BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Infeksi
kesehatan
cacing
masyarakat
merupakan yang
salah
paling
satu
penting
masalah
di
seluruh
dunia, terutama didaerah tropis dan subtropis seperti Afrika,
Asia,
Ofoezie,
Amerika
2003).
Di
Pusat
dan
Indonesia
Selatan
prevalensi
(Asaolu
&
kecacingan
masih tinggi terutama di daerah pedesaan dan daerah kumuh
(Mardiana
hampir
sebagian
&Djarismawati,
2008).Di
Pulau
Jawa
masyarakatnya
belum
terbebas
dari
infeksi kecacingan yang disebabkan oleh parasit usus (Wachidanijah dkk, 2002). Wachidanijah dkk (2002) menyebutkan bahwa kirakira 70% anak SD yang positif cacingan, 58% diantaranya adalah usia 11-13 tahun.Penelitian lain yang dilakukan di Jakarta Utara
dan di Jakarta Selatan didapatkan 49%
dan 10% yang positif telur cacing usus (Mardiana & Djarismawati, 2008). Parasit usus yang menular lewat tanah atau sering disebut
soil-transmitted
helminth(STH)
merupakan
kelompok parasit yang siklus hidupnya tergantung diluar tubuh manusia sebagai inangnya, biasanya di tempat yang
1
2
lembab seperti tanah.Jenis parasit yang termasuk STH adalah
cacing
cambuk
gelang
(Trichuris
(Ascaris
cacing
lumbricoides), dan
trichiura),
cacing
tambang
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Gill & Beeching,2009).Infeksi
cacing
usus
merupakan
infeksi
kronik yang banyak menyerang pada anak usia balita dan sekolah dasar (Mardiana & Djarismawati, 2008). Infeksi sanitasi
kecacingan
yang
buruk,
dipengaruhi kebersihan
oleh
diri,
faktor kurangnya
pengetahuan, sosial-ekonomi, dan lingkungan yang buruk (Tjitra,
1991;Mardiana
kecacingan
jarang
menimbulkan dkk,
&Djarismawati,
menyebabkan
kelemahan
1989).Selain
itu
pada
2008).Infeksi
kematian
penderitanya
juga
dapat
tetapi
dapat
(Ernaningsih
menyebabkan
anemia
defisiensi besi, gangguan pertumbuhan, gangguan gizi, dan gangguan kecerdasan (Pasaribu, 1992). Untuk
mendiagnosis
infeksi
kecacingan,
perlu
dilakukan pemeriksaan parasitologi dengan menggunakan sampel
feses
untuk
melihat
ada
tidaknya
telur
cacing.Pemeriksaan parasitologi dapat dilakukan dengan berbagai
teknik
pemeriksaan konsentrasi,
pemeriksaan
metode
yaitu,
pengapungan,
metode
teknik
pemeriksaan
sedimentasi,
dan
apusan, metode teknik
penghitungan telur (Chatterjee, 2009).
3
Pemeriksaan secara
infeksi
kecacingan
pemeriksaan
kuantitatif.Pemeriksaan
dapat
dilakukan
kualitatif
dan
secara
kualitatif,
yaitu
pemeriksaan yang berdasarkan ditemukannya telur cacing pada
setiap
kuantitatif,
metode yaitu
pemeriksaan.Pemeriksaan pemeriksaan
yang
metode
berdasarkan
ditemukannya jumlah telur di tiap gram feses (Keputusan Menteri
Kesehatan
Republik
424/Menkes/SK/VI/2006,
tentang
Indonesia Pedoman
Nomor
Pengendalian
Kecacingan). Pemeriksaan kualitatif yang lebih sering digunakan adalah teknik apusan langsung (direct smear), karena ini lebih sederhana dan mudah untuk dilakukan serta pada
pemeriksaan
ini
tidak
perlu
menentukan
derajat
infeksi kecacingan.Untuk pemeriksaan kuantitatif yang paling sering digunakan adalah metode Kato, dilakukan untuk menentukan derajat infeksi kecacingan.Metode ini lebih banyak dilakukan pada survey epidemiologi untuk mengidentifikasi derajat infeksi kecacingan (Glinz dkk, 2010). Pemeriksaan
Kato
biasanya
digunakan
untuk
pemeriksaan kuantitatif.Akan tetapi, sebenarnya metode ini bisa dikembangkan sebagai metode kualitatif.Cara yang
dilakukan
yaitu,
feses
dibuat
apusan
langsung
4
perbedaannya adalah selanjutnya ditutup dengan selofan malachite green seperti metode Kato kualitatif. Sensitifitas dan spesifisitas merupakan indikator yang
menunjukkan
diagnostik.
validitas
Tiap
suatuuji
teknik
pemeriksaan
pemeriksaan
memiliki
sensitifitas dan spesifisitas yang berbeda.Sensitifitas adalah
proporsi
subjek
yang
sakit
dengan
hasil
uji
diagnostik positif dibandingkan dengan seluruh subjek yang sakit. Spesifisitas adalah proporsi subjek yang tidak
sakit
yang
diagnostiknegatif
memberikan
dibandingkan
dengan
hasil seluruh
uji pasien
yang sakit ( Sastroasmoro & Ismael, 1995).
II.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
spesifisitas
terdapat metode
perbedaan Kato
sensitifitas
kualitatif
dengan
dan metode
Langsung pada pemeriksaan telur cacing soil transmitted helminth? 2.
Apakah
perbedaan
sensitifitas
dan
spesifisitas
tersebut berhubungan dengan intensitas telur cacing?
III. Tujuan Penelitian 1.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya
perbandingan uji sensitifitas dan spesifisitas metode
5
Kato kualitatif dengan metode langsung pada pemeriksaan telur cacing soil transmitted helminth. 2.
Mengetahui
hubungan
perbedaan
sensitifitas
dan
spesifisitas metode Kato kualitatif dan metode langsung terhadap intensitas infeksi kecacingan.
IV.
Keaslian Penelitian Berbagai penelitiantelah dilakukan untuk menguji
sensitifitas dan sepesifisitas metode Kato dan metode apusan metode
langsung(direct Kato
yang
kuantitatif.Dengan
smear).Akan
digunakan demikian
tetapi,
biasanya
adalah
metode
Kato
pemakaian
metode
Kato
kualitatif merupakan keaslian penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Tarafder dkk (2009) menyebutkan metode Kato menunjukkan sensitifitas yang lebih baik untuk mendeteksi infeksi dan
T.trichiura
pada
cacing
A.lumbricoides dan
tambang
menunjukkan
sensitifitas yang lebih rendah. Endriss dilakukan
dkk
pada
(2013)
354
pada
subjek
penelitiannya
menunjukkan
yang
sensitifitas
metode Kato 81%.Disebutkan juga, metode Kato memiliki kapasitas
yang
tambang,
tetapi
mendeteksi
rendah memiliki
Schistosoma
untuk
mendiagnosis
sensitifitas mansoni,
yang
cacing tinggi
A.lumbricoides,
6
danT.trichiura.Sedangkan
metode
menunjukkan sensitifitas yang rendah
apusan
langsung,
dalam mendeteksi
A.lumbricoides, T.trichiura, dan cacing tambang.
V.
Manfaat penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui
perbandingan uji sensitifitas dan spesifisitas metode Kato
kualitatif
dengan
metode
langsung,
serta
mengevaluasi kelebihan dan kekurangan dari kedua metode pemeriksaan tersebut.