berusaha peserta
pelatihan
sebagai
output,
serta
peningkatan
produktivitas
dan
pendapatannya sebagai outcome pembelajaran.
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka masalah dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai berikut: 1. Model pembelajaran dalam pelatihan peningkatan kecakapan hidup di Kota Gorontalo belum menggunakan pendekatan andragogi. Pendekatan pembelajaran andragogi adalah
kegiatan pembelajaran orang
dewasa yang bertumpu pada keterlibatan dan keikutsertaan secara penuh peserta pelatihan dalam suatu kegiatan pelatihan. 2. Model pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah yang dilaksanakan pada KUPP di Kota Gorontalo belum sesuai kebutuhan masyarakat, potensi wilayah, dan peluang usaha yang ada. 3. Penerapan model pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah yang selama ini dilaksanakan di Kota Gorontalo belum mempunyai struktur kurikulum yang jelas. 4. Model pembelajaran kecakapan hidup yang diterapkan dalam pelatihan belum dapat membangkitkan semangat berwirausaha bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
18
2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka pembatasan dan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah belum terdapat pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup yang memberikan kontribusi yang bermakna bagi pemberdayaan pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. Adapun fokus kajian untuk menjawab rumusan di atas, maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo? 2. Bagaimana pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo? 3. Bagaimana efektifitas pelaksanaan pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo? 4. Bagaimana faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo?
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
19
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah, penelitian ini secara umum memiliki tujuan menemukan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. Sedangkan yang menjadi tujuan khususnya adalah untuk: 1. Memperoleh gambaran kondisi objektif pembelajaran kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. 2. Memperoleh gambaran tentang pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. 3. Mendeskripsikan tentang efektifitas pelaksanaan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo. 4. Mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah di Kota Gorontalo.
D. Manfaat Penelitian Pengembangan model andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi pemuda putus sekolah diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan keilmuan kajian pendidikan luar sekolah,
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
20
khususnya pengembangan model pendidikan luar sekolah yang berkaitan dengan konsep pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat dan kewirausahaan. Dengan difokuskannya penelitian ini pada usaha untuk menemukan model, maka penelitian ini pun dapat dijadikan prototype pengembangan model pembelajaran andragogi untuk meningkatkan kecakapan hidup
pada kelompok usaha
berikutnya. Pada akhirnya, hasil penelitian ini pun diharapkan dapat bermanfaat bagi perluasan kajian materi-materi PLS pada masyarakat. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut. a. Dapat memberikan masukan bagi penyusun kebijakan dan pembina kelompok usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan berwirausaha melalui model yang akan dikembangkan. b. Dapat memberikan masukan positif bagi lembaga pengelola atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan kelompok usaha dalam hal mengevaluasi pengembangan model yang selama ini dilaksanakan. c. Bahan pertimbangan adanya studi banding bagi pengelola kelompok usaha lainnya
terutama
mengenai
pengembangan
model
andragogi
untuk
meningkatkan kecakapan hidup. d. Bermanfaat sebagai bahan kajian dan memberikan arah bagi pihak lain yang berminat untuk meneliti permasalahan ini secara lebih lanjut.
Romy Baruwadi, 2012 Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu