BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam setengah abad ke depan petani Indonesia akan punah jika setiap tahun terjadi penyusutan jumlah petani dan tidak ada regenerasi yang secara serius dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Salah satu permasalahan terkait tenaga kerja pertanian adalah kurangnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian. Kurangnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian dikarenakan penghasilan menjadi petani sangat kecil, yaitu rata-rata Rp 200.000,perbulan seperti yang dikatakan oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman 1 . Penghasilan rata-rata yang rendah tersebut membuat para pemuda mencari pekerjaan lain di kota dengan penghasilan yang dianggap lebih layak daripada sekedar menjadi petani. Dari total sekitar 26,14 juta petani, hanya 3,36 juta jiwa yang berusia di bawah 34 tahun, mayoritas petani justru berasal dari golongan usia di atas 34 tahun yang jumlahnya mencapai 22,78 juta jiwa, sementara rentang usia petani terbanyak adalah 45-54 tahun sebanyak 7,3 juta jiwa. Jumlah rumah tangga usaha tani di Indonesia juga mengalami penyusutan. Pada 2003 berjumlah 31,17 juta dan sepuluh tahun kemudian (2013), jumlahnya menyusut menjadi
1
http://www.jpnn.com/ read/2015/03/09/291289/Ju mlah-Petani-Turun-Terus-Merosot,-IniPenyebabnya/ diakses 1 Juli 2015
1
26,14 juta saja. Data tersebut menunjukkan penurunan sekitar 5 juta rumah tangga petani selama sepuluh tahun atau rata-rata 1,75 persen per tahun2 . Hasil studi White (2012) di pedesaan Kulonprogo Yogyakarta menguatkan data tersebut. Peran generasi muda saat ini semakin jauh dari sektor pertanian, berbeda dengan keluarga Jawa di era kolonial di mana anak-anak mau bekerja membantu orang tua di rumah maupun di sawah, bahkan menjadi buruh tani kepada petani lain. Memasuki era tahun 2000-an, saat kesadaran akan pentingnya pendidikan formal di sekolah meningkat, anak muda semakin kehilangan waktu untuk berperan di bidang pertanian karena kesibukan sekolah dan tugas-tugasnya semakin bertambah. Para orang tua petani pun memiliki pandangan bahwa anak mereka sebaiknya tidak bekerja sebagai petani dan lebih baik menjadi pekerja dengan gaji tetap. Sejalan dengan White, Li (2009) juga melihat bahwa deagrarianisasi salah satunya disebabkan karena banyak keluarga petani yang lebih memilih berinvestasi di pendidikan dengan harapan anak mereka mendapatkan pekerjaan yang baik di kota dan untuk membiayai investasi tersebut mereka rela menjual lahan yang dimiliki. (tambahkan kemiskinan petani secara struktural) Pemerintah Indonesia juga memahami adanya krisis tenaga kerja pertanian dan berupaya untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Untuk mengatasi
kurangnya tenaga kerja pertanian, Pemerintah melalui Ditjen Pembinaan SMK mengucurkan beasiswa khusus bagi siswa-siswi SMK pertanian sebesar Rp 1.000.000,- pertahun untuk menarik minat lulusan SMP untuk masuk SMK 2
Angka Nasional Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2013 , BPS Nasional. Diunduh dari http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Angka_Pencacahan_Lengkap_Hasil_ ST_2013.pdf pada 7 Juli 2015
2
pertanian. Hal ini terbukti efektif meningkatkan jumlah siswa dan siswi SMK pertanian, seperti yang diklaim oleh Direktur Pembinaan SMK Mustagfirin bahwa saat ini total peserta didik di SMK pertanian berjumlah 220 ribu anak, di mana sebelumnya hanya 120 ribu anak seluruh Indonesia 3 . Kemendikbud juga mendorong pendirian SMK-SMK baru yang dapat menjadi learning center bagi masyarakat secara luas tidak hanya terbatas masyarakat sekolah saja. Ironisnya, SMK lulusan SMK pertanian tidak diharapkan untuk menjadi petani seperti yang disampaikan Mustaghfirin, "mereka bukan kita didik untuk menjadi petani, tapi bagaimana
mereka
nantinya
bisa
mengembangkan
teknologi
tentang
perkembangan pertanian dan perkebunan 4 ”. Untuk melihat lebih jauh tentang program peningkatan minat terhadap SMK Pertanian yang dicanangkan Pemerintah dan penerapan kebijakan sekolah pertanian saya mencari SMK yang relatif baru didirikan sebagai respon terhadap kebijakan tersebut. Pada tahun 2014 saya mengunjungi salah satu SMK yang membuka jurusan pertanian yang berada di Desa Sukamakmur. Sebenarnya tercatat ada tiga SMK yang menyelenggarakan program keahlian pertanian di Kabupaten X. Dua SMK selain SMK Agro adalah SMK Negeri 1 yang juga membuka empat jurusan lain, yaitu Teknik Bangunan, Teknik Otomotif, Teknologi Informatika dan Komunikasi, dan Peternakan; serta SMK Kristen yang membuka Jurusan Pertanian bersanding dengan Teknik Otomotif, Pelayaran, Keuangan, Pertanian, dan Teknik Listrik. SMK Agro berbeda dengan dua SMK 3
http://news.metrotvnews.com/read/2014/10/23/309179/seluruh -siswa-smk-pertanian-akan-dapatbeasiswa, diakses pada 6 Juli 2015 4 Kemendikbud Dorong SMK Jad i Pusat Pengembangan dan Distribusi Kemajuan Masyarakatdiakses di alamat http://www.kemd iknas.go.id/kemd ikbud/berita/4140 pada 10 September 2015
3
lainnya karena tidak menempatkan jurusan pertanian sebagai pilihan dan hal tersebut membuat SMK ini lebih menarik untuk diteliti. Alasannya, jika jurusan pertanian adalah salah satu pilihan jurusan, bisa saja anak yang bersekolah di jurusan tersebut hanyalah anak-anak yang tidak diterima di jurusan lainnya karena alasan kualifikasi akademis maupun kuota bangku untuk murid dan bukan anakanak yang benar-benar tertarik memilih jurusan pertanian. Seperti Deni teman lama saya yang pernah bersekolah di SMK Negeri. Ia masuk jurusan otomotif walaupun pada dasarnya ia lebih tertarik dengan dunia pertanian karena jurusan otomotif lebih bonafit dan favorit dibanding jurusan pertanian. Setelah lulus SMK, Deni kuliah di jurusan pertanian Unsoed dan sekarang bekerja di perusahaan pestisida ternama di Lembang. Atau Jejen, teman sekelas saya semasa SD yang terpaksa masuk jurusan pertanian karena nilai UAN nya tidak memenuhi syarat untuk masuk jurusan otomotif yang diidamkannya. Di SMK Agro yang hanya membuka satu jurusan, murid yang mendaftar tidak perlu khawatir persaingan kualifikasi akademik maupun stereotip mana jurusan yang lebih favorit dan mana yang tidak. Hal lain yang membuat SMK Agro menarik untuk diteliti adalah lokasinya yang berada di wilayah pedesaan Sukamakmur Cilacap yang jauh dari pusat kota dan di wilayah sekitarnya tengah berlangsung industrialisasi. Perjalanan menuju SMK Agro terasa cukup kontras karena untuk sampai di Desa Sukamakmur terlebih dahulu melewati dua desa yang sedang bertransformasi menjadi desa yang semakin industrialistik. Pabrik-pabrik baru dibangun di atas lahan bekas persawahan dan ladang. Setidaknya ada dua pabrik besar di dua desa tersebut
4
yang keduanya bergerak di bidang produksi kayu olahan. Ada CV. HJ yang berdiri pada tahun 2013 dan PT. MCI yang mulai beroperasi pada tahun 2012. Dua pabrik ini menyerap ribuan tenaga kerja di wilayah sekitar. Pada tahun 2015 beberapa pabrik baru juga sedang dalam tahap pembangunan di dua desa tersebut, bukan hal yang tidak mungkin dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan di wilayah ini akan berderet pabrik-pabrik besar yang mampu menyerap banyak tenaga kerja di wilayah tersebut. Dari realita itu dapat dilihat bahwa sektor pertanian di wilayah ini benar-benar sedang berhadapan dengan permasalahan tenaga kerja dan SMK Agro sebagai sekolah kejuruan pertanian memilki peluang untuk menjaga minat generasi muda pedesaan terhadap bidang pertanian. Pada tanggal 15 Februari 2015 saya mengunjungi SMK Agro dan bertemu dengan Bu Ning (untuk kepentingan penulisan tesis saya menggunakan pseudonim) yang menjabat sebagai Kepala Sekolah. Setelah percakapan basabasi, Bu Ning mulai bercerita soal SMK dan mengatakan bahwa SMK ini menerapkan integrasi dari tiga kurikulum, yaitu kurikulum nasional, kurikulum kepesantrenan, serta kurikulum kewirausahaan. Penerapan ini merupakan bentuk ejawantah dari pengembangan manusia entrepreneur ber-akhlakul karimah, di mana mengutamakan keunggulan dzikir atau qalbu, fikir, dan kasbi. Dzikir (atau qalbu) berkaitan dengan aspek religius, yang dilatih melalui kurikulum dan kegiatan kepesantrenan; kemudian Fikir, atau olah kognitif yang merujuk pada kurikulum nasional; serta Kasbi yang merupakan upaya pengembangan jiwa kewirausahaan.
5
Bu Ning mengatakan bahwa keputusannya membuka SMK Pertanian memang tidak didasarkan pada tren keahlian yang sedang populer saat ini seperti Teknologi Informatika dan Otomotif, akan tetapi karena keprihatinannya banyak remaja desa yang lebih memilih pergi ke kota untuk bekerja. Menurutnya Indonesia adalah negara agraris yang pertaniannya harus maju dan generasi muda seharusnya tidak malu untuk bekerja di bidang pertanian. Untuk itulah beliau membuka SMK Pertanian Agro. Dari pendapat Bu Ning tersebut, saya membayangkan di masa depan remaja-remaja desa lulusan SMK Pertanian Agro tidak pergi ke kota untuk bekerja sebagai buruh pabrik, tetapi tinggal di kampung mengolah lahan, bertani, mengembangkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan dan produk pertanian yang unggul. Dari pernyataan tersebut saya memutuskan untuk melakukan tanya jawab sederhana dengan seluruh peserta didik yang ada di kelas X (sepuluh) tahun ajaran 2014/2015 SMK Agro yang berjumlah 24 anak. Hasilnya ternyata berbeda dengan bayangan saya, sebagian besar peserta didik yang hampir semuanya berasal dari keluarga petani mengatakan bahwa cita-cita mereka adalah menjadi pengusaha atau wiraswasta, dan ada juga yang menjawab bisnismen. Tidak ada satupun yang memiliki cita-cita untuk menjadi petani atau petani sukses, ya ng paling dekat hanyalah menjadi pengusaha hasil pertanian. Sisanya bervariasi antara menjadi guru, politikus, atlit, pengacara, dosen, dan ada seorang anak yang bercita-cita untuk keliling dunia. Ketika saya tanya lebih lanjut soal kepemilikan lahan pribadi, hampir semua peserta didik mengatakan bahwa mereka memiliki lahan pribadi yang bervariasi berupa sawah, kebun, dan kolam ikan. Lebih lanjut ketika
6
ditanya soal motivasi mereka bersekolah di SMK Agro, hanya satu anak yang menjawab alasannya melanjutkan di SMK ini adalah karena ingin memperdalam ilmu pertanian. Jawaban yang ia lontarkan pun tidak sejalan dengan cita-citanya yang ingin menjadi pengusaha. Sementara itu sebagian besar peserta didik menjawab karena alasan dekat dengan rumah dan karena melanjutkan dari SMP yang berada di bawah naungan Yayasan yang sama. Sebagian besar jawaban dilandasi karena alasan praktis, bukan karena daya tarik dunia pertanian yang sebenarnya sangat dekat dengan mereka. Dari tanya jawab singkat tersebut saya memperoleh gambaran awal bahwa walaupun sebagian besar peserta didik berasal dari keluarga petani dan memiliki lahan sendiri, tidak ada satupun dari mereka yang memiliki keinginan untuk melanjutkan pertanian yang dimiliki keluarganya, walaupun mereka memutuskan untuk sekolah di SMK Pertanian. SMK Agro adalah harapan bagi bidang pertanian di tengah permasalahan degenerasi petani dan deagrarianisasi yang berlangsung di pedesaan. Pendidikan memiliki
kekuatan
untuk
membangun
ketertarikan
generasi
muda
mengembangkan pertanian sekaligus membekalinya dengan keterampilan bertani. Namun kenyataannya seperti gambaran yang terjadi di SMK Agro cita-cita sebagian besar peserta didiknya yang berasal dari keluarga petani adalah tidak menjadi petani, melainkan menjadi pengusaha. Sepertinya persoalan regenerasi pertanian melalui pendidikan berhadapan langsung dengan idealisme peserta didik tersebut. Hal ini berkaitan dengan internalisasi budaya yang terjadi di SMK Agro tentang bagaimana murid- murid dididik dan diajar dengan integrasi tiga
7
kurikulum—kepesantrenan, umum, dan kewirausahaan—serta hidup di tengahtengah budaya entrepreneurship yang dibangun oleh pihak sekolah.
B. Rumusan Masalah Who will own the countryside? Agrarian question yang dilontarkan Ben White (2011) ini diletakan pada persoalan tenaga kerja. Ia melihat permasalahan pertanian di pedesaan tidak hanya terkait dengan konflik lahan, kemiskinan petani, hingga kelestarian sumber daya alam, akan tetapi yang juga penting adalah soal regenerasi petani di pedesaan. Persoalan regenerasi tidak hanya tentang ketersediaan tenaga kerja petani saja, tetapi juga terkait dengan reproduksi budaya petani itu sendiri. Keberadaan SMK Pertanian Agro dengan ide mencetak output generasi entrepreneursip ber-akhlakul karimah adalah bentuk reproduksi budaya melalui sekolah. Namun, realita bahwa anak-anak didik memiliki imajinasi masa depan yang tidak berhubungan dengan pertanian menjadi permasalahan yang penting karena mengancam gagalnya regenerasi petani di pedesaan. Kemudian muncul pertanyaan: bagaimana sebenarnya proses pendidikan dan pengajaran di SMK Agro? Mengapa anak-anak muda yang bersekolah di SMK Agro tidak ingin menjadi petani?
C. Kajian Pustaka SMK Agro yang baru didirikan di tengah-tengah lingkungan masyarakat pedesaan merupakan salah satu contoh pembaharuan di bidang pendidikan. Kecenderungan yang selama ini terjadi adalah bahwa sekolah lanjutan umumnya
8
berada di wilayah perkotaan dengan wilayah yang mudah dijangkau dan strategis. Kecenderungan lain di bidang pendidikan adalah tunduknya lembaga- lembaga pendidikan dalam membuka jurusan terhadap dorongan pasar tentang programprogram favorit yang menjadi tren. SMK Agro seolah tidak mau tunduk terhadap dorongan tersebut dan lebih memilih kesesuaian antara kondisi masyarakat petani dan potensi lokal di pedesaan. Sekolah ini tidak hanya melihat pendidikan sebagai komoditas, tetapi juga sebagai sarana untuk merubah masyarakat. Sebagai upaya untuk melihat pembaharuan sekolah atau school reform dan ideologi sekolah secara luas, kajian pustaka ini berisi penelitian-penelitian terdahulu tentang kritik terhadap praktik sekolah dan munculnya gagasan school reform dalam konteks global, lalu dilanjutkan dengan konteks Indonesia. Tujuannya adalah untuk memposisikan tulisan ini secara keseluruhan dibandingkan dengan penelitianpenelitian lain yang dilakukan sebelumnya. 1. School Reform dalam Konteks Global Kritik Terhadap Sekolah Formal Pada dekade 1970-an mulai muncul pendekatan kritis dalam membahas pendidikan.
Pengaruh
pemikiran
filsafat
pedagogik
Paulo
Freire
dan
perkembangan teori sosial kritis seperti postmodernisme serta poststrukturalisme telah membuka ruang bagi tumbuhnya penelitian pendidikan dengan pendekatan sosial-kultural yang dipengaruhi analisis kelas, reproduksi sosial-budaya, hingga relasi kuasa. Terkadang sulit untuk memisahkan antara pendekatan sosiologi dan antropologi dalam pendidikan. Oleh karena itu Henry Giroux dalam pengantar buku Zeus Leonardo (ed, 2003) mengajukan gagasan “critical studies in
9
education and culture” yang merupakan penggabungan cultural studies dengan critical pedagogy. Penelitian antropologi pendidikan kritis diawali oleh Bowles dan Gintis dan kemudian mempengaruhi peneliti lainnya, seperti Willis, Bourdieu dan Passeron, hingga Apple. Sekolah dan praktik dominasi kebudayaan modern dikaji oleh Bowles dan Gintis (2002) pada tahun 1976 dengan meminjam pendekatan kelas Marx. Bowles dan Gintis menekankan perhatian pada bagaimana struktur pendidikan di sekolah modern lebih banyak dipengaruhi oleh corak produksi masyarakat kapitalis. Mereka mengatakan bahwa struktur pendidikan tersebut melanggengkan dominasi kelas kapitalis atas kelas buruh. Kesuksesan melalui jalur pendidikan hanyalah ilusi yang diciptakan penguasa agar anak-anak mau bersekolah dan menerima pendidikan yang bias kepentingan. Menurut mereka di masyarakat industri Amerika tidak ada pengaruh yang signifikan antara kemampuan kognitif dan skill anak-anak semasa di sekolah dengan tingkat keberhasilan mereka di dunia kerja. Mereka mengajukan teori korespondensi untuk menjelaskan bahwa sekolah hanyalah representasi struktur masyarakat kapitalis di mana ada kekuasaan berlapis, ada yang memerintah dan yang diperintah, ada penghargaan dan hukuman, dan yang terpenting adalah bahwa anak-anak sebagaimana pekerja di lingkungan kerja dilarang memiliki kehendak sendiri, apalagi memberontak. Karena sejak di sekolah anak-anak disosialisasikan kebudayaan semacam itu, ketika memasuki dunia kerja mereka sudah menjadi buruh yang diidealkan oleh kapitalis.
10
Teori yang dikemukakan Bowles dan Gintis kemudian mengilhami penelitian-penelitian lain yang mengkritisi sistem pendidikan dengan analisis kelas. Salah satunya adalah Willis (1977) yang meneliti seko lah kaum buruh di Inggris. Berbeda dengan Bowles dan Gintis yang cenderung deterministik, simplistik dan terlalu general dalam membangun teori, Willis lebih humanis dan spesifik dalam melihat reproduksi kelas melalui pendidikan. Sumbangan yang penting dari karya Willis yang secara tidak langsung menjadi kritik bagi temuan Bowles dan Gintis adalah bahwa sekolah bukanlah institusi yang homogen dan anak-anak bukanlah individu yang pasif menerima proses pendidikan di sekolah. Bahasan Willis lebih kompleks karena ia tidak melihat budaya sekolah sebagai cerminan budaya dominan di masyarakat, akan tetapi lebih tertarik membahas budaya perlawanan yang muncul di kalangan kelas pekerja. Hammerton School yang dipilih Willis adalah sekolah yang berada di lingkungan industri dan sebagian besar anak-anak berasal dari keluarga pekerja. Di sekolah ini cenderung tidak ada perbedaan kelas sosial yang tajam sehingga pertentangan yang terjadi bukanlah antar kelas, melainkan antara budaya sekolah dan budaya melawan sekolah (counter school culture=CSC), antara the lads dan ear’oles serta antara murid dan otoritas sekolah. Walaupun pada awalnya the lads berhasil keluar dari dominasi sekolah dan melakukan counter pada budayanya, akhirnya mereka juga tidak mampu terbebas dari dominasi kapitalisme. Apatisme the lads justru membentuk mereka menjadi abstract labour, karena mereka tidak menguasai keahlian tertentu dan bagi mereka semua pekerjaan kelas buruh sama saja. Sementara pertentangan antara the lads dan ear’oles menghasilkan divisi
11
tenaga kerja; manual dan mental, maskulin dan feminin, serta domestik dan publik yang merupakan struktur tenaga kerja khas masyarakat kapitalisme. Kritik lain terhadap Bowles dan Gintis disampaikan oleh Apple (2004). Apple menilai Bowles dan Gintis tidak berhasil mengungkap mekanisme dominasi secara mendalam dan hanya berbicara pada lapisan material tanpa melihat bagaimana proses reproduksi kelas berlangsung pada lapisan kultural dan ideologis melalui aktivitas sehari- hari di sekolah. Ia meneliti sebuah TK di Amerika dan melihat bahwa proses pendidikan yang berlangsung adalah jembatan antara rumah dan situasi kerja di masa depan. Di TK anak-anak pertama kali disosialisasikan dan diinternalisasikan tidak hanya penghargaan dan hukuman, tetapi juga pengetahua n yang penting dan tidak penting, konsep bekerja (mengerjakan tugas) dan bermain, serta tentang normalitas dan penyimpangan. Proses tersebut dapat dilihat pada saat anak mengerjakan tugas yang diberikan oleh Guru, anak-anak diberikan petunjuk dan contoh untuk mengerjakan dan pujian diberikan bagi mereka yang mengerjakan sesuai dengan petunjuk dan paling mirip dengan contoh yang telah diberikan dan sebaliknya bagi yang tidak sesuai petunjuk dianggap sebagai anak yang melanggar dan tidak memperhatikan. Proses penilaian tidak didasarkan pada tingkat kemampuan anak mengerjakan tugas ataupun kualitas hasilnya, akan tetapi lebih didasarkan pada partisipasi, kerajinan, kepatuhan, dan kegigihan mereka. Apple mengatakan hal tersebut sebagai hidden curriculum yang lebih penting dibanding kemampuan menguasai mata pelajaran.
12
Pada tahap ini Apple memasuki ranah makna dan struktur kegiatan di sekolah. Dengan mengetahui struktur kehidupan sekolah tersebut kita dapat mengetahui bahwa proses pendidikan di sekolah mirip dengan struktur norma dan komunikasi pada kehidupan industrialistik.Ia juga melihat bahwa peran guru di sekolah bukan sebagai agen dari sistem kapitalis seperti yang dilihat Bowles dan Gintis serta Willis, melainkan sebagai kelas yang terhegemoni. Guru tidak s erta merta menyadari dirinya berfungsi untuk mereproduksi kebudayaan dan ideologi sehingga harus ditempatkan sebagai subjek yang dibentuk dalam konteks sosial dan ekonomi masyarakat. Ketergantungan terhadap materi—gaji sebagai guru— yang juga dihadapi oleh para guru juga membuat mereka tidak mampu berbuat banyak selain tunduk pada common sense masyarakat akan makna sekolah. Pengaruh pemikiran Marx sangat terasa dalam karya Bowles dan Gintis maupun Willis dalam mengkaji sekolah dan reproduksi budaya. Berbeda dengan Apple yang cenderung merujuk literatur neo Marxian seperti Gramsci. Memasuki akhir dekade 1980-an, penelitian yang kritis terhadap sekolah mulai terbuka pada pandangan post-marxisme dan tidak melihat lagi determinasi ekonomi dalam proses kebudayaan di sekolah, walaupun demikian perhatian terhadap kelas masih mempengaruhi beberapa peneliti, salah satunya Bourdeiu dan Passeron. Bourdieu dan Passeron (1990) meneliti sebuah universitas di Perancis dan menunjukkan bahwa sekolah adalah arena pertarungan kelas, yaitu kelas dominan dan kelas subordinat. Sekolah pada dasarnya adalah institusi universal dan relatif otonom dari kekuasaan di mana setiap individu punya hak untuk mengakses, akan tetapi sekolah memiliki kontradiksi di mana proses pendidikan yang berlangsung
13
justru melanggengkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan (unequality and inequity). Ketidaksetaraan di sekolah dapat dilihat dari diferensiasi dalam proses administratif di mana murid atau mahasiswa digolongkan ke dalam komposisi latar belakang sosial, jenis kelamin, dan lain- lain. Ketidakadilan yang berlangsung di sekolah juga dapat dilihat dari proses legitimasi budaya. Sekolah melegitimasi budaya kelas dominan sehingga kelas dominan selalu mendapatkan privilege sementara kelas subordinat tidak mampu melawan dominasi budaya tersebut. Proses legitimasi budaya tesebut kemudian menciptakan proses reproduksi kelas oleh sistem pendidikan, ini yang menyebabkan anak dari kelas sosial bawah jarang sekali berhasil naik menjadi kelas dominan. Hal yang membedakan penelitian Bourdieu dan Passeron dengan penelitian Bowles dan Gintis, Willis, dan Apple adalah perhatian terhadap konflik kelas di sekolah antar sesama pelajar. Konflik tersebut tidak diartikan sebagai pertentangan serius dalam tataran aksi, tetapi lebih pada tataran simbolik dan makna. Bourdieu dan Passeron menjelaskan bahwa murid dari kelas dominan (middle class) membawa kultur kelasnya sendiri yang ditunjukkan dalam struktur bahasa, kosakata, dan komponen linguistik lainnya dalam berkomunikasi. Begitu juga murid dari kelas subordinat (lower class; worker class) yang memiliki kultur kelasnya sendiri. Kelas subordinat harus berusaha lebih keras agar dapat menaikkan status kelas sosialnnya dibanding kelas dominan karena adanya bias kebudayaan di sekolah di mana legitimasi dan privilege lebih banyak dinikmati kelas dominan.
14
Wacana pendidikan yang dominan di masyarakat cenderung memisahkan pembahasan antara kebudayaan dengan relasi kuasa. Penelitian-penelitian pendidikan yang berada di bawah payung wacana dominan ini seringkali gagal memahami bagaimana praktik pendidikan di sekolah telah mereproduksi ideologi penindasan. Di sisi lain, wacana ini telah membangun kesadaran di antara para pendidik maupun praktisi pendidikan bahwa masyarakat memiliki keb utuhan yang berbeda akan kurikulum pendidikan di sekolah. Yang terjadi kemudian adalah mereka mereka gagal memahami sekolah sebagai arena pertarungan kuasa dan makna dan untuk memahami hal tersebut digagaslah pemirikan kritis di bidang pendidikan yang disebut pedagogi radikal (Giroux, 1997:129-131) Pedagogi radikal memberikan pemahaman akan pentingnya untuk membahas relasi kuasa sekaligus makna di dalam kebudayaan sekolah. Dengan memahami dua konsep tersebut, pendidik maupun praktisi pendidikan dapat menganalisis praktik dominasi kebudayaan oleh suatu kekuasaan tertentu di sekolah. Relasi kuasa dan makna tersebut dibingkai dalam konteks pengalaman kebudayaan sehari- hari untuk mengetahui proses subjektivikasi dan kontestasi yang terjadi di sekolah. Setelah mendapatkan pemahaman tersebut, pendidik dapat menentukan perubahan yang diperlukan dalam rangka memperbaiki sistem pendidikan di sekolah melalui produksi kebudayaan. Pada tahap ini, Giroux mengatakan bahwa pedagogi radikal merupakan bentuk dari politik keb udayaan (2007: 134). Perkembangan politik kebudayaan tersebut kemudian menghasilkan gagasan tentang school reform di era pasca modern.
15
Hibriditas School Reform Perjuangan yang dilakukan school reform tidak hanya memperjuangkan proses pendidikan yang memanusiakan manusia dan memerdekakan manusia dari penindasan, akan tetapi turut menjadi alat politik perjuangan demokratik. Oleh karena itu gerakan ini juga disebut sebagai radical pedagogy, di mana tidak hanya membangun teori-teori kritis semata, akan tetapi juga mendorong upaya gerakan sosial dan perlawanan. Tujuannya adalah menawarkan nilai- nilai demokrasi untuk melawan budaya neoliberal di masyarakat. Pendidikan tidak hanya untuk memberikan kesadaran kritis, akan tetapi juga gerakan untuk melawan sistem. Secara teoritik, pedagogi radikal lebih memberikan perhatian terhadap praktik kebudayaan dalam konteks kritis dan membongkar wacana pendidikan kapitalisme yang disebut Giroux (1997) sebagai “dominant educational discourse”. Reformasi sekolah sebagai bagian dari demokratisasi digagas secara bottom up dan agen yang terlibat idealnya berasal dari dalam internal lembaga pendidikan itu sendiri atau komunitas tertentu yang memahami permasalahan pendidikan yang dialami lembaga atau komunitasnya. Dalam pandangan Zeus Leonardo (2003), peran peneliti, pendidik, hingga pejabat publik bidang pendidikan
dalam wacana school reform adalah proses inquiry (2003:2).
Leonardo mengatakan, “inquiry provides an opportune format to study discourse because it stresses communication and dialogical methods. Because inquiry encourages reformers to address and interogate the embedded values and norms in their school...”. Inquiry adalah sebuah metode untuk menemukan permasalahan
16
yang ada di sekolah oleh pihak-pihak yang ada di sekolah bersama dengan peneliti untuk kemudian bersama-sama menyusun perubahan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Batasan yang digunakan Leonardo dalam bukunya adalah terkait bagaimana kebudayaan sekolah melanggengkan dominasi dan kesenjangan, sehingga inquiry dapat digunakan untuk membongkar praktik dominasi tersebut yang kemudian dijadikan dasar bagi reformer5 untuk mewacanakan praktik pendidikan yang berkeadilan di sekolah. Gagasan school reform pada dasarnya diilhami dari pedagogik kritis, namun dalam perkembangannya gagasan ini juga mempengaruhi pemikiran pedagogi “kanan”. Ini disebabkan karena sama hal nya dengan sistem ekonomi, sistem pendidikan neoliberal dianggap kontradiktif dalam sistemnya sendiri. Wacana pendidikan neoliberal tentang kebebasan, kompetisi, individualisme, komersialisasi dan privatisasi pendidikan telah menciptakan kesenjangan dan ketidakadilan di masyarakat dan permasalahan tersebut dapat diatasi dengan school reform. James Tooley6 misalnya, yang beranggapan bahwa perubahan fundamental sistem pendidikan haruslah terletak pada keberpihakannya terhadap kaum miskin dan cara yang paling tepat dalam pemikiran Tooley dalam mengatasi persoalan adalah dengan membuka persaingan seluas- luasnya bagi persaingan sekolah swasta atau dikenal juga dengan istilah privatisasi. Dan untuk menjaga persaingan yang sehat di antara sekolah swasta tersebut adalah melalui penerapan prinsip akuntabilitas,
di setiap lembaga pendidikan (Tooley dalam Haydon,
5
Istilah bagi agen-agen yang mengAgro school reform Lihat buku Sekolah Untuk Kaum Miskin: Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia (2013) dan The Global Education Industry: Lessons from Private Education in Developing Countries (2009) 6
17
2010:59). Temuannya membuktikan bahwa terbukanya persaingan yang sehat antar akan membawa kemajuan bagi peningkatan efisiensi dan kualitas pendidikan, terutama di negara- negara dunia ketiga yang kualitas pendidikannya masih relatif rendah. Di negara neoliberal seperti Amerika, beberapa program pendidikan baru seperti Teaching for America yang dipotret Lahann dan Reagan menunjukkan bahwa terjadi perubahan sistem pendidikan dalam bentuk privatisasi pendidikan dan otonomi pendidikan dengan peningkatan standarisasi.
Guru-guru yang
mengajar pada program TFA memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan kesetaraan dalam pendidikan dengan komitmen "caring, learning, and changing the world." Jalan tengah yang diambil oleh program TFA membuat program TFA dianggap sukses mereformasi sistem pendidikan di Amerika yang sebelumnya banyak dikritik karena telah menciptakan kesenjangan sosial. TFA merupakan bentuk dari pemikiran progresif dan langkah nyata dalam membangun pendidikan yang demokratis. Lahann dan Reagan menempatan progam seperti TFA ini ke dalam aliran pendidikan neoliberal progresif. Alira n ini semacam bentuk kompromi antara pendidikan neoliberal dengan pendidikan kritis karena di satu sisi memperjuangkan kepentingan pendidikan bagi kaum miskin sementara di sisi lain mendukung privatisasi dan standarisasi yang ketat di bidang pendidikan. Gerakan school reform di sekitar dunia pendidikan saat ini tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh neoliberalisme. Di Amerika, Hayes-Conroy memotret kegiatan school garden and cooking program (SGCP) yang dilaksanakan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari upaya mengajarkan dan
18
membangun kedaulatan pangan dengan mengembangkan pangan alternatif bagi masyarakat melalui pendidikan bagi anak-anak. Kesadaran akan pentingnya kedaulatan pangan di era modern banyak menjadi perhatian para aktivis agraria karena sistem kapitalisme telah membuat masyarakat tergantung terhadap produk industri pertanian. Namun, di sisi lain program tersebut adalah bentuk material dari ideologi neoliberalisme, di mana program tersebut juga berisi wacana “volunteerism, individualism, personal responsibility, and consumer choice” yang merupakan wacana perubahan sosial khas masyarakat neoliberal. Hayes-Conroy melihat program SGCP di sekolah memiliki sifat hybrid antara sebagai kegiatan non-neoliberalistik sekaligus sebagai kegiatan neoliberalistik. 2. School Reform dan Masyarakat Indonesia Di Indonesia penelitan dengan pendekatan sosial-budaya di sekolah masih jarang ditemukan. Sebagian besar penelitian di sekolah lebih bersifat penelitian tindakan kelas dengan metode kuantitatif untuk menguji efektifitas metode mengajar atau penerapan teori-teori pedagogi tertentu. Hal tersebut menjadi wajar karena ilmu yang fokus dalam mempelajari sekolah adalah ilmu kependidikan, sementara ilmu sosio- humaniora seperti antropologi dan sosiologi masih jarang meneliti sekolah. Adapun sekolah diteliti secara kualitatif biasanya pendidikan hanya sebagai salah satu aspek kehidupan masyarakat saja dan hanya ditampilkan secara deskriptif tanpa analisis yang mendalam. Beberapa penelitian tentang sekolah di Indonesia dala m pendekatan sosiokultural berhasil membuka diskusi baru tentang sekolah dan masyarakatseperti tulisan Siegel dan Shiraisi. Karya Siegel, maupun Shiraisi lebih melihat politik
19
dan relasi kuasa dalam pendidikan dibanding analisis kelas. Siegel (1986) dala m penelitiannya di Solo ketika era Orde Baru memotret bagaimana proses pendidikan di sekolah berperan dalam pembentukan warga negara ideal. Ia memberikan perspektif yang berbeda dari melihat penggunaan bahasa di sekolah sebagai sebuah proses legitimasi untuk melanggengkan struktur sosial. Konsep “aneh” yang hadir di sekolah menutup ruang bagi murid untuk menjadi diri sendiri sesuai latar belakang kultural dan memaksa mereka terintegrasi ke dalam struktur masyarakat yang lebih luas yang sesuai dengan apa yang diinginkan negara. Dalam proses pembelajaran di kelas, Siegel juga menemukan bahwa yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran di semua mata pelajaran adalah proses penyeragaman. Sejalan dengan Siegel, Shiraisi melihat sekolah di Indonesia pada masa Orde Baru memiliki peran penting dalam membentuk manusia Indonesia sesuai apa yang diidealkan penguasa. Hanya saja Shiraisi tidak menempatkan guru sebagai kepanjangan tangan penguasa di kelas. Ia relatif otonom dan otoritasnya didapatkan melalui permainan simbol-simbol. Otoritas tersebut digunakan oleh guru untuk menciptakan ruang baru dalam kehidupan para murid yang siap membentuk murid dalam kerangka manusia Indonesia. Dua penelitian di atas sebenarnya tidak secara khusus melihat praktik pendidikan di sekolah dalam pembentukan manusia Indonesia, tetapi hanya
menempatkan sekolah
sebagai satu bagian dalam etnografinya. Setelah Reformasi dan rezim Soeharto runtuh, penelitian kritis tentang sekolah mulai banyak dilakukan oleh para akademisi. Salah satu karya yang membahas pelanggengan budaya kelas melalui pendidikan di Indonesia adalah
20
Martono (2012)
yang melihat bagaimana budaya kelas atas menjadi budaya
dominan dalam buku ajar keluaran pemerintah. Sekitar 90 %buku-buku pemerintah tersebut menampilkan hal-hal yang justru tidak pernah dilihat dan dialami oleh anak-anak dari kelas bawah. Ia mencontohkan, dalam pelajaran Bahasa Indonesia sosok petani selalu menjadi orang ketiga dan hanya diceritakan sebatas kehidupan sehari- hari. Sementara pekerjaan ayah sebagai pegawa i kantoran seringkali dituliskan dalam kalimat dengan sudut pandang orang pertama. Padahal kenyataannya anak-anak di pedesaan sebagian besar lahir dari keluarga petani dan tanpa sadar profesi petani menjadi objek dan subjek “anak petani” dihilangkan.Dengan meminjam pemikiran Bourdieu, Martono mengatakan bahwa praktik yang terjadi di sekolah tersebut adalah praktik kekerasan simbolik. Muelder (2000) juga menyajikan temuan yang menarik tentang praktik sekolah di Indonesia dan berhasil membongkar wacana di balik teks-teks pelajaran IPS dari tingkat SD hingga SMA. Ia mengatakan, “Pendidikan sekolah modern masih harus dipahami sebagai dharmasastra, sebagai pendidikan moral yang tidak berkepentingan dengan membangun individu, dengan meningkatkan dan merangsang daya kemampuannya, atau dengan menciptakan warga negara yang secara moral mandirimerdeka yang dapat mengambil keputusan menurut hati nurani mereka sendiri dan bertanggung jawab sosial.” (Muelder, 2000:129) Pelajaran IPS yang diajarkan dari SD hingga SMA dianggap hanya sebagai “ocehan omong kosong” yang sama sekali tidak membangun nalar kritis dan mengasah hati nurani sosial. Terlebih lagi, di masyarakat Indonesia pelajaran IPS adalah pelajaran prioritas rendah, namun pelajaran IPS memiliki peran yang justru penting dalam membentuk masyarakat sesuai yang diidealkan oleh penguasa
21
(baca:pemerintah). Materi- materi pelajaran IPS selalu berujung dengan wacana persatuan, stabilitas, harmonis, hingga kehidupan berasaskan Pancasila. Pasca runtuhnya Orde Baru, muncul pemikiran-pemikiran kritis di bidang pendidikan yang juga menginspirasi gerakan-gerakan untuk mereformasi sekolah. Sekolah tidak lagi berfungsi sebagai alat propaganda pemerintah saja, tetapi juga digunakan untuk proses-proses perjuangan kelompok-kelompok tertentu yang tertindas selama rezim Orde Baru. Tema-tema pendidikan bagi kaum miskin dan pendidikan dalam gerakan sosial menjadi tema baru dalam penelitian tentang pendidikan di Indonesia. Penelitian yang mengkaji persoalan pendidikan dan masyarakat dapat dilihat dalam tulisan Tim Penelitian Program DPP Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2009) dengan tema Nasib Pendidikan Kaum Miskin. Penelitian yang dilakukan di Desa Mandong dan Temuwangi Klaten yang merupakan desa agraris menghasilkan temuan yang menarik, bahwa ada fenomena di mana sebagian besar warga di dua desa agraris tersebut merupakan kelompok muslim abangan yang secara ekonomi pas-pasan. Pendidikan Agama Islam dianggap tidak terlalu penting dan bagi peneliti hal tersebut adalah permasalahan yang sangat besar. Latar belakang desa yang pada dekade terdahulu merupakan basis massa nasionalis, marhaenis dan bahkan komunis menyebabkan masyarakat memiliki kultur yang jauh dari nafas-nafas Islami, padahal peneliti beranggapan bahwa Pendidikan Agama Islam memliki peran strategis dalam membangun masyarakat bermoral (2009:47). Kondisi ekonomi masyarakat dianggap berpengaruh terhadap eksistensi agama, oleh karena itu perlu adanya
22
penguatan dari segi ekonomi melalui perbaikan sistem pertanian dan reformasi agraria agar perekonomian warga membaik.
Ekonomi masyarakat yang kuat
secara otomatis akan membuka ruang pengembangan dan aktualisasi ajaran agama Islam di masyarakat. Penguatan ekonomi yang dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan perekonomian
masyarkat adalah dengan reforma agraria.
Pemahaman reforma agraria yang dimaksud Tim Peneliti UIN tersebut berapa pengolahan dan distribusi pertanian, diversifikasi tanaman, dan reformasi kebijakan pemerintah yang lebih memihak kepada petani. Walaupun temuan dari tim tersebut masih terkesan spekulatif dan kurang mendalam, namun telah memberikan gambaran tentang kaitan antara kebudayaan masyarakat agraris tradisional dengan pendidikan di era modern yang semak in religius. Ada dua bentuk Berbeda dengan Barid Hardiyanto (2005) yang menulis tentang apa yang dibutuhkan kaum tani untuk memperbaiki kehidupan bukanlah pendidikan agama, melainkan pendidikan dalam rangka gerakan perlawanan. Dalam tulisannya, Hardiyanto menampilkan gagasan teoritis tentang perlawanan petani sekaligus bagaimana langkah- langkah kongkret menghimpun gerakan tani melalui pendidikan informal. Buku ini menjadi menarik karena menjadi contoh karya intelektual yang menggabungkan analisis teoritik dengan praksis. Bisa dikatakan bahwa buku ini adalah bentuk antropologi pendidikan terapan yang menampilkan tidak hanya fenomena sosial petani, tetapi juga semacam buku saku bagi aktivis-aktivis yang ingin mendidik petani yang kritis. Buku ini juga mengkritik pendidikan formal yang dimanfaatkan penguasa untuk membodohi petani. Hardiyanto memanfaatkan PPR (Pendidikan Prakarsa Rakyat) yang
23
merupakan paradigma baru dalam penelitian ilmu sosial dalam penelitian sekaligus gerakan perlawanan yang dilakukannya. Dalam PPR, antara pene liti dan tineliti dianggap sama-sama tahu dengan tingkat pengetahuan yang setara atau dengan konsep yang lebih sederhana, yaitu “proses belajar bersama rakyat yang disandarkan pada prakarsa atau inisiatif” (Hardiyanto, 2005:48).
Hasil
penelitiannya di desa Bantarsari di Cilacap menunjukkan bahwa pendidikan formal yang telah diajarkan, terutama di era rezim Orde Baru telah membuat para petani gagap dalam mengungkapkan permasalahan sosial-ekonomi yang dihadapinya (2005:98). Pada dasarnya petani sudah memiliki kesadaran kritis dan tidak bodoh seperti yang selama ini terstigmakan, akan tetapi praktik pendidikan yang dilakukan penguasa berhasil menghasilkan stigma bahwa petani itu bodoh, terbelakang, dan kurang beradab. Dengan PPR yang telah dilakukan, Hardiyanto dianggap berhasil mengembalikan ingatan petani akan pentingnya hak atas tanah yang membawa petani ke dalam gerakan. Petani di Bantarsari Cilacap mulai berani mengutarakan pendapat menuntut hak seadil-adilnya dan tidak lagi gagap menghadapi era keterbukaan berpendapat. Hasilnya, pada 7 Desember 2000, DPRD Kabupaten Cilacap mengeluarkan kesepakatan bersama dengan Paguyuban Tani Sri Rejeki Bantarsari yang isinya terkait pelepasan hak atas tanah yang merupakan bentuk “kemenangan kecil” bagi petani (Hardiyanto, 2005:104). Pendidikan dan perlawanan juga ditulis oleh Rasyadian (2013) yang mengungkapkan hal lain di SMK Pertanian Sarimukti. Ia memotret bagaimana sekolah formal menjadi media perlawanan dalam menghadapi ideologi neoliberalisme di pedesaan. Di mana kondisi desa yang subur ternyata tidak bukan
24
menjadi milik warga desa saja, melainkan telah banyak dikuasai oleh pemilik modal yang berasal dari luar wilayah Sarimukti. Belum lagi keberadaan tengkulak dengan logika pasar yang membuat petani kecil kesulitan untuk mengembangkan pertanian. Temuan Rasyadian di SMK Pertanian Sarimukti menarik karena SMK tersebut berhasil membawa perubahan besa bagi masyarakat desa. Ketertarikan generasi muda untuk bertani semakin bertambah diiringi peningkatan pengetahuan dan keterampilan bertani. Di samping itu, muncul kesadaran untuk membangun akses dan jaringan pasar secara mandiri sehingga mereka terbebas dari jerat ketergantungan kepada tengkulak. Para petani kecil juga mampu bersaing dengan pemodal dan petani kaya karena adanya peningkatan produktivitas yang didukung oleh sumber daya manusia lulusan SMK Pertanian. Hasilnya, taraf kehidupan petani asli Sarimukti semakin meningkat dan para petani mulai membeli tanah sendiri untuk digarap. Rasyadian melihat bahwa SMK Pertanian Sa rimukti merupakan resistensi hidden transcript terhadap kuasa modal dan logika pasar yang masuk ke desa. Keberadaan SMK berhasil membangun kekuatan ideologi di antara generasi muda sekaligus meningkatkan keahlian dalam pertanian di kalangan petani muda Sarimukti. Yang mereka lakukan bukan perlawanan fisik secara terbuka, akan tetapi dengan elemen-elemen pengetahuan dan praktik kerja. Dalam tulisannya, Rasyadian juga melihat di Desa Sarimukti terdapat dua kekuatan wacana yang bertarung, di mana masing- masing wacana direproduksi oleh kelas menengah yang memiliki latar belakang berbeda. Tengkulak sebagai kelas menengah yang juga memiliki kuasa di desa membawa pengaruh ekonomi pasar kepada para petani di desa. Sementara itu pendiri SMK yang merupakan
25
aktivis berusaha melawan wacana ekonomi pasar melalui pendidikan nonsentralistik. Dari tulisan Hardiyanto dan Rasyadian dapat dilihat bahwa di Indonesia ada bentuk school reform terutama terkait pendidikan pertanian. Dua model sekolah yang dipaparkan para penulis tersebut menggambarkan masih adanya potensi untuk merubah kondisi petani menjadi lebih baik melalui dunia pendidikan. Baik Rasyadian maupun Hardiyanto melihat pendidikan berpotensi dalam gerakan petani untuk melawan penindasan, bedanya Rasyadian melalui pendidikan formal dan hidden transcript, sementara Hardiyanto melalui pendidikan informal melalui PPR. Saya tidak akan menempatkan SMK Agro sebagai SMK dengan ideologi perlawanan yang secara langsung menghadapi musuh yang nyata di desa berupa arus kapital, melainkan lebih melihat ironi yang terjadi di dalam tubuh SMK Agro yang lahir dalam bentuk awal school reform karena didirikan secara demokratis dan partisipatoris tetapi justru gagal menghasilkan anak-anak muda yang mencintai dunia pertanian. SMK Agro justru berorientasi menghasilkan generasi entrepreneur yang membuat anak-anak lebih tertarik menjadi pengusaha daripada petani.
D. Kerangka Konsep Di dalam bagian ini dijelaskan tentang konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini. Sub bagian pertama mengulas konsep sekolah kejuruan dari berbagai perspektif termasuk pandangan kritis dalam melihat praktik sekolah kejuruan di era kapitalisme
neoliberal.
Sekolah kejuruan dan prinsip
26
kemandiriannya adalah sebuah alternatif sekaligus harapan baru bagi perbaikan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan di sisi lain merupakan bentuk pendisiplinan subjek entrepreneur yang mewacana seiring pengembangan dan pembangunan SMK. Untuk memahami bagaimana praktik pendisiplinan subjek entrepreneur tersebut, di dalam sub bagian kedua dibahas tentang konsep entrepreneurship dan governmentality yang terinspirasi pemikiran Foucault. 1. Sekolah Kejuruan dan Pembentukan Manusia Mandiri Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan varian pendidikan formal
lembaga
tingkat lanjutan menengah atas. Selepas menempuh
pendidikan di SMP, anak didik dapat melanjutkan ke SMK atau SMA sesuai dengan minat mereka. Umumnya anak-anak didik yang berkeingiinan untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan lebih memilih untuk melanjutkan ke SMA, sementara bagi mereka yang memutuskan untuk cepat bekerja biasanya memilih SMK. Hal tersebut dikarenakan pendidikan di SMK berdasarkan UU Sisidiknas No 20 Tahun 2003 Pasar 15 merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta belajar terutama untuk bekerja di bidang tertentu. Orientasi pendidikan di SMK adalah hasil sehingga dalam prosesnya padat muatan materi- materi praktis yang spesifik sesuai bidang keahlian tertentu. Indonesia sebagai negara berkembang yang membutuhkan tenaga kerja kerja terampil sebagai modal pembangunan. Ketersediaan tenaga kerja yang terampil dan profesional adalah hal mutlak bagi tumbuhnya perekonomian. Dalam hal ini terlihat ada keterkaitan antara kepentingan ekonomi dengan sistem pendidikan secara nasional.. Kritik terhadap praktik pendidika n ini disampaikan
27
Carnoy (1986) bahwa pendidikan dari jaman penjajahan hingga di era modern tidak mengalami perubahan fundamental dalam praktik dan ideologinya. Ia beranggapan bahwa: Kebanyakan pemerintah negara- negara dari Dunia Ketiga yang berpenghasilan rendah menunjang jenis perkembangan kapitalisme [...], mendorong suatu ideologi yang bukan saja dipersiapkan cocok untuk kebutuhan-kebutuhan borjuis domestik dan unsur oligarki tradisional di dalam masyarakatnya, akan tetapi juga memuaskan kebutuhankebutuhan ideologi para penanam modal asing dan pemerintah asing. [...] Sistem sekolah yang diterapkan mencerminkan ancangan kondisi awal perkembangan ini; yang bukan saja dalam hal mensosialisasikan anak-anak sekolah agar mereka cocok dengan berbagai bagian dari suatu hierarki yang berdasarkan kelas, yang disusun untuk memperoduksi barangbarang di bawah proses pembangunan ini—dengan cara pemberian jenis pelajaran tertentu dan dalam jumlah tertentu pula—juga dalam hal usaha untuk menggugah rasa suka dan memelihara rasa ini terhadap kebudayaan yang dipersiapkan oleh peran perantara negara di dalam pikiran anak-anak sekolah (Carnoy, 1986:53) Di sisi lain, sekolah kejuruan juga merupakan upaya antisipasi permintaan upah yang tinggi di mana secara spesifik tentang sekolah kejuruan adalah sebagai upaya untuk menghalangi anak-anak untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.. Dengan menjaga komposisi pekerja mayoritas dari keluarga miskin yang hanya lulusan sekolah menengah, ongkos produksi dapat ditekan dengan pertimbangan kualifikasi pendidikan. Melalui pendidikan, diferensiasi kelas direproduksi di mana anak-anak dari masing- masing kelas disiapkan untuk perannya masing- masing dalam proses produksi kapitalis. Anak-anak dari kelas bawah karena hanya mampu mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah sebagian besar bekerja sebagai buruh manual di pabrik-pabrik atau karyawan rendahan di sektor jasa, sementara anak-anak kelas menengah-atas yang berhasil
28
memperoleh gelar di perguruan tinggi dapat bekerja di posisi yang lebih tinggi sebagai manajer, sekretaris, supervisor, operator, dan lain- lain. Anak didik di LICS
juga berhasil dihalangi kesadarannya
melalui pendidikan bahwa
ketidakberhasilan mendapatkan pekerjaan yang layak dan berupah tinggi yang dialami bukan karena kegagalan sistem sekolah yang diikuti melainkan kegagalan mereka sendiri karena tidak sukses di sekolah. Carnoy (1986) menyebut ini sebagai fungsi “pengabsahan” dari pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Praktik pendidikan di negara berkembang yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menghilangkan nilai- nilai inti dari hakikat pendidikan itu sendiri. Tilaar (2012) merumuskan hakikat pendidikan dalam dua golongan pemikiran besar yang dipengaruhi oleh aliran filsafat, yaitu eksistensialisme dan materialisme. Kaum eksistensialis memandang bahwa proses pendidikan adalah proses untuk memberikan kemampuan kepada individu untuk dapat memberikan makna terhadap dirinya dan lingkungannya. Sementara pandangan materialisme yang dibawa Marx melihat bahwa proses pendidikan merupakan proses yang memberikan kekuatan kepada individu untuk melawan kekuatan yang membatasi perkembangan dirinya yang diatur oleh kekuatan ekonomi kelompok yang berkuasa atau kelompok kapitalis (Tilaar, 2012: 20-21). Ki Hajar Dewantara (KHD) merangkum dua aliran ini dalam konsep pengajaran dan pendidikan. Dalam pandangannya, pengajaran sifatnya material dan dapat diartikan sebagai proses pemerdekaan manusia atas kemiskinan dan penindasan, sedangkan
29
pendidikan adalah proses pemerdekaan mental dan jiwa manusia (Dewantara, 1962). Saat ini, peran pendidikan di dalam masyarakat lebih dekat dengan konteks pembangunan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing dibandingkan sebagai proses pemerdekaan manusia. Di samp ing itu, institusi pendidikan juga seolah-olah hanya bertanggung jawab dalam penyediaan tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan pembangunan ekonomi sehingga menjadi hal yang wajar ketika pemerintah saat ini lebih memprioritaskan pembangunan SMK untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang terampil, kompeten, dan berdaya saing. Ideologi pendidikan nasional pada umumnya dan pendidikan kejuruan pada khususnya terlalu berorientasi pada ekonomi industri. Akibatnya peserta didik hanya menjadi manusia yang terampil dan produktif dalam kacamata pemilik modal, dan tidak menjadi individu yang mandiri, bermoral, dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Tipe pendidikan ini menurut KHD tidak cocok bagi Indonesia karena pada akhirnya
hanya akan
membentuk
manusia- manusia
yang
individualistis dan tidak memiliki kepedulian terhadap realitas masyarakat (Dewantara, 1962:150). KHD menolak pendidikan yang hanya mengandalkan intelektualisme semata, yang lebih mementingkan ijasah daripada keahlian nyata yang dimiliki anak didik. Intelektualisme dipandang sebagai gagasan pendidikan Barat yang mengutamakan sisi kognitif semata yang akhirnya gagal memberikan bekal hidup di masyarakat. Fungsi pendidikan paripurna adalah tut wuri handayani di mana guru hanya berada di belakang untuk mendorong kreativitas anak didik berkarya
30
sesuai dengan bakat dan minatnya. Kerja kreatif adalah tujuan dari pendidikan yang diidealkan oleh KHD. Pada dasarnya pendidikan kejuruan adalah model pendidikan yang cocok bagi masyarakat Indonesia asal dibangun dengan asas-asas demokratis dan sesuai dengan kebutuhan dan demi kepetingan rakyat. Pendidikan kejuruan dapat memberikan bekal keterampilan praktis untuk sumber penghidupan dirinya sekaligus untuk berbakti kepada kepentingan masyarakat luas seperti yang dikatakan KHD: mendekatkan anak-anak kepada alam pekerjaan pada pertama kalinya, kedua kalinya membiasakan anak-anak pada pengabdian kepada masyarakatnya, yakni mencukupkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang beraneka-warna itu (pertanian, pertukangan dan lain-lain sebagainya). Eko Prasetyo (2003) juga menganggap pendidikan kejuruanlah yang sejatinya tepat untuk memecahkan permasalahan kemiskinan di negara berkembang seperti Indonesia. Sekolah kejuruan juga memiliki potensi untuk mengembangkan kemandirian rakyat asalkan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi kerakyatan agar keterampilan teknis tidak hanya dimanfaatkan oleh industri besar, melainkan juga mampu mendorong kemandirian sektor industri rakyat. Prinsip-prinsip kemandirian dan kerja kreatif itu juga menjadi landasan pendidikan entrepreneurship dan berkembang sebagai idealisme baru yang menginspirasi pembaharuan di bidang pendidikan di Indonesia. SMK adalah salah satu institusi pendidikan formal yang juga menekankan pentingnya semangat kewirausahaan atau entrepreneurship bagi para peserta didiknya. Hal tersebut ditunjukkan dalam visi SMK yaitu: Terselenggaranya layanan prima pendidikan
31
menengah kejuruan untuk membentuk lulusan SMK yang berjiwa wirausaha, cerdas, siap kerja, kompetitif, dan memiliki jati diri bangsa, serta mampu mengembangkan keunggulan lokal dan dapat bersaing di pasar global 7 . Kesadaran akan pentingnya pendidikan sebagai praktik pemandirian manusia semakin meningkat sejalan dengan perkembangan ekonomi. Di era pembangunan ekonomi yang menuntut kreatifitas warganya dalam menghadapi tantangan ekonomi global ini, pendidikan memiliki peran penting dalam memproduksi karakter masyarakat yang mandiri dan berjiwa wirausaha (entrepreneurship). Pada dasarnya KHD sudah mewacanakan pendidikan entrepreneurship jauh sebelum tren ini muncul di millenium 2000. Pendidikan sebagai olah cipta, rasa, dan karsa yang digagas KHD dahulu baru disadari kebenaran dan urgensinya saat ini ketika pendidikan dianggap gagal memberikan kontribusi bagi kemandirian bangsa. Pendidikan dalam pandangan KHD adalah proses pembudayaan agar anak didik memilki kehendak serta kemampuan untuk mencipta dan berkarya demi kemandirian dirinya sendiri dan bangsa pada umumnya. Fungsi institusi pendidikan adalah menjadi pemantik bagi hidupnya budi dan daya ser ta jiwa dan raga dalam diri manusia sebagai modal untuk berkarya di masyarakat. Inilah titik temu antara pemikiran KHD dengan gagasan dan praktik pendidikan kewirausahaan (entrepreneurship) yang baru populer beberapa dekade belakangan di Indonesia. 2. Tentang Entrepreneur 7
Direktorat Pemb inaan SMK, Garis-Garis Besar Program Pembinaan SMK tahun 2013. Halaman 16. Diunduh dari http://www.d itpsmk.net/juknis/00_ Garis Garis_Besar_Program_Pembinaan_SMK_2013.pdf
32
Pada bagian ini dituliskan siapa itu entrepreneur, apa itu entrepreneurship, dan bagaimana posisinya di dalam masyarakat neoliberal seperti saat ini. Di dalam pergaulan sehari- hari entrepreneur seringkali disamakan artinya dengan wirausahawan atau wiraswastawan. Umumnya mereka adalah individu yang memiliki dan menjalankan suatu bisnis atau usaha sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wirausahawan atau wiraswastawan adalah orang yang pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur mengatur
permodalan
operasinya8 .
Kaitannya
dengan
istilah
entrepreneur yang merupakan bahasa asing berasal dari konsep manajerial di mana wirausahawan dan entrepreneur dianggap memiliki posisi dan peran yang sama dalam suatu lembaga usaha atau bisnis. Pada dasarnya konsep entrepreneur bersifat multidispilin muncul tidak hanya di bidang ekonomi saja, tetapi juga di bidang ilmu sosiologi, psikologi, atau politik dan (Casson, 2003; Bula, 2012). Pengertian yang populer tentang entrepreneur di ilmu
manajemen disampaikan Schumpeter (1947) yang
mengatakan bahwa, seorang entrepreneur adalah individu yang memiliki kemampuannya melakukan hal baru atau melakukan hal yang sebenarnya sudah pernah dilakukan dengan cara yang baru (inovasi). Entrepreneur atau inovator menjadi driving force di dalam pembangunan karena selalu memberikan terobosan dengan menciptakan produk maupun metode baru dalam kondisi ekonomi yang statis dan jenuh atau diistilahkan sebagai proses creative destruction. Sementara
8
http://kbbi.web.id/wiraswasta
33
itu, Schultz (1975) menempatkan entrepreneur dalam konteks human capital dalam berbagai aspek kehidupan. Ia berpendapat bahwa mereka yang mampu memanfaatkan human capital dalam posisi strategis dan berhasil mengatasi hambatan- hambatan
ekonomi
maupun
sosial
(disequilibrium)
adalah
entrepreneur. Oleh karena itu, nilai investasi bukan terletak pada konsep modal secara ekonomi (lahan, mesin, bahan baku, dll) tetapi pada manusianya itu sendiri melalui pembentukan karakter serta peningkatan kemampuan dan keterampilan. Foucault (2008) melihat subjek entrepreneur melalui sudut pandang ilmu sosial humaniora. Dalam pandangannya entrepreneur bukan sebagai keniscayaan yang terjadi secara natural melainkan sebagai hasil dari proses relasi kuasa dalam wacana ekonomi.
Entrepreneur adalah subjek
homo
economicus
yang
didisiplinkan melalui praktik governmentality. Kemampuannya dalam berinovasi membawa
perubahan
fundamental
dalam
evolusi
sosial-ekonomi
dan
entrepreneurship menjadi fondasi bagi terciptanya neoliberalisme. Homo economicus diartikan sebagai “an entrepreneur of himself”9 yang merupakan gambaran dari subjek neoliberal 10 . Entrepreneur bagi diri sendiri artinya ia menjadi modal bagi dirinya sendiri, menjadi produsen bagi dirinya sendiri, serta menjadi sumber pendapatan bagi dirinya sendiri11 sekaligus menjadi konsumen bagi apa yang diproduksinya. Dapat dikatakan bahwa relasi ekonomi yang kompleks berjalan dalam satu tubuh homo economicus dan merubah relasi ekonomi secara konkrit yang berada di masyarakat. Bentuk-bentuk perlawanan antara proletar dan borjuis yang menjadi gambaran klasik konflik di masyarakat 9
Foucault, 2008:226 Read, 2009 11 Dilts, 2011 10
34
perlahan menghilang digantikan masyarakat yang teratur dan menjadikan entrepreneurship sebagai cara hidup. Entrepreneurship
memiliki ciri individualisme di
mana
individu
bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dalam konteks buruh misalnya, ia tidak lagi merupakan bagian dari salah satu faktor produksi yang menukarkan tenaga atau keahlianya dengan upah, melainkan menempatkan diri sebagai produsen. Tenaga dan keahliannya merupakan bagian dari kapital dan kerja adalah proses produksi di mana upah yang dihasilkan tidak lagi dimaknai sebagai hasil pertukaran tetapi sebagai income dari proses produksi. Kerja tidak dimaknai sebagai proses produksi untuk orang lain (pemilik kapital) melainkan untuk dirinya sendiri. Dengan income yang dihasilkan, mereka mengkonsumsi “to produce his own satisfaction”12 . Dengan demikian, subjek buruh tidak lagi melihat proses produksi kapitalis sebagai bentuk penindasan ataupun penghisapan tenaga buruh, tetapi melihat proses produksi sebagai hasil dari “expression of freedom”. Foucault membawa konsep entreprenur keluar dari istilah borjuistik. Homo economicus dapat dikatakan sebagai entrepreneur tanpa membedakan status dan kelas. Dardot dan Laval (2013) mengemukakan bahwa “anyone is a potential entrepreneur”. Entrepreneur bukanlah pemilik modal, produsen, atau inovator saja, melainkan lebih luas dari itu merupakan entitas dengan “commercial spirit ” yang selalu berorientasi untuk mencari keuntungan. Entrepreneur selalu menyukai persaingan dan persaingan hanya bisa tercipta jika subjek memiliki sifat individualistik. Dan sifat individualistik tersebut hanya dapat d ibentuk melalui
12
Foucault, 2008:226
35
kebebasan. Dardot dan Laval menjelaskan bahwa prinsip “kebebasan” menjadi penggerak sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Pembentukan kebebasan individu menjamin terciptanya kompetisi yang adil dan terbuka di dalam masyarakat. Dalam tataran kultural, penciptaan kebebasan sebagai pandangan hidup ini berlangsung sebagai proyek utama dalam reformasi etika individu. Menurut Read (2009), pada dasarnya kebebasan yang diberikan kepada indvidu bersifat semu karena untuk menjaga kebebasan kompetisi tersebut diperlukan intervensi melalui kebijakan-kebijakan tertentu terhadap kondisi di masyarakat (atau pasar). Kontradiksi yang kemudian muncul adalah bahwa intervensi tersebut pada akhirnya membatasi kebebasan itu sendiri dan pada tahap tertentu kompetisi dimenangkan oleh pihak yang diuntungkan oleh kebijakankebijakan tersebut. Dalam kebebasannya, individu homo economicus juga memiliki karakter manageable atau dalam bahasa Foucault “governable”. Ia mengatakan, [H]omo economicus is someone who is eminently governable. From being the intangible partner of laissez-fair, homo economicus now becomes the correlate of a governmentality which will act on the environtment and systemically modify its variable (Foucault, 2008:270). Homo economicus tidak dapat lepas dari relasi kuasa, sehingga setiap tindakan yang mencerminkan kebebasan berkehendak pun tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepengaturan. Dengan kata lain, homo economicus merupakan hasil konkrit dari proses kepengaturan. Dalam tulisan ini konsep entrepreneur yang saya pakai lebih merujuk pada penjelasan dalam pandangan Foucauldian bahwa entrepreneur sebagai subjek
36
neoliberal secara utuh bukan semata-mata diartikan subjek borjuis dengan kemampuan inovasi atau manajerial di perusahaan. Dari penjabaran pemikiran Foucauldian tentang entrepreneur dapat dilihat bahwa subjek ini memiliki nilai kebebasan, namun tidak merdeka karena terikat pada sistem ekonomi tempat ia menjadi bagian. Dan seperti dalam pengaruh teori psikoanalisis lainnya, bahwa nikmat kebebasan tersebut telah mengubur derita penindasan ke dalam alm bawah sadarnya. Untuk mempermudah pengistilahan, ada beberapa ciri subjek entrepreneur yang dapat disimpulkan dari aliran pemikiran Foucauldian, yaitu: bebas (tidak liar, juga tidak merdeka), suka berkompetisi, individualistis, serta semangat mencari keuntungan yang tinggi (commercial spirit). 3. Keterkaitan Pe mikiran KHD dan Entrepreneurship Penekanan asas kemandirian yang menjadi muara dari prinsip pendidikan nasional dalam pandangan KHD awalnya adalah sebagai antitesis terhadap pendidikan kolonial yang telah menciptakan manusia pribumi yang tunduk pada kekuasaan penjajah.
Kemandirian adalah perlawanan dan
menjadi
inti
kemerdekaan bangsa dan manusia- manusia di dalamnya. KHD belum secara tegas menggunakan istilah kewirausahaan atau entrepreneurship di dalam pemikirannya tentang pendidikan. Namun, buah pemikirannya berpotensi digunakan untuk merumuskan entrepreneurship yang khas KHD dan diperbandingkan dengan entrepreneurship di era neoliberal. Pertama, pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan human capital. Potensi yang dimiliki manusia sifatnya laten, sehingga dibutuhkan proses
37
pendidikan dan pengajaran untuk memunculkannya agar potensi tersebut berguna di dalam kehidupan. KHD melihat pendidikan dan pengajaran sebagai proses yang utuh dan menyeluruh dalam memupuk potensi anak didik dan tidak terjebak kepada pragmatisme individualistik. Pendidikan harus menghasilkan manusiamanusia yang mandiri sekaligus berguna bagi orang lain, berbeda dengan Schultz yang melihat pendidikan dalam konteks ekonomi dan menempatkan pendidikan sebagai alat untuk menciptakan manusia yang produktif secara ekonomi13 . Kedua, KHD menekankan proses kreatif yang membangun demi kepentingan masyarakat. Seperti halnya Schumpeter, KHD juga melihat manusia ideal adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk mencipta, berkarya, dan berinovasi, hanya saja Schumpeter lebih menekankan proses kreatif sebagai bagian dari motif ekonomi dan dilandasi dengan commercial spirit bukan sebagai upaya membangun kemandirian manusia seperti yang disampaikan KHD. Ketiga, kemandirian dalam pandangan KHD adalah bentuk perlawanan terhadap kolonialisme dan segala macam ketergantungan yang disebabkan oleh praktik tersebut. Dalam konteks kekinian di mana ekonomi neoliberal turut membawa rezim neokolonialisme masuk ke seluruh penjuru dunia, konsep kemandirian dibangun sebagai jargon untuk memapankan individualisme yang didasarkan pada “free will” atau kebebasan berkehendak dan “competitive spirit ”. Kemandirian tidak lagi bernilai perlawanan karena hanya bermakna kemampuan individu untuk memproduksi kesenangan bagi dirinya sendiri. Generasi neoliberal juga terjebak konsumerisme yang secara tidak
13
langsung menumbuhkan
Lihat Schult z, 1972
38
ketergantungan terhadap produk-produk kapitalis global dan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupnya mereka dibentuk menjadi sosok entrepreneur yang mandiri. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pemikiran KHD mengandung nilainilai entrepreneurship yang dibangun melalui pendid ikan terkait kreativitas dan kemandirian manusia. Namun, ada pergeseran konsep ideal tentang dua konsep tersebut di mana dalam pemikiran KHD kreativitas dan kemandirian digunakan sebagai upaya pemanusiaan manusia serta pemerdekaan manusia dari belenggu kolonialisme sedangkan di era neoliberal justru digunakan untuk menciptakan manusia yang produktif tetapi semakin terbelenggu dengan konsumerisme dan terjebak individualisme. Untuk melihat lebih jauh bagaimana proses pergeseran tersebut berlangsung di dalam pendidikan, saya menggunakan pemikiran Foucault tentang govermentality dan teknik pembetukan subjek. 4. Governmentality dan Pembentukan Subjek Kenapa sistem ekonomi kapitalisme bisa bertahan hingga saat ini? Dan kenapa kapitalisme bisa merasuki berbagai bida ng kehidupan manusia di perkotaan hingga pedesaan, dari pegawai kantoran hingga petani? Lalu, mengapa masyarakat mau menerima sistem kapitalisme neoliberal sebagai hal yang alamiah dan sepakat dengan Margareth Thatcher yang mengatakan bahwa “there is no alternative”? Foucault menjawab dengan sederhana, “governmentality” atau kepengaturan. Untuk mengetahui bagaimana pembentukan subjek homo economicus, Foucault mengajukan konsep governmentality. Secara sederhana, governmentality
39
adalah teknik kepengaturan agar individu menjadi subjek yang dapat mengatur dirinya sendiri atau “conducting conduct ”. Individu bukanlah objek pasif dalam relasi kuasa pada struktur masyarakat, melainkan subjek aktif yang memiliki kehendak. Proses individu menjadi subjek homo economicus melalui beberapa teknik kepengaturan seperti yang disampaikan Foucault, yaitu: (1) Technologies of production which permit us to produce, transform or manipulate things; (2) technologies of sign systems which permit us to use signs, meanings, symbols or signification; (3) technologies of power, which determine the conduct of individuals and submit them to certain ends or domination, an objectivising of the subject; (4) technologies of the self which permit individuals to effect by their own means or with the help of others a certain number of operations on their own bodies and souls, thoughts conduct, and way of being, so as to transform themselves in order to attain a certain state of happiness, purity, wisdom, perfection, or immortality.14 Pertama, yang dimaksud dengan technologies of production adalah teknik untuk menciptakan, merubah, atau merekayasa sesuatu untuk kepentingan tertentu. Secara umum teknik ini dapat berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Di bidang pendidikan, pembuata n dan penentuan kurikulum sekolah formal selalu berada di tangan Pemerintah. Meskipun saat ini otonomi sekolah sudah mulai berjalan, namun kisi-kisi kurikulum serta beraneka macam standar masih ditetapkan oleh pemerintah untuk menciptakan subjek peserta didik yang sesuai dengan apa yang diharapkan. Begitu pula dengan pengawasan pemerintah terhadap pasar buku ajar sekolah untuk menjaga ideologi pendidikan tetap kongruen dengan ideologi negara.
14
Foucault, Michel. Technology of The Self. Halaman 18, dalam Mart in, Luther H.; Gut man, Huck; Hutton, Patrick H. (Editor). 1988. Technologies of The Self: A Seminar with Michel Foucault. London: Tavistock Publicat ion
40
Kedua, technologies of sign system, yang dapat diartikan sebagai pemanfaatan tanda, makna, simbol, dan signifikasi untuk mempengaruhi aspek ide dari individu di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat beredar berbagai macam sistem tanda yang saling berkelindan dengan sistem kebudayaan. Setiap saat sistem tanda mengalami perubahan secara alamiah maupun melalui rekayasa tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Ini berkaitan dengan bagaimana citra sekolah dibangun, penampilan ideal peserta didik dan guru, pemanfaatan simbol budaya tertentu di sekolah, penggunaan retorika da lam pembelajaran, hingga dinamika tentang makna sekolah. Ketiga, technologies of power yang berupa pengaturan individu menjadi subjek agar masuk ke dalam suatu bentuk dominasi tertentu tanpa menjadikannya sebagai objek. Teknik kepengaturan yang ketiga ini rumit karena berkaitan dengan proses subjektivikasi. Subjektivikasi ini dapat dilakukan dengan teknik pendisiplinan. Pendisiplinan dalam gagasan Foucault tidak berupa pendisiplinan secara koersif melalui apa yang dikatakan Althusser (1970) sebagai repressive state apparatus seperti polisi dan tentara, melainkan melalui rekayasa ruang dan waktu. Althusser menempatkan sekolah sebagai ideological state apparatusyang berfungsi membentuk subjek seperti yang diharapkan oleh kelas penguasa. Foucault (1975) melengkapi pandangan tersebut dengan mengajukan konsep panopticon sebagai bentuk pendisiplinan individu. Konsep lain yang juga berhubungan dengan pendisiplinan adalah latihan (exercise) yang dilakukan berulang-ulang dan bertahap hingga terbentuk karakter subjek.
41
Keempat, technologies of the self. Teknologi ini bertujuan untuk menciptakan subjek “entrepreneur of the self ” yang mengetahui kedirian dan kehendaknya. Self dalam tahapan ini bukan lagi pada tataran tubuh konkrit akan tentang jiwa atau mental. Proses subjektivikasi tingkat lanjut yang berlangsung melalui teknologi ini menghasilkan refleksi atas kedirian subjek sehingga dapat ditafsirkan bahwa technologies of the self ini bentuk etika moral dari governmentality15 .Teknologi ini membentuk jiwa atau mental homo economicus yang mampu memuaskan hasratnya sendiri sekaligus dapat mempengaruhi lingkungannya dalam rangka penularan karakter entrepreneur. Keempat teknik ini saya gunakan untuk menganalisa aktivitas sosial dan budaya yang ada di sekolah. Walaupun teknik-teknik tersebut seperti hierarki tahapan yang ketat, namun keempatnya bisa berjalan beriringan pada waktu dan ruang yang sama. Foucault menyediakan pisau analisis untuk melihat bagaimana sekolah menjadi agen pembentukan subjek homo economicus dengan karakter entrepreneurship ber-akhlakul karimah.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk memperkaya diskusi tentang reproduksi kebudayaan melalui pendidikan di Indonesia dan menambah wawasan teoritis maupun metodologis dalam penulisan penelitian bidang ilmu pendidikan secara umum maupun antropologi pendidikan secara khusus. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dua bidang keilmuan tersebut, serta menjadi
15
Lihat Dilts, 2011
42
inspirasi bagi penulisan penelitian lain agar diskusi tentang permasalahan pendidikan semakin riuh dan ilmiah demi kemajuan pendidikan di Indonesia. F. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMK Agro (Garda Agribisnis Anak Soleh) Desa Sukamakmur, Kecamatan Wanareja, Cilacap. Proses pengambilan data dilakukan selama satu tahun dari awal 2015 hingga awal 2016, namun tidak berlangsung secara kontinyu dan terjadwal dengan ketat. Saya menikmati pengambilan data dengan cara mengalami kebersaamaan langsung bersama subjek penelitian sehingga tercipta kedekatan agar wawancara dan pengamatan yang saya lakukan tidak terlalu bersifat formal agar wawancara maupun pengamatan dilakukan tidak kaku, dangkal dan terkadang artifisial. Subjek penelitian saya terdiri dari murid SMK, guru-guru SMK, pemilik yayasan, hingga warga sekitar sekolah. Pengambilan data tidak terbatas hanya dengan wawancara dan pengamatan di lapangan langsung, akan tetapi juga dengan membaca sumber data sekunder seperti buku sekolah, buku administrasi sekolah, brosur iklan sekolah, berita-berita di media yang menyangkut SMK Agro, hingga postingan murid dan guru di Facebook.com. Terkait dengan postingan di FB, saya memberikan perhatian khusus bagi beberapa murid SMK yang sering update status dan menyatakan apa yang ada dipikiran serta perasaannya tanpa ragu, sehingga bukan perkara sulit untuk melihat apa yang sebenarnya ada di pikiran dan perasaan mereka. Begitu juga dengan kepala sekolah SMK Agro yang sering mem-posting foto kegiatan di SMK sekaligus menuliskan kata-kata inspiratif di status-status FB-nya. Data-data yang seringkali sulit diungkap peneliti tentang
43
pandangan hidup dan bahkan perasaan subjek penelitian dapat dengan mudah diperoleh hanya dengan mengikuti timeline di FB. Dalam penulisan data etnografi saya terinspirasi tulisan Paul Willis yang berjudul The Ethnographic Imagination (2000). Dalam buku tersebut ia melihat etnografi bukan hanya sebagai proses perekaman realitas, tetapi juga imajinasi sosial yang seringkali tidak dapat terlihat. Imajinasi sosial berada dalam tataran ide yang mengikat realitas sosial, sehingga Willis juga menyebut ini sebagai “theoritical imagination 16 ”. Realitas kehidupan sehari- hari masyarakat adalah tempat bagi teori-teori besar untuk diuji dan dinilai serta dipertarungkan dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi. Willis melihat kehidupan sehari- hari sebagai seni dan proses yang berlangsung di dalamnya adalah proses penciptaan seni yang terjadi secara terusmenerus. Karya seni adalah hal konkrit, akan tetapi hal yang menjadikannya bernilai seni adalah makna sehingga Willis berpendapat bahwa kehidupan seharihari adalah proses “meaning making17 ”. Meaning atau makna tidak berada di realitas sosial yang terjadi tetapi di dalam imajinasi yang seringkali tidak disadari oleh manusia namun memiliki kekuatan pendorong untuk bertindak dan bertingkah laku di dalam masyarakat. Ia mengatakan, We need to see social life as containing many different kinds of meaningfulness, incarnate in different practices and forms, layered and overlapping, connecting up in complex ways. Language is one of many formations which bear meaning and can itself be an instrument of practices, not contemplation, including the attemt to gain control of the world and to share
16 17
Willis, 2000:vii (halaman pengantar) Willis, 2000:4
44
or make available meaninngs for the practices of other. (Willis, 2000:22) Selanjutnya Willis melihat bahasa sebagai pintu masuk yang penting untuk melihat produksi makna sebagai bagian dari proses untuk memahami realitas sosial. Melalui bahasa dapat dilihat inter-koneksi antara imajinasi- imajinasi sosial dan bagaimana proses tersebut berlangsung. Oleh karena itu peneliti dituntut kreatif dalam menggunakan imajinasinya untuk melihat bangunan relasi yang abstrak dari realitas sosial.
45