BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Para ahli studi tentang keagamaan, pada umumnya sepakat bahwa agama sebagai sumber nilai, sumber etika, dan pandangan hidup yang dapat diperankan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pemikiran ini pada alasan karena agama mengandung beberapa faktor. Pertama , faktor kreatif, yaitu ajaran agama dapat mendorong manusia melakuan kerja produktif. Kedua , faktor inovatif, yaitu ajaran agama dapat melandasi cita-cita dan amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupan. Ketiga , faktor submilatif, yaitu ajaran agama dapat meningkatkan dan mengkuduskan fenomena kegiatan manusia, tidak hanya hal keagamaan, tapi juga berdimensi keduniaan. Keempat, faktor integrative, yaitu ajaran agama dapat mempersatukan sikap dan pandangan manusia serta aktivitasnya, baik secara individual maupun kolektif dalam mengahadapi berbagai tantangan hidup. Manusia butuh terhadap agama, selain karena agama menyediakan berbagai faktor tersebut, juga karena keyakinan keagamaan menyebabkan pengaruh-pengaruh positif yang luar biasa dipandang dari kemampuannya, mampu menciptakan kebahagian atau memperbaiki hubungan-hubungan sosial,
1
2
atau mengurangi, bahkan menghapuskan sama sekali kesulitan-kesulitan yang sebelumnya tak terhindarkan di dalam sistem dunia ini.1 Agama mengatur hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan
manusia dengan
dirinya
yang dapat
menjamin keselarasan,
keseimbangan, dan keserasian dalam hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dalam mencapai kemajuan lahiriyah dan kebangkitan rohaniyah. Pendididkan agama merupakan bagian pendidikan yang amat penting yang berkenaan dengan aspek-aspek sikap dan nilai, anatara lain akhlak dan keagamaan.2 Pendidikan akhlak merupakan permasalahan utama yang selalu menjadi tantangan manusia dalam sepanjang sejarahnya. Sejarah bangsa-bangsa baik yang diabadikan dalam Al-Qur‟an seperti kaum „Ad, Samud, Madyan, dan Saba maupun yang didapat dalam buku-buku sejarah menunjukkan bahwa sautu bangsa akan kokoh apabila akhlaqnya kokoh dan sebaliknya suatu bangsa akan runtuh apabila akhlaknya rusak. Nabi Muhammad SAW yang diyakini oleh umat Islam sebagai pembawa risalah Tuhan yang terakhir, sudah sejak awal abad ke-7 Masehi secara tegas telah menyatakan bahwa tugas utamanya adalah sebagai
1
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner: Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 37-38. 2 Zakiah Drajat, Ilmu Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 87.
3
penyempurna akhlak manusia. Dalam Al-Qur‟an terdapat pula pernyataan bahwa, ia adalah seorang yang berakhlak agung. Karena itu, ia patut dijadikan contoh.3 Pendidikan di dunia Islam saat ini mengalami krisis yang menyebabkan kemunduran. Para pemerhati pendidikan telah menganalisis beberapa sebab terjadinya kemunduran itu, di antaranya adalah karena ketidaklengkapan aspek materi, terjadinya krisis sosial masyarakat dan krisis budaya, serta hilangnya teladan yang baik, akidah shahihah, dan nilai-nilai Islami.4 Meskipun akhir-akhir ini prestasi intelektual anak-anak mengalami peningkatan cukup baik dengan banyaknya prestasi di berbagai olimpiade sains internasional, namun justru terjadi pada aspek yang lain amat penting, yaitu akhlak. Sehingga dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat menahan laju kemerosotan akhlak yang terus terjadi. Pendidikan nasional yang disusun pemerintah melalui undang-undang sebenarnya sudah menekankan pentingnya pembangunan akhlak anak didik. Hal ini terimplikasikan melalui pendidikan akhlak dalam hal pembinaan moral dan budi pekerti (sesuai UU Sisdiknas tahun 1989 atau revisinya tahun 2003). Disebutkan dalam UU Sisdiknas Pasal 3 UU No.20/2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk melahirkan manusia yang beriman dan bertaqwa. Menurut Ahmad Tafsir, kesalahan terbesar dalam
3 4
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih , (Yogyakarta: Belukar, 2004), 21. Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 1.
4
dunia pendidikan Indonesia selama ini adalah para konseptor pendidikan melupakan keimanan sebagai inti dari kurikulum nasional.5 Untuk menangani krisis-krisis akhlak tersebut maka kita
harus
menjadikan Al-Qur‟an sebagai rujukan pendidikan khususnya akhlak, di samping juga menggunakan sunnah Rasulullah SAW. Karena Al-Qur‟an berfungsi menyampaikan risalah hidayah untuk menata sikap dan perilaku yang harus dilakukan manusia, di samping itu ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Qur‟an juga sangat membangun karakter akhlak. Beberapa di antaranya adalah pengarahan agar umat manusia berakhlak karimah.6 Kebutuhan manusia terhadap agama semakin diperlukan lagi dalam kehidupan modern yang ditandai oleh pola hidup materialistik dan hedonistik yang kesemuannya itu cenderung memuja dan mendewakan materi. Keadaan ini pada gilirannya membuat manusia merasakan kekeringan spiritual, hidup hampa, dan teralienasi (terasing). Manusia menjadi semacam sekrup dari sebuah mesin raksasa kehidupan. Ia telah kehilangan jati dirinya yang utuh. Keadaan ini menyebabkan ia rapuh ketika menghadapi berbagai masalah yang tidak sepenuhnya dapat diatasi oleh materi. Terjadinya kemerosotan moral, konfilk sosial, stres, cemas, gelisah, gangguan keamanan, dan berbagai gejala penyakit sosial dan kejiwaan yang selanjutnya mempengaruhi pikiran dan perasaannya
5 6
Ibid., 2-4. Ibid., 63-64.
5
dalam melaksanakan tugas-tugas, jelas tidak dapat diatasi kecuali dengan kembali kepada ajaran agama.7 Akhlak sangatlah urgen bagi manusia. Urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan, tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, bahkan juga dirasakan dalam kehidupan berbangsa atau bernegara. Akhlak adalah mustika hidup yang membedakan makhluk manusia dari makhluk hewani. Manusia tanpa akhlak, adalah manusia yang telah “membinatang”, sangat berbahaya. Ia akan lebih jahat dan lebih buas daripada binatang buas sendiri. Dengan demikian, jika akhlak telah lenyap dari diri manusia, kehidupan ini akan kacau balau, masyarakat menjadi berantakan. Orang tidak lagi peduli soal baik atau buruk, halal atau haram.8 Sebagai rujukan yang paling utama, Al-Qur‟an diyakini oleh umat Islam sebagai kalamullah (firman Allah) yang mutlak benar, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat nanti. Ajaran dan petunjuk Al-Qur‟an tersebut berkaitan dengan berbagai konsep yang amat dibutuhkan olen manusia dalam mengarungi kehidupannya di dunia ini dan di akhirat kelak. Al-Qur‟an berbicara tentang pokok-pokok ajaran tentang Tuhan, Rasul, kejadian dan sikap manusia, alam jagat raya, akhirat, akal, nafsu, ilmu pengetahuan, amar ma‟ruf 7
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner: Normatif Perenialis, Sejarah, Filsafat, Psikologi, Sosiologi, Manajemen, Teknologi, Informasi, Kebudayaan, Politik, Hukum, 39. 8 Zahrudin dan Hasanudin Sinaga, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), 14-15.
6
nahi munkar, pembinaan generasi muda, kerukunan hidup antar umat beragama, pembinaan masyarakat dan penegakan disiplin.9 Banyak kita jumpai orang yang mengaku orang yang beriman, tetapi enggan melaksanakan shalat bahkan mendustakan agama dengan tidak menghiraukan peraturan yang ada di dalam tatanan agama, mengaku orang Islam tetapi tetapi tidak menunjukkan sama sekali akhlak seorang muslim. Atas dasar itulah Al-Qur‟an disebut sebagai Al-Huda (sebagai petunjuk) utama syari‟at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Beliau memimpin umatnya menuju kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat juga dengan Al-Qur‟an. Bahkan dengan senjata Al-Qur‟an itulah, Nabi Muhammad SAW. berhasil mengangkat derajat umatnya dari lembah kehinaan dan kesengsaraan yang disebabkan keadaan moral pada waktu itu sudah sangat bejat atau penyakit krisis akhlak. Dan sumber dari segala penyakit akhlak tersebut dikarenakan mendustakan hari pembalasan. Namun, dengan bimbingan Al-Qur‟an, penyakit krisis akhlak ini dapat diobati sehingga umat Nabi Muhammad SAW. dapat berbalik menjadi umat yang terhormat, memiliki kepribadian yang luhur, dan tahu akan hak dan kewajiban dalam kehidupan ini.10 Jika kita memperhatikan seluruh ajaran Islam dan menyelami rahasiarahasia hikmah yang terkandung dalam ajarannya, tentu kita akan memperoleh kesimpulan bahwa semuanya itu menuju kepada tujuan yang satu, yaitu 9
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 1-2. Badri Khaeruman, Moralitas Islam: Mengungkap Pesan-pesan Kehidupan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2004), 13. 10
7
menyempurnakan akhlak manusia, mudah untuk memperoleh kebahagiaan dunia akhirat, dan membuka jalan-jalan kebahagiaan masyarakat. Kejayaan bangsa dan umat terletak pada akhlaknya. Selama bangsa itu masih berpegang teguh kepada norma-norma akhlak dan kesusilaan yang teguh, maka selama itu bangsa menjadi jaya dan bahagia.11 Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis ingin mengadakan penelitian dengan judul “NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-MA‟UN AYAT 1-7 (KAJIAN TAFSIR MISBAH KARYA M. QURAISH SHIHAB)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Nilai pendidikan akhlak apa saja yang terdapat dalam surat Al-Ma‟un? 2. Apakah tujuan pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat Al-Ma‟un? C. Tujuan Kajian Berangkat dari permasalahan yang diungkap di atas, maka
tujuan
penelitian ini adalah: 1. Untuk mendeskripsikan nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat AlMa‟un. 2. Untuk mendeskripsikan tujuan pendidikan akhlak yang terdapat dalam surat Al-Ma‟un. 11
Anwar Masy‟ari, Akhlak Al-Qur‟an, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2007), 23.
8
D. Manfaat Kajian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi khazanah keilmuan dan dapat memberikan pemahaman tentang pendidikan akhlak yang terdapat dalam Surat Al-Ma‟un. 2. Manfaat Praktis a. Lembaga Pendidikan Islam. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam pendidikan Islam. b. Bagi Pendidik. Dapat memberikan informasi kepada guru dalam meningkatkan proses belajar mengajar yang ideal. c. Bagi Peneliti. Dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta tambahnya pengalaman ketika penelitian berlangsung. E. Telaah Pustaka Terdahulu Disamping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan bahasan ini, penulis juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang jenis penelitiannya ada relevansinya dengan penelitian ini. Adapun hasil penelitian terdahulu adalah skripsi yang disusun oleh Ahmad Fathul Khoiri (Mei 2014, Fakultas Tarbiyah STAIN Ponorogo) dengan judul Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Tafsir Al-Qur‟an Surat Al-Mujadalah Dalam Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraish Shihab Dan Relevansinya Dengan
9
Pendidikan Islam. Dan skripsi yang disusun oleh Hengki Sugiana (Juni 2014, Fakultas Tarbiyah STAIN Ponorogo) dengan judul Nilai-nilai Pendidikan Dalam Al-Qur‟an Surat Al-Maidah Ayat 27-32 Tentang Kisah Qabil dan Habil (Kajian Tafsir Al-Misbah). Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian teradahlu yaitu, pendidikan akhlak yang selama ini dikembangkan terhadap manusia sudah terdapat dalam Kitab suci Al-Qur‟an yang merupakan pedoman hidup manusia yang terjamin kebenarannya sepanjang zaman, dalam Al-Qur‟an juga berbagai nilai-nilai pendidikan yang menyangkut tentang kehidupan seseorang dalam kesehariannya. Misalnya pendidikan akhlak. melipiti akhlak terhadap Allah, akhlak terhadap sesama makhluk Allah dan akhlak terhadap masyarakat sosial. pendidikan tauhid, dan metode-metode yang berkaitan dengan pembinaan akhlak. F. Metode Kajian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif12, yaitu berusaha menggali sedalam mungkin produk tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu berdasarkan berbagai literatur tafsir baik yang bersifat primer maupun sekunder. Karena didasarkan pada data-data kepustakaan, maka penelitian ini dapat diklasifikasikan dalam penelitian kepustakaan (library research) yaitu telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah
12
Deskrpitif yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan , (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009), 72.
10
yang pada dasarnya betumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. 2. Sumber Data13 Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan berasal dari berbagai literatur perpustakaan yang relevan dengan penelitian. Dalam hal ini penulis akan menyebutkan beberapa sumber data primer dan sekunder. a. Sumber Data Primer Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung dari sumber asli(tidak melalui perantara). Sumber penelitian primer diperoleh para peneliti untuk menjawab pertanyaan penelitian.14 Adapun sumber data primer yang peneliti gunakan adalah: Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an karya M. Quraish Shihab. b. Sumber Data Sekunder Merupakan sumber-sumber dari buku, kitab, dokumen, majalah yang ada relevansinya dengan objek penelitian, diantaranya adalah: 1) Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009). 2) Imam Pamungkas, Akhlak Muslim Modern: Membangun Karakter Generasi Muda , (Bandung: Marja, 2012).
13
Sumber data adalah subyek asal data dapat diperoleh, Etta Mamang Sangadji & Sopiah, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam Penelitian , (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), 169. 14 Etta Mamang Sangadji & Sopiah, Metodologi Penelitian Pendekatan Praktis dalam Penelitian, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2010), 171.
11
3) Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).
4) Abu Ahmadi dan Noor Salimi, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008).
5) Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011). 6) Anwar Masy‟ari, Akhlak Al-Qur‟an, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2007). 7) Aminudin, dkk. Membangun Karakter dan Kepribadian melalui Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006).
8) Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran
dan
Kepribadian
Muslim,
(Bandung:
PT
Remaja
Rosdakarya, 2006). 9) Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam, (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009). 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian pustaka. Oleh karena itu, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik dokumen, yaitu mengumpulkan dan menghimpun data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil-dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Teknik ini merupakan alat pengumpul data yang utama karena hipotetisnya yang diajukan secara logis dan rasional melalui pendapat, teori
12
atau hukum-hukum yang diterima, baik mendukung maupun yang menolong hipotesis tersebut.15 4. Teknik Analisis Data Data-data yang telah diolah tersebut, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode content analysis, yaitu proses mencari data dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari pustaka, baik sumber primer maupun sekunder, sehingga dapat mudah difahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.16 G. Sistematika Pembahasan Dalam bab ini penulis akan memberikan gambaran pokok yang akan diuraikan secara rinci pada bab selanjutnya. Adapun hasil dari kajian ini, dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah dengan sistematika pembahasan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan, yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teori, atau telaah hasil penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
15 16
Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan , (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), 181. Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (STAIN PO, 2014), 60.
13
Bab II bab ini akan membahas landasan teori tentang pendidikan akhlak dan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat dalam Surah Al-Ma‟un. Bab III bab ini akan membahas biografi M. Quraish Shihab meliputi riwayat hidup, karya-karyanya, dan faktor-faktor eksteren maupun interen. Bab IV bab ini akan membahas analisis yang berisis tentang nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat diambil dalam surat Al-Ma‟un Bab V merupakan penutup dan kesimpulan dari skripsi ini, dan saransaran.
14
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK
A. Konsep Nilai-Nilai Pendidikan Pendidikan secara praktis tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal. Tujuan pendidikan tidaklah mungkin kita tetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai.17 Nilai adalah prinsip, standar atau kualitas yang dipandang bermanfaat atau sangat diperlukan. Nilai adalah suatu keyakinan atau kepercayaan yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupan.18 Dalam garis besarnya, nilai hanya ada tiga macam, yaitu nilai benar-salah, baik-buruk, dan indah-tidak indah. Selain itu juga kita kenal nilai agama, yang mana sebagian masuk ke nilai benar salah, sebagian ke nilai baik-buruk, dan sebagiannya masuk ke nilai indah-tidak indah. Pendidikan Islam bertugas mempertahankan, menanamkan dan mengembangkan kelangsungan berfungsinya nilai-nilai Islam yang bersumber dari kitab suci Al-Qur‟an dan Al-Hadits.19
17
Jalauddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), 138. Muhaimin, Nuansa Baru Penidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 148. 19 Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, 49-50. 18
14
15
B. Pendidikan Ada beberapa istilah dalam dunia pendidikan diantaranya sebagai berikut: 1. Al-Tarbiyah Dalam leksikologi Al-Qur‟an an As-Sunnah tidak ditemukan istilah altarbiyah, namun terdapat beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Dalam mu‟jam bahasa Arab,
kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu: a. Rabba, yarbu, tarbiyah: yang memiliki makna „tambah‟ (zad) dan „berkembang‟ (nama ). Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. b. Rabba , yurbi, tarbiyah: yang memiliki makna tumbuh (nasya‟a) dan menjadi besar atau dewasa (tara‟ra‟a). Artinya pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual. c. Rabba, yarubbu, tarbiyah: yang memiliki makna memperbaiki (ashlaha ), menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Artinya pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengatur kehidupan peserat didik, agar ia dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.
16
Jika istilah tarbiyah diambil dari fi‟il madhi-nya (rabbayani) maka ia memiliki arti memproduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan,
mengembangkan,
memelihara,
membesarkan,
dan
menjinakkan. Menurut Fahr al-Razi, istilah rabbayani tidak hanya mencakup ranah kognitif, tapi juga afektif. Tarbiyah dapat juga diartikan dengan “proses transformasi ilmu pengetahuan dari pendidik (rabbani) kepaa peserta didik, agar ia memiliki sikap dan semanat yang tinggi dalam memahami dan menyadari kehidupannya, sehingga terbentuk ketaqwaan, budi pekerti, dan kepribadian yang luhur. Mushtafa al-Maraghi membagi aktivitas al-tarbiyah dengan dua macam: (1) Tarbiyah khalqiyah, yaitu pendidikan yang terkait dengan pertumbuhan jasmani manusia, agar dapat dijadikan sebagai sarana dalam pengembangan rohaninya;
(2) Tarbiyah
diniyah
tahdzibiyyah,
yaitu
pendidikan yang terkait dengan pembinaan dan pengembangan akhlak dan agama manusia, untuk kelestarian rohaninya Dalam klasifikasi yang berbeda, Ismail Haqi al-Barusawi membagi tarbiyah pada aspek sasarannya: (1) Kepada manusia, sebagai makhluk yang
memiliki potensi rohani, maka tarbiyah diartikan dengan proses pemberian nafsu dengan berbagai kenikmatan, pemeliharaan hati nurani dengan berbagai kasih sayang, bimbingan jiwa dengan hukum-hukum syariah, pengarahan hati nurani dengan etika kehidupan, dan penerangan rahasia hati dengan hakikat
17
pelita; (2) Kepada alam semesta, yang tidak memiliki potensi rohani, maka tarbiyah diartikan dengan pemeliharaan dan pemenuhan segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab yang menjadikan eksistensinya.20 2. Ta‟lim Ta‟lim merupakan kata benda buatan (mashdar ) yang berasal dari akar kata „allama. Sebagian para ahli menerjemahkan istilah tarbiyah dengan pendidikan, sedangkan ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran. Kalimat allamahu al-„ilm memiliki arti mengajarkan ilmu kepadanya. Pendidikan tidak
tertumpu pada domain kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik, sementara pengajaran (ta‟lim) lebih mengarah pada aspek kognitif. Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta‟lim dengan: “proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.”21 3. Ta‟dib Istilah ta‟dib berasal dari akar addaba yuaddibu ta‟diban yang mempunyai arti antara lain: melatih akhlak yang baik, sopan santun, dan tata cara pelaksanaan sesuatu yang baik. Ta‟dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidikan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta‟dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan peradaban atau kebudayaan, sebaliknya
20 21
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 10-18. Ibid., 18-19.
18
peradaban yang berkualitas dan maju dapat diperoleh melalui pendidikan, menurut Naquib al-Atas, ta‟dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan pengagungan Tuhan. Ta‟dib sebagai upaya dalam pembentukan adab (tata krama), terbagi atas empat macam (1) ta‟dib adab al-haqq, pendidikan tata krama spiritual dalam kebenaran, yang memerlukan pengetahuan tentang wujud kebenaran, yang di dalamnya segala yang ada memiliki kebenaran tersendiri dan yang dengannya segala sesuatu diciptakan, (2) ta‟dib adab al-khidmah, pendidikan tata krama spiritual dalam pengabdian. Sebagai seorang hamba, manusia harus mengabdi kepada sang Raja (Malik) dengan menempuh tata krama yang pantas, (3) ta‟dib adab al-syari‟ah, pendidikan tata krama spiritual dalam syari‟ah, yang tata caranya telah digariskan oleh Tuhan melalui wahyu. Segala pemenuhan syari‟ah Tuhan akan berimplikasi pada tata krama yang mulia, (4) ta‟dib adab al-shuhbah, pendidikan tata krama spiritual dalam persahabatan, berupa saling menghormati dan perilaku mulia di antara manusia.22 4. Riyadhah Riyadhah secara bahasa diartikan dengan pengajaran dan pelatihan.
Menurut al-Bastani, riyadhah dalam konteks pendidikan berarti mendidik jiwa dengan akhlak yang mulia. Pengertian ini akan berbeda jika riyadhah 22
Muhammad Muntahibun Nafis, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 3-6.
19
dinisbatkan kepada disiplin tasawuf atau olahraga. Riyadhah dalam tasawuf berarti latihan rohani dengan cara menyendiri pada hari-hari tertentu untuk melakukan ibadah dan tafakur mengenai hak dan kewajibannya. Sementara riyadhah dalam disiplin olahraga berarti latihan fisik untuk menyehatkan
tubuh. Menurut Ghazali, kata riyadhah yang dinisbatkan kepada anak (shibyan/atfhal), maka memiliki arti pelatihan atau pendidikan kepada anak. Dalam pendidikan anak, al-Ghazali lebih menekankan pada domain psikomotorik dengan cara melatih. Pelatihan memiliki arti pembiasaan dan masa kanak-kanak adalah masa yang paling cocok dengan metode pembiasaan itu. Anak kecil yang terbiasa melakukan aktivitas yang positif maka di masa remaja dan dewasanya lebih mudah untuk berkepribadian saleh. Riyadhah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) riyadhat al-jism,
pendidikan olahraga yang dilakukan melalui gerakan fisik atau pernapasan yang bertujuan untuk kesehatan jasmani manusia; (2) riyadhat al-nafs, pendidikan olah batin yang dilakukan melalui olah pikir dan olah hati yang bertujuan untuk memperoleh kesadaran dan kualitas rohani. Kedua riyadhah ini sangat penting bagi manusia, untuk memelihara amanah jiwa raga yang diberikan Allah kepadanya. Pendidikan olah jiwa lebih utama daripada pendidikan olahraga, karena jiwalah yang menjadikan kelestarian eksistensi dan kemuliaan manusia di dunia dan di akhirat.23
23
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,,, 21-22.
20
orang-orang Yunani, lebih kurang dari 600 tahun sebelum Masehi, telah menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha membantu manusia menjadi manusia.24 Karena banyak manusia yang belum menjadi manusia (seutuhnya), maka dari itu manusia perlu di didik. Omar Muhammad Ath-Thaumy Asy-Syaibani, mengartikan pendidikan sebagai perubahan yang diinginkan dan diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tataran tingkat laku individu maupun pada tataran kehidupan sosial, serta pada tataran relasi alam sekitar, atau pengajaran sebagai aktivitas asasi, dan sebagai proporsi di antara profesi-profesi dalam masyarakat.25 Pendidikan juga merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Karena pendidikan menjadi bagain dari pengabdian (rasa syukur) seorang hamba kepada Sang Pencipta yang telah menganugerahkan kesempurnaan jasmani dan rohani kepada manusia. Dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan adalah “proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang ada pada diri peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial, maupun spiritual, dengan memperbaiki tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika yang bersumber pada ajaran agama ke dalam diri manusia agar dapat survive lebih baik dalam kehidupan individu maupun sosial (bermasyarakat).
24
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia , (Bandung: Rosdakarya, 2008), 33-36. 25 Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 18-20.
21
C. Akhlak Akhlak adalah jamak dari khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab/sopan santun, dan agama.26 Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (ciptaan). Kesamaan akar di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (Tuhan) dengan makhluq (manusia).27
Dari definisi terminologi ada beberapa pakar yang mengemukakan akhlaq sebagai berikut: Ibn Miskawaih “keadaan jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran (lebih dahulu)”. Imam Al-Ghazali “akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan
dengan
gampang
dan
mudah,
tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Prof. Dr. Ahmad Amin “sementara orang mengetahui bahwa yang disebut akhlak ialah kehendak yang dibiasakan. Artinya, kehendak itu bila membiasakan sesuatu, kebiasaan itu dinamakan akhlak”.28 Dari keterangan di atas jelaslah bahwa akhlak itu Berciri-ciri, yaitu: Pertama , perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga
26
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlaq, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan , (Yogyakarta: Belukar. 2004), 31. 27 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI, 2006), 1. 28 Zahruddin, Pengantar Studi Akhlaq , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 3-4.
22
telah menjadi kepribadiannya.29 Perilaku manusia merupakan nilai kualitas manusia yang melekat dalam diri pribadinya sebagai akibat pembiasaanpembiasaan dan terimplementasikan pada bentuk perilaku secara spontanitas, baik berupa perilaku terpuji maupun tercela. Kedua , spontan, dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan.30 Hal itu terjadi karena cenderung dilakukan berulang-ulang.31 Ketiga , akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Keempat, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima , sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang timbul karena Allah. Karena pada dasarnya semua jenis kebaikan itu berasal dari sisi Allah swt.32
D. Pendidikan Akhlak Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, hakikat pendidikan akhlak adalah inti pendidikan dari semua jenis pendidikan karena ia mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap luar dirinya.33 Dari definisi pendidikan dan akhlak yang dijelaskan terpisah di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah proses pembinaan, pengarahan, 29
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 4. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, 3. 31 Hamzah Tualeka dkk, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Press, 2011), 3. 32 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, 5-6. 33 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlaq, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan , 38. 30
23
pelatihan (baik dari segi jasmani maupun dari segi rohani), dan penanaman kedewasaan, dengan meningkatkan nilai-nilai akhlak yang dilakukan dari generasi ke generasi sehingga niai-nilai tersebut tertanam dalam diri seseorang agar tumbuh lebih baik sesuai dengan nilai dan norma agama kehidupan di masyarakat.
E. Sumber Pendidikan Akhlak Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran. Adapun yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah Al-Qur‟an dan Al-Hadits. Segala sesuatu yang baik menurut AlQur‟an dan Al-Sunnah, itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk menurut Al-Qur‟an dan Al-Sunnah, berarti tidak baik dan harus dijauhi.34 Sumber-sumber akhlak Islam: 1. Al-Qur‟an Secara harfiah Al-Qur‟an berarti bacaan atau yang dibaca. Hal ini sesuai dengan tujuan kehadirannya, antara lain agar menjadi bahan bacaan untuk dipahami, dihayati dan diamalkan kandungannya.35 Al-Qur‟an adalah sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama. Karena ia memiliki nilai absolut yang diturunkan dari Tuhan. Allah
34 35
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), 20. Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, 75.
24
menciptakan manusia dan Dia pula yang mendidik manusia, yang mana isi pendidikan itu telah termaktub dalam wahyu-Nya. Tidak satupun persoalan, termasuk persoalan pendidikan, yang luput dari jangkaun Al-Qur‟an.36 Banyak sekali nilai-nilai pendidikan yang termaktub dalam Al-Qur‟an, seperti pendidikan (1) I‟tiqadiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan, seperti percaya kepada Allah, Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Akhir, dan Taqdir, yang bertujuan untuk menata kepercayaan individu. (2) Khuluqiyyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, yang bertujuan untuk
membersihkan diri dari perilaku rendah dan menghiasi diri dengan perilaku terpuji. (3) Amaliyyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, tingkah laku sehari-hari.37 Kitab suci yang memuat firman-firman Allah, sama benar dengan apa yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sedikit selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Makkah kemudian di Madinah.38 Dan di dalamnya juga memuat akidah, syari‟ah, akhlak, kisah-kisah manusia di masa lampau, berita-berita tentang masa yang akan datang, benih dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan, dan Sunnatullah atau hukum Allah yang berlaku di alam semesta.39 Fungsi AlQur‟an sebagai sumber pendidikan, lebih lanjut dapat dilihat dari berbagai aspek berikut:
36
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam,,, 32-33. Ibid., 36. 38 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 93. 39 Ibid., 103. 37
25
Pertama , dari segi namanya, Al-Qur‟an dan Al-Kitab sudah
mengisyaratkan bahwa Al-Qur‟an memperkenalkan dirinya sebagai kitab pendidikan. Al-Qur‟an secara harfiah berarti membaca atau bacaan. Adapun Al-Kitab berarti menuis atau tulisan. Membaca dan menulis dalam arti seluasluasnya merupakan kegiataan utama dan pertama dalam kegiatan pendidikan. Kedua , dari segi fungsinya, yakni sebagai al-huda , al-furqan, alhakim, al-bayyinah ialah berkaitan dengan fungsi pendidikan dalam arti
seluas-luasnya. Ketiga , dari segi sumbernya, yakni dari Allah, telah mengenalkan diri-
Nya sebagai al-rabb atau al-murabbi, yakni sebagai pendidik. Dengan mengemukakan beberapa alasan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa Al-Qur‟an itu adalah Kitab Pendidikan.40 2. Al-Hadits atau Al-Sunnah Kedudukan Al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al-Qur‟an dan Al-Hadits juga didasarkan kepada kesepakatan para sahabat. Pada saat itu, para sahabat sepakat menetapkan wajibnya mengikuti hadits, baik pada masa Rasul hidup maupun setelah beliau wafat.41 Sunnah menurut para ahli hadits adalah sesuatu yang didapatkan dari Nabi SAW yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau 40
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, 76-77. Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 187. 41
26
budi, atau biografi, baik pada masa sebelum kenabian atau sesudahnya. Sunnah menurut ahli hadits sama dengan pengertian hadits.42 Apa yang telah disebut dalam Al-Qur‟an di atas, dijelaskan atau dirinci lebih lanjut oleh Rasululllah dengan sunnah beliau. Karena itu, sunnah Rasul yang kini terdapat dalam Al-Hadits merupakan penjelasan otentik tentang Al-Qur‟an.43
F. Tujuan Pendidikan Akhlak Tujuan pendidikan akhlak tidak terlepas dari tujuan pokok pendidikan Islam. Yang sepenuhnya bertitik tolak dari tujuan ajaran Islam itu sendiri, yaitu membentuk manusia yang berkepribadian muslim yang bertaqwa dalam rangka melaksanakan tugas kekhalifahan dan peribadatan kepada Allah untuk mencapai kebahagian dunia dan akhirat.44 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, beliau mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah untuk membentuk orang-orang yang bermoral baik, berkemauan keras, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku serta beradab.45 Ibnu
Miskawayh
merumuskan
tujuan
pendidikan
akhlak
adalah
terwujudnya sikap batin mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan
42
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, 77. Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, 110. 44 Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, 27. 45 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pendidikan Islam, terj. Bustami Abdul Ghani (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 103. 43
27
semua perbuatan bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagian yang sempurna.46 Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak: 1. Supaya seseorang terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. 2. Supaya interaksi manusia dengan Allah dan sesama makhluk lainya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduannya. Kemudian setelah itu, harus memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk. 3. Menuntun kepada kebaikan Ilmu akhlak bukan sekedar memberitahukan mana yang baik dan mana yang buruk, melainkan juga mempengaruhi dan mendorong kita supaya membentuk hidup yang suci dengan memproduksi kebaikan dan kebajikan yang mendatangkan manfaat bagi manusia.47 4. Membersihkan kalbu dari perbuatan dosa, maksiat, kotoran-kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci, bersih bagaikan cermin yang dapat menerima Nur (cahaya) dari Tuhan.48 5. Kemajuan Rohaniah Dengan pengetahuan ilmu akhlak dapat mengantarkan seseorang kepada jenjang kemulian akhlak. Karena dengan akhlak seseorang akan berusaha 46
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih , (Yogyakarta: Belukar, 2004), 116. Erwin Yudi Prahara, Materi Pendidikan Agama Islam, 48 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, 12.
47
28
memelihara diri agar senantiasa berada pada garis akhlak yang mulia, dan menjauhi segala bentuk tindakan yang tercela yang dimurkai Allah.49 Dengan demikian tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan untuk melahirkan semua perbuatan bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagian yang sempurna.50
G. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Akhlak dalam ajaran Islam mencakup berbagai aspek, dimulai akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama manusia. lebih jelasnya bisa disimak paparan berikut ini: a. Akhlak Terhadap Allah Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai Khalik. (Pencipta). Abudin Nata menyebutkan sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama, Dia menciptakan manusia dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Setelah itu menjadi segumpal darah,
49
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 159. 50 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlaq, Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan , 116.
29
segumpal daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya ditiupkan roh. Dengan demikian sudah sepantasnya manusia berterima kasih kepada Allah yang telah menciptakannya. Kedua, karena Allah telah memberikan kepada manusia panca indera berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran, dan hati nurani disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna. Ketiga, karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan manusia sebagai kelangsungan hidupnya. Keempat, Allah telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan. Meski Allah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia manusia sebagaimana disebutkan di atas, bukanlah menjadi alasan Allah perlu dihormati. Bagi Allah, dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi kemulianNya. Akan tetapi sebagai makhluk ciptaan-Nya, sudah sewajarnya manusia menunjukkan sikap akhlak yang baik kepada Allah. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah dan kegiatan menanamkan nilai-nilai akhlak kepada Allah yang sesungguhnya akan membentuk pendidikan keagamaan. Diantaranya adalah: 1. Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan dan peraturan-peraturan Tuhan yang disebut dengan agama, senantiasa menjaga dengan baik hubungan kepada Allah dengan selalu mendirikan sholat lima waktu, tanpa mengundur waktu dalam menjalankannya.
30
Karena dengan senantiasa mendirikan shalat tepat waktu sudah tentu Allah akan memperbaiki akhlak kita. 2. Taqwa, yaitu sikap penuh sadar bahwa Allah mengawasi manusia. Sehingga manusia berusaha berbuat sesuatu yang diridhai Allah, dengan menjauhi atau menjaga dari dari sesuatu yang tidak diridhai-Nya. 3. Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau bersama manusia dimanapun manusia berada. Maka manusia harus berbuat, berlaku, bertindak menjalankan seagala sesuatu dengan baik. 4. Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh keridhaan Allah dan bebas dari rasa riya‟ (ingin dilihat orang). 5. Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih kepada Allah dengan segala kenikmatan yang telah dianugerahkan kepada manusia. Dengan cara saling berbagi dan menyantuni fakir miskin.51 b. Akhlak Terhadap Manusia Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur‟an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Diantara lain: 1. Dermawan (al-munfiqun, menjalankan infaq), yaitu sikap kaum beriman yang memiliki kesediaan yang besar untuk menolong sesama manusia,
51
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam; Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 152-154.
31
terutama mereka yang tidak mampu (fakir miskin) dengan mendermakan sebagian dari harta benda yang dikaruniakan dan diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab manusia tidak akan memperoleh
kebajikan
sebelum mendermakan sebagian dari harta benda yang dicintainya. 2.
Belas Kasih (Ar-Rahmah), sikap menyayangi, menghormati, dan membantu terhadap yang lemah, yang kecil, yang faqir, yang miskin, yang tua; orang yang kuat harus menyayangi yang lemah, yang besar menyayangi yang kecil, yang kaya menyayangi yang faqir dan miskin, yang muda menghormati yang tua.
3. Pemurah (As-Sakhaa-u), memberikan harta sebagai tambahan dari yang wajib dan ini adalah sifat yang baik, perangai yang terpuji. Ia berikan sesuatu kepada orang-orang yang menghajatkan tanpa mengharap balasan kembali. Jadi dengan pemurah, orang lain memperoleh manfa‟at dan faedah dari pemberian itu, sedangkan diri sendiri akan memperoleh pahala dari Allah Swt.52 4. Tolong Menolong (At-Ta‟awun), adalah cirri kehalusan budi, kesucian jiwa, ketinggian akhlak, membuahkan cinta antara teman, penuh solidaritas, dan penguat persahabatan dan persaudaraan. Dan ketika memberikan pertolongan hendaklah menjauhi sifat ingin dipuji dan ingin
52
Barmawie Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), 50.
32
dilihat oleh orang lain. Hendaknya dilakukan untuk memperoleh ridha dan pahala dari Allah Swt.53 5. Merendah Diri Terhadap Sesama Manusia (At-Tawaadhu‟), yaitu memelihara dan menjaga hubungan antara sesama manusia tanpa perasaan kelebihan diri dari orang lain serta tidak merendahkan orang lain, maksudnya memberikan setiap hak kepada yang mempunyainya, tidak meninggikan diri dari derajat yang sewajarnya, tidak menurunkan pandangan terhadap orang lain dari tingkatnya, di mana tawaadhu‟ menyebabkan diri memperoleh ketinggian dan kemuliaan.54
53 54
Ibid., 53. Ibid., 54.
33
BAB III NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT AL-MA’UN (KAJIAN TAFSIR AL-MISBAH)
A. Biografi M. Quraish Shihab Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Beliau dikenal sebagai ulama dan cendikiawan muslim Indonesia yang dikenal ahli dalam bidang tafsir Al-Quran. M. Quraish Shihab lahir di Rappang Sulawesi Selatan, 16 Februari 1994. Ayahnya Prof. KH Abdurrahman Shihab, seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir.55 M. Quraish Shihab menempuh pendidikan Sekolah Dasarnya di Ujung Pandang. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di daerah kelahirannya sendiri, dia kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul-Hadits al-Fiqhiyah di kota yang sama.56 Pada tahun 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar,57 di lingkungan al-Azhar inilah untuk sebagian besar karir intelektualnya dibina dan dimatangkan selama lebih kurang 11 tahun. Pada tahun 1967 dalam usia 23 tahun, dia berhasil meraih gelar Lc. (License, Sarjana Strata Satu) pada Fakultas Ushuludin, Jurusan Tafsir dan Hadits
Nina Aminah, Pendidikan Kesehatan dalam Al-Qur‟an, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 171. 56 Mustafa, M. Quraish Shihab: Membumikan Kalam di Indonesia , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 64. 57 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan Media Utama, 2002) 55
33
34
Universitas al-Azhar Kairo. Dia kemudian melanjutkan studinya pada fakultas yang sama, dan dua tahun berikutnya, tahun 1969, dia berhasil meraih gelar M.A. (Master of Art) dalam spesialisasi bidang Tafsir al-Qur‟an, dengan tesis berjudul al-I‟jaz at –Tasyri‟i li al-Qur‟an al-Karim.58
Setelah itu, ia kembali pulang ke Indonesia untuk membantu ayahnya membina perguruan tinggi di Ujangpandang. Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alaudin. Ia juga terpilih sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur).59 Untuk mewujudkan cita-citanya dalam mendalami studi tafsir, pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali meunutut ilmu ke almamaternya Al-Azhar, mengambil spesialisasi studi Al-Qur‟an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor bidang ini. Disertasinya yang berjudul Nazm ad-Durar li al-Biqa‟i Tahqiq wa Dirasaah (Suatu Kajian terhadap Kitab Nazm ad-Durar [Rangkaian Mutiara] karya laude dengan penghargaan Mumtaz ma‟a Martabah as-Syaraf al-Ula (sarjana teladan dengan prestasi istimewa). Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujungpandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alaudin. Ia menjadi pembantu rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Disamping menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering manggantikan ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan
58 59
Mustafa, M. Quraish Shihab: Membumikan …, 65. Nina Aminah, Pendidikan Kesehatan …, 73.
35
tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta VII Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederet lainnya di luar kampus. Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan karirnya. Untuk itu, ia pindah tugas dari IAIN Alaudin Makasar ke Fakultas Ushuludin di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum AlQur‟an di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Diamping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Di sela-sela kesibukannya, ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, artikel, jurnal, bahkan menulis buku. Karena keahliannya dalam bidang kajian Al-Qur‟an, Quraish Shihab tidak memerlukan waktu lama untuk dikenal di kalangan masyarakat intelektual Indonesia. Dalam waktu singkat ia segara dilibatkan dalam berbagai forum di tingkat nasional, antara lain:60 Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashih al-Qur‟an Departemen Agama (sejak 1989), dan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). Dalam organisasi-organisasi profesi, dia duduk sebagai Pengurus Perhimpunan IlmuIlmu Syari‟ah, Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisten Ketua Umum Iatan Cendekiawan Muslim seIndonesia (ICMI) Pusat. Di sela-sela kesibukannya sebagai staf pengajar di 60
Ibid…, 74.
36
IAIN Syarif Hidayatullah dan jabatan-jabatan di luar kampus itu, dia juag terlihat dalam berbagai kegiatan diskusi dan seminar, di dalam maupun di luar negeri.61 Sejak tahun 1993, pemerintah mempercayainya untuk mengemban tugas sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia juga menjadi direktur Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang merupakan salah satu usaha MUI untuk membina kader ulama di tanah air. Pada tahun 1997, ia diangkat menjadi Menteri Agama, dan pada 1998 diangkat menjadi duta besar untuk Mesir setelah diberhentikan dari Menteri Agama. Disamping sebagai seorang pemikir dan mufasir yang handal, beliau juga diberi kepercayaan untuk melaksanakan tugas
dan tanggung jawab di beberapa lembaga pendidikan dan organisasi sosial keagamaan. Selain deretan kegiatan tersebut di atas, M. Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal.62 Karya-karya M. Quraish Shihab: 1. Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alaudin. 1984) 2. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama. 1987) 3. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan. 1987) 4. Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma. 1988) 5. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco. 1990)
61 62
Mustafa, M. Quraish Shihab: Membumikan …, 73. Nina Aminah, Pendidikan Kesehatan …, 74-75.
37
6. Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan. 1994) 7. Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Kedudukan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan. 1994) 8. Lentera Hati: Kisah Dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan. 1994) 9. Studi Krisis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah. 1996) 10. Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan. 1996) 11. Mukjizat Al-Qur‟an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasan Isyarat Ilmiah Dan Pemberitaan Ghaib (Bandung: Mizan. 1997) 12. Tafsir Al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Hidayah. 1997) 13. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan. 1998) 14. Menyingkap Tabir Ilahi Asma‟ Al-Huzna Da lam Perspektif Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati. 1998) 15. Pengantin Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati. 1999) 16. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan. 1999) 17. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan. 1999) 18. Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa) 19. Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa) 20. Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab Berbagai Masalah Keislaman (Bandung: Mizan Pustaka. 1999)
38
21. Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan. 1999) 22. Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar Al-Qur‟an dan Hadits (Bandung: Mizan. 1999) 23. Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar Ibadah dan Muamalah (Bandung: Mizan. 1999) 24. Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar Wawasan Agama (Bandung: Mizan. 1999) 25. Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab seputar Tafsir Al-Qur‟an (Bandung: Mizan. 1999) 26. Kedudukan Wanita dalam Islam (Departemen Agama) 27. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarat: Lentera Hati. 1999) 28. Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati. 2000) 29. Panduan Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarat: Penerbit Republika. 2000) 30. Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarat: Penerbit Republika. 2003) 31. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an (15 Jilid, Jakarta: Lentera Hati. 2003) 32. Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT (Jakarta: Lentera Hati. 2003) 33. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: dalam Pandangan Ulama dan Cendikiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati. 2004)
39
34. Dia di Mana-mana: Tangan Tuhan di balik setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati. 2004) 35. Perempuan (Jakarta: Lentera Hati. 2004) 36. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati. 2005) 37. Rasionalitas Al-Qur‟an: Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta: Lentera Hati. 2006) 38. Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera. 2006) 39. Wawasan Al-Qur‟an: Tentang Dzikir dan Do‟a (Jakarta: Lentera Hati. 2006) 40. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur‟an (Bandung: Mizan. 2007) 41. Sunnah - Syiah Bergandenga Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati. 2007) 42. Lentera Al-Qur‟an: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan) 43. Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Al-Fatihah dan Juz „Amma (Jakarta: Lentera Hati. 2008) 44. 40 Hadis Qudsi Pillihan (Jakarta: Lentera Hati. 2008) 45. Berbisnis dengan Allah: Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat I (Jakarta: Lentera Hati. 2008) 46. M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati)
40
47. M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati. 2008) 48. Doa Harian Bersama M. Quraish Shihab Menjawab (Jakarta: Lentera Hati. 2009) 49. Seri yang Halus dan Tak Terlihat: Jin dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati) 50. Seri yang Halus dan Tak Terlihat: Malaikat dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati) 51. Seri yang Halus dan Tak Terlihat: Setan dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati) 52. Al-Qur‟an dan Maknanya: Terjemahan Makna disusun oleh M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati. 2010) 53. Membumikan Al-Qur‟an Jilid 2: Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati. 2011) 54. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan Al-Qur‟an dan Hadis Shahih (Jakarta: Lentera Hati. 2011) 55. Doa al-Asma‟ al-Husna (Doa yang Disukai Allah SWT) (Jakarta: Lentera Hati. 2011), dan karya-karya lainnya.63
63
Ibid., 78.
41
B. Surah Al-Ma’un Ayat 1-7 (Tafsir Al-Misbah) Surah Al-Maun termasuk surah makiyah yang terdiri dari 7 ayat. Isinya berupa kecaman Allah terhadap mereka yang berkemampuan, tetapi enggan dan tidak menganjurkan memberi dengan barang yang berguna. Artinya: 1. tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. orangorang yang berbuat riya, 7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. C. Asbabun Nuzal Surah Al-Ma’un Ayat 1-3 Dalam beberapa riwayat, dikemukakan bahwa ada seseorang yang diperselisihkan siapa dia, apakah Abu Sufyan atau Abu Jahal, al-„Ash Ibn Walid atau selain mereka-konon setiapa minggu menyembelih seokor unta. Suatu ketika, seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu namun tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir. Peristiwa ini merupakan latar belakang turunnya ayat 1-3.64
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keseraian Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 545-546. 64
42
D. Kosa Kata Surah Al-Ma’un Ayat 1-3 Artinya: 1. tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Allah berfirman: Apakah engkau wahai Muhammad atau siapapun telah melihat yakni beritahu Aku tentang orang yang mendustakan hari Kemudian?
Jika engkau belum mengetahui maka ketauhilah bahwa dia itu adalah yang mendorong dengan keras yakni menghardik dan memperlakukan sewenang-
wenang anak yatim, dan tidak senantiasa menganjurkan dirinya, keluarganya dan orang lain memberi pangan buat orang miskin. Pertanyaan yang diajukan ayat pertama ini bukannya bertujuan memperoleh jawaban, karena Allah Maha Mengetahui, tetapi bermaksud menggugah hati dan pikiran para mitra bicara, agar memperhatikan kandungan pembicara berikut. Dengan pertanyaan itu ayat di atas mengajak manusia untuk menyadari salah satu bukti utama kesadaran beragama, yang tanpa itu keberagamaannya dinilai sangat lemah, kalau tidak berkata nihil. Kata ( ) لكdzalika / itu digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang jauh. Ini memberi kesan betapa jauh tempat dan kedudukan yaag ditunjuk dari pembicara, dalam hal ini Allah swt.
43
Kata (
)يكyukadzdzibu/ mendustakan atau mengingkari dapat berupa
sikap batin dan dapat juga dalam betuk sikap lahir, yang wujud dalam bentuk perbuatan. Kata ( )ال يad-din dari segi bahasa antara lain berarti agama , kepatuhan, dan pembalasan. Kata ad-din dalam ayat di atas sangat popular diartikan dengan agama, tetapi dapat juga berarti pembalasan. Pendapat ini didukkung oleh pengamatan yang menunjukkan bahwa Al-Qur‟an bila menggandengkan kata addin dengan yukadzdzibu, maka keonteksnya adalah pengingkaran terhadap hari
kiamat. Selanjutnya jika kita mengaitkan makna kedua ini dengan sikap mereka yang enggan membantu anak yatim atau orang miskin karena menduga bahwa bantuannya kepada mereka tidak menghasilkan apa-apa, maka itu berarti bahwa pada hakikatnya sikap mereka itu adalah sikap orang-orang yang tidak percaya akan adanya (hari) Pembalasan. Bukankah yang percaya dan meyakini, bahwa kalaulah bantuan yang diberikannya tidak menghasilkan sesuatu di dunia, namun yang pasti ganjaran serta balasan perbuatannya itu akan diperoleh di akhirat kelak. Seseorang yang kehidupannya dikuasai oleh kekinian dan kedisinian, tidak akan memandang ke hari kemudian yang berada jauh di depan sana. Sikap demikian merupakan pengingkaran serta pendustaan ad-din, baik dalam arti agama lebih-lebih lagi dalam arti hari kemudian. Kata ( )ي عyadu‟u berarti mendorong dengan keras. Kata ini tidak harus diartikan terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup pula segala macam
44
penganiayaan, gangguan, dan sikap tidak bersahabat terhadap mereka. Walhasil ayat ini melarang untuk membiarkan dan meninggalkan mereka. Arti ini didukung oleh bacaan walaupun syadz ( )ي ع اليتيyada‟u al-yatim yang artinya adalah mengabaikan anak yatim. Kata ( )اليتيal-yatim terambil dari kata ( )يتyutm yang berarti kesendiriaan, karena itu permata yang sangat indah dan dinilai tidak ada bandingannya dinamai ( )ال ة اليتي ةad-durah al-yatimah. Bahasa menggunakan kata tersebut untuk menunjuk anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat, atau anak binatang yang induknya telah tiada. Kematian ayah, bagi seorang yang belum dewasa, menjadikannya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang kara, karena itu ia dinamai yatim. Perlu dicatat bahwa walaupun ayat ini berbicara tentang anak yatim, namum maknanya dapat diperluas sehingga mencakup semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan dan hal ini dikuatkan pula dengan kandungan ayat berikutnya. Kata ( )يحضyahudhdhu/ menganjurkan mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjuran pemberi pangan”. Peranan ini dapat dilakukan oleh siapa saja, selama mereka merasakan penderitaan orang lain. Ayat di atas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpartisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang lemah dan membutuhkan bantuan.
45
Kata ( )طعtha‟am berarti makanan atau pangan. Ayat tersebut tidak menggunakan redaksi ( )إطعith‟am/ memberi makan, tetapi ( )طعtha‟am/ pangan agar setiap orang yang menganjurkan dan atau memberi itu, tidak merasa
bahwa ia telah memberi makan orang-orang yang butuh. Ini mengisyaratkan bahwa pangan yang mereka anjurkan dan atau mereka berikan itu, pada hakikatnya walaupun diambil dari tempat penyimpanan yang “dimiliki” si pemberi, tetapi apa yang diberikannya itu bukan miliknya, tetapi hak orang-orang miskin dan butuh itu.65
E. Kandungan Yang Terdapat dalam Surah Al-Ma’un Ayat 1-3 Dalam surah Al-Ma‟un ayat 1-3, dapat diambil kandungan yang bisa dijadikan sebagai titik ukur dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan bersosial yang biasa kita jalani sehari-hari. Yaitu dianjurkannya bagi kita untuk saling tolong menolong dan saling membantu kepada sesama manusia, terutama kepada yatim. Karena mereka itu seakan-akan menjadi sendirian, sebatang kara, dan kehilangan pelingdung (ayah). Dan anjuran untuk saling berbagi kepada saudara kita yang miskin (yang membutuhkan). Karena iman itu merupkan perasaan yang yakin akan adanya balasan ataupun imbalan dari apa-apa yang telah kita kerjakan didunia, termasuk janji Allah SWT akan melipatgandakan anugerah-Nya kepada setiap orang yang memberi bantuan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “tidak beriman diantara 65
Ibid., 546-548.
46
kamu sekalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaiama ia mencintai dirinya sendiri”. Sehingga kita bisa menjadi manusia yang berakhlak mulia dan berakhak agung (akhlak qur‟ani), karena Al-Qur‟an merupakan sebaik-baik petunjuk jalan yang paling lurus (tidak ada sedikitpun kebengkokan dalam Al-Qur‟an itu sendiri).
F. Kosa Kata Surah Al-Ma’un Ayat 4-7 Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orangorang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. Setelah menguraikan sifat buruk pengingkar agama dan hari Kemudian terhadap kaum lemah, ayat-ayat di atas menguraikan sikap buruknya terhadap Allah swt. Dapat juga dikatakan bahwa melalui ayat-ayat yang lalu telah dijelaskan bahwa mereka yang menghardik anak yatim dan tidak memperlakukannya dengan baik, demikian pula yang tidak saling anjur-menganjurkan memberi pangan kepada orang yang butuh, merupakan orang-orang yang mendustakan agama dan mengingkari hari Pembalasan. Maka ayat-ayat di atas menekankan kecelakaan mereka dan kecelakaan siapa yang lalai akan makna shalatnya itu, karena kelalaian ini menunjukkan bahwa keadaan mereka tidak berbeda dengan yang
47
mengingkari agama dan hari Pembalasan, buktinya adalah sikap riya‟ dan keengganan mereka membantu orang-orang yang butuh. Dengan demikian kedua bagian surat ini saling lengkap melengkapi, bagian pertama (ayat 1-3) menjelaskan siapa yang mendustakan agama tanpa menjelaskan kecelakaan yang akan menimpa mereka, sedang bagian kedua (4-7) mengandung ancaman kecelakaan yang akan mereka hadapi, tanpa menjelaskan bahwa mereka pada hakikatnya juga mendustakan agama dan hari pembalasan. Dengan kata lain, apa yang diinformasikan pada bagian pertama tidak lagi dijelaskan pada bagian kedua, demikian pula sebaliknya, sehingga wajar apabila bagian kedua ini dimulai dengan kata penghubung. Kata ( ) يلwail/ digunakan dalam arti kebinasaan dan kecelakaan yang menimpa akibat pelanggaran dan kedurhakaan. Ia biasanya digunakan sebagai ancaman. Ada juga yang memahaminya dalam arti nama dari salah satu tingkat siksaan neraka, dengan demikian ayat ini merupakan ancaman terjerumus neraka “wail”. Ada juga yang memahaminya dalam arti ancaman kecelakaan tanpa menetapkan waktu serta tempatnya. Ini berarti bahwa kecelakaan itu dapat saja menimpa pendurhaka dalam kehidupan duniawi atau ukhrawi. Pendapat ini baik, karena tidak ada indikator pada konteks ayat ini, demikian juga ayat-ayat lain yang menggunakan kata wail yang menunjuk adanya pembatasan waktu atau tempat. Benar, bahwa ada ayat yang secara tegas menyatakan bahwa salah satu penyebab keterjerumusan ke dalam neraka Saqar adalah mengabaikan shalat (QS. Al-Muddatsir [74]: 42-43), namun ini bukan berarti bahwa wail adalah nama
48
salah satu tingkat neraka, atau bahwa kecelakaan dan kebinasaan itu hanya dialami di akhirat kelak. Kata ( )ال ص يal-mushallin walaupun dapat diterjemahkan dengan orangorang yang shalat, tetapi dalam penggunaan Al-Qur‟an ditemukan makna khusus
baginya. Biasanya Al-Qur‟an menggunakan kata aqimu dan yang seakar dengannya bila yang dimaksud adalah shalat yang sempurna rukun dan syaratsyaratnya, karena kata aqimu atau yang seakar dengannya itu, mengandung makna pelaksanaan sesuatu dalam bentuk yang sempurna. Kata ( )س هsahun terambil dari kata ( )سsaha / lupa , lalai yakni seseorang yang hatinya menuju kepada sesuatu yang lain, sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya. Kata ( „ )عan berarti tentang/ menyangkut. Kalau ayat ini menggunakan redaksi ( )في صاتfi shalatihim, maka ia merupakan kecaman terhadap orangorang yang lalai serta lupa dalam shalatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada shalat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain shalatnya. Dengan kata lain, celakalah orang-orang yang lupa jumlah rakaat shalatnya. Untung ayat ini tidak berbunyi demikian, karena alangkah banyaknya di antara kita yang demikian itu halnya. Syukur bahwa ayat tersebut berbunyi „an shalatihim sehingga kecelakaannya tertuju kepada mereka yang lalai tentang
esensi makna dan tujuan shalat.
49
Kata (
)ي ا ءyura‟un termabil dari kata ( ) أيra‟a yang berarti melihat.
Dari akar kata yang sama lahir kata riya‟ yakni siapa yang melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tidak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata itu juga berarti bahwa mereka ketika melakukan suatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian mereka. Dari sini kata ( ) ي ءriya‟ atau ( )ي اءyura‟un diartikan sebagai “melakukan sesuatu pekerjaan bukan karena Allah semata, tetapi untuk mencari pujian dan popularitas”. Riya‟ adalah sesuatu yang abstrak, sulit bahkan mustahil dapat dideteksi oleh orang lain, bahkan yang bersangkutan sendiri terkadang tidak menyadarinya, apalagi jika ia sedang tenggelam dalam satu kesibukan. Riya‟ diibaratkan sebagai semut kecil lagi hitam berjalan dengan perlahan di tengah kelamnya malam di tubuh seseorang. Rujukan ke QS. Al-Baqarah [2]: 364 untuk mengetahui secara konkret hasil suatu pekerjaan yang dilandasi oleh riya‟. Kata (
)ال عal-ma‟un menurut sementara ulama terambil dari akar kata
( ) ع ةma‟unah, yang berarti bantuan. Huruf ( )ىةta‟ marbuthah pada kata itumenurut mereka-diganti dengan ( )اalif dan diletakkan sesudah ( ) mim sehingga terbaca ( ) عma‟un. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma‟un adalah bentuk maf‟ul dari kata ( يعي- )أعa‟ana-yu‟inu yang berarti membantu dengan bantuan yang jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas tidak popular. Tidak
50
sedikit ulama yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata ( )ال عal-ma‟n yang berarti sedikit.66 Tidak kurang dari sepuluh pendapat tentang maksud kata al-ma‟un/ bantuan (yang sedikit itu), antara lain:
1). Zakat, 2). Harta benda, 3). Alat-alat rumah tangga, 4). Air, 5). Keperluan sehari-hari seperti, periuk, piring, pacul, dan sebagainya. Sebenarnya tidak ada suatu alasan untuk menolak pendapat-pendapat terperinci di atas, sebagaimana tidak pula beralasan untuk memilih salah satunya, karena ayat itu sendiri tidak menetapkan suatu bentuk atau jenis bantuan. Penulis cenderung memahami kata al-ma‟un dalam arti sesuatu yang kecil dan dibutuhkan, sehingga dengan demikian ayat ini menggambarkan betapa kikir pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan bantuan yang sifatnya besar, hal-hal yang kecil pun enggan. Shalat berintikan doa bahkan itulah arti harfiahnya. Doa adalah keinginan yang dimohonkan kepada Allah swt, atau dalam artinya yang lebih luas, shalat adalah “permohonan yang diajukan oleh pihak yang rendah dan butuh kepada pihak yang lebih tinggi dan mampu”. Jika anda berdoa atau bermohon, maka anda harus merasakan kelemahan dan kebutuhan anda di hadapan-Nya. Hal ini harus 66
Ibid., 548-551.
51
anda buktikan dalam perbuatan dan sikap. Itu sebabnya bacaan dan sikap di dalam shalat, keseluruhannya harus menggambarkan kerendahan diri dan kebutuhan kita serta keagungan Allah semata. Menurut sementara ulama, dalam shalat yang dilaksanakan seorang muslim, telah terhimpun segala bentuk dan cara penghormatan serta pengagungan yang dikenal oleh umat manusia sepanjang perjalanan sejarahnya. Ada orang yang menunjukkan penghormatan serta pengagungannya kepada sesuatu dengan pengakuan dan ucapan memuji atau memuja, ada juga dengan berdiri tegak lurus, atau dengan ruku‟, atau sujud dan sebagainya. Itulah cara-cara yang ditempuh manusia guna memberi penghormatan dan pengagungan kepada sesuatu, dan itu pula sebagian dari apa yang dilakukan seorang muslim di dalam shalatnya. Walhasil dapat disimpulkan bahwa shalat menggambarkan kelemahan manusia dan kebutuhannya kepada Allah, sekaligus menggambarkan keagungan dan kebesaran-Nya. Kalau demikian, wajarkah manusia bermuka dua (riya‟) ketika melakukannya, wajarkah bahkan mampukah manusia menipu-Nya?. Mereka yang berbuat demikian, tidak menghayati esensi shalatnya serta lalai dari tujuannya. Yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya. Kalau demikian wajarkah yang butuh ini menolak membantu sesamanya yang butuh, apalagi jika ia memiliki kemampuan? Tidakkah ia mengukur dirinya dan kebutuhannya kepada Allah? Tidakkah ia mengetahui bahwa Allah akan membantunya selama ia membantu saudaranya.
52
Surat Al-Ma‟un yang terdiri dari 7 ayat pendek ini, berbicara tentang suatu hakikat yang sangat penting, di mana terlihat secara tegas dan jelas bahwa ajaran Islam tidak memisahkan upacar ritual dan ibadah sosial, atau membiarkannya berjalan sendiri-sendiri. Ajaran ini sebagaimana tergambar dalam ayat-ayat di atas menekankan bahwa ibadah dalam pengertiannya yang sempitpun mengandung dalam jiwa dan esensinya dimensi sosial, sehingga jika jiwa ajaran tersebut tidak dipenuhi maka pelaksanaan ibadah dimaksud tidak akan banyak artinya. Dari surat ini ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama dari pemenuhan hakikat shalat. Pertama , keikhlasan melakukannya demi Allah. Kedua , merasakan kebutuhan orang-orang lemah dan kesediaan mengulurkan
bantuan walau yang kecil sekalipun. Demikian terlihat, agama yang diturunkan Allah ini menuntut kebersihan jiwa, jalinan kasih sayang, kebersamaan dan gotong royong antara sesama makhluk Allah, karena tanpa semua itu mereka yang shalat pun di nilai Allah sebagai mendustakan agama atau hari Kemudian. Sayyid Quthub dalam tafsirnya menulis: “Mungkin jawaban Al-Qur‟an tentang siapa yang mendustakan agama atau hari Kemudian yang dikemukakan dalam surat ini, mengkagetkan jika dibandingkan dengan pengertian secara tradisional, tetapi yang demikian itulah inti persoalan dan hakikatnya. Hakikat pembenaran Ad-Din bukannya ucapan dengan lidah, tetapi ia adalah perubahan dalam jiwa yang mendorong kepada kebaikan dan kebajikan terhadap saudarasaudara sekemanusiaan, terhadap mereka yang membutuhkan pelayanan dan
53
perlidungan. Allah tidak menghendaki dari manusia kalimat-kalimat yang dituturkan, tetapi yang dikehendaki-Nya adalah karya-karya nyata yang membenarkan kalimat yang diucapkan itu, sebab kalau tidak, maka itu semua hampa tidak berarti dan tidak dipandang-Nya”.67
G. Kandungan Surat Al-Ma’un Ayat 4-7 Dari surat juga ditarik kesimpulan, bahwa kewajiban dan tuntunan agama yang ditetapkan Allah, sedikit pun tidak bertujuan kecuali untuk kemaslahatan seluruh makhluk, khususnya umat manusia. Allah menghendaki di balik kewajiban dan tuntunan itu, keharmonisan hubungan antar seluruh makhluk-Nya demi kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat kelak. Awal surat ini menjelaskan kecelakaan orang-orang yang mendustakan agama dan mengingkari hari Kemudian, sedang akhirnya mengurakan tandanya yaitu pamrih dalam shalat dan enggan memberi bantuan.68
67 68
Ibid., 551-553. Ibid., 554.
54
BAB IV ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM AL-QUR’AN SURAT AL-MA’UN
A. Analisis Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Al-Qur’an Surat Al-Ma’un Pendidikan akhlak dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar yang mengarahkan pada terciptanya perilaku lahir batin manusia sehingga menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur, mampu melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan, memiliki kepribadian untuk baik pada dirinya sendiri dan juga berkepribadian baik kepada orang lain. Dari uraian pengertian tersebut di atas dapai dipahami bahwa pendidikan akhlak haruslah merata terhadap semua objek agar tercipta kehidupan yang damai, rukun, sejahtera, saling mengasihi dan saling menyayangi, memiliki rasa empati yang tinggi terhadap kaum yang lemah dan kurang mampu. Surat Al-Ma‟un memiliki makna dan kandungan yang begitu tepat dan mendalam dalam membahas pendidikan akhlak terutama akhlak terhadap Sang Khalik (Allah swt) dan terhadap sesama manusia. Dalam surat ini terdapat ayat yang membahas terkait dengan akhlak yang dapat dijadikan pedoman agar tercipta suatu kehidupan yang harmonis. Sebagai makhluk sosial tentunya manusia dituntut untuk saling membantu terhadap manusia yang lain agar tercipta kehidupan yang damai.
54
55
Seperti yang telah penulis jelaskan pada bab sebelumnya bahwa surat AlMa‟un merupakan salah satu surat dari sekian banyak surat yang terdapat dalam Al-Qur‟an yang mana didalamnya terkandung nilai pendidikan akhlak. Adapun nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Al-Ma‟un adalah sebagai berikut: 1. Akhlak terhadap Allah Akhlak terhadap Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai Khalik (Pencipta). Disini akan dijelaskan sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah. Pertama , Dia menciptakan manusia dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim). Setelah itu menjadi segumpal darah, segumpal daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya ditiupkan roh. Dengan demikian sudah sepantasnya manusia berterima kasih kepada Allah yang telah menciptakannya. Kedua , karena Allah telah memberikan kepada manusia panca indera
berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran, dan hati nurani disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna. Ketiga , karena Allah telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan manusia sebagai kelangsungan hidupnya. Keempat, Allah telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan menguasai daratan dan lautan.
56
Meski Allah telah memberikan berbagai kenikmatan kepada manusia manusia sebagaimana disebutkan di atas, bukanlah menjadi alasan Allah perlu dihormati. Bagi Allah, dihormati atau tidak, tidak akan mengurangi kemulianNya. Akan tetapi sebagai makhluk ciptaan-Nya, sudah sewajarnya manusia menunjukkan sikap akhlak yang baik kepada Allah. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berakhlak kepada Allah dan kegiatan menanamkan nilai-nilai akhlak kepada Allah yang sesungguhnya akan membentuk kepribadian insan yang kamil. Diantaranya adalah: 6. Iman, yaitu sikap batin yang penuh kepercayaan kepada Tuhan dan peraturan-peraturan Tuhan yang disebut dengan agama, senantiasa menjaga dengan baik hubungan kepada Allah dengan selalu mendirikan sholat lima waktu, tanpa mengundur waktu dalam menjalankannya. Karena dengan senantiasa mendirikan sholat tepat waktu sudah tentu Allah akan memperbaiki akhlak kita “Katakanlah: „sesungguhnya shalat itu mencegah dari pada perbuatan yang keji dan munkar”. 7. Taqwa, yaitu sikap penuh sadar bahwa Allah mengawasi manusia. Sehingga manusia berusaha berbuat sesuatu yang diridhai Allah, dengan menjauhi atau menjaga dari dari sesuatu yang tidak diridhai-Nya. 8. Ihsan, yaitu kesadaran yang sedalam-dalamnya bahwa Allah senantiasa hadir atau bersama manusia dimanapun manusia berada. Maka manusia harus berbuat, berlaku, bertindak menjalankan seagala sesuatu dengan baik.
57
9. Ikhlas, yaitu sikap murni dalam tingkah laku dan perbuatan, semata-mata demi memperoleh keridhaan Allah dan bebas dari rasa riya‟ (ingin dilihat orang). 10. Syukur, yaitu sikap penuh rasa terima kasih kepada Allah dengan segala kenikmatan yang telah dianugerahkan kepada manusia. Dengan cara saling berbagi dan menyantuni fakir miskin. 2. Akhlak terhadap sesama manusia a. Akhlak berbicara/bertutur kata Dalam kehidupan, kita tidak akan bisa terlepas dari yang namanya komunikasi, karena komunikasi adalah salah satu cara manusia untuk berinterkasi dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, komunikasi sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Dan salah satu cara komunikasi adalah berbicara atau bertutur kata. Terkait dengan hal itu, telah diketahui pada bab sebelumnya berbicara/bertutur kata memiliki etika agar perkataan itu tidak menyebabkan kesalahan yang bisa menyakiti hati seseorang. Islam sangat memperhatikan masalah ini dan menganjurkan setiap muslim untuk berhati-hati dalam berkata-kata, agar ia bisa mendatangkan pahala dan tidak malah mendatangkan dosa. Hendaklah kata-kata bisa membuahkan hasil positif, seperti persaudaraan dan cinta kasih, bukannya malah melahirkan permusuhan dan kebencian.
58
Kata-kata yang baik adalah kata-kata yang sejuk didengarkan, suarannya tidak terlalu keras tidak juga terlalu lirih, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan, intonasi pas, tidak boros dengan kalimat yang tidak berguna, tidak membuat bias pemahaman, dan jelas maksudnya. Selain itu, kata-kata ihsan juga berarti kata-kata yang lembut, bahkan kepada musuh sekalipun, karena kata-kata ihsan bukan saja menyenangkan orang lain, bahkan ia bisa menjadi kunci surga bagi pelakunya. Begitu juga dalam surat Al-Ma‟un ayat 2 yang menyinggung masalah tersebut sekaligus memberi tuntunan akhlak anatara sesama manusia, yaitu larangan berbicara dengan cara menghardik atau berkata kasar yang dapat meyinggung hati seseorang, ayat tersebut juga merupakan peringatan kepada salah satu seorang tokoh Quraisy ketika didatangi oleh seorang anak yatim, bukannya dibantu tetapi malah dihardik secara kasar. b. Akhlak Sosial/ bermasyarakat Dalam dunia kehidupan, kita tidak akan bisa terlepas dari yang namanya bantuan terhadap orang lain. Oleh sebab itu, maka sudah layaknya bagi kita untuk saling membantu terhadap sesama manusia. Dan salah satu bentuk bantuan yang bisa kita lakukan adalah dengan cara memberi makanan yang mana makanan itu sendiri merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.
59
Pada prinsipnya agama tidak membolehkan terhadap penganutnya untuk bersikap bakhil atau kikir. 1. Nilai Kedermawanan Sikap kaum beriman
yang memiliki kesediaan yang besar
untuk menolong sesama manusia, terutama mereka yang kurang tidak mampu (fakir miskin) dengan mendermakan sebagian dari harta benda yang dikaruniakan dan diamanatkan Tuhan kepada mereka. Sebab manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum mendermakan sebagian dari harta benda yang dicintainya. 2. Nilai Persaudaraan (ukhuwah) Persudaraan adalah ikatan kejiwaan yang mewarisi perasaan mendalam tentang kasih sayang. Kecintaan dan penghormatan terhadap setiap orang yang diikat oleh perjajian-perjanjian aqidah Islamiyah, keimanan, dan ketaqwaan. Perasaan persaudaraan yang benar ini melahirkan perasaan yang mulia di dalam jiwa muslim untuk membentuk sikap-sikap sosial yang positif, seperti tolong menolong, mengutamakan orang lain, kasih sayang dan pemberian maaf serta menjauhi sifat-sifat negatif. Islam memberikan pelajaran kepada orang-orang muslim bahwasanya dalam mengarungi kehidupan di duna ini perlu adanya saling mengasihi, saling membantu dan saling memperdulikan akan nasib sesama muslim, untuk mengimplementasikan semua itu maka
60
salah satu bentuk yang relefan adalah dengan sedekah atau menyatuni fakir miskin, sebagau sebuah kepedulian atas kesusahan yang dialami oleh muslim yang lainnya. 3. Nilai Sayang (Rahmah) Pada dasarnya sifat kasih sayang itu adalah fitrah yang dianugerahkan oleh Allah kepada semua makhluk yang bernyawa. Bukan hanya manusia saja yang diberi oleh Allah sifat kasih sayang, akan tetapi binatang pun diberi-Nya. Kasih sayang adalah sautu perasaan kelembutan dalam hati, perasaan halus di dalam hati nurani, dan suatu ketajaman perasaan yang mengarah pada perlakuan lemah lembut terhadap orang lain, keturutsertaan
di dalam merasakan
kepedihan, belas kasih terhadap mereka dan upaya menghapus air mata kesedihan dan penderitaan. Rasulullah adalah seseorang yang dikehendaki oleh Allah untuk mengatur alam, menghapus penderitaan umat, meringankan keseusahannya, memperbaiki kesalahan, dan memberikan petunjuk serta
menolong
orang-orang
yang
lemah,
mematahkan
duri
(penderitaan) yang berat, sehingga umat manusia dikembalikan kepada fitrah aslinya. Allah mengutus Nabi Muhammad dan mengisikan ke dalam hatinya ilmu dan sifat kesantunan. Di dalam hati Nabi Muhammad diisi oleh Allah sifat-sifat keutamaan dan kebajikan, dan di dalam tabiatnya diisi sifat-sifat
61
kemudahan, belas kasih, dan di dalam tangannya ada kemurahan (sifat suka memberi dan menolong). Nabi Muhammad dijadikan oleh Allah sebaik-baik manusia yang mempunyai sifat belas kasih dan kesayangan (rahmat lil alamin) serta kelapangan dada. Rasulullah telah menjadikan sifat kasih sayang kepada sesama manusia sebagai sarana mendapatkan kasih sayang Allah. Kasih sayang orang mukmin itu tidak terbatas pada sudara yang mukmin saja. Akan tetapi kasih sayang itu merupakan sumber kasih sayang yang melimpah untuk seluruh umat manusia. Kasih sayang orang mukmin tidak terbatas pada saudara yang mukmin saja. Akan tetapi kasih sayang itu tumbuh dan menyebar kepada semua manusia. Bahkan kasih sayang tersebut melampaui antara manusia yang berakal sampai kepada binatang. 4. Nilai Ihsan Ihsan berarti berbuat sesuatu secara baik, tidak asal buat. Ihsan berarti juga mengerjakan sesuatu secara profesional atau berkualitas. Maka amal yang ihsan menyentuh semua amal, baik amalan hati, lisan maupun amalan fisik. Orang yang hatinya senantiasa berpikir positif dan husnuzhan kepada sesama Muslim maka ia telah berbuat ihsan dalam hati. Orang yang bicaranya baik, bermanfaat, tidak sampai berdusta meskipun dalam canda, tidak melukai perasaan orang lain, maka ia telah berbuat ihsan dalam lisan. Sama halnya
62
orang yang perbuatannya senantiaa terpuji, berguna dan dirasakan manfaat bagi orang lain, maka ia pun telah berbuat ihsan dalam bertindak. Dengan demikian, orang yang melaksanakan amal ibadah dengan khusyuk, memenuhi syarat dan rukunnya, juga sunahsunahnya, berarti ia telah berbuat ihsan dalam beribadah. Demikian halnya dengan pergaulan dengan orang lain maka ihsan dan tidaknya seseorang diukur oleh sajauh mana ia mampu menanamkan sikap yang terpuji dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ihsan tidak bisa dipisahkan dengan Islam dan iman. Ketiganya tidak bisa dipisahkan karena tiga tema inilah yang dinyatakan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah di hadapan para sahabat. Ruang lingkup ihsan: a. Ihsan Dalam Beribadah Ibadah bisa dikatakan benar dan diterima oleh Allah jika memenuhi dua syarat, yaitu niat karena Allah dan sesuai dengan petunjuk-Nya. Namun ibadah yang ihsan lebih dari itu, yakni ibadah yang dikerjakan dengan penuh kesungguhan, terpenuhi syarat rukun dan anjuran-anjurannya, serta berdampak pada perilakunya secara umum. Maka ibadah yang ihsan bukan sekedar untuk mengugurkan kewajiban, namun juga untuk mendapatkan dampaknya.
63
Pelaksanaan ihsan ini bisa muncul tentu dengan kesadaran bahwa Allah telah berbuat ihsan kepada manusia maka sudah semestinya manusia berlaku ihsan dalam menyembah-Nya. Artinya, sepatutnyalah kita berbuat ihsan dalam beribadah kepada karena Allah juga telah berbuat ihsan kepada manusia. Dengan itulah Allah mencintai hamba-Nya. 5. Ikhlas Ikhlas dapat diartikan sebagai semua perbuatan hanya ditujukan kepada Allah swt. bukan selain kepada-Nya. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan dan pertolongan kepada sesama manusia dengan niat yang keliru, yaitu hanya untuk dilihat dan dipuji orang yang melihatnya maka amal yang dikerjakan di dunia akan dijadikan Allah sebagai debu yang berterbangan karena didasari oleh niat yang keliru dan tidak adanya iman didalam hati para pelakunya. Allah telah berfirman dalam Al-Qur‟an jika amal didasari oeh riya‟ (ingin dilihat orang lain) maka akan diancam sebagai orang yang celaka “Sungguh celaka orang-orang yang lalai dalam shalatnya, orang-orang yang riya‟ dan tidak mau memberikan pertolongan” (Surat Al-Ma‟un). 6. Suka Memberi dan Terbuka Tangan Islam adalah suatu agama
yang menghimbau kepada
pemeluknya agar membuka tangan dan menginfakkan sebagian
64
hartanya untuk kemaslahatan umum. Islam membenci sifat pelit (bakhil) dan mementingkan diri sendiri. Salah satu kewajiban yang terpikul di pundak seorang muslim ialah berhemat di dalam membelanjakan hartanya untuk kepentingan dirinya, agar ia mempunyai kelebihan yang akan dipergunakan untuk membantu orang-orang yang lebih memerlukannya dan orang orangorang yang menderita dalam kehidupannya. Sebenarnya Tuhan menciptakan makhluk yang berbeda-beda kondisi dan keadaannya, ada yang kuat ada yang lemah, kaya miskin, dan lain sebagainya. Ini supaya umat manusia bisa menciptakan keharmonisan dan keserasian hidup di antara mereka, yakni yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin.
B. Tujuan Pendidikan Akhlak Dalam Surat Al-Ma’un (Dalam Tafsir AlMisbah) Setiap kegiatan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk menuju ke suatu tujuan. Dimana tujuan pendidikan merupakan suatu masalah yang sangat fundamental dalam pelaksanaan pendidikan, sebab dari tujuan pendidikan akan menentukan kearah mana remaja itu akan dibawa. Karena pengertian dari tujuan itu sendiri yaitu diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan selesai. Pendidikan harus memberi nuansa perubahan secara menyeluruh, baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam
65
konteks pendidikan Islam, pendidikan akhlak menempati posisi yang sangat urgen. Adapun tujuan pendidikan akhlak adalah sebagai berikut: yaitu supaya dapat terbiasa atau melakukan yang baik, indah mulia, terpuji, serta menghindari yang buruk, jelek, hina, tercela, dan supaya hubungan kita dengan Allah dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis. a. Memberikan pengetahuan, penghayatan dan keyakinan akan hal-hal yang harus diimani, sehingga tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya seharihari. b. Memberikan pengetahuan, penghayatan, dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan akhlak yang baik, dan menjauhi akhlak yang buruk, baik dalam hubungannya dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, maupun dengan alam lingkungannya. Sebenarnya tujuan pendidikan akhlak terhadap tujuan pendidikan Islam tidak bisa saling dipisahkan anatara satu sama lain. Karena misi utama agama Islam yang diajarkan oleh Rasulullah kepada umatnya mulai zaman khulafaur rasyidin sampai kelak tidak lain untuk memperbaiki akhlak. Bahkan Rasulullah sendiri menyatakan dalam haditsnya “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak”. Karena akhlak yang buruk dan jelek merupakan tanda lemahnya keimanan seseorang.
66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis melakukan kegiatan mempelajari, mengakaji, dan menganalisis secara mendalam yang berkenaan dengan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam Q.S Al-Ma‟un ayat 1-7, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Jika seseorang itu mengaku beriman hendaknya juga harus diikuti dengan:
a. akhlak yang baik. b. berpandanganlah bahwa segala bantuan yang diberikan kepada orang miskin dan anak yatim pasti akan dibalas oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat. c. Selalu menjaga lisan, agar setiap perkataan yang keluar dari mulut kita tidak menimbulkan rasa tidak menyenangkan dalam hati seseorang. d. Menolong fakir miskin dan anak yatim dengan barang-barang yang berguna. 2. Sebagai wujud rasa syukur dan cinta kepada Allah yang telah berbuat baik
kepada manusia hendaknya: a. Selalu menjaga dengan sebaik-baiknya hubungan kita kepada Allah dengan cara yang paling disukai oleh Allah yaitu melaksanakan shalat
66
67
tepat pada waktunya dan tidak menjadikan shalat itu sebagai mainan dan senda gurau yang bisa menjadikan kita termasuk orang-orang yang celaka. b. Selalu menjaga akhlak, terutama akhlak kepada Allah, yaitu selaku Penguasa dan Pencipta alam semesta, karena butuhnya kita kepada-Nya. Disamping tidak melupakan status kita sebagai makhluk sosial (yang membutuhkan bantuan orang lain) dengan cara saling membantu orang yang kekurangan dalam hidupnya, seperti orang miskin, dan anak yatim. c. Dan berusaha menghindari suatu pekerjaan yang diniatkan untuk mendapatkan pujian dari orang lain, karena riya‟ dapat menghapuskan berbagai
macam
amal
yang
telah
dilakukan
seseorang
dalam
kehidupannya, dan balasan di akhirat yaitu dijadikannya amal tersebut sebagai debu yang beterbangan. B. Saran Penulis menyadari bahwa skripsi yang penulis susun ini masih jauh dari kata sempurna, maka penulis mengaharap kritik dari semua pihak yang membangun guna memperbaiki penulisan.