1
BAB I PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Pendidikan hingga kini masih dipercaya sebagai media yang sangat ampuh
dalam membangun kecerdasan sekaligus kepribadian anak manusia menjadi lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan secara terus-menerus dibangun dan dikembangkan agar dari proses pelaksanaan menghasilkan generasi yang diharapkan. Demikian pula dengan pendidikan di negeri tercinta ini. Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi bangsa yang bodoh dan terbelakang, terutama dalam menghadapi zaman yang terus berkembang di era kecanggihan teknologi dan komunikasi. Maka, perbaikan sumbar daya manusia yang cerdas, terampil, mandiri, dan berakhlak mulia terus diupayakan melalui proses pendidikan. Dalam rangka menghasilkan peserta didik yang unggul dan diharapkan, proses pendidikan juga senantiasa dievaluasi dan diperbaiki. Salah satu upaya perbaikan kualitas pendidikan adalah munculnya gagasan mengenai pentingnya pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia. Gagasan ini muncul karena proses pendidikan yang selama ini dilakukan dinilai belum sepenuhnya berhasil dalam membanguan manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, ada juga yang menyebut bahwa pendidikan Indonesia telah gagal dalam membentuk karakter. Penilaian ini didasarkan pada banyaknya para lulusan sekolah dan
2
sarjana yang cerdas secara intelektual, namun tidak bermental tangguh dan berperilaku tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan. 1 Perilaku yang tidak sesuai dengan tujuan mulia pendidikan misalnya tindak korupsi yang ternyata dilakukan oleh pejabat yang notabene adalah orang-orang yang berpendidikan. Belum lagi tindak kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi di negeri ini. Tidak sedikit dari saudara kita yang begitu tega melakukan penyerangan, anarkhis, bahkan membunuh. Keadaan yang memprihatinkan sebagaimana tersebut ditambah lagi dengan perilaku sebagian remaja Indonesia yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai remaja yang terdidik. Misalnya, tawuran antar pelajar, tersangkut jaringan narkoba, baik sebagai pengedar maupun pemakai, atau melakukan tindak asusila. Beberapa kasus di atas menunjukkan bahwa pendidikan kita belum mampu membangun karakter bangsa. Praksis pendidikan yang terjadi di kelas-kelas tidak lebih dari latihan-latihan skolastik, seperti mengenal, membandingkan, melatih, dan menghapal, yakni kemampuan kognitif yang sangat sederhana, di tingkat paling rendah. Kenyataan sebagaimana tersebut tentu saja
membuat prihatin bagi kita
semua. Oleh karena itu, upaya perbaikan harus segera dilakukan. Salah satu upaya adalah melalui pendidikan karakter. Upaya ini selain menjadi bagian dari proses
1
Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2011), h. 9-10
3
pembentukan akhlak anak bangsa, juga diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam menyukseskan Indonesia di masa mendatang. Pendidikan karakter sesungguhnya sudah tercermin dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” 2 Dalam Undang-Undang tersebut karakter penting yang semestinya dibanguan adalah agar anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh, inilah yang penting yang semestinya mendapatkan perhatian lebih dalam pendidikan kita. Dengan demikian kesadaran beriman dan bertakwa kepada Tuhan itu akan menjadi kekuatan yang bisa melawan apabila anak didik terpengaruh untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Apalagi, hal ini semakin dikuatkan dengan pengembangan karakter selanjutnya, yakni berakhlak mulia. Maka, semakin kukuhlah kepribadian dari anak didik berkarakter sebagai mana yang sangat diharapkan.3
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, (Bandung: 2009), h. 5-6 3 Akhmad Muhaimin Azzet, op.cit., h. 12
4
Oleh karena itu, upaya menegakkan akhlak mulia bangsa merupakan suatu keharusan mutlak. Sebab akhlak yang mulia akan menjadi pilar utama untuk tumbuh dan berkembangnya peradaban suatu bangsa. Akhlak atau moral sangat terkait dengan eksistensi suatu pendidikan agama. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan akhlak dalam Islam adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan agama.4 Dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang dikenal masyarakat fokus dalam pembinaan pendidikan agama Islam adalah pondok pesantren. Namun
kenyataannya
sekarang
pondok
pesantren
dengan
segala
keunikannya bukan hanya mengajarkan ilmu agama saja, tapi juga pengetahuan umum dan tekhnologi, sehingga diharapkan nanti setelah lulus mereka mampu eksis di tengah-tengah masyarakat menjadi ulama’ yang ilmuan serta berakhlak mulia. Beberapa diantara lembaga pendidikan Islam tersebut adalah Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an (PPTQ) Sunan Giri Wonosari Tegal Semampir Surabaya yang penulis pilih menjadi obyek penelitian. PPTQ Sunan Giri merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam di Surabaya yang konsisten dengan kesalafannya, namun terbuka untuk menerima masukan-masukan positif yang
bermanfaat untuk pengembangan pendidikan
pesantren yang lebih maju ke depan, dengan berpegang pada kaidah:
4
Said Agil Husin Al Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Ciputat: Ciputat Press, 2005), h. 25-26
5
ِﺍﻟْﻤُﺤَﺎ ﻓَﻈَﺔُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘَﺪِ ﻳْﻢِ ﺍﻟﺼﱠﺎ ﻟِﺢِ ﻭَﺍﻟْﺄَﺧْﺬُ ﺑِﺎﻟْﺠَﺪِﻳْﺪِ ﺍﻟْﺄَﺻْﻠَﺢ “melestarikan tradisi lama yang baik serta mengambil sistem baru yang lebih baik”. PPTQ Sunan Giri sebagai salah satu Pesantren yang berpegang teguh pada prinsip Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, memiliki tanggung jawab besar dalam upaya melestarikan dan mengabadikan ajaran-ajaran Islam Ahlussunnah di Indonesia, sebagai salah satu manifestasi dalam hal memegang prinsip dan karakter yang memang tidak bisa ditinggalkan walaupun terkadang harus dikemas ulang, maka dalam menjalankan misi pendidikan keagamaan ini, PPTQ Sunan Giri menganut prinsip-prinsip ulama’ salaf dengan pengelolaan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dikalangan masyarakat Surabaya, PPTQ Sunan Giri dianggap sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan, karena pesantren ini bukan saja memfokuskan menghafal Al-Qur’an, tapi juga mengembangkan pendidikan diniyah dan formal di dalamnya. Di samping pendalaman terhadap ilmu agama, prioritas utama PPTQ Sunan Giri adalah aspek akhlak. Hal ini sepaham dengan misi yang diemban oleh Rasulullah untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits:
(ﺇِﻧﱠﻤﺎَ ﺑُ ﻌِﺜْﺖُ ﻟِﺄُﺗَﻤﱢﻢَ ﻣَﻜَﺎﺭِﻡَ ﺍﻟْﺄَﺧْﻠَﺎﻕِ ) ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺣﻤﺪ “Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. Ahmad)”.
6
Berangkat dari pandangan tersebut, PPTQ Sunan Giri sebagai salah satu pusat pendidikan agama Islam, bertujuan bukan hanya membentuk manusia yang cerdas otaknya dan terampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki moral. Pendidikan tidak semata-mata mentrasfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi juga mentransfer nilai-nilai moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Dengan begitu diharapkan santri mempunyai karakter yang dapat menghargai kehidupan orang lain yang tercermin dalam tingkah laku serta aktualisasi diri. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut kiranya membutuhkan suatu metode (cara) agar tidak melenceng dari adanya tujuan pendidikan yang sebenarnya, metode yang dimaksud disini ialah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Kata “metode” disini diartikan secara luas. Karena mengajar adalah salah satu bentuk upaya mendidik, maka metode yang dimaksud mencakup juga metode mengajar. Dalam literatur ilmu pendidikan, khususnya ilmu pengajaran, dapat ditemukan banyak metode mengajar. Adapun metode mendidik, selain dengan cara mengajar, tidak terlalu banyak dibahas oleh para ahli. Sebabnya, mungkin metode mengajar lebih jelas, lebih tegas, objektif, bahkan universal, sedangkan metode mendidik selain mengajar lebih subjektif, kurang jelas, kurang tegas, lebih bersifat seni daripada sains.
7
Menurut al-Nahlawi, dalam al-Qur’an dan al-Hadits dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa, dan membangkitkan semangat. Metode-metode itu katanya mampu mengugah puluhan ribu Muslimin untuk membuka hati umat manusia menerima tuntunan Allah. Adapun metode mendidik yang ditawarkan oleh an-Nahlawi ialah sebagai berikut:5 1.
Metode hiwar (percakapan) Qur’ani dan Nabawi
2.
Metode kisah Qur’ani dan Nabaawi
3.
Metode amtsal (perumpamaan) Qur’ani dan Nabawi.
4.
Metode keteladanan
5.
Metode pembiasaan
6.
Metode ‘ibrah dan mau’idzah
7.
Metode targhib dan tarhib
Dari berbagai metode mendidik di atas kiranya sudah diterapkan dalam mendidik santri di banyak pondok pesantren tidak terkecuali PPTQ Sunan Giri. Namun, secara spesifik peneliti ingin mengetahui penerapan pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di pesantren ini.
5
Al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar, Filsafat pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. Ke-2, h. 73
8
Dari uraian ini maka
penelitian ini penulis beri judul: “Implementasi
Pendidikan Karakter Melalui Metode Targhib dan Tarhib Bagi Santri di Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya”. B.
RUMUSAN MASALAH 1.
Bagaimanakah implementasi pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya?
2.
Bagaimanakah kendala pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode targhib bagi Santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya?
C.
TUJUAN PENELITIAN 1.
Untuk mengetahui implementasi pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya.
2.
Untuk mengetahui kendala pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya.
D.
KEGUNAAN PENELITIAN 1.
Secara Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran
dan memperkaya khazanah keilmuan ataupun wawasan akan peranan metode targhib dan tarhib sebagai pembentuk karakter santri khususnya di PPTQ Sunan Giri Surabaya. 2.
Secara Praktis Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat sebagai bahan masukan,
informasi dan acuan bagi pondok pesantren dalam rangka membentuk
9
karakter santri yang telah diharapkan. Serta sebagai sumbangan pemikiran bagi peningkatan pengasuh dan guru pondok pesantren dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. E.
DEFINISI OPERASIONAL Untuk menghindari kekaburan pemahaman isi dari skripsi ini, maka terlebih dahulu perlu adanya penegasan judul agar pembahasan skripsi ini tergambarkan secara terang dan gamblang serta untuk menghindari suatu hal yang tidak diinginkan. Adapun yang perlu penulis tegaskan adalah sebagai berikut: 1.
Implementasi Pendidikan Karakter Implementasi adalah pelaksanaan.6 bisa juga bermakna proses
penerapan ide, konsep, kebijakan atau inovasi dalam suatu tindakan praktis yang memberikan efek atau dampak baik berupa prubahan, pengetahuan, ketrampilan nilai dan sikap.7 Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya
6
serta
ketrampilannya
kepada
generasi
muda
untuk
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 247 7 E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karateristik dan Implementasinya (Bandung : Remaja Rosda Karya, 2002), h. 7
10
memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya.8 Karakter adalah tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.9
Sedangkan
karakter di dalam Kamus Ilmiah popular adalah watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan.10 Jadi, implementasi pendidikan karakter yang dimaksud dalam skripsi ini adalah pelaksanaan pembinaan akhlak/budi pekerti anak didik sehingga menjadi kebiasaan. 2.
Metode Targhib dan Tarhib Metode adalah cara yang teratur dan sistimatis untuk pelaksanaan
sesuatu; cara kerja.11 Menurut pendapat yang lain dijelaskan bahwa secara etimologi istilah metode berasal dari bahasa Yunani Metodos.Kata ini terdiri dari dua suku kata, yaitu metha yang berarti melalui atau melewati dan hodos yang berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.12 Targhib adalah harapan serta janji yang diberikan kepada peserta didik yang bersifat menyenangkan dan merupakan kenikmatan karena mendapat penghargaan.
8
Prasetya, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), Cet. Ke-3, h. 15 Ibid., h. 639 10 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, op.cit., h. 306 11 Ibid., h. 461 12 M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2006), h. 65 9
11
Sedangkan Tarhib adalah merupakan ancaman pada peserta didik bila ia melakukan tindakan yang menyalahi aturan.13 Adapun yang dimaksud dengan judul skripsi Implementasi Pendidikan Karakter Melalui Metode Targhib dan Tarhib Bagi Santri di Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya ialah pelaksanaan pembinaan akhlak/budi pekerti anak didik melalui cara memberi penghargaan dan ancaman. F.
SISTEMATIKA PEMBAHASAN Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang tata urutan penelitian ini, maka dicantumkan sistematika laporan penulisan sebagai berikut: Bab I
: PENDAHULUAN Merupakan pendahuluan yang memberikan wawasan umum tentang arah penelitian yang dilakukan. Meliputi beberapa sub bab yang membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, serta sistematika pembahasan.
Bab II : KAJIAN TEORI
13
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), h. 205
12
Pada bagian ini diuraikan kajian teori yang meliputi dua sub bab. Bab pertama, menjelaskan tinjauan tentang pendidikan karakter,yang pendidikan
meliputi karakter,
pengertian fungsi
karakter,
pendidikan
pendidikan karakter, dan implementasi
pengaertian
karakter,
tujuan
pendidikan karakter.
Bab kedua, menjelaskan tinjauan tentang targhib dan tarhib yang meliputi pengertian targhib dan tarhib, asas-asas psikologis dan paedagogis, penerapan targhib dan tarhib, serta kelebihan dan kekurangan metode targhib dan tarhib. Bab III : METODE PENELITIAN Pada bagian ini diuraikan tentang pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analsis data, pengecekan keabsahan temuan, dan tahap-tahap penelitian. Bab IV : PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Pada bagian ini terdapat tiga sub bab. Bab pertama menguraikan tentang: gambaran umum obyek penilitian yang meliputi sejarah dan perkembangan PPTQ Sunan Giri Surabaya, visi, misi, tujuan, dan target pesantren, struktur kepengurusan, keadaan guru dan santri, serta sarana dan prasarana; Bab kedua
13
meliputi bentuk- bentuk pendidikan karakter bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya yang meliputi kegiatan ma’hadiyah (kepesantrenan), kegiatan madrasiyah (kemadrasahan), kegiatan sosial kemasyarakatan. Bab ketiga menjelaskan tentang kendala pelaksanaan pendidikan karakter bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya. Bab V : PEMBAHASAN Bab ini merupakan analisis dari temuan penelitian yang meliputi analisis tentang implementasi pendidikan karakter bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya dan analisis tentang kendala pelaksanaan pendidikan karakter bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya. Bab VI : Bab ini merupakan bab yang terakhir yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
14
BAB II KAJIAN PUSTAKA B.
TINJAUAN TENTANG PENDIDIKAN KARAKTER
1.
Pengertian Karakter Menurut Kamus Bahasa Indonesia, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak. Berkarakter artinya mempunyai watak atau mempunyai kepribadian.14 Sedangkan karakter di dalam Kamus Ilmiah popular adalah watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan.15 Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
14
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasiona, Kamus Bahasa lndonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 639 15 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, op.cit., h. 306
15
bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.16 Seperti yang dikutip E. Mulyasa dalam Manajemen Pendidikan Karakter, Wyne mengemukakan bahwa karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti “to mark” (menandai) dan memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari. Oleh sebab itu, seseorang yang berperilaku tidak jujur, curang, kejam, dan rakus dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter jelek, sedangkan yang berperilaku baik, jujur, dan suka menolong dikatakan sebagai orang yang memiliki karakter baik/mulia.17
16
Abdul Rahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 344 17 E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 3
16
Furqon Hidayatullah mengutip pendapat Rutland
yang mengemukakan
bahwa karakter berasal dari akar kata bahasa latin yang berarti “dipahat”. Sebuah kehidupan, seperti sebuah blok granit yang dengan hati-hati dipahat atau untuk dipikul dengan sembarangan yang pada akhirnya akan menjadi sebuah mahakarya atau puing-puing yang rusak. Karakter, gabungan dari kebajikan dan nilai-nilai yang dipahat di dalam batu hidup tersebut, akan menyatakan nilai yang sebenarnya. Tidak ada perbaikan yang bersifat kosmetik, tidak ada susunan dekorasi yang dapat membuat batu yang tidak berguna menjadi suatu seni yang bertahan lama. Hanya karakter yang dapat melakukannya.18 Dalam Dorland’s Pocket Medical Dictionary dinyatakan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu. Di dalam kamus psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang; biasanya mempunyai kaitan dengan sifat-sifat yang relative tetap.19 Hermawan Kertajaya mengemukakan sebagaimana yang dikutip Furqon Hidayatullah bahwa karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespon sesuatu. Ciri khas ini pun yang 18
Furqon Hidayatullah, Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), h. 12 19 Ibid.
17
diingat oleh orang lain tentang orang tersebut, dan menentukan suka atau tidak sukanya mereka terhadap sang individu. Karakter memungkinkan perusahaan atau individu untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan karena karakter memberi konsistensi, integritas, dan energi. Orang yang memiliki karakter kuat, akan memiliki momentum untuk mencapai tujuan. Di sisi lain, mereka yang karakternya mudah goyah, akan lebih lambat untuk bergerak dan tidak bisa menarik orang lain untuk bekerja sama dengannya. 20 Menurut
Doni
Koesoema
Albertus, karakter
diasosiasikan dengan
temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga dipahami dari sudut pandang behaviorial yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki oleh individu sejak lahir. Di sini, karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang, yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya pengaruh keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir.21 Dirjen Pendidikan Agama Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia mengemukakan bahwa karakter (character) dapat diartikan sebagai totalitas ciriciri pribadi yang melekat dan dapat diidentifikasikan pada perilaku individu yang 20
Ibid., h. 13 Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2010), h. 79-80, Sjarkawi, Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 11 21
18
bersifat unik, dalam arti secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan yang lainnya. Dengan demikian, istilah karakter berkaitan erat dengan personality (kepribadian) seseorang, sehingga ia bisa disebut orang yang berkarakter, jika perilakunya sesuai dengan etika atau kaidah moral.22 Ki Hadjar Dewantara mengatakan, yang dinamakan “budipekerti” atau watak atau dalam bahasa asing disebut “karakter” yaitu “bulatnya jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena watak atau budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti. Budipekerti, watak, atau karakter, bermakna bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang menimbulkan tenaga. Ketahuilah bahwa “budi” itu berarti pikiran – perasaan – kemauan, sedang “pekerti” itu artinya tenaga. Jadi “budipekerti” itu sifatnya jiwa manusia,
mulai
angan-angan
hingga
terjelma
sebagai
tenaga.
Dengan
“budipekerti” itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan. Jadi teranglah di sini bahwa pendidikan itu berkuasa untuk mengalahkan dasar-dasar dari jiwa manusia, baik dalam arti melenyapkan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dilenyapkan, maupun dalam arti “naturaliseeren” (menutupi, 22
E. Mulyasa, op.cit., h. 4
19
mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau yang tak dapat lenyap sama sekali, karena sudah bersatu dengan jiwa.23 Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta membedakan dengan individu lain. Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. 2.
Pengertian Pendidikan karakter Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga anak/peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang diwujudkan dalam tindakan nyata melalui perilaku baik, jujur, bertanggung jawab, hormat terhadap orang lain, dan nilai-nilai karakter mulia lainnya. Dalam konteks pemikiran Islam, karakter berkaitan dengan iman dan ikhsan. Hal ini sejalan
23
Ki Suratman, Pokok-pokok Ketamansiswaan, (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1987), h. 12
20
dengan ungkapan Aristoteles, bahwa karakter erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan dan diamalkan. Menurut Thomas Lickona (1992) Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive) yang disebutnya moral knowing atau pengetahuan tentang moral, perasaan (feeling) yang disebutnya moral feeling atau perasaan tentang moral, dan tindakan (action) yang ia sebut dengan moral action atau tindakan moral. Tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.24 Ketiga komponen karakter ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Moral knowing berkaitan dengan moral awareness, knowing moral
1)
values, perspective taking, moral reasoning, decision making dan selfknowledge. Moral feeling berkaitan dengan conscience, self-esteem, empathy, loving
2)
the good, self-control dan humality Moral action merupakan perpaduan dari moral knowing dan moral
3)
feeling yang diwujudkan dalam bentuk kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). Lebih lanjut Lickona
menjelaskan bahwa dalam pendidikan karakter
diperlukan juga aspek perasaan (emosi) yang ia sebut “desiring the good” atau keinginan untuk melakukan kebajikan. Dalam hal ini ditegaskan bahwa
24
Akhmad Muhaimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia, (Jogjakarta: ArRuzz Media, 2011), h. 27
21
pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “knowing the good”, tetapi juga “desiring the good” atau “loving the good” dan “acting the good”.25 Sementara itu, menurut Doni Koesoema A., pendidikan karakter mampu menjadi penggerak sejarah menuju Indonesia emas yang dicita-citakan. Dalam pendidikan karakter, Manusia dipandang mampu mengatasi determinasi di luar dirinya sendiri. Dengan adanya nilai yang berharga dan layak diperjuangkan, ia dapat mengatasi keterbatasan yang dimiliki. Sehingga nilai-nilai yang diyakini oleh individu yang terwujud dalam keputusan dan tindakan menjadi motor penggeraknya.26 Menurut D. Yahya Khan, pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan secara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, masyarakat, dan bangsa. Serta, membantu orang lain untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, pendidikan karakter mengajarkan anak didik berpikir cerdas, mengaktivasi otak tengah secara alami.27 Jamal Ma’mur Asmani mendefinisakan, pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu dalam membentuk watak peserta didik dengan cara memberikan
25
E. Mulyasa, op.cit., h. 5 Doni Koesoema A., op.cit., h. 98 27 D. Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasisi Potensi Diri; Mendongkrak Kualitas Pendidikan, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), h. 1-2 26
22
keteladanan, cara berbicara atau menyampaikan materi yang baik, toleransi, dan berbagai hal yang terkait lainnya. Pendidikan karakter berpijak pada karakter dasar manusia yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolute) agama, yang disebut juga sebagai the golden rule.28 Melengkapi uraian di atas, Megawangi, pencetus pendidikan karakter di Indonesia telah menyusun 9 pilar karakter mulia yang selayaknya dijadikan acuan dalam pendidikan karakter, baik di sekolah maupun di luar sekolah, yaitu sebagai berikut. 1)
Cinta Allah dan kebenaran
2)
Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri
3)
Amanah
4)
Hormat dan santun
5)
Kasih sayang, peduli, dan kerja sama
6)
Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah
7)
Adil dan berjiwa kepemimpinan
8)
Baik dan rendah hati
9)
Toleran dan cinta damai Dalam perspektif Islam, pendidikan karakter secara teoretik sebenarnya
telah ada sejak Islam diturunkan di dunia; seiring diutusnya Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki atau menyempurnakan akhlak (karakter) manusia. 28
Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press, 2011), h. 31
23
Ajaran Islam sendiri mengandung sistematika ajaran yang tidak hanya menekankan pada aspek keimanan, ibadah, dan mu’amalah, tetapi juga akhlak. Pengalaman ajaran Islam secara utuh (kaffah) merupakan model karakter seorang muslim, bahkan dipersonifikasikan dengan model karakter Nabi Muhammad SAW, yang memiliki sifat Shidiq, Tabligh, Amanah, fathonah (STAF).29 Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan. Kemudian, nilai-nilai tersebut dapat terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat-istiadat.30 3.
Fungsi Pendidikan Karakter a.
Minimalisasi perilaku negatif siswa
Mengenai fungsi pendidikan karakter dapat kita pahami dalam buletin Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelaskelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan
29 30
Ibid. Jamal Ma’mur Asmani, op.cit., h. 35
24
adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, peserta didik akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting bagi peserta didik dalam mempersiapkan masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.31 b.
Mengasah kecerdasan emosi
Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktorfaktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang
31
Kuncoro Adi, Model Pendidikan Karakter di Universitas Sanata Darma, (Jogyakarta: Joyakarta, 2010), h. 9
25
bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.Sebaliknya, para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan lain sebagainya.32 Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa terbentuknya karakter (akhlak) yang baik pada diri anak tidak bisa berlangsung cepat, dan dalam waktu yang singkat. Terbentuknya karakter yang baik perlu didahului dengan pemahaman anak pada ilmu pengetahuan agama sebagai entry point.33
4.
Tujuan Pendidikan Karakter a.
Membentuk pribadi yang baik
Menurut T. Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan akhlak. Tujuannya adalah untuk membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, yaitu warga masyarakat dan Negara yang baik. Manusia, masyarakat, dan warga Negara yang baik adalah menganut nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari
140
32
Jamal Ma’mur Asmani, op.cit., h. 45
33
In’am Sulaiman, Masa Depan Pesantren, (Malang: Madani Wisma Kalimetro, 2010), h.
26
budaya bangsa Indonesia sendiri, yang bertujuan membina kepribadian generasi muda.34 b.
Penanaman nilai
Pendidikan karakter selain untuk membentuk pribadi yang baik juga bertujuan menanamkan nilai dalam diri peserta didik dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Tujuan jangka panjangnya tidak lain adalah mendasarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural sosial yang diterimanya, yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri secara terus-menerus (on going formation). Tujuan jangka panjang ini merupakan pendekatan dialektis yang semakin mendekatkan dengan kenyataan yang ideal, melalui proses refleksi dan interaksi secara terus-menerus antara idealisme, pilihan sarana, dan hasil langsung yang dapat dievaluasi secara obyektif. 35 c.
Peningkatan mutu pendidikan
Menurut Prof. Dr. H. E. Mulyasa, M.Pd. pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standard kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui pendidikan karakter peserta didik diharapkan mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji, dan
34 35
Jamal Ma’mur Asmani, op.cit., h. 32 Ibid., h. 42-43
27
menginternalisasikan serta mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. d.
Pembentukan budaya sekolah/madrasah
Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah pada pembentukan budaya sekolah/madrasah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah/madrasah, dan masyarakat sekitarnya. Budaya sekolah/madrasah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah/madrasah tersebut di mata masyarakat luas.36
5.
Implementasi pendidikan Karakter Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan dan
berupa berbagai kegiatan yang dilakukan secara intra kurikuler maupun ekstra kurikuler. Kegiatan intra kurikuler terintegrasi ke dalam mata pelajaran, sedangkan kegiatan ekstra kurikuler dapat dilakukan melalui sikap-sikap sebagai berikut: a.
Keteladanan 1)
Pentingnya Keteladanan Allah swt. Dalam mendidik manusia menggunakan contoh atau
teladan sebagai model terbaik agar mudah diserap dan diterapkan para 36
E. Mulyasa, op.cit., h. 9
28
manusia. Contoh atau teladan itu diperankan oleh para Nabi atau Rosul, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Mumtahanah: 6). Ayat senada juga dapat ditemukan pada surat Al-Ahzab, Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. AlAhzab: 21) Begitu
pentingnya
keteladanan
sehingga
Allah
menggunakan
pendekatan dalam mendidik umatnya melalui model yang harus dan layak dicontoh. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keteladanan merupakan pendekatan pendidikan yang ampuh. Dalam lingkungan keluarga misalnya, orang tua yang diamanahi berupa anak-anak, maka harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua harus bisa menjadi figur yang ideal
29
bagi anak-anak dan harus menjadi panutan yang bisa mereka andalkan dalam mengarungi kehidupan ini. Jadi, jika orang tua menginginkan anakanaknya rajin beribadah, maka orang tua harus rajin beribadah pula, sehingga aktivitas itu akan terlihat oleh anak-anak. Akan sulit untuk melahirkan generasi yang taat pada agama, jika kedua orang tuanya sering berbuat maksiat. Tidaklah mudah untuk menjadikan anak-anak yang gemar mencari ilmu, jika kedua orang tuanya lebih suka melihat televisi daripada membaca, dan akan terasa susah untuk membentuk anak yang mempunyai jiwa yang berkarakter.Disamping itu, tanpa keteladanan, apa yang diajarkan kepada anak-anak akan hanya menjadi teori belaka, mereka seperti gudang ilmu yang berjalan namun tidak pernah merealisasikan dalam kehidupan. Keteladanan memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendidik karakter. Keteladanan guru dalam berbagai aktivitasnya akan menjadi cermin siswanya. Oleh karena itu, sosok guru yang bisa diteladani siswa sangat penting. Guru yang suka dan terbiasa meneliti, disiplin, ramah, berakhlak misalnya akan menjadi teladan yang baik bagi siswa, demikian juga sebaliknya. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana menjadi sosok guru yang bisa diteladani, karena agar bisa diteladani dibutuhkan berbagai upaya agar seorang guru memenuhi standard kelayakan tertentu sehingga ia memang patut dicontoh siswanya. Memberi instruksi dan memaparkan contoh
30
merupakan hal yang mudah, tapi untuk menjadi contoh atau menjadi teladan tidaklah mudah. Keteladanan lebih mengedepankan aspek perilaku dalam bentuk tindakan nyata daripada sekedar berbicara tanpa aksi. Apalagi didukung oleh suasana yang memungkinkan anak melakukan ke arah hal itu.37 2)
Bisa Diteladani Faktor penting dalam mendidik adalah terletak pada keteladanannya.
Keteladanan yang bersifat multidimensi, yakni keteladanan dalam berbagai aspek kehidupan. Setidaknya ada tiga unsur agar seseorang dapat diteladani atau menjadi teladan, yaitu: a)
Kesiapan untuk dinilai dan dievaliasi Kesiapan untuk dinilai berarti adanya kesiapan menjadi cermin bagi dirinya maupun orang lain. Kondisi ini akan berdampak pada kehidupan sosial di masyarakat, karena ucapan, sikap, dan perilakunya menjadi sorotan dan teladan.
b)
Memiliki kompetensi minimal Seseorang akan menjadi teladan jika memiliki ucapan, sikap, dan perilaku yang layak untuk diteladani. Oleh karena itu, kompetensi yang dimaksud adalah kondisi minimal ucapan, sikap, dan perilaku yang harus dimiliki seorang guru sehingga dapat dijadikan cermin bagi dirinya maupun orang lain. Demikian juga bagi seorang guru,
37
Furqon Hidayatullah, op.cit., h. 40-41
31
kompetensi minimal sebagai guru harus dimiliki agar dapat menumbuhkan dan menciptakan keteladanan, terutama bagi peserta didiknya. c)
Memiliki integritas moral Integritas moral adalah kesamaan antara ucapan dan tindakan atau satunya kata dan perbuatan. Inti dari integritas moral adalah terletak pada kualitas istiqomahnya. Sebagai pengejawentahan istiqomah adalah berupa komitmen dan konsistensi terhadap profesi yang diembannya.38
3)
Guru Sebagai Cermin Guru yang dapat diteladani berarti ia dapat juga menjadi cermin orang
lain. Cermin secara filosofi memiliki makna sebagai berikut: a)
Tempat yang tepat untuk instrospeksi Jika kita bercermin, maka kita akan melihat potret diri kita sesuai dengan keadaan yang ada. Sebagai guru, kita harus siap menjadi tempat mawas diri, koreksi diri, atau instrospeksi. Untuk itu, kita harus siap menjadi curahan.
b)
Menerima dan menampakkan apa adanya Cermin
memiliki
karakteristik
bersedia
menerima
dan
memperlihatkan apa adanya. Untuk itu, hal ini dapat dimaknai sebagai
38
Ibid., h. 42-43
32
pribadi yang memiliki sifat-sifat, seperti sederhana, jujur, objektif, jernih, dan lain-lain. c)
Menerima kapanpun dan dalam keadaan apa pun Cermin memiliki karakteristik bersedia menerima kapanpun dan dalam keadaan apa pun. Artinya sebagai pendidik harus memiliki sifat-sifat, seperti jiwa pengabdian, setia, sabar, dan lain-lain.
d)
Tidak pilih kasih atau tidak diskriminatif Cermin memiliki sifat tidak pernah pilih-pilih, siapa saja yang mau bercermin pasti diterima. Artinya cermin mempunyai sifat tidak pilih kasih, tidak membeda-bedakan, atau tidak pernah diskriminatif. Oleh karena itu, sebagai guru harus memiliki jiwa mendidik kepada siapa pun tanpa pandang bulu, semua anak (manusia) apa pun kondisinya harus dididik, tanpa kecuali. Bahkan kita tidak dibenarkan memisahmisahkan atau memilih-milih kondisi siswa (exclusive), tetapi kita dalam mendidik harus bersifat inklusif (inclusive).
e)
Pandai menyimpan rahasia Cermin tidak pernah memperlihatkan siapa yang telah bercermin kepadanya, baik yang bercermin itu kondisinya baik atau buruk. Berarti cermin memiliki sifat pandai menyimpan rahasia, berarti ia juga memiliki sifat-sifat, seperti ukhwah atau persaudaraan, peduli,
33
kebersamaan, tidak menjatuhkan, tidak mempermalukan orang lain, dan lain-lain.39 b.
Penanaman atau Penegakan Kedisiplinan Disiplin pada hakikatnya adalah suatu ketaatan
yang sungguh-sungguh
yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas kewajiban seta berperilaku sebagaimana mestinya menurut aturan-aturan atau tata kelakuan yang seharusnya berlaku di dalam suatu lingkungan tertentu. Realisasinya harus terlihat (menjelma) dalam perbuatan atau tingkah laku yang nyata, yaitu perbuatan tingkah laku yang sesuai dengan aturan-aturan atau tata kelakuan yang semestinya.40 Kedisiplinan menjadi alat yang ampuh dalam mendidik karakter. Banyak orang sukses karena menegakkan kedisiplinan. Sebaliknya, banyak upaya membangun sesuatu tidak berhasil karena kurang atau tidak disiplin. Banyak agenda yang telah ditetapkan tidak dapat berjalan karena kurang disiplin. Penegakan disiplin antara lain dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain: 1)
Peningkatan Motivasi Motivasi merupakan latar belakang yang menggerakkan atau mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, motivasi merupakan suatu landasan psikologis (kejiwaan) yang sangat penting bagi
39 40
Ibid., h. 44-45 Ibid.
34
setiap orang dalam melaksanakan sesuatu aktivitas. Apalagi aktivitas itu berupa tugas yang menuntut tanggung jawab yang tinggi. Ada dua jenis motivasi, yaitu motivasi ekstrinksik dan motivasi intrinksik. Motivasi ekstrinksik adalah motivasi yang berasal dari luar diri kita, sedangkan motivasi intrinksik adalah motivasi yang berasal dari dalam diri kita. Dalam menegakkan disiplin, mungkin berawal berdasarkan motivasi ekstrinksik. Orang melakukan sesuatu karena paksaan, pengaruh orang lain, atau karena keinginan tertentu. Akan tetapi setelah berproses orang tersebut dapat saja berubah kearah motivasi instrinksik. Setelah merasakan bahwa dengan menerapkan disiplin memiliki dampak positif pada dirinya, kemudian orang tersebut melakukan sesuatu dilandasi dengan kesadaran dari dalam dirinya sendiri. Idealnya menegakkan disiplin itu sebaiknya dilandasi oleh sebuah kesadaran.41 2)
Pendidikan dan Latihan Pendidikan dan latihan merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk dan menempa disiplin. Dari pendidikan dan latihan akan diperoleh kemahiran atau ketrampilan tertentu. Kemahiran atau ketrampilan tersebut akan membuat seseorang menjadi yakin atas kemampuan dirinya, artinya ia akan percaya kepada kekuatan dirinya.
41
Ibid., h. 47
35
Pendidikan dan latihan merupakan suatu proses yang didalamnya ada beberapa aturan atau prosedur yang harus diikuti oleh peserta. Misalnya, gerakan-gerakan latihan, yang bagaimana pun juga sifatnya, akan menempa orang untuk mematuhi atau mentaati ketentuan-ketentuan atau peraturanperaturan, mengikuti cara-cara atau teknik, mendidik orang untuk membiasakan hidup dalam kelompok, menumbuhkan rasa setia kawan, kerja sama yang erat, dan sebagainya. Kepatuhan dan ketaatan, setia kawan, kerja sama, dan lain-lain merupakan faktor-faktor penting dalam suksesnya mencapai tujuan tertentu. Dan dalam kehidupan sehari-hari nilai karakter tersebut sangat penting. 42 3)
Kepemimpinan Kualitas kepemimpinan dari seorang pemimpin, guru, atau orang tua terhadap anggota, murid, atau pun anaknya turut menentukan berhasil atau tidaknya dalam pembinaan disiplin. Karena pemempin merupakan panutan, maka faktor keteladanannya juga sangat berpengaruh dalam pembinaan disiplin bagi yang dipimpinnya. Inti dari faktor kepemimpinan adalah terletak pada kepribadian pemimpin itu sendiri yang nyata-nyata tampak dalam kenyataan dalam kehidupan sehari-harinya.43
4)
Penegakan Aturan
42 43
Ibid., h. 48 Ibid.
36
Penegakan disiplin biasanya dikaitkan penerapan aturan (rule enforcement). Idealnya dalam menegakkan aturan hendaknya diarahkan pada “takut pada aturan bukan takut pada orang”. Jika hal ini tumbuh menjadi suatu kesadaran maka menciptakan kondisi yang nyaman dan aman. Pada dasarnya penegakan disiplin adalah mendidik agar seseorang taat pada aturan dan tidak melanggar larangan yang dilandasi oleh sebuah kesadaran.44 5)
Penerapan Reward and Punishment Reward and punishment atau penghargaan dan hukuman merupakan dua kesatuan yang tidak terpisahkan. Jika penerapannya secara terpisah maka tidak akan berjalan efektif, terutama dalam rangka penegakan disiplin. Seorang pemimpin, manajer, guru atau orang tua yang hanya menekankan salah satu aspek saja maka akan berdampak pada ketidakseimbanagan atau ketidak harmonisan dalam lingkungan itu. Kita sering memberikan penghargaan kepada murid tetapi pada saat murid kita melakukan kesalahan guru tidak melakukan teguran atau sanksi apa-apa, maka yang terjadi adalah guru akan kehilangan wibawa. Demikian juga jika guru sering memberikan sanksi tanpa diimbangi dengan penghargaan hanya
44
Ibid., h. 49
37
akan menghasilkan murid-murid yang penakut atau murid-murid yang benci kepada guru.45 c.
Pembiasaan Seperti yang dikutip Furqon Hidayatullah,
Dorothy Law Nolte dalam
Dryden dan Vos menyatakan bahwa anak belajar dari kehidupannya. Menurutnya:
”Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi Jika anak dibesarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah Jika anak dibesarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai Jika anak dibesarkan dengan penerimaan, ia belajar mencintai Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri Jika anak dibesarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan Jika anak dibesarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran.” Ungkapan Doronthy Low Nolte tersebut menggambarkan bahwa anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan yang mengajarinya dan lingkungan tersebut juga merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan yang dihadapinya setiap hari. Jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat baik, maka diharapkan ia akan terbiasa untuk selalu berbuat baik. Sebaliknya, jika seorang
45
Ibid.
38
anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat kejahatan, kekerasan, maka ia akan tumbuh menjadi pelaku kekerasan dan kejahatan yang baru. Terbentuknya karakter memerlukan proses yang relatif lama dan terusmenerus. Oleh karena itu, sejak dini harus ditanamkan pendidikan karakter pada anak. Pembiasaan akan membentuk karakter mereka. Hal ini sesuai kalimat yang berbunyi: “Orang bisa karena biasa”, kalimat lain juga menyatakan: “Pertamatama kita membentuk kebiasaan, kemudian kebiasaan itu membentuk kita”. Pembiasaan diarahkan pada upaya pembudayaan aktivitas tertentu sehingga menjadi aktivitas yang terpola atau tersistem.46 d.
Menciptakan Suasana yang Kondusif Pada dasarnya tanggung jawab pendidikan karakter ada pada semua pihak
yang mengitarinya, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, maupun pemerintah. Lingkungan dapat dikatakan merupakan proses pembudayaan anak dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan di alami anak. Demikian halnya, menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan upaya membangun kultur atau budaya yang memungkinkan untuk membangun karakter, terutama berkaitan dengan budaya kerja dan belajar di sekolah. Tentunya bukan hanya budaya akademik yang dibangun tapi juga budaya-budaya yang lain, seperti membangun budaya berperilaku yang dilandasi akhlak yang baik. Sekolah yang membudayakan warganya gemar membaca tentu akan menumbuhkan suasana kondusif bagi siswa-siswanya untuk gemar membaca. 46
Ibid., h. 50-52
39
Demikian juga, sekolah yang membudayakan warganya disiplin, aman, dan bersih, tentu juga akan memberikan suasana untuk terciptanya karakter yang demikian. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan suasana yang kondusif di sekolah, antara lain: 1)
Melibatkan peran semua unsur sekolah
2)
Kerja sama sekolah dengan orang tua
3)
Kerja sama sekolah dengan lingkungan. 47
e.
Integrasi dan Internalisasi Pendidikan karakter membutuhkan proses internalisasi nilai-nilai. Untuk itu
diperlukan pembiasaan diri untuk masuk ke dalam hati agar tumbuh dari dalam. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin, jujur, amanah, sabar, dan lain-lain dapat diintegrasikan dan diinternalisasikan ke dalam seluruh kegiatan sekolah baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan lainnya. Pendekatan pelaksanaan pendidikan karakter sebaiknya dilakukan secara terintegrasi
dan
terinternalisasi
ke
dalam
seluruh
kehidupan
sekolah.
Terintegrasi, karena pendidikan karakter memang tidak dapat dipisahkan dengan aspek lain dan merypakan landasan dari seluruh aspek termasuk seluruh mata pelajaran. Terinternalisasi, karena pendidikan karakter harus mewarnai seluruh aspek kehidupan.48
47 48
Ibid., h. 52-54 Ibid., h. 54-55
40
Berbagai strategi tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter peserta didik, sehingga diharapkan dengan implementasi yang tepat akan menghasilkan karakter peserta didik seperti yang diharapkan. C.
Tinjauan Tentang Metode Targhib dan Tarhib
1.
Pengertian Targhib dan Tarhib Menurut Abdurrahman An-Nahlawi targhib adalah janji yang disertai
dengan bujukan dan membuat senang terhadap sesuatu maslahat, kenikmatan, atau kesenangan akhirat yang pasti dan baik, serta bersih dari segala kotoran uang kemudian diteruskan dengan melakukan amal shaleh dan menjauhi kenikmatan selintas yang mengandung bahaya atau perbuatan yang buruk. Hal ini dilakukan semata-mata demi mencapai keridlaan Allah; dan hal ini adalah rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya. Sedangkan tarhib menurut beliau adalah ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah, atau akibat lengah dalam menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah; dengan kata lain tarhib adalah ancaman dari Allah yang dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa takut pada para hamba-Nya dan memperlihatkan sifat-sifat kebesaran dan keagungan Ilahiyah, agar mereka selalu berhati-hati dalam bertindak serta melakukan kesalahan dan kedurhakaan.49 Hal ini tersirat dalam firman Allah Ta’ala:
49
Abdurrahman An-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1989), h. 412-413
41
“Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu. hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orangorang yang zalim di dalam neraka dalam Keadaan berlutut.” (Q.S. Maryam: 7172) Dalam ayat lain Allah berfirman:
...
“...Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat". ingatlah yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. Bagi mereka lapisan-lapisan dari api di atas mereka dan di bawah merekapun lapisan-lapisan (dari api). Demikianlah Allah mempertakuti hamba-hamba-Nya dengan azab itu. Maka bertakwalah kepada-Ku Hai hamba-hamba-Ku.” (Q.S. az-Zumar:15-16) Dr. Abdul Mujib, M. Ag. dan Dr. Jusuf Mudzakkir, M.Si. mendefinisikan targhib adalah harapan serta janji yang diberikan kepada peserta didik yang bersifat
menyenangkan
dan
merupakan
kenikmatan
karena
mendapat
42
penghargaan. Sebaliknya, tarhib merupakan ancaman pada peserta didik bila ia melakukan suatu tindakan yang menyalahi aturan.50 Drs. Heri jauhari Muchtar dalam bukunya Fikih Pendidikan menyatakan bahwa targhib adalah cara untuk meyakinkan seseorang murid terhadap kekuasaan dan kebenaran Allah melalui janji-Nya, disertai dengan bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shalih. Bujukan yang dimaksud adalah kesenangan duniawi akibat melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya. Adapun tarhib adalah cara untuk meyakinkan seorang murid terhadap kekuasaan dan kebenaran Allah melalui ancaman siksaan sebagai akibat melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, atau tidak melaksanakan perintah Allah.51 Sedangkan Prof. H.M. Arifin, M.Ed. mendefinisikannya dalam satu istilah tarhib dan tarhib, yaitu cara memberikan pelajaran dengan memberi dorongan (motivasi) untuk memperoleh kegembiraan bila mendapatkan sukses dalam kebaikan, sedang bila tidak sukses karena tidak mau mengikuti petunjuk yang benar akan mendapat kesusahan. Metode ini banyak disebutkan dalam Al-Qur’an seperti firman Allah:
50
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
51
Heri Jauhari Mukhtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h.
205 221-222
43
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S. az-Zalzalah:7-8) Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hambahambaNya.” (Q.S. Fusilat: 46) Terhadap anak didik, targhib dan tarhib ini akan sangat efektif bilamana diikuti dengan hadiah (materiil atau moril) atau hukuman (bilamana sangat diperlukan), asalkan tidak monoton sifatnya, dan tidak menimbulkan sikap yang steril dalam jiwa anak.52 Jadi,
secara umum dapat disimpulkan targhib adalah ganjaran, hadiah,
penghargaan atau imbalan. Dalam konsep pendidikan, targhib merupakan salah satu alat untuk peningkatan motivasi para anak didik. Metode ini bisa mengasosiasikan perbuatan dan kelakuan seseorang dengan perasaan bahagia, senang, dan biasanya akan membuat mereka melakukan suatu perbuatan yang baik secara berulang-ulang. Selain motivasi, targhib juga bertujuan agar seseorang
52
H.M. Arifin, Ilmu pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 76-77
44
menjadi lebih giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dicapainya. Sementara tarhib diartikan sebagai hukuman atau sanksi. Jika targhib merupakan bentuk reinforcement yang positif; maka tarhib sebagai bentuk reinforcement yang negatif, tetapi kalau diberikan secara tepat dan bijak bisa menjadi alat motivasi. Tujuan dari metode ini adalah menimbulkan rasa tidak senang pada seseorang supaya mereka jangan membuat sesuatu yang jahat. Jadi, hukuman yang dilakukan mesti bersifat paedagogies, yaitu untuk memperbaiki dan mendidik ke arah yang lebih baik. 2.
Asas-asas Psikologis dan Paedagogis Metode pendidikan islam yang berupa targhib dan tarhib didasarkan atas
fitrah yang diberikan Allah kepada manusia, seperti keinginan terhadap kekuatan, kenikmatan, kesenangan hidup, dan kehidupan abadi yang baik serta ketakutan akan kepedihan, kesengsaraan dan kesudahan yang buruk. Manusia dan hewan menunjukkan kesamaan dalam hal keinginan dan ketakutan akan hal-hal tersebut di atas. Seluruh makhluk hidup cenderung akan menjauhi segala apa yang menyakitinya, akan menerima segala apa yang membuatnya
senang dan
mempertahankan
kelangsungan
hidupnya
atau
kelangsungan hidup jenisnya. Allah telah melebihkan manusia dengan kemampuannya untuk belajar, mengambil pelajaran, berpikir tentang kehidupannya di masa lalu, bekerja untuk
45
masa depan, membedakan dan memilih antara yang berbahaya dengan yang berguna, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Contoh yang paling jelas mengenai hal ini adalah, bahwa sejak mencapai usia baligh, pada anak tumbuh hasrat yang kuat untuk kawin. Akan tetapi hal itu ditangguhkannya, karena dia mendapatkan dirinya belum mampu memberikan nafkah bagi kehidupan bersuami-istri. Ini berarti bahwa ia mengutamakan kenikmatan dan kesenangan mendatang. Meskipun penangguhan itu memakan waktu cukup lama, namun kenikmatan dan kesenangan itu lebih terjamin dan tetap sesuai dengan apa yang dibayangkannya. Kenikmatan yang ditangguhkan namun lebih terjamin itu dipandangnya lebih baik dari pada kenikmatan yang segera diancam oleh kemiskinan, kesusahan, runtuhnya bangunan rumah tangga, buruknya reputasi, atau kesengsaraan masyarakat dan lain sebagainya. Demikianlah, masyarakatnya “memberinya harapan akan hidup senang” dengan perkawinan yang tenteram apabila dia bersabar dan memperoleh berbagai pengakuan, pengalaman, atau kemampuan untuk mencari rizki, membiayai istri dan menjamin tempat tinggal. Demikian pula masyarakat seperti juga kedua orang tua, handai tolan dan kaum kerabatnya, “membuatnya takut” terhadap akibat-akibat yang sangat buruk apabila dia melakukan kenikmatan yang tidak dibenarkan oleh syara’, atau tergesa-gesa melangsungkan perkawinan yang tidak layak.53
53
Abdurrahman an-nahlawi, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali, (Bandung: Diponegoro, 1989), h. 411-412
46
3. a.
Penerapan Targhib dan Tarhib Teknik pelaksanaan targhib dan tarhib Aplikasi teknik Targhib dan Tarhib dalam pendidikan Islam tidak sama
dengan teknik anugerah dan hukuman. Banyak ayat yang menerangkan tentang teknik Targhib dan Tarhib, misalnya QS. az-Zalzalah: 6-8; al-Isra’:13-14; Ibrahim: 46; al-Mu’min:17; ath-Thur: 10-12, al-Mulk: 19-37. Menurut Abdul Mujib (2006) teknik targhib dan tarhib dapat berbentuk teknik-teknik sebagai berikut: 1)
Teknik Pemberian Bimbingan dan Ampunan Teknik yang dilakukan dengan cara membimbing anak yang telah
melakukan kesalahan dengan menjanjikan adanya ampunan. Teknik ini diperuntukkan bagi peserta didik yang bermasalah, selanjutnya seorang pendidik memberikan bimbingan agar peserta didik tersebut dapat memecahkan problemnya sendiri. Dengan demikian, peran guru hanya memberi simulasi dan bimbingan secara umum saja (QS. al-Maidah: 39; al-An’am: 54; Thaha: 82; alBaqarah: 222; az-Zumar: 53; al-A’raf 7: 156). Firman Allah: “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia memohon ampun kepada Allah niscaya ia mendapati Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nisa’: 110) 2)
Pemberian motivasi dan peringatan (Al-Tasywiq dan Al-Tadzkir)
47
Teknik yang dilakukan dengan cara memberi motivasi tinggi pada peserta didik, sehingga ia merasa senang dan bangga melakukan suatu perintah. Disamping itu, teknik ini memberikan gambaran yang sangat membahayakan terhadap perbuatan yang jahat, sehingga peserta didik secara preventif menghindarkan diri dari segala perbuatan yang menyulitkan masa depannya. Firman Allah SWT: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh maka pahalanya untuk dirinya, dan sesekali tidaklah Tuhanmu menganiaya hambahambanya.” (QS. al-Fushshilat: 46) 3)
Teknik Anugerah dan Hukuman (Tsawab dan Iqab) Teknik yang dilakukan dengan cara memberikan nugerah pada peserta didik
yang berprestasi dan hukuman bagi mereka yang melanggar dan lemah. Teknik anugerah dapat diberikan pada peserta didik dengan syarat bahwa hadiah yang diberikan terdapat relevansi dengan kebutuhan pendidikan, misalnya untuk peserta didik yang rangking pertama diberikan hadiah bebas SPP, wisata spiritual seperti umrah dan tadabbur alam, dan sebagainya. Demikian juga hukuman yang diberikan harus mengandung makna edukatif, misalnya yang terlambat masuk sekolah diberi tugas untuk membersihkan halaman sekolah, yang tidak masuk kuliah diberi sangsi membuat paper. Hukuman pukul merupakan hukuman terkhir bila mana hukuman yang lain sudah tidak dapat diterapkan lagi. Hukuman tersebut dapat diterapkan bilamana anak didik telah beranjak usia 10 tahun, tidak membayakan syaraf otak peserta didik, serta menjadikan efek yang negatif yang berkelebihan. Sabda Nabi SAW.: “Serulah anak-anakmu untuk mengerjakan
48
shalat ketika mereka berusia 7 tahun, dan pukullah bila ia membangkang (meninggalkannya), jika mereka telah berusia 10 tahun pisahkan tempat tidurnya” (HR. Abu Daud).54 b.
Syarat-syarat penerapan hukuman dan jenis-jenisnya Dalam beberapa hal, barangkali guru dihadapkan pada keadaan dimana
ketika nasehat dan peringatan sudah tidak lagi diindahkan oleh anak didik sekalipun setelah diberi ulasan agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sebagian mereka masih saja tetap melakukan perbuatan yang dilarang itu. Kenyataan inilah yang dibuktikan Al-Qur’an sehubungan dengan teguran-teguran dan peringatan-peringatan para Nabi, yang sudah tidak diperdulikan oleh kebanyakan manusia. Maka disinilah nampaknya hukuman sudah harus diterapkan untuk memberi petunjuk tingkah laku manusia. Dalam konteks pendidikan dalam situasi seperti inilah kira-kira pendidik dapat menerapkan sanksi/hukuman kepada anak didiknya secara proporsional.55 M. Athiyah Al-Abrasyi dalam Ilmu Pendidikan Islam, mengemukakan 3 syarat apabila seorang pendidik ingin menghukum anak dengan hukuman badan (jasmani), yaitu: 1)
Sebelum berumur 10 tahun anak-anak tidak boleh dipukul.
2)
Pukulan tidak boleh lebih dari 3 kali. Yang dimaksud dengan pukulan di sini ialah lidi atau tongkat kecil, bukan tongkat besar. 54
Ibid., 205-207. Abdurrahman saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, terj. H. M. Arifin, (Jakarta: Rineka cipta, 1994), cet. Ke-2, h. 224-225 55
49
3)
Diberikan kesempatan kepada anak-anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya (menjadikan ia malu).56 Para ahli pikir Islam dalam bidang pendidikan telah memberikan pandangan
tentang penerapan hukuman untuk mendidik anak. Hukuman yang edukatif adalah pemberian rasa nestapa pada diri anak didik akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah laku yang tidak sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungan hidupnya, misalnya di sekolah, di dalam masyarakat sekitar, di dalam organisasi sampai meluas kepada organisasi kenegaraan atau pemerintahan. Pada prinsipnya para ahli pikir muslim tidak berkeberatan memberikan hukuman kepada anak didik yang melanggar peraturan, karena hukuman bersumber dari ajaran Allah atau hadiah yang dijadikan metode penggairahan dalam berbuat kebaikan. Adapun penerapan hukuman (‘iqab) menurut para ahli pikir muslim sebagaimana penjelasan berikut: 1)
Ibnu Sina Berpendapat bahwa pendidikan anak-anak, dan membiasakan tingkah laku
haruslah dimulai sejak sebelum tertanam padanya sifat-sifat yang buruk, oleh karena akan sukarlah bagi si anak melepaskan kebiasaan dan telah tertanam dalam jiwanya. Sekiranya pendidik terpaksa harus menggunakan hukuman, haruslah ia
56
198
Hj. Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan islam, (Bandung: Pustaka setia, 2005), cet. Ke-3, h.
50
timbang dari segala segi dan diambil kebijaksanaan dalam penentuan batas-batas hukuman tersebut.57 Beliau memberikan saran agar penerapan hukuman atas anak dilakukan setelah diberi peringatan keras. Sejauh mungkin agar para pendidik menghindarkan diri dari pemberian hukuman sehingga keadaan yang terpaksa, karena tidak ada jalan lain. Dan jika perlu menghukum dengan pukulan, maka boleh memukul anak dengan pukulan ringan yang menimbulkan perasaan sakit, itupun setelah diberikan peringatan keras terhadapnya. Dengan pukulan pertama, anak akan merasakan akibat rasa sakit setelahnya dan hal ini akan menimbulkan rasa takut. Jika pukulan ringan yang telah diberikannya tidak menyakitkan, maka timbul sangkaan bahwa pukulan-pukulan yang berikutnya nanti tidak juga menyakitkan, oleh karenanya hukuman pukulan ringan yang tidak menyakitkan itu tidak membuat jera (tidak efektif).58 2)
Imam Ghazali Menurut Al-Ghazali bahwa seorang pendidik harus mengetahui jenis
penyakit, umur si sakit dalam hal menegur anak-anak dan mendidik mereka, oleh karena itu guru dalam pandangan seorang anak adalah ibarat dokter, sekiranya si dokter mengobati segala macam penyakit dengan satu macam obat, seorang pasien akan tambah parah atau bahkan mati. Artinya, setiap anak harus dilayani dengan layanan yang sesuai, diselidiki latar belakang yang menyebabkan ia berbuat kesalahan serta mengenai umur yang berbuat kesalahan itu, dalam hal ini
57 58
Ibid. H.M. Arifin, op.cit., h. 218-219
51
harus dibedakan antara anak yang masih kecil dan yang sudah agak besar dalam menjatuhi hukuman dan memberikan pendidikan. Pendidik hendaklah bertindak sebagai dokter yang mahir yang sanggup menganalisa penyakit dan mengetahui jenis penyakitnya, kemudian memberikan obat yang dibutuhkan. Al-Ghazali tidak setuju dengan cepat-cepat memukul seorang anak yang salah bahkan beliau menyerukan supaya kepadanya diberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri kesalahannya, sehingga ia menghormati dirinya dan merasakan akibat perbuatannya. Sementara itu dipuji dan disanjung pula bila ia melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji yang harus dapat ganjaran, pujian dan dorongan. Janganlah anak itu dicela, dibentak dan dihardik, oleh karena suatu encouragement atau dorongan akan lebih memasukkan rasa suka ke dalam jiwa si anak, dimana ia akan lebih berbuat baik dan lebih bersikap maju. Sedangkan sebaliknya celaan akan membangkitkan suasana rusuh, takut dan kurang percaya diri.59 Beliau menjelaskan bahwa menganggap besar kesalahan-kesalahan murid yang masih anak-anak dapat mempengaruhi kejiwaan mereka. Sebab hal itu akan mendorong keberanian mereka untuk membela diri. Oleh karena itu beliau memberi nasihat hendaknya guru itu menjauhi sifat kasar dalam mendidik tingkah laku. Nasihat yang disampaikan kepada anak didik dilakukan dengan kasih sayang
59
Hj. Nur Uhbiyati, op.cit., h. 199
52
bukan celaan. Dikutip dalam buku Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazali, beliau mengatakan:60 “Kewajiban bagi seorang guru dalam mencegah muridnya berakhlak tidak baik adalah dengan cara memberikan sindiran, semaksimal yang dapat dilakukan, bukan dengan cara terus terang, dan dengan kasih sayang, bukan dengan jalan mencaci maki. Sebab cacian yang terus-menerus berarti mendidik anak berani melawan serta menentangnya, menjauhi dan takut kepadanya.”
Lebih lanjut Al-Ghazali menasihatkan agar para pendidik tidak selalu memberikan hukuman terhadap anak didik, akan tetapi justru mengurangi hukuman. Sebaliknya agar mendidik anak sesuai dengan fitrahnya dan menyerasikan dengan kemampuan naluriahnya yaitu keserasian antara ghirah (kemauan keras) dengan syahwatnya sehingga berpengaruh positif sebagaimana aslinya. Untuk tujuan positif dari proses kependidikan, hendaknya anak diberi latihan dan mujahadah sesuai kemampuannnya. Gharizah (naluri) anak didik adalah bersifat dharuriyah bagi pendidik yang positif (baik).61 3)
Abu Hasan Al-qabisyi Beliau menganjurkan agar para pendidik tidak memukul anak lebih dari 10
kali, dan sebaiknya hanya 3 kali pukulan. Pukulan 3 kali dilakukan didasarkan atas kadar pengetahuan anak. Yang penting tujuan hukuman dengan pukulan itu dapat menimbulkan rasa jera dari perbuatan yang negative. Menghukum anak tidak dibenarkan jika didasarkan atas kemarahan. Dalam kaitannya hukuman pukulan ini, Ibnu sachnun menyarankan agar jangan memukul kepala atau muka
60
Fathiyah Hasan sulaiman, Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazali, terj. Fathur Rahman dan Syamsuddin Asyrafi, (Bandung: Al Ma’arif, 1986), h. 47 61 H.M. Arifin, op.cit., h. 219
53
anak, karena membahayakan kesehatan otak dan merusak mata atau berbekas buruk pada muka (wajah), sebaiknya pukulan hukuman itu diberikan pada kedua kakinya, karena lebih aman dan lebih tahan untuk pukulan.62 4)
Ibnu Kholdun Beliau tidak setuju sama sekali mendidik anak dengan menggunakan
kekerasan karena akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan anak yaitu menyebabkan kelemahan dan tak sanggup membela kehormatan diri dan keluarganya, karena anak tak mempunyai kemauan dan semangat yang berfungsi amat penting dalam memperoleh fadhilah dan akhlak baik. Dengan kekerasan jiwa anak akan menyimpang dari tujuan dan ruang lingkup hakikat kemanusiaannya.63 Lebih lanjut beliau mengatakan:64 “Siapa yang biasa dididik dengan kekerasan di antara siswa-siswa atau pembantupembantu dan pelayan ia akan selalu dipengaruhi oleh kekerasan, akan selalu merasa sempit hati akan kekurangan kegiatan bekerja dan akan bersifat pemalas, akan menyebabkan ia berdusta serta melakukan yang buruk-buruk karena takut akan dijangkau oleh tangan-tangan yang kejam. Hal ini selanjutnya akan menggapai dia menipu dan membohong, sehingga sifat-sifat ini menjadi kebiasaan dan perangainya, serta hancurlah arti kemanusiaan yang masih ada pada dirinya.”
Dari uraian di atas kiranya dapat disimpulkan,bahwa hukuman, terutama hukuman fisik dalam pendidikan islam
merupakan keadaan darurat, bukan
merupakan metode yang secara rutin harus diterapkan dalam proses kependidikan, oleh karena mendidik, menurut pandangan islam bukan didasarkan atas paksaan atau kekerasan melainkan berdasar kehalusan budi dan rasa kasih-sayang sesuai
62
Ibid., h. 219-220 Ibid., h. 221 64 Hj. Nur Uhbiyati, op.cit., h. 200 63
54
dengan sabda Nabi Mumammad SAW yang artinya: “Allah tidak mengutus aku untuk berbuat kasar atau zalim kapada orang lain, akan tetapi Dia mengutusku untuk mengajar (mendidik) dan membuat segala urusan menjadi mudah.” (HR. Muslim) Metode pendidikan islam seharusnya diterapkan dalam situasi dan kondisi apapun berdasarkan atas perintah Allah kepada nabi SAW ini:
... “Dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Hijr: 88) Firman Allah “wahfidz janahaka lil mukminin”, mengandung makna paedagogis yang menenangkan dan menentramkan hati anak didik, karena pengertian “merendahkan sayap” disini adalah mengayomi atau melindungi anak dari segala bentuk perbuatan dan lingkungannya yang meresahkan hati anak, sebagaimana seekor burung dengan menelungkupkan sayapnya pada anakanaknya membuat tenang dan rasa aman jiwa mereka. Perasaan tenang-tenteram pada anak dalam proses belajar-mengajar adalah merupakan kondisi yang sangat berpengaruh bagi suksesnya kegiatan belajar mereka. Sebaliknya bila anak mengalami rigiditas dan ketegangan jiwa dalam proses belajar-mengajar, maka sudah pasti kegiatan mereka akan terganggu, bahkan membuat kegagalan belajar.65 4.
Kelebihan dan Kekurangan Metode Targhib dan Tarhib 65
H.M. Arifin, op.cit., h. 221
55
Metode targhib dan tarhib di dalam pendidikan Islam selanjutnya disebut dengan targhib dan tarhib Qur’ani dan Nabawi berbeda dengan apa yang dikenal di dalam pendidikam Barat sebagai metode “ganjaran dan hukuman”. Perbedaannya adalah bahwa metode targhib dan tarhib dijabarkan dari keistimewaan yang lahir dari tabiat Rabbaniyah, dan dalam pada itu diselaraskan dengan fitrah manusia. Keistimewaan metode targhib dan tarhib yang paling penting dapat dijelaskan sebagai berikut: a)
Targhib dan tarhib Qur’ani dan Nabawi bersandar kepada argumentasi dan keterangan. Semua ayat yang mengandung targhib dan tarhib berhubungan dengan salah satu urusan akhirat, mempunyai hubungan atau mengandung isyarat - baik dekat maupun jauh - kepada keimanan kepada Allah dan hari akhir pada umumnya, atau mengandung pengarahan khitab (pembicaraan) kepada kaum mukminin. Ditinjau dari sudut pandang paedagogis, hal ini mengandung anjuran hendaknya kita menanamkan keimanan dan akidah yang benar di dalam jiwa anak, agar kita dapat menjanjikan (targhib) surga kepada mereka dan mengancam (tarhib) mereka dengan azab Allah, sehingga targhib dan tarhib ini langsung atau tidak langsung mengundang anak merealisasikannya dalam amal dan perbuatan.66
b)
Targhib dan tarhib Qur’ani dan Nabawi itu disertai dengan gambaran yang indah tentang kenikmatan di surga atau dahsyatnya azab jahannam, dan
66
Abdurrahman an-nahlawi, op.cit., h. 413
56
diberikan dengan cara yang jelas yang dapat dipahami oleh seluruh manusia.67 c)
Targhib dan tarhib Qur’ani dan Nabawi bersandar kepada upaya menggugah serta mendidik perasaan Rabbaniyah; pendidikan perasaan ini termasuk salah satu maksud syari’at Islamiyah. Adapun perasaan Rabbaniyah itu ialah: 1)
Perasaan khauf kepada Allah, sebagaimana yang diperintahkan-Nya:
...
“Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Ali Imran: 175)
Allah menyuruh kita agar berdo’a kepada-Nya karena takut kepada Azab-Nya dan haus akan pahala-Nya:
67
Ibid., h. 414
57
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orangorang yang berbuat baik.(Q.S. al-A’raf: 55-56).
2)
Perasaan khusyu’, yang berarti perasaan rendah diri, tunduk, takluk dan menghambakan diri kepada Allah Ta’ala. Ini adalah buah dari perasaan khauf. Allah menganjurkan untuk khusyu’ sewaktu mengingat-Nya dan membaca Al-Qur’an, sebagaimana firman-Nya:
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orangorang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.(Q.S. al-Hadid: 16)
3)
Perasaan cinta (hubb) Sejak dilahirkan manusia telah membawa fitrah berupa kecenderungan untuk mencintai dan dicinta. Al-Qur’an memuat kata-kata hubb (cinta)
58
di dalam banyak ayat. Pada asalnya, sebagaimana diketahui secara umum, cinta berarti keterikatan orang yang mencintai kepada orang yang
dicintai,
selalu
mengikuti
langkahnya,
terus-menerus
mengingatnya, hatinya selalu terikat kepadanya, melakukan apa yang diinginkannya dan mewujudkan kegembiraannya.
Allah SWT
berfirman:
......
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman Amat sangat cintanya kepada Allah...” (Q.S. Al-Baqarah: 165).
4)
Raja’ (harapan) Raja’ adalah keinginan yang sangat terhadap rahmat Allah dan harapan untuk mendapatkan pahala serta balasan-nya yang banyak.68
d)
Pendidikan dengan targhib dan tarhib bersandar pula kepada penetapan dan keseimbangan antara kesan dan perasaan. Maka, hendaknya perasaan takut tidak melebihi perasaan harap, sehingga orang yang berdosa berputus asa
68
Ibid., h. 415-419
59
dari ampunan dan rahmat Allah, padahal Allah telah melarang berputus asa dengan firman-Nya:69
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. az-Zumar: 53)
Sedangkan dalam buku Ilmu Pendidikan islam, Dr. Abdul Mujib membahas tentang kelebihan teknik Targhib dan Tarhib dibanding dengan teknik anugerah dan hukuman sebagai berikut: 1)
Targhib dan Tarhib bersifat transenden yang mampu memengaruhi jiwa peserta didik secara fitrah, sedangkan anugerah dan hukuman bersifat duniawi yang dalam pelaksanaannya terdapat kesan memaksa.
2)
Targhib dan Tarhib praktis dan ekonomis dalam aplikasinya, sedangkan anugerah dan hukuman menggunakan alat tertentu serta membutuhkan biaya.
3)
Ruang lingkup pelaksanaan Targhib dan Tarhib bersifat umum, mencakup subjek dan objek yang tak terbatas, sedangkan teknik anugerah 69
Ibid., h. 422
60
dan hukuman khusus untuk orang-orang tertentu saja. Walaupun demikian, metode targhib dan tarhib masih memiliki kelemahan, yaitu tidak realistis, sehingga tidak mendatangkan visual bagi peserta didik, sedangkan teknik anugerah dan hukuman lebih realistis dan mempunyai visual tersendiri.70
BAB III METODE PENELITIAN
A.
PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN
70
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, op.cit., h. 205
61
Metode penelitian adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah -langkah sistematis tentang pencarian data. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif, sebab pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif, yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian secara holistik (dalam hal ini adalah penerapan pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya) dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.71 Menurut Lexy J. Moleong bahwa dalam penelitian kualitatif data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumentasi pribadi, catatan memo dan dokumen resmi lainnya.72 Sehingga yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah ingin menggambarkan realitas empirik dibalik fenomena yang ada secara mendalam, rinci dan tuntas. 73 Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif (descriptive research). Menurut Nurul Zuriah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan
71
Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi revisi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2009), cet, Ke-26, h.6 72 Ibid., h.11 73 M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 66.
62
untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta, atau kejadian secara sistematis dan akurat.74 B.
KEHADIRAN PENELITI Kehadiran peneliti dalam skripsi ini bertindak sebagain instrumen kunci
dengan kata lain instrumennya adalah peneliti sendiri (human instrument), dan sebagai pengamat partisipan (partisipant observation) dimana kehadiran peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti oleh obyek dan atau informan.75 C.
LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an (PPTQ)
Sunan giri yang berlokasi di Jl. Wonosari Tegal IV No. 37-39 Surabaya. Dilihat dari letak geografisnya pondok pesantren ini berada dipinggiran kota Surabaya bagian utara. Dari masjid agung Sunan Ampel ke arah utara menuju jalan kelurahan wonokosumo ± 2 km yang merupakan kelurahan pondok pesantren ini. Pesantren ini berada di sebelah timur jalan Wonokusumo ± 500 m, dari sebelah barat dapat ditempuh dari jalan Danakarya ± 1,5 Km, sedangkan sebelah utara dapat ditempuh dari jalan Endrosono ± 500 m. Dan dari sebelah selatan dapat ditempuh dari jalan Karang Tembok ± 1 Km.76 Pondok pesantren Sunan Giri Surabaya ini termasuk salah satu dari sekian banyak pondok
74
pesantren
di
Surabaya
utara
yang ikut
andil
dalam
Nurul Zuriah, Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), cet. Ke-2, h. 47 75 Lexi J. Moleong, op.cit., h. 164-168 76 Dokumentasi Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya
63
mengembangkan pendidikan sistem pondok pesantren salafiyah (tradisional) plus, karena selain fokus menghafal Al-Qur’an di dalamnya juga mengembangkan pendidikan diniyah sebagai sarana mengajarkan ilmu agama secara mendalam, juga terdapat madrasah formal mulai jenjang TK, SD, MTs, sampai dengan MA. Santri-santri pesantren ini mayoritas datang dari Madura atau orang Madura yang lama menetap di Surabaya. Seperti jamak diketahui bahwa orang Madura terkenal kaku serta unik. Dan PPTQ. Sunan Giri berada di tengah-tengah perkampungan komunitas Madura yang sudah lama menetap di kampung Wonosari ini , sehingga penelitian ini sangat menarik karena terkait dengan implementasi pendidikan karakter pada santri di pesantren tersebut. Pada saat penelitian ini dilaksanakan, kondisi fisik
Pondok Pesantren
Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya dapat dijelaskan sebagai berikut: Luas lokasi pondok pesantren Sunan Giri Surabaya sekarang seluruhnya 560 m², yang di atasnya berdiri 2 gedung yang masing-masing berlantai lima, 1 gedung sebelah timur untuk asrama santri putri dan 1 gedung sebelah barat diperuntukkan untuk santri putra. Dua gedung ini saling berhadapan satu sama lainnya.
D.
SUMBER DATA
1.
Jenis Data
64
Data adalah semua keterangan seseorang yang dijadikan responden maupun yang berasal dari dokumen-dokumen baik dalam bentuk statistik atau dalam bentuk lainnya guna keperluan penelitian yang dimaksud. 77 Dalam penelitian ini, jenis data yang diginakan adalah sebagai berikut: a)
Data kualitatif, yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung. 78 Di antara data kualitatif dalam penelitian ini adalah: 1)
Latar belakang obyek penelitian yang meliputi sejarah berdiri dan berkembangnya, letak geografis, visi, misi, tujuan dan target, serta struktur organisasi PPTQ Sunan Giri Surabaya
2)
Data tentang pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib.
3) b)
Dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian penulis.
Data kuantitatif, yaitu kumpulan bahan keterangan yang berwujud angka. 79 Yang termasuk data ini adalah jumlah guru,santri, sarana dan prasarana. Dalam penelitian ini data kuantitatif hanya bersifat data pelengkap saja. 80
2.
Sumber Data
77
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), cet. Ke- 4, h. 87 78 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 11 79 Anas Sudijono, Pengantar Sttistik Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 1 80 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 38
65
Menurut Suharsimi Arikunto, Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat diperoleh.81 Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain.82 Berdasarkan jenis-jenis data yang diperlukan, maka dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan melalui dua cara, yaitu: a.
Sumber literer yaitu sumber data yang digunakan untuk mencari landasan teori tentang permasalahan yang diteliti dengan menggunakan buku-buku kepustakaan.
b.
Field research adalah sumber data yang diperoleh dari lapangan penelitian, yaitu mencari data dengan cara terjun langsung ke obyek penelitian, untuk memperoleh data yang lebih konkrit yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Adapun sumber data ini ada dua macam, yaitu: 1)
Data primer, yaitu sumber langsung dari subjek baik yang dilakukan dari wawancara, observasi, dan alat lainnya yang memberikan data kepada peneliti.83 Data yang dimaksud di sini adalah pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib, pengasuh, guru, pengurus, dan Santri PPTQ Sunan Giri Surabaya.
81
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), cet. Ke-13, h. 129 82 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 157 83 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantiatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 308, Joko Subagyo, op.cit., h. 87
66
2)
Data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh dari atau berasal dari bahan kepustakaan.84 Data sekunder ini bersifat penunjang dan melengkapi data primer. Data yang dimaksud adalah sejarah berdirinya Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya dan berupa dokumen-dokumen lainnya.85
3.
Teknik Penjaringan data Penelitian, di samping perlu menggunakan metode yang tepat, juga perlu
memilih teknik dan alat penggumpulan data yang relevan. Penggunaan teknik dan alat pengumpul data yang tepat memungkinkan diperolehnya data yang obyektif. 86 Untuk mendapatkan data sesuai kebutuhan penelitian ini, peneliti menggunakan metode dan instrument pengumpulan data sebagai berikut: a.
Metode wawancara dengan menggunakan instrumen pedoman wawancara
b.
Metode pengamatan/observasi dengan menggunakan instrumen lembar pengamatan
c.
Metode dokumentasi dengan menggunakan instrumen tabel.
E.
PROSEDUR PENGUMPULAN DATA Prosedur pengumpulan data merupakan langkah paling utama dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.87
84
Ibid., h. 88 Winarno Surakhmat, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1994), h. 34 86 Nurul Zuriah, op.cit., h. 171 87 Sugiyono, op, cit., h. 308 85
67
Teknik pengumpulan data yakni membicarakan tentang bagaimana cara peneliti mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa metode dalam mengumpulkan data, sebagai berikut: a)
Metode kepustakaan, yakni mengkaji buku atau literatur yang sesuai dengan tema penelitian.
b)
Pengamatan (observasi) yaitu alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang tampak pada objek yang diselidiki. 88 Adapun observasi yang dilakukan peneliti termasuk dalam jenis observasi partisipan yaitu peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunkan sebagi sumber data penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data.89
c)
Wawancara adalah metode mengumpulkan data yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula kepada para responden.90 Cara ini peneliti gunakan untuk mendapatkan data tentang proses pelaksanaan pendidikan karakter kepada pengasuh, guru, pengurus, dan santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya.
d)
Dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip, termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dalil dan 88
Nurul Zuriah, op. cit., h. 173 Ibid., h. 175 90 Joko Subagyo, op. cit., h. 39 89
68
hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.91 Peneliti menggunakan teknik dokumentasi untuk memperoleh data sejarah PPTQ Sunan Giri Surabaya dan data-data yang dianggap penting lainnya. F.
ANALISIS DATA Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data. Dalam hal ini peneliti menggunakan kualitatif deskriptif. Analisis data kualitatif (Bogdan dan Biklen, 1982) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, dan memilah-milihnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting, dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.92 Dari sini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa menganalisis data adalah mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data. Dalam penelitian ini, peneliti memberikan gambaran secara menyeluruh tentang implementasi pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri PPTQ Sunan Giri Surabaya. Gambaran hasil penelitian tersebut kemudian ditelaah, dikaji, dan disimpulkan sesuai dengan tujuan dan kegunaan penelitian. Dalam penelitian ini digunakan 2 cara penalaran, yaitu:
91 92
Nurul Zuriah, op. cit., h. 191 Lexy J. Moleong, op. cit., h. 157
69
1)
Cara berpikir induktif, yaitu penalaran yang dimulai dengan fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit kemudian dari fakta-fakta khusus tersebut ditarik generalisasi yang bersifat umum.93
2)
Cara berpikir deduktif, cara ini digunakan untuk menemukan kebenaran bila fakta-fakta atau data yang dianggap sama dengan teori yang ada. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan hal-hal berikut:
a)
Penyeleksian data Penyeleksian data pada penelitian ini hanya dilakukan saat metode wawancara. Santri PPTQ Sunan Giri Surabaya yang berjumlah ratusan diambil sebagian santri dengan menggunakan sistem sampel random atau sampel acak. Oleh karena hak setiap subjek sama, maka penelitian terlepas dari perasaan ingin mengistimewakan satu atau beberapa subjek untuk dijadikan sampel.94
b)
Penyajian Data Penyajian data dilakukan dengan cara menganalisis data hasil penyeleksian data dalam bentuk naratif yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengambil tindakan. Sajian data selanjutnya ditafsirkan dan dievaluasi untuk merencanakan tindakan selanjutnya.
c)
Kesimpulan dan Verifikasi Data
93 94
Sutrisno Hadi, Metode Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1991), h. 42 Suharsimi Arikunto, op.cit., h. 111
70
Menarik kesimpulan adalah kegiatan memberi kesimpulan terhadap penafsiran peneliti. Kegiatan ini meliputi pencarian data makna beserta penjelasannya, sedangkan verifikasi data adalah kegiatan menguji kebenaran data, kekokohan dan kecocokan makna dari data yang diperoleh dari lapangan untuk mencapai kesimpulan yang kuat. Analisis data penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu pada tahap pertama analisis data selama di lapangan dan kedua analisis data setelah terkumpul. Analisis data dilapangan ini tidak dikerjakan setelah pengumpulan data selesai, melainkan selama pengumpulan data berlangsung dan dikerjakan terus-menerus hingga penyusunan laporan penelitian ini selesai. Menurut Sukardi.95 langkah–langkah tersebut antara lain: 1)
Analisis selama pengumpulan data, meliputi: a) pengambilan keputusan untuk membatasi ruang lingkup kajian b) pengambilan keputusan mengenai jenis kajian yang akan diperoleh c) mengembangkan pertanyaan-pertanyaan analisis d) merencanakan tahapan pengumpulan data dan hasil pengamatan sebelumnya e) menuliskan komentar pengamat mengenai gagasan-gagasan yang muncul
95
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet. Ke-2, h. 117
71
f) menggali sumber-sumber kepustakaan yang relevan selama penelitian berlangsung. 2)
Analisis sesudah pengumpulan data, meliputi: a) mengembangkan kategori koding dengan sistem koding yang ditetapkan kemudian. b) mengembangkan mekanisme kerja terhadap data yang telah dikumpulkan
G.
PENGECEKAN KEABSAHAN TEMUAN Keabsahan data adalah pengetahuan dalam penelitian kualitatif yang sejak
awal pada dasarnya sudah berusaha meningkatkan kepercayaan data.96 Dengan adanya keabsahan data secara cermat, maka hasil dari penelitian ini supaya dapat dipertanggung jawabkan. Dalam penelitian kualitatif tidak
menjamin dalam pelaksanaan akan
mendapatkan hasil yang optimal, kesalahan pada penelitian juga besar kemungkinan terjadi. Dalam hal ini peneliti ingin mendapatkan hasil yang optimal, maka peneliti mengadakan pengecekan keabsahan data melalui: 1.
Perpanjangan keikutsertaan Sebagaiman sudah dikemukakan bahwa instrument utama dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu, keikutsertaan dan keterlibatan
96
peneliti
dalam
Lexi J. Moleong, op.cit., h. 320
pengumpulan
data
mutlak
dibutuhkan.
72
Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu relatif singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan peneliti pada latar penelitian. Perpanjangan keikutsertaan peneliti akan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. 2.
Ketekunan pengamatan Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan (obsevasi) dengan tekun dan teliti terhadap fenomena yang menjadi fokus penelitian ini. Ketekunan pengamatan bermaksud untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan peneliti. Sehingga data tersebut dapat diterima dengan menelaah data-data yang terkait dengan fokus penelitian. Dengan demikian data tersebut dapat dipahami dan tidak diragukan. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan yang mendalam yang berkaitan dengan subyek penelitian, yaitu santri PPTQ Sunan Giri Surabaya.
3.
Triangulasi Yaitu suatu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Pemeriksaan itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Peneliti memeriksa data-data yang diperoleh dengan subyek penelitian, baik melalui pengamatan dan wawancara. Kemudian data tersebut peneliti bandingkan dengan data yang ada dari luar yaitu sumber lain. Sehingga keabsahan data dapat dipertanggung jawabkan.
73
Jadi, triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan perbedaanperbedaan kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan berhubungan dengan berbagai pandangan. Oleh sebab itu, peneliti melakukan triangulasi dengan cara mengajukan berbagai macam pertanyaan dalam metode penelitiannya dan melakukan pengecekan dengan berbagai sumber data agar pengecekan kepercayaan data dapat dilakukan.97 H.
TAHAP-TAHAP PENELITIAN Tahap
penelitian
ini
merupakan
gambaran
mengenai
keseluruhan
perencanaan, pelaksanaan, pengumpulan data, analisis data sampai dengan penyusunan laporan. Dalam penelitian ini dibagi ke dalam empat tahap sebagai berikut: 1.
Tahap sebelum ke lapangan Dalam tahap ini peneliti mengadakan segala macam persiapan yang diperlukan sebelum terjun ke dalam kegiatan penelitian, yaitu:98 a.
Menyusun rancangan penelitian Pada tahap ini tugas pertama peneliti apabila akan melakukan penelitian
97 98
Ibid., h. 327-332 Ibid., h. 127-138
adalah
membuat
rancangan
penelitian
(proposal).
74
Penyusunan rancangan penelitian ini dilaksanakan secara formal dan dituangkan secara tertulis berupa proposal penelitian. Proposal penelitian tersebut mencakup masalah penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. b.
Memilih lapangan penelitian Kemudian
peneliti
menentukan
lapangan
penelitian
dengan
mempelajari serta mendalami, fokus serta merumuskan masalah penelitian apakah terdapat kesesuaian dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pemilihan lokasi penelitian yaitu di PPTQ Sunan Giri Surabaya dengan didasarkan pada pertimbangan lokasi penelitian adalah tempat yang mudah dijangkau peneliti. c.
Mengurus perizinan Lalu peneliti mengurus perizinan yang merupakan satu persoalan yang tidak boleh diabaikan, karena penelitian ini di lembaga pondok pesantren. Mengurus surat perizinan ini dimulai dari izin yang diberikan dari pihak institute sampai kepada pengasuh PPTQ Sunan Giri Surabaya.
d.
Menjajaki dan menilai lapangan
75
Kegiatan pra-lapangan lainnya yang perlu diperhatikan adalah menjajaki dan menilai lapangan. Sebelum menjajaki lapangan, peneliti sudah mempunyai gambaran umum tentang geografi tempat penelitian, karena lokasi mudah dijangkau oleh peneliti. e.
Memilih dan memanfaatkan informan Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dalam tahap pemilihan informan yang akan membantu peneliti dalam melakukan penelitian dan memperoleh data-data. Dalam tahap ini peneliti harus bisa benarbenar memanfaatkan dan memilih informan. Pemilihan informan dilakukan dengan tujuan untuk membantu mendapatkan data penelitian yang dibutuhkan.
f.
Menyiapkan perlengkapan penelitian Sebelum terjun ke lapangan, perlu dipersiapkan perlengkapan penelitian yang dibutuhkan, yaitu alat-alat tulis.
g.
Persoalan etika penelitian Pada bagian terakhir tahap ini menjelaskan tentang persoalan etika, terutama berkaitan dengan tata cara peneliti berhubungan masyarakat (dalam hal ini warga pesantren). Dan hal ini peneliti harus benar-benar memaatuhi sejumlah peraturan yang ada di tempat penelitian.
76
2.
Tahap pekerjaan lapangan Pada tahap kedua yaitu memasuki pekerjaan lapangan, dalam tahap ini peneliti membagi atas tiga bagian, yaitu:99
a.
Memahami latar penelitian dan persiapan diri Langkah awal yang dilakukan peneliti yaitu mempersiapkan diri dan mencoba memahami latar penelitian dengan jalan peneliti melakukan observasi. Di samping itu, peneliti perlu mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun mental.
b.
Memasuki lapangan Pada tahap ini peneliti menjalin hubungan dengan baik dengan subyek penelitian dan informan, sehingga tidak ada dinding pemisah. Dengan demikian subyek penelitian dan informan dapat menjawab pertanyaan atau memberikan informasi yang diperlukan. Sewaktu berada pada lapangan penelitian, peneliti ikut terjun ke dalam lapangan penelitian dan ikut berperan serta dalam penelitian.
c.
99
Berperan serta sambil mengumpulkan data
Ibid., h. 137-147
77
Peneliti di sini ikut melihat atau mengobservasi dan berperan serta dengan mengikuti proses kegiatan pesantren, sekaligus peneliti sambil mengumpulkan data yang di peroleh dari subyek penelitian dan informan. Pada tahap ini peneliti menggunakan alat penelitian yaitu berupa catatan lapangan. Catatan lapangan adalah kegiatan peneliti pada
waktu
mengadakan
obsevasi
dan
wawancara.
Dalam
pengumpulan data ini peneliti juga menggunakan data berupa dokumentasi.
3.
Tahap analisis data Yaitu upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola penting dan apa yang dipelajari Ada empat tahap analisis data yang diselingi dengan pengumpulan data, yaitu:100 a.
Analisis domein
b.
Analisis taksonomi
c.
Analisis komponen
100
Ibid., h.
78
d.
Analisis tema Dalam penelitian ini, peneliti menitik beratkan pada analisis domein
yaitu dilakukan untuk memperoleh gambaran atau pengertian yang bersifat umum dan relatif menyeluruh tentang apa yang tercakup di suatu fokus atau pokok permasalahan yang telah diteliti.101 4.
Tahap penulisan laporan Penulisan laporan hasil penelitian ini berfungsi untuk keperluan studi akademis, yang berbentuk skripsi untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program sarjana ilmu tarbiyah dengan mengacu pada Pedoman Penulisan Skripsi Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya terbitan tahun 2010. BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A.
GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN
1.
Sejarah dan Perkembangan PPTQ Sunan Giri Surabaya Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an “Sunan Giri” atau yang biasa disingkat
PPTQ Sunan Giri, beralamatkan di Jl. Wonosari Tegal IV No. 37-39, Kelurahan Wonokusumo, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya. Pondok pesantren ini
101
Nurul Zuriah, op.cit., h. 220
79
dirintis dan didirikan pada tahun 1981 oleh seorang tokoh kharismatik, beliau adalah KH. Adnan Chamim. Asal-usul nama Pondok Pesantren Sunan Giri Surabaya adalah sebagai wasilah. Perlu diketahui, dari pihak ibu, Ibu Nyai Hj. Ainun Jariyah (istri KH. Abdul Aziz Hasanan) adalah keturunan Raden Ainul Yaqin yang terkenal dengan sebutan Sunan Giri. Sedangkan KH. Abdul Aziz Hasanan
sendiri masih
keturunan Raden Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Cikal bakal pondok pesantren Sunan Giri seyogyanya adalah sebuah tempat pengajian rutin yang berlokasi di rumah (ndalem) KH. Adnan Chamim, Jl. Danakarya I/35 Surabaya yang sekarang ditempati Ibu Nyai Hj. Churil Aini, istri KH. Adnan Chamim (alm). Pertama-tama Adnan Hamim muda sepulang dari menimba ilmu di pesantren Sedayu Gresik, beliau mengajar membaca (Jawa: ngaji) Alqur’an di rumahnya sendiri yakni Desa Danakarya Kecamatan Semampir. Di samping itu beliau setiap pagi sampai siang bekerja sebagai PNS perkapalan di PT. PAL Perak, Surabaya. Malamnya beliau mengisi pengajian-pengajian orang-orang kampung kurang lebih dua puluh tempat, maghrib hingga subuh. Pada tahun 1981 KH. Adnan Chamim menikahkan putrinya, Ainun Jariyah, mendapatkan seorang menantu yang bernama KH. Abdul Aziz Hasanan asal Pasuruan, Jawa Timur. Beberapa bulan kemudian, KH. Adnan Chamim wafat. Maka dengan sendirinya pengajian dilanjutkan oleh KH. Abdul Aziz Hasanan.
80
Maka sejak saat itu satu per satu santri mulai menetap di ndalem Jl. Danakarya guna mendalami pendidikan Alqur’an dan menghafalkannya. Saat santri yang menetap di ndalem Jl. Danakarya bertambah banyak, maka pada tahun 1986 dibangunlah Pondok Pesantren Sunan Giri di Wonosari Tegal IV/37-39 Surabaya, sebidang tanah peninggalan KH. Adnan Chamim dengan panjang 20 m dan lebar 5,5 m. Seiring dengan dibangunnya pondok di Wonosari Tegal, maka berangsur-angsur santri yang datang bertambah banyak. Seiring berjalannya waktu, pembangunan pondok terus dikerjakan. Setelah berjalan beberapa tahun, masyarakat sering menanyakan kepada KH. Abdul Aziz Hasanan tentang penerimaan santri putri, karena pada waktu itu Pondok Pesantren Sunan Giri hanya menerima santri putra. Oleh karena itu, tepatnya pada bulan November 2000 diresmikanlah Pondok Pesantren Putri yang pada saat itu santri putri masih berjumlah 3 orang. Ketika pembangunan terus berjalan KH. Adnan Hamim terus bertambah sakitnya, akhirnya Allah SWT memanggilnya sebagai hamba yang tha’at disisiNya. Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun, berpulanglah hamba yang sholeh pada Sang Pencipta tertanggal 12 Mei 1981. Semenjak ditinggal oleh KH. Adnan Hamim, Abdul Aziz sangat giat dan bersemangat sekali dalam meneruskan perjuangan. Tiap pagi hingga malam mengisi pengajian KH. Adnan Hamim di berbagai tempat di Surabaya, begitu pula santrinya, semakin hari bertambah banyak. Semenjak itulah Pondok Pesantren
81
Sunan Giri resmi dihuni oleh santrinya yang waktu itu kebanyakan dari Pasuruan. Hal ini dikarenakan Abdul Aziz berasal dari Pasuruan. KH. Abdul Aziz Hasanan lahir pada tanggal 18 Agustus 1958 di Pasuruan adalah sosok ulama yang benar-benar berhati tulus dan selalu mengamalkan ilmu yang diperolehnya. Beliau sangat istiqomah menjaga shalat berjamaah bersama santri-santrinya, bahkan beliau juga istiqomah membangunkan santri pada pukul 02.30 WIB dari lantai pertama hingga lantai lima, guna melakukan shalat malam bersama. Suatu perilaku yang sangat langka terjadi pada sesosok kyai jaman sekarang yang banyak berpolitik hingga menelantarkan umat. Pondok Pesantren Sunan Giri sekarang berdiri sangat megah di tengah perkampungan padat penduduk Surabaya Utara di Jalan Wonosari Tegal gang IV No. 37-39. Gedung barat khusus santri putra, sedangkan gedung timur khusus santri putri. Kedua gedung megah yang berdiri sekarang, dibangun pada kurun waktu 1990 hingga tahun 2003. Untuk gedung timur, dahulu adalah sebuah tempat pembuangan sampah dari seluruh Kelurahan Wonokusumo. Tanah tersebut masih milik Pemkot Surabaya. Kemudian atas prakarsa Bapak Walikota Surabaya saat itu, H. Sunarto Sumoprawiro, tanah tersebut dihibahkan ke pondok guna dimanfaatkan sebagai bangunan pondok putri yang waktu itu masih sangat membutuhkan sekali, akan tetapi H. Sunarto waktu itu juga mengatakan agar bangunan itu di samping untuk pondok putri; juga sebagai panti asuhan yang sekarang ini bernama “Panti Asuhan Harapan Ummat” di bawah naungan yayasan pondok Sunan Giri.
82
Tahun 1990 dimulailah pembangunan pesantren putri Sunan Giri beserta penyempurnaan pesantren putra hingga lantai lima, ternyata tanpa diduga-duga atas izin Allah Swt. pembangunan tersebut banyak sekali masyarakat yang menyumbang hingga akhirnya bisa terselesaikan pada tahun 2003. Pada tanggal 20 Juli 1993 M, pondok Sunan Giri tercatat sebagai lembaga sosial pendidikan lengkap bersama dengan akte notarisnya yakni, Abdur Rachim S.H. No: 176 tahun 1993. Dewasa ini pesantren mendapat perhatian khusus dari pemerintah, dimana perlu adanya pembaharuan-pembaharuan di bidang mata pelajaran. Mengingat sudah memasuki era globalisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan
sebuah
tuntutan
tersendiri
sebagai
upaya
untuk
mengejar
ketertinggalan. Cita-cita pendiri dan pengasuh dalam memperjuangkan agama Allah swt yang sangat luhur ini merupakan beban tersendiri bagi Yayasan Pondok Pesantren Sunan Giri. Yayasan Pondok Pesantren “Sunan Giri” menyadari akan kondisi objektif anak yatim dan fakir miskin dari keluarga muslim di beberapa daerah yang dikhawatirkan akan mengorbankan aqidah dengan memeluk agama lain dengan lingkungan yang tidak mendukung dan banyaknya anak yang membutuhkan bantuan untuk melanjutkan sekolah dan tidak mempunyai biaya. Maka menyadari sepenuhnya bahwa membantu, peduli anak yatim, dan fakir miskin di bawah naungan PA. Harapan Ummat merupakan tanggung jawab aqidah yang mendasar bagi setiap orang muslim. Sebagaimana firman Allah Swt.;
83
1.
Dalam surat Al-Ma’un ayat 1-3, sebagai berikut:
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan anak yatim.” (QS. Al-Ma’un: 1-3) 2.
Dalam surat Al-Hajj ayat 32, sebagai berikut:
... “Dan barang siapa yang mengagungkan syi’ar agama Islam maka sesungguhnya itu pertanda adanya ketaqwaan dalam hatinya.” (QS.Al Hajj : 32) 3.
Dalam surat Ash Shaff ayat 10-11, yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu akan Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih. (yaitu) beriman kepada Allah danRasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (QS.Ash Shaff : 10-11) 4.
Dalam surat Muhammad ayat 3, yang berbunyi:
84
“Ingatlah kalian adalah orang-orang yang diajak untuk menafkahkan harta kalian kepada Allah, maka jika diantara kalian ada yang kikir sesungguhnya dia itu kikir kepada dirinya sendiri, dan Allah yang maha kaya sedangkan kalian adalah orang-orang yang berkehendak kepada-Nya. (QS. Muhammad : 38) Sehingga dengan segala keterbatasan yang ada disertai dengan keyakinan dan tekad bahwa keterbatasan tersebut bukanlah penghalang bagi pelaksanaan amal kerja kemanusiaan.102 2.
Visi, Misi, Tujuan dan Target Pesantren VISI Insan hamilil qur’an lafdhan, ma’nan, wa ‘amalan MISI 1)
Menghantarkan santri menghafal Al-Qur’an 30 juz
2)
Menghantarkan santri memahami isi kandungan Al-Qur’an
3)
Menghantarkan santri berperilaku sesuai dengan kandungan AlQur’an
102
Dokumen pondok dan hasil wawancara dengan pengasuh PPTQ Sunan Giri pada tanggal 5 April 2012
85
TUJUAN 1)
Menciptakan masyarakat yang Qur’ani
2)
Menciptakan manusia yang memahami isi kandungan dan bertingkah laku yang sesuai dengan Al-Qur’an
TARGET a.
Unit Tahfidz Mampu mengantarkan santri menghafal Al-Qur’an 30 juz selama tiga tahunbagi santri yang memiliki kemampuan normal
b.
Unit Pendidikan Madrasah Membantu unit tahfidz untuk mengimplementasikan apa yang dihafalkan, dan apa yang didalami dari Al-Qur’an untuk dapat dijadikan pedoman bersikap, bertingkah laku, merasa, mencipta, baik untuk pribadi, orang lain, dan masyarakatnya, baik selama di pesantren maupun setelah berada di tengah-tengah masyarakat.103
3.
Struktur Kepengurusan Sebagaimana lazimnya suatu lembaga pendidikan, maka Pondok Pesantren
Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya juga memiliki struktur dalam kepengurusannya. Dalam hal ini kekuasaan tertinggi sekaligus penanggung jawab adalah ditangan pengasuh. Setiap kepemimpinan tersebut mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing, seperti pengasuh bertanggungjawab atas keluar dan 103
Dokumentasi PPTQ Sunan Giri Surabaya tahun 2012
86
masuk keputusan sebagai pemimpin figur sentral panutan dalam pesantren, namun keputusan diambil dengan musyawarah bersama kepemimpinan (dewan) yang lain. Begitu juga dengan dewan asatidz, bersama-sama dengan pengasuh bertanggungjawab terhadap perkembangan pendidikan di pesantren. Adapun susunan Organisasi pesantren Sunan Giri Surabaya dapat jelaskan sebagai berikut:
a)
Struktur pengurus PPTQ Sunan Giri Surabaya 104 Tabel 1.1 Struktur organisasi kepengurusan
PENASEHAT PENGASUH MAJLIS PERTIMBANGAN ORGANISASI KETUA
SEKRETARIS
KEAMANAN
PENDIDIKAN
KESEHATAN 104
BENDAHARA
SEKSI-SEKSI
Dokumen Pondok Pesantren Sunan Giri Tahun 2012
TAHFIDH
KESENIAN
87
KEBERSIHAN
HUMAS
PERLENGKAPAN
SANTRI
88
STRUKTUR ORGANISASI PONDOK PESANTREN TAHFIDHUL QUR’AN SUNAN GIRI SURABAYA 1.
Pengasuh Pesantren
: KH. Abdul Aziz Hasanan
2.
MPO
: M. Jazuli Ahmad Mujib
3.
Ketua Wakil Ketua
: Fasihul Lisan : Muhammad Mukarrom
4.
Sekretaris I Sekretaris II
: Ayik Syufak : Ihdal Umam
5.
Bendahara I Bendahara II
: M. Bustomi : Faris Mas’udin
6.
Seksi-seksi Sie. Keamanan
: M. Husen Sulaiman Ahmad Dhori Madani
Sie. Pendidikan
: Mochamad Fathoni Ihdal Umam
Sie. Tahfidh
: Khorul Mujib M. Sanusi
Sie. Kesehatan
: Ach. Ihyauddin Bahrul Anam
Sie. Pelengkapan
: Musthofa Miftahul Arifin
Sie. Kebersihan
: Nuruddin Ali Mahfudz
89
Agus Wahyudi Sie. Kesenian Sie. Humas b)
: Fasichul Lisan : M. Madani
Struktur Madin Al-Islamiyah PPTQ Sunan Giri Surabaya 105 Tabel 1.2 Struktur organisasi Madin Al-Islamiyah PEMBINA KH. Abdul Aziz Hasanan
PENASIHAT Hj. Ainun Jariyah, B.A.
KEPALA SEKOLAH Ismail, S.Pd.I.
WAKASEK Ihdal Umam
SEKRETARIS Ayik Syufak 105
KAUR TATA USAHA Ali Mahfudz
BENDAHARA Sri Astuti
Dokumen Madrasah Diniyah Al-Islamiyah Pondok Pesantren Sunan Giri Tahun 2012
90
WKM KURIKULUM Zuhrotun Nasichah Zulfatus S., S.Pd.I
WALI KELAS
WKM KESISW AAN Khoirul Mujib
SARANA/PRA SARANA M. Jazuli
BIM. KONSELING Fasihul Lisan dan M. Fathoni
DEWAN GURU
SISWA/SANTRI
Keterangan
:
1.
Pembina
: KH. Abdul Aziz Hasanan
2.
Penasihat
: Ny.Hj. Ainun Jariyah, BA.
3.
Kepala Madrasah
: Ust. Ismail. S.Pd. I
Wakil Kep.Madin
: Ust. Ihdal Umam
Sekretaris
: Ust. Ayik Syufak
4.
WKM HUMAS Madani
91
5.
Bendahara
: Ustadzah Sri Astuti
6.
Tata Usaha
: Ali Mahfudz
7.
Kepala Bagian a. Kurikulum
: Ustadzah Neng Zuhratun N. Ustadzah Zulfatus Sa’adah, S.Pd.I.
b. Kesiswaan
: Ust. Khairul Mujib
c. BK
: Ust. Fasihul Lisan Ust. Mochamad Fathoni
d. Sarpras
: Ust. Jazuli
e. Humas
: Ust. madani
92
4.
Keadaan Guru dan Santri a.
Keadaan Guru
Keadaan guru di Ponpes Sunan Giri Surabaya sebagaimana para pengajar di madin Sunan Giri. Sedang untuk Tahfidhul Qur’an sebagai program inti di pegang langsung oleh pengasuh dan beberapa badal (pengganti). Tenaga pengajar di Pondok Pesantren Sunan Giri Surabaya adalah para asatidz dan asatidzah yang sebagian besar dari alumni dan para pengurus pesantren sendiri. Adapun jadwal pengajian kitab ba’da magrib sampai dengan isya’ dan nama pengajar rutinitas PPTQ Sunan Giri Surabaya, sebagaimana dalam data sebagai berikut:106 Tabel 2.1 Jadwal pengajian kitab No
Hari
Kelas
Pengajar
Pelajaran
1
Jum’at
Ust. Nuruddin
Imla’
2
Sabtu
Ust. Mustain
Fasholatan
3
Ahad
Ust. Sururi
Tauhid
4
Senin
Ust. Bustomi
Akhlak
5
Rabu
Ust, Husen
Tajwid
6
Jum’at
Ust. Fasihul Lisan
Akhlak
106
Ula/SD
Dokumen Pondok Pesantren Sunan Giri Bulan April Tahun 2012
93
7
Sabtu
Ust. Husen
Tajwid
8
Ahad
Ust. Faris Mas’uddin
Fashohah
9
Senin
Ust. Sulaiman
Tahlil
10
Rabu
Ust. M. Fathoni
Fiqh
11
Jum’at
Ust. Ihdal Umam
Fiqh Ubudiyah
12
Sabtu
Ust. Faris Mas’udin
Fashohah
13
Ahad
Wustho/MTs
Fiqh Ulya/MA
Ust. M. Fathoni Muamalah
14
Senin
Ust. Khoirul Mujib
Akhlak
15
Rabu
Ust. M. Jazuli
Manaqib
Adapun nama dan guru mata pelajaran untuk madrasah diniyah PPTQ Sunan Giri Surabaya, adalah sebagai berikut:107 Tabel 2.2 Nama guru, mata pelajaran, dan lulusan No
Nama
Mengajar Mata Pelajaran
Mulai Tugas
Jabatan
Status: Negeri/ Swasta
Lulusan
KH. Abd. Aziz Hasanan
Al-Qur’an
1993
Pengasuh Pesantren
Swasta
PP. MQ. Tebu Ireng Jombang
2
Abdur Rochman
Nahwu Shorof Tafsir Tareh
1995
Guru tetap
Swasta
PP. Sunan Giri Surabaya
3
Umar Faruq
Tauhid
1994
Guru tugas
Swasta
4
Ismail, S.Pd.I.
Bhs. Arab
2002
Kep.Sek
Swasta
1
107
Dokumen Madin Al-Islamiyah Pondok Pesantren Sunan Giri Tahun 2012
PP. Sidogiri Pasuruan S-1 dan PP.
94
Imla’
5
Ihdal Umam
6
Khoirul Mujib
Tauhid Nahwu Shorof Tareh Hadits Shorof Fiqih Tajwid Fiqh Imla’
Al-Amin Prenduan Sumenep Madura
2001
Wakasek
Swasta
PP. Al-Anwar Sarang Rembang
2002
Kabid Kesiswaan
Swasta
PP. Sunan Giri Surabaya
2002
Kabid BK
Swasta
PP. Sunan Giri Surabaya
7
Fasihul Lisan
8
Ali Mahfudz
-
2009
Kaur TU
Swasta
PP. Sunan Giri Surabaya
9
Bustomi
Tajwid Bhs. Arab
2005
Guru Pengabdia n
Swasta
PP. Sunan Giri Surabaya
10
Syukron makmun
2002
Guru tetap
Swasta
11
Sri Astuti
2010
Bendahara
Swasta
PP. Sunan Giri Surabaya
12
Ainul Yaqin
2006
Kabid BK
Swasta
PP.Al-Anwar Sarang Rembang
13
Ny. Hj. Ainun Jariyah, B.A.
1997
Pengasuh Yayasan
Swasta
Diploma
14
Putri Zulfa dayana
2005
Guru tetap
Swasta
15
Zakiyatun Nafisah, Spd.I
2005
Guru tetap
Swasta
16
Amil Muzayin, S.H.I
2004
Guru tetap
Swasta
S-1
17
Zuhrotun Nasicha
2000
Kabid Kurikulum
Swasta
PP.Al-Anwar Sarang Rembang
18
Zulfatus Sa'adah, S.Pd.I.
Bhs. Arab Bhs. Inggris
2000
Kabid Kurikulum
Swasta
19
Imam Baihaqi, S.H.I
Bhs. Arab
2000
Guru tetap
Swasta
Fiqh Hadits Nahwu Imla’ Tauhid Akhlak Balaghoh Tafsir Faroidh Ushul Fiqih Tajwid Tereh Bhs. Inggris Matematika Matematika B. Indonesia Fiqh Fiqih Bhs. Inggris Nahwu Shorof Fiqih Tafsir
PP. Lirboyo Kediri
PP. Sunan Giri Surabaya S-1 dan PP. Tambak Beras Jombang
S-1dan PP. Sunan Giri Surabaya S-1 dan PP. Al-Amin Prenduan
95
Sumenep Madura
b.
Keadaan Santri
Santri Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri secara umum berasal dari empat tempat, yakni: Surabaya, Pasuruan, Madura, dan Kota lainnya. Menurut hasil interview dengan ketua pengurus, jumlah santri sampai bulan April tahun 2012 adalah 215 santri. Jumlah santri dapat dilihat pada data berikut: 108 Tabel 3.1 Jenjang, jenis kelamin, dan jumlah No 1 2 3 4
Jenjang Ula/SD Wustha/MTs Ulya/MA Lainnya Jumlah
Laki-laki Perempuan 16 7 77 69 16 4 16 10 125 90
Jumlah 23 146 20 26 215
Untuk kegiatan rutin santri sehari-hari di Pondok Pesantren tahfidhul Qur’an Sunan Giri, dapat dilihat dalam time table sebagai berikut:109 Tabel 3.2 Jadwal kegiatan sehari-hari
No
Waktu
1
02.30 – 03.30
Sholat tahajjud bersama
2
03.30 – 04.00
Persiapan sholat shubuh
108
Kegiatan
Dokumen pondok tahun 2012 dan catatan hasil wawancara dengan ketua Pondok Sunan Giri pada hari Jum’at 28April Tahun 2012 109 Dokumen Pondok Pesantren Sunan Giri Tahun 2012
96
3
04.12 – 05.10
Sholat shubuh
4
05.10 – 06.30
5
06.30 – 07.00
Persiapan sekolah
6
07.00 – 13.05
Masuk sekolah
7
13.05 – 13.30
Sholat dhuhur
8
13.30 – 14.00
Setoran bin nadlor
9
14.00 – 14.30
Istirahat
10
14.30 – 14.40
Persiapan sholat ashar
11
14.40 – 15.30
Sholat ashar
12
15.30 – 16.45
Setoran Al qur’an bin nadlor dan tahfidh kepada para badal dan Pengasuh
13
16.45 – 17.24
Persiapan sholat maghrib
14
17.24 – 18.30
Sholat maghrib
15
18.30 – 19.30
Pengajian kitab kuning
16
19.30 – 20.00
Sholat isya’
17
20.00 – 21.00
Belajar bersama
18
21.00 – 21.30
Istirahat
19
21.30 – 23.00
Mudarasah bersama
20
23.00 – 02.30
Tidur
Setoran Alqur’an Binnadlor dan Tahfidh kepada para badal dan Pengasuh
97
5.
Sarana dan Prasarana Pada saat penelitian dilaksanakan, menurut pengamatan penulis fasilitas
(kondisi fisik) Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya, dapat dikatakan sudah cukup representatif. Berikut ini adalah beberapa kondisi fisik yang bisa diamati peneliti, yaitu: 110
Tabel 4.1 Jenis sarana/prasarana dan jumlah No.
Jenis Sarana/Prasaran
Jumlah
1
Kamar santri putra
7
2
Kamar santri putri
6
3
Kamar pengurus
3
4
Kamar asatidz
2
5
Ruang setoran
7
6
Ruang muraja’ah
2
7
Ruang kelas sekolah diniyah
7
8
Ruang kelas sekolah formal
8
9
Kamar mandi santri
7
10
Kamar mandi asatidz
3
11
Kantor sekolah diniyah
1
12
Kantor sekolah formal
1
13
Mushalla
1
110
Hasil pengamatan penulis dan wawancara dengan pengurus Ahad, 6 Mei 2012
98
14
Ruang masak/dapur umum
2
15
Koperasi
2
16
Warung telekomunikasi
1
17
Sunan Giri Cell (konter)
1
18
Kamar kesehatan
1
19
Ruang gudang
2
Perlengkapan/inventaris PPTQ Sunan Giri Surabaya, sebagai berikut:111 Tabel 4.2 Nama barang dan jumlah No.
Nama Barang
Jumlah
1.
Almari santri putra dan putri
2.
Almari buku
2
3.
Alamari kesehatan
1
4.
Almari kebersihan
1
5.
Komputer
4
6.
Printer
2
7.
Meja komputer
4
8.
Papan susunan pengurus pesantren
1
9.
Papan susunan pengurus diniyah
1
10.
Papan susunan pengurus formal
1
11.
Papan tulis
16
12.
Meja guru
15
13.
Meja santri
155
14.
Meja kecil (dampar)
150
111
Dokumen Pondok Pesantren Sunan Giri Tahun 2012
190
99
15.
Kursi guru
15
16.
Kursi santri
155
17.
Papan Mading
B.
2
BENTUK-BENTUK PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SANTRI DI PPTQ SUNAN GIRI SURABAYA
Dari pengamatan peneliti yang dilakukan selama dua bulan, yaitu mulai tanggal 2 April 2012 sampai dengan 2 Juni 2012, menyimpulkan ada beberapa kegiatan yang sarat dengan pendidikan karakter bagi santri PPTQ Sunan Giri, kegiatan tersebut adalah:
1.
Kegiatan Ma’hadiyah (kepondokan/kepesantrenan) Kegiatan kepondokan yang berpotensi positif membentuk karakter santri adalah: a)
Kultum pengasuh setelah sholat subuh Selama penelitian berlangsung, peneliti rutin mengikuti kultum dari pengasuh pesantren, KH. Abdul Aziz hasanan. Berukut ini petikan Salah satu pesan bapak kiai kepada para santri yang sering diulang-ulang beliau: “Janganlah bangga bisa hafal Al-Qur’an tapi tidak berakhlak. Akhlak itu di atas segalanya. Orang hafal Al-Qur’an itu anugrah maka jangan sombong, karena tempat orang sombong itu neraka. Begitu juga Orang pintar jangan
100
sombong, karena ilmu yang didapat adalah anugrah dari-Nya. Iblis dimasukkan neraka itu bukan karena dia bodoh, dia pintar tapi sombong. Maka, rendah hatilah dengan apa yang sudah dianugerahkan kepadamu, baik itu Qur’anmu atau ilmumu, itu yang akan memulyakanmu di dunia maupun di akhirat” 112
b)
Program khithobiyah Program khithobiyah di PPTQ Sunan Giri dilaksanakan setiap hari Selasa malam Rabu di aula pesantren. Kegiatan ini melibatkan semua santri, baik yang sudah mengajar, pengurus, maupun santri murni. Petugas pengisi acaranya pun diambilkan dari semua unsur tersebut. Bagi santri lebih diporsikan untuk acara pembukaan, pembacaan ayat Al-Qur’an, Sholawat Nabi, Sambutan, dan latihan pidato. Sementara sambutan pengurus istiqomah diwakili oleh ketua pondok. Sedangkan para ustadz mengisi acara mauidhoh hasanah. Program ini sangat mendidik santri untuk bekal bermasyarakat dan mengajarkan tanggung jawab, karena jika ada santri yang tidak melaksanakan tugasnya mereka akan menerima sanksi dari pengurus. Menurut pengamatan peneliti saat sambutan yang disampaikan oleh ketua pondok, beliau selalu mengingatkan kepada santri tentang program-program pesantren yang harus dilaksanakan oleh para santri dan pesan beliau yang tidak pernah lupa disampaikan, bahwa jadi santri itu yang penting adalah berakhlak dan taat peraturan pondok.113
112 113
Hasil pengamatan peneliti di Mushola Rahmatullah PPTQ Sunan Giri bulan Mei 2012 Hasil pengamatan peneliti di aula PPTQ Sunan Giri tanggal 1, 8, 15, 22, 29 Mei 2012
101
c)
Pengajian kitab kuning Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari setelah magrib kecuali hari Selasa dan Kamis. Adapun kitab yang dikaji antara lain; Fathul Qorib (mengajarkan tentang ubudiyah dan mu’amalah yang benar menurut syara’), Mauidhoh Usfuriyah (mengajarkan tentang akhlak dan kisahkisah teladan yang penting untuk dijadikan ‘ibrah), Manaqib Syekh Abdul Qodir Jaelani (mengajarkan tentang keteladanan dan karomah Syekh Abdul Qodir), Aqidatul Awam (mengajarkan untuk berakidah yang benar). Khusus kitab Ta’limul Muta’alim diajarkan setiap Jum’at pagi setelah wiridan subuh. Secara khusus kitab ini mengajarkan tentang etika belajar bagi santri. Berdasar pengamatan peneliti, semua kitab yang di ajarkan di PPTQ Sunan Giri sarat dengan pendidikan karakter. Karena terbukti adanya budaya salam apabila bertemu dan masuk ke kamar santri lain serta cium tangan guru, rajin sholat berjamaah, tahajud, sikap tanggung jawab, sayang kepada sesama santri dan guru, dan suka membantu merupakan dampak nyata dari pembelajaran tersebut.114
d)
114
Peraturan pondok
Hasil pengamatan peneliti bulan Mei 2012
102
Di pesantren manapun termasuk PPTQ Sunan Giri Surabaya terdapat peraturan yang menjadi alat pengontrol bagi pengurus untuk menegakkan disiplin santri. Semua peraturan tersebut tertuang dalam tata tertib PPTQ Sunan Giri Surabaya, secara rinci dapat dilihat di lampiran. Dalam peraturan tersebut dijelaskan tentang kewajiban dan larangan bagi para santri. Santri yang melanggar kewajiban dan melakukan larangan pondok akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahannya. Adapun tujuan adanya peraturan tersebut selain untuk kedisiplinan santri juga untuk pembiasaan, seperti kewajiban sholat berjamaah, tahajjud, setoran Al-Qur’an, sekolah, pengajian kitab, belajar bersama (takrar), dan mudarosah/murojaah.115 M. Syukron Mahmudi
santri kelas tiga diniyah wustho
mengatakan: “Saya mondok di PPTQ Sunan Giri ini selain disuruh orang tua, memang saya sendiri juga ingin mondok. Karena saya ingin hafal Al-Qur’an dan pandai ilmu agama dan yang penting ilmunya manfaat dan barokah. Oleh karena itu, saya berusaha untuk melaksanakan semua kewajiban yang ada di pondok ini dan saya takut melanggar pak, karena takut tidak barokah ilmunya. Awalnya sih berat pak tapi lama-lama biasa.” 116
Adapun pelaksanaan takziran (hukuman) bagi santri yang melanggar peraturan pondok, menurut ust. Fasihul Lisan (ketua pondok) ada tahapan-tahapannya; pertama berupa peringatan, jika 115 116
Hasil pengamatan peneliti bulan Mei 2012 Hasil wawancara dengan salah satu santri PPTQ Sunan Giripada tanggal 5 Mei 2012
103
masih melakukan pelanggaran lagi baru diterapkan sanksi sesuai bentuk dan tingkat kesalahannya. 117 2.
Kegiatan Madrosiyah (kemadrasahan) Adapun kegiatan kemadrasahan yang berpengaruh membentuk
karakter santri yaitu: a)
Sekolah madrasah diniyah pagi Madrasah diniyah pagi diperuntukkan bagi santri yang bermukim saja. Kelebihan diniyah pagi dengan diniyah malam adalah kalau diniyah pagi materi kitab lebih padat dan durasi waktu lebih panjang, karena kelas berjenjang dan pembelajaran dilaksanakan selama empat jam, dimulai jam delapan sampai dengan setengah dua belas dengan pengaturan kelas terpisah satir (hijab) antara santri putra dengan santri putri. Selain itu guru yang menyampaikan materi sesuai bidang studinya masing-masing. Menurut salah satu guru yang penulis wawancarai, yaitu Ust. Faris Mas’udin eL-Karimi beliau mengatakan: “Santri diniyah pagi menurut saya bagus pemahaman agama dan akhlaknya, itu lebih disebabkan karena selain materinya padat kenaikan kelas selain nilai akademik yang menjadi acuan, tapi juga sangat mempertimbangkan akhlak dan perilaku keseharian mereka, sehingga tidak heran jika santrisantri yang sekolah diniyah pagi lebih menonjol akhlaknya”.118
117
Hasil wawancara dengan ust. Fasihul Lisan tanggal 25 Mei 2012 Hasil wawancara dengan ust. Faris Mas’udin eL-Karimi di Kantor Madin Al-Islamiyah PPTQ Sunan Giri tanggal 29 Mei 2012 118
104
b)
Sekolah madrasah diniyah malam Madrasah diniyah malam didasarkan atas inisiatif pengasuh untuk membekali santri formal untuk memperdalam pengetahuan agama, karena beliau merasa prihatin santri yang sekolah formal ratarata minim pengetahuan agamanya, bukan karena tidak diajarkan materi agama, namun lebih karena materi agama kurang terserap maksimal. Hal itu mungkin disebabkan karena pergaulan, mengingat sekolah formal siswanya bukan hanya dari santri mukim, tapi juga dari kalangan masyarakat setempat bahkan ini yang dominan.Selain itu pengaturan kelas yang tidak memisahkan santri putra dengan santri putri, sehingga berpotensi bebasnya pergaulan diantara mereka. Dari alasan tersebut, pengasuh pesantren merasa perlu untuk mengadakan madrasah diniyah malam sebagai suplemen (penunjang) dan pematangan ilmu agama bagi santri formal. Namun kenyataannya program tersebut hanya bisa dinikmati oleh kalangan santri mukim saja, walaupun ada beberapa santri formal yang ikut program tesebut berasal dari santri non mukim. Berdasar pengamatan dan wawancara dengan Ust. Ainul Yaqin (guru tetap diniyah malam), bahwa semenjak diadakan diniyah malam
105
sedikit-demi sedikit tampak ada peningkatan pemahaman agama yang cukup signifikan.119 3.
Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
a)
Bakti sosial Sebuah rutinitas yang dilakukan santri PPTQ Sunan Giri setiap Kamis sore, yaitu ro’an (kerja bakti) membersihkan lingkungan pesantren bukan saja dilakukan di dalam pesantren tapi juga lingkungan masyarakat sekitar pesantren. Kegiatan ini sangat efektif untuk membangun keharmonisan dan kerja sama antara warga pesantren dan warga masyarakat sekitar. Dampak nyata dari bakti sosial ini menurut ust. Fasihul Lisan (ketua pondok),bahwa jika ada hajatan besar pondok seperti haflah dan lainnya masyarakat ikut berpartisipasi membantu baik berupa materi maupun tenaga.120
b)
Mengisi Pengajian di Kampung-kampung Program ini memang tidak melibatkan semua santri, hanya santri yang berkompeten saja yang ditugaskan oleh pengasuh untuk melaksanakannya. Bentuk pengabdian masyarakat ini ada dua macam, yaitu mengisi ceramah dan mengajar ngaji Al-Qur’an. Salah satu santri
119 120
Hasil pengamatan dan wawancara dengan ust. Ainul Yaqin bulan Mei tahun 2012 Hasil wawancara dengan ketua pondok tanggal 1 Juni 2012
106
yang berhasil peneliti wawancarai adalah ustadzah Sri Naila AlKaromah, beliau mengatakan bahwa program kemasyarakatan ini sangat bermanfaat untuk membina mental, mengasah kemampuan, amanah, dan tanggung jawab.121 C.
KENDALA PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SANTRI DI PPTQ SUNAN GIRI Sesuai dengan tujuan PPTQ Sunan Giri yaitu menciptakan masyarakat yang
Qur’ani dan menciptakan manusia yang memahami isi kandungan dan bertingkah laku yang sesuai dengan Al-Qur’an. Tujuan mulia ini tidak mungkin terwujud tanpa adanya pendidikan yang menunjang dan perangkat aturan dan tata tertib. Peraturan dan tata tertib tidak akan efektif tanpa adanya pengawasan.
Bagian keamanan merupakan salah satu perangkat penting di PPTQ Sunan Giri untuk membimbing santri mematuhi peraturan. Bagian keamanan mengawasi dan memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap peraturan dan tata tertib. Dengan fungsi ini diharapkan sikap disiplin dan taat aturan tertanam dengan baik dalam jiwa para santri yang pada akhirnya membentuk karakter yang baik bagi santri.
Namun, pergaulan santri yang salah bisa mengakibatkan pelanggaran terjadi. Hal ini disebabkan karena santri tidak pandai memilih teman. Sehingga
121
Hasil wawancara dengan ustadzah Sri Naila Al-Karomah tanggal 2 Juni 2012
107
santri PPTQ Sunan Giri yang melakukan pelanggaran tata tertib pesantren kebanyakan terpengaruh teman sepergaulannya. 122
Selain itu, niat dan tujuan santri yang tidak lurus menyebakan terkendalanya penerapan pendidikan karakter di PPTQ Sunan Giri. Walaupun pengasuh dan guru sudah menyampaikan nasehat dalam setiap pelajarannya, namun bagi santri yang tidak tulus niat mondoknya sering kali berurusan dengan bagian keamanan karena terjerat kasus pelanggaran tata tertib pesantren. Ini menandakan bahwa niat yang lurus mutlak dimiliki oleh para santri.123 Berdasar pengamatan penulis mentalitas pendidik dan pengurus yang “hangat-hangat tahi ayam” (kadang semangat, kadang tidak) dalam menjalankan tugasnya terutama bagian penegak disiplin (seksi keamanan) juga berpengaruh terhadap terhambatnya proses pendidikan karakter di PPTQ Sunan Giri. Logikanya jika pengurusnya semangat menjalankan tugasnya, maka akan tercipta iklim yang kondusif. Jika situasi kondusif maka santri kecil kemungkinan berani melanngar. Jika mereka terbiasa tidak melanggar, maka mereka akan terbiasa melakukan hal-hal positif sebagaimana yang tertuang dalam kewajiban-kewajiban pondok. Jika mereka sudah biasa maka akan tertanam menjadi sebuah karakter. 124
122
Wawancara dengan bagian keamanan pada tanggal 20 Mei 2012 Hasil pengamatan pada bulan Mei 2012 124 Hasil pengamatan penulis selama bulan April-Mei 2012 123
108
BAB V PEMBAHASAN
Secara teoritik ketidakberhasilan tertanamnya nilai-nilai rohaniah terhadap peserta didik dewasa ini, menurut Qomari Anwar sangat terkait dengan dua faktor penting. Kedua faktor tersebut adalah
mentalitas pendidik dan metode
pendidikan.125 Terkait dengan hal terakhir yang disebutkan, menurut AnNahlawi, dalam al Qur’an dan as-Sunnah sebenarnya terdapat berbagai metode pendidikan yang bisa menyentuh perasaan dan membangkitkan semangat keagamaan. Satu diantara metode-metode tersebut adalah metode targhib dan tarhib.126 Pada bagian ini penulis akan menguraikan sekaligus melakukan analisis tentang implementasi pendidikan karakter melalui metode Targhib dan Tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya. Tentunya pembahasan dan analisis ini penulis lakukan dari sudut pandang penulis sendiri berdasarkan pada fakta dan realita yang ada di lapangan. Dalam analisis ini, penulis bagi ke dalam dua sub
125
Qomari Anwar, Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa, (Jakarta: Uhamka Press, 2003), h. 42 126 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2010), h. 135
109
bab pembahasan sesuai rumusan masalah yang dikaji, supaya mempermudah pembaca memahaminya, yaitu:
A.
ANALISIS
TENTANG
IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN
KARAKTER MELALUI METODE TARGHIB DAN TARHIB BAGI SANTRI DI PPTQ SUNAN GIRI SURABAYA Pendidikan karakter sejatinya jika diterjemahkan dalam bahasa agama sama dengan pendidikan akhlak. Di lembaga pendidikan Islam khususnya pondok pesantren tanpa terkecuali PPTQ Sunan Giri, pendidikan akhlak memang menjadi prioritas utama. Seorang santri akan dinilai berhasil jika selain pandai ilmu agamanya dia juga berakhlak mulia.Untuk itu diperlukan metode untuk mengajarkannya. Beberapa metode islami menurut An-Nahlawi yang sudah disebutkan di awal pembahasan, metode targhib dan tarhib adalah salah satunya. Dalam penelitian ini difokuskan pada implementasi pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri PPTQ Sunan Giri Surabaya. Targhib dan Tarhib adalah salah satu metode yang dapat medorong santri untuk lebih termotivasi mendekatkan diri kepada Allah. Dalam Islam, Targhib dan Tarhib dikaitkan dengan persoalan akhirat, yaitu surga dan neraka. Sehingga, sikap yang lahir dari sang anak melalui metode ini lebih kokoh karena terkait dengan iman kepada Allah dan Hari Akhir. Metode ini dimaksudkan untuk
110
menggugah dan mendidik manusia agar memiliki perasaan robbaniyah, seperti khauf (takut) pada Allah, khusyu’ (merendahkan diri) di hadapan Allah, mahabbah (cinta) kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan hal itu diharapkan menjadi karakter seorang muslim haqiqi. Dalam pelaksanaan pembelajaran meski menekankan perlunya giat belajar, PPTQ Sunan Giri Surabaya tidak menjadikan Ilmu pengetahuan sebagai target mutlak yang ingin dicapai, tapi juga mempunyai komitmen kuat mendidik moralspiritual santrinya, yaitu melalui pendidikan karakter yang diimplementasikan melalui pendidikan rohaniah yang dilakukan secara intens, seperti wajib shalat berjamaah, shalat dhuha, shalat tahajud, riyadhah batiniyah (gerak batin), istighosah, rotibul hadad, dan lain sebagainya. Terdapat beberapa kegiatan yang menjadi prioritas utama dalam pembentukan karakter santri melalui metode targhib dan tarhib di PPTQ Sunan Giri Surabaya, yaitu: 1.
Kegiatan ma’hadiyah (kepesantrenan) Pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib dapat ditemui dalam
kegiatan kepesantrenan, hal ini dapat dilihat melalui: a)
Sholat berjamaah Pada tataran praktis santri diajarkan untuk membiasakan perbuatan baik dan menjauhi keburukan. Dengan melaksanakan shalat yang benar
111
seseorang akan terpelihara dari perbuatan tercela. Untuk itu PPTQ Sunan Giri mewajibkan para santrinya untuk melaksanakan shalat secara berjamaah. Baik shalat fardlu maupun shalat sunnah (khususnya dhuha dan tahajud).Konsekuensi bagi santri yang tidak berjamaah apalagi tidak menjalankan sholat akan dikenakan sanksi oleh pengurus. Belum lagi ancaman akhirat, neraka taruhannya. Namun sebaliknya bagi santri yang rajin sholat apalagi berjamaah dia akan mendapat kemulyaan dari sisi-Nya. Dengan melaksanakan shalat berjama'ah, para santri dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, pada saat shalat berjama'ah mereka dapat belajar bagaimana berkata baik, bersikap sopan-santun, disiplin, rendah hati, adil, menghargai saudaranya seiman, pandai bekerja sama, sabar, dan terjalinnya tali persaudaraaan (Ukhuwah Islamiyah). Semua akhlak terpuji yang disebutkan tersebut adalah pilar kararakter mulia yang dijadikan acuan dalam konsep pendidikan karakter. Bila susasana seperti ini telah dibiasakan mereka akan melakukannya tanpa ada paksaan, dan pada akhirnya akan mengakar dalam jiwanya menjadi sebuah kebiasaan dan kebutuhan. Bahkan saat sudah pulang ke kampung halamannya, mereka dapat menjadi teladan bagi masyarakatnya. Bila kita tarik dalam sebuah kesimpulan berdasar analisis di atas, maka terjadi keselarasan antara metode yang dikemukakan An-nahlawi
112
(targhib dan tarhib) dan shalat berjamaah dalam pembentukan karakter positif santri PPTQ Sunan Giri Surabaya. b)
Mauidhoh/taushiah (nasehat) Sebagaimana data yang sudah dipaparkan pada Bab IV, bahwa
mauidhoh sebagai upaya membenahi prilaku santri terbukti ampuh, apalagi yang menyampaikan adalah sosok teladan dan berpengaruh. Karena ada pepatah mengatakan “Sesuatu yang keluar dari hati, maka akan sampai ke hati”. Menurut pengamatan penulis, mauidhoh KH. Abdul Aziz Hasanan yang disampaikan beliau melalui kultum setiap selesai wiridan Subuh akan sangat berpengaruh membentuk karakter santri, karena beliau sering mengulang kata-kata yang dianggap penting seperti cuplikan kultum pada Bab IV. Disana beliau menyampaikan bahwa orang yang dianugerahi hafal Al-Qur’an dan ilmu bisa beruntung dan juga bisa celaka. Beruntung karena Al-Qur’an dan ilmunya, celaka karena Al-Qur’an dan ilmunya. Maka jauhilah sikap sombong, karena ia akan mencelakakan. Jika ditarik kesimpulan berdasar analisis di atas, maka nyatalah metode yang dikemukakan An-nahlawi (targhib dan tarhib) melalui taushiah mampu membentuk karakter santri PPTQ Sunan Giri Surabaya. c)
Asrama, Tata tertib dan Peran Pengurus
113
Lingkungan adalah salah satu ujung tombak pendidikan di luar sekolah. Begitu pula dengan PPTQ Sunan Giri. Asrama santri merupakan salah satu ujung tombak pendidikan, terutama dari aspek perilaku seharihari santri. Secara kelembagaan, asrama dijadikan sebagai tempat mengasah dan menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat di madrasah, dan membimbing serta mengawasi prilaku santri sehari-hari. Pengurus bertugas menjalankan program-program kepesantrenan baik yang
berkenaan
dengan
keilmuan,
ibadah,
kedisiplinan,
maupun
pemeliharaan kebersihan dan kesehatan santri serta lingkungan pondok. Adapun penanganannya secara spesifik berada di bawah pengawasan dan tanggung jawab seksi pendidikan, seksi peribadatan, seksi keamanan, seksi kebersihan, dan seksi kesehatan . Secara umum setiap seksi mempunyai tanggung jawab moral untuk mensukseskan program-program tersebut. Pengajian kitab bakda magrib, jam belajar (takrar) dan khithobiyah dibawah pengawasan dan tanggung jawab seksi pendidikan. Kegiatan ini selain menambah wawasan pengetahuan agama, namun juga berdimensi akhlak. Para ustadz di PPTQ Sunan Giri menekankan betul pentingnya
114
akhlak dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena dengan akhlak mulia seseorang sangat bernilai di mata orang lain. Disiplin shalat berjamaah, dhuha, dan tahajjud para santri adalah tugas seksi peribadatan. Selain itu untuk mengasah kemampuan para santri dalam bidang sosial kemasyarakatan seksi peribadatan menunjuk dengan menugaskan mereka menjadi pimpinan kegiatan Ma’hadiyah (kegiatan kepesantrenan) seperti menjadi imam shalat berjama’ah, memimpin pembacaan Di’baiyah, tahlilan, istighosah, dan rotibul hadad. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pembekalan yang lebih matang kepada mereka sebelum terjun di masyarakat. Seksi keamanan bertugas menegakkan disiplin pondok, baik kegiatan yang menyangkut kepodokan maupun kemadrasahan, karena penggiatan dan pengobrakan santri untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya tidak terlepas dari peran aktif seksi keamanan. Pada dasarnya semua kegiatan yang ada di PPTQ Sunan Giri melibatkan bagian keamanan. Dan dalam wewenang seksi keamananlah bagi santri yang melanggar akan dijatuhkan ta’zir (sanksi).Bentuk sanksi yang diterapkan pun bertahap, mulai dari peringatan, sanksi ringan, sampai sanksi berat sesuai jenis dan tingkat pelanggaran.
115
Seksi kesehatan menangani santri-santri yang sakit. Tugas seksi kesehatan sangat vital untuk memastikan kesehatan para santri, karena jiwa yang sehat berada pada jasmani yang sehat pula. Sehingga bergairahnya santri melaksanakan rutinitas program pesantren dan madrasah disebabkan karena mereka sehat. Begitu juga sebaliknya mereka akan lemas dan tidak bergairah jika dalam keadaan sakit. Slogan “Annadhofatu minal iman” bukan saja terdengar familiar di telinga tapi juga sudah memasyarakat di kalangan pesantren. Namun kenyataannya banyak orang yang mencibir bahwa pesantren itu kumuh, kotor dan tidak teratur. Untuk menepis anggapan itu seksi kebersihan di PPTQ Sunan Giri berjuang keras untuk mengamalkan slogan di atas. Pengasuh pesantren sering mengingatkan pentingnya kebersihan, bahkan beliau sering bercerita sewaktu mondok di MQ. Tebu Ireng Jombang beliau sangat rajin membersihkan tempat mandi dan toilet para santri. Prinsip beliau kalau kita membuat senang orang lain, maka kita juga akan dibalas sama, tapi jika kita menyusahkan orang lain, kita juga akan dibalas sama. Cerita ini sudah terpatri dalam hati para santri dan Alhamdulillah banyak yang melaksanakan. Berdasar analisis di atas dapat disimpulkan bahwa peran pengurus dengan metode targhib (dalam bentuk janji pahala dari Allah dan balas budi orang atas kebaikan yang santri lakukan) serta tarhib (dalam wujud
116
ancaman siksa akhirat dan sanksi dunia bagi santri yang melanggar) sangat efektif membentuk karakter mulia bagi santri PPTQ Sunan Giri Surabaya. 2.
Kegiatan madrasiyah (kemadrasahan) Keberhasilan Pendidikan Karakter bagi peserta didik (santri) tidak
hanya tergantung pada perencanaan yang rapi dan kelancaran pelaksanaan program, namun juga tergantung pada keteladanan. Oleh karena itu, perlu keteladanan dari unsur pimpinan, dewan guru, karyawan, yang menjadi tuntunan bagi peserta didik (santri) dalam berprilaku dan bertindak. Kegiatan madrasiyah di PPTQ Sunan Giri sangat mendukung terbentuknya karakter santri, terbukti ketika para murid di Madrasah masuk ke dalam ruangan (kelas), mereka mengucapkan salam. Hal ini tidak lepas dari teladan figur para asatidz yang memasuki ruangan dengan ucapan salam penuh tawadlu’ (rendah hati). Ini merupakan salah satu bentuk targhib yang dilakukan dalam membentuk karakter murid (santri). Penanaman prinsip Rabbaniyah melalui do’a sangat diutamakan dalam proses kegiatan belajar mengajar di Madrasah. Sebelum dan sesudah proses belajar
mengajar, Guru
memimpin pembacaan
do’a
yang
dilaksanakan secara jama’ah. Adapun bacaan yang selalu dimunajatkan sebelum belajar sebagaimana berikut:
117
ﺭﺏ ﺍﺷﺮﺡ ﻟﻲ ﺻﺪﺭﻱ ﻭﻳﺴﺮﻟﻲ ﺍﻣﺮﻱ ﻭﺍﺣﻠﻞ ﻋﻘﺪﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻬﻢ ﻧﻮﺭ٬ﻟﺴﺎﻧﻲ ﻳﻔﻘﻪ ﻗﻮﻟﻲ ﺭﺏ ﺯﺩﻧﻲ ﻋﻠﻤﺎ ﻭﺍﺭﺯﻗﻨﻲ ﻓﻬﻤﺎ ﻧﻮﻳﺖ.ﻗﻠﺒﻲ ﺑﻨﻮﺭ ﻫﺪﺍﻳﺘﻚ ﻛﻤﺎ ﻧﻮﺭﺕ ﺍﻻﺭﺽ ﺑﻨﻮﺭ ﺷﻤﺴﻚ ﺍﻟﺘﻌﻠﻢ ﻻﻋﻼء ﻛﻠﻤﺎﺕ ﺍﷲ Do’a setelah proses belajar mengajar:
ﺭﺑﻨﺎ ﺍﻧﻔﻌﻨﺎ ﺑﻤﺎ ﻋ ﻠﻤﺘﻨﺎ ﺭﺏ ﻋﻠﻤﻨﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻔﻌﻨﺎ ﺭﺏ ﻓﻘ ﻬﻨﺎ ﻭﻓﻘﻪ ﺍﻫﻠﻨﺎ ﻭﻗﺮﺑﺎﺕ ﻟﻨﺎ ﻓﻲ ﺩﻳﻨﻨﺎ Adapun bentuk tarhib bagi santri yang terlambat masuk kelas, tidak menghafal nadzam dan kewajiban hafalan lainnya, guru memberi teguran baik, yaitu berupa sindiran (tidak memarahi dan memaki) dan membimbing melalui nasehat yang baik, kemudian menerapkan sanksi yang mendidik apabila santri yang bersangkutan mengulangi kesalahan yang sama seperti menulis Al-Qur’an satu halaman atau membaca Al-Qur’an satu juz. Secara implisit bahwasanya eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan religi yang bertugas meregenerasi tunas-tunas Islam harus mendasari diri dengan landasan Iman dan Taqwa. Untuk merecovery pelajaran yang didapat dari guru di kelas, para santri
diwajibkan
mengikuti
kegiatan musyawarah
kelas, kegiatan
118
musyawarah kelas ini dilaksanakan setiap hari kecuali hari Kamis. Ditempat musyawarah inilah santri mengasah kemampuannya dalam menyikapi perbedaan pendapat dan mendiskusikan kembali pelajaran yang sudah mereka dapat serta mengkaji pelajaran yang akan mereka pelajari di kelas nanti. Musyawarah kelas ini juga tidak lepas dari bimbingan, arahan serta pengawasan dari guru dalam hal ini, wali kelas. Di forum musyawarah para santri diajari menyampaikan pendapat, atau menjawab pertanyaan dengan membaca Basmalah terlebih dahulu. Dan ini yang menjadi ciri khas (karakter) dari para santri di PPTQ Sunan Giri. Apabila ketahuan berpendapat atau menjawab pertanyaan tanpa diawali dengan Basmalah, maka santri yang lain akan memprotes prilaku itu, disinilah bentuk targhib dan tarhib ketika pelaksanaan musyawarah kelas. 4.
Kegiatan Sosial Kemasyarakatan Pesantren yang berhasil diukur bukan hanya dari keberhasilan
santrinya saja, tapi juga seberapa besar manfaat pesantren dapat dirasakan masyarakat,
khususnya
warga
sekitar
pesantren.
Kegiatan
sosial
kemasyarakatan yang langsung terasa manfaatnya adalah ro’an dan mengajar ngaji anak-anak mereka. Selain itu program tahunan yang diadakan PPTQ Sunan Giri adalah bakti sosial berupa khitan masal yang diperuntukkan bagi warga sekitar pesantren.
119
Menurut analisis penulis kegiatan-kegiatan tersebut mendidik dan mendorong santri untuk peduli kepada sesama. Nilai targhibnya tampak pada
penghargaan
dan
kepercayaan
masyarakat
pada
santri
dan
pesantrennya. Nilai tarhibnya semakin santri dan pesantrennya menjauh dari masyarakat, maka mereka juga akan lari menjauh dari santri dan pesantrennya. Masyarakat sering kali menilai bagus dan tidaknya sebuah pesantren melihat dari akhlak santrinya. B.
ANALISIS TENTANG KENDALA PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI METODE TARGHIB DAN TARHIB BAGI SANTRI DI PPTQ SUNAN GIRI SURABAYA Pada sub bab ini peneliti akan menganalisis tentang kendala pelaksanaan
pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya. Adapun kendala tersebut karena faktor internal dan eksternal. 1.
Faktor Internal (kurang lurusnya niat santri) Tidak semua santri yang mondoknya benar-benar niat mondok. Terkadang mereka datang dan belajar di pondok karena paksaan dari orang tua atau keluarganya. Idealnya memang belajar di pesantren selain dorongan dari keluarga, hal itu merupakan pilihan sendiri dengan niat tulus mondok. Sebab biasanya santri yang belajar di pesantren karena terpaksa akan berpotensi melakukan pelanggaran dan menjadi kebiasaan buruk. Sementara santri yang datang dan belajar di pesantren karena niat tulus dan murni akan
120
menikmati hari-harinya dengan tekun belajar dan taat peraturan. Sehingga itu akan menghantarkan mereka meraih sukses menjadi santri yang berkarakter baik. 2.
Faktor Eksternal a)
Pengaruh lingkungan Bagian keamanan PPTQ Sunan Giri Surabaya
adalah salah satu
komponen penting dalam rangka mengantarkan santri menjadi seorang yang berkarakter luhur, karena selain menjadi penegak peraturan, bagian keamanan juga dituntut untuk selalu mengawasi semua tingkah laku santri, cara bargaul, dan prilaku keseharian santri. Apabila dari tingkah laku santri ada yang tidak sesuai dengan tuntunan agama dan tata tertib PPTQ Sunan Giri, maka tugas keamanan untuk menertibkannya dengan tindakan tegas namun mendidik. Cara Keamanan memberi sanksi sebuah pelanggaran yaitu mengikuti tahapan-tahapan dan ketentuan-ketentuan yang sudah tertuang di peraturan PPTQ Sunan Giri Surabaya. Adapun tahapan-tahapan dalam memberikan sanksi atas pelanggaran, langkah pertama memberi peringatan dan pengarahan. Jika masih belum berhasil, keamanan menerapkan sanksi sesuai ketentuan dalam tata tertib bergantung tingkat pelanggaran yang dilakukan santri.
121
Dalam upaya memberikan penyadaran kepada santri, ketua pondok dalam setiap sambutannya pada acara khithobiyah menyampaikan pentingnya taat pada peraturan pondok. Karena dengan taat kepada peraturan pondok kesempatan meraih sukses semakin terbuka lebar. Namun di sisi lain upaya yang telah dilakukan pengurus seringkali terganjal karena mereka kurang pandai memilih lingkungan yang baik dalam hal ini adalah memilih teman bergaul. Teman merupakan salah satu pemicu yang mempunyai pengaruh besar untuk membentuk karakter seseorang, untuk menjadi baik atau sebaliknya. Jadi, sejauh mana seseorang dapat meraih kesuksesan dalam mencari ilmu, dapat ditinjau dari sejauh mana ia pandai mencari teman yang baik.127 Disinilah letak kendala implementasi pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya, yaitu cara mereka memilih teman, meski telah berupaya sekuat tenaga untuk menjaga santri, mengarahkan, menasehati dengan cara yang baik, namun masih saja ada santri yang melanggar dan membangkang pada peraturanperaturan PPTQ Sunan Giri. Hal itu sering disebabkan oleh dorongan dan ajakan teman-teman disekelilingnya.
127
Moh. Achyat Ahmad, Mengapa Saya Harus Mondok Di Pesantren?, ( Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 1430 H), h. 119
122
b)
Para pendidik dan Pengurus yang tidak istiqomah menjalankan tugasnya Sikap pendidik dan pengurus yang “hangat-hangat tahi ayam”
berpotensi menjadi kendala dalam proses pendidikan karakter di PPTQ Sunan Giri, karena logikanya jika pendidik dan pengurusnya semangat menjalankan tugasnya, maka akan tercipta iklim yang kondusif. Jika situasi kondusif maka santri kecil kemungkinan melakukan pelanggaran. Jika mereka terbiasa tidak melanggar, maka mereka akan terbiasa melakukan hal-hal positif, Jika mereka sudah biasa melakukan hal-hal positif tersebut, maka akan tertanam menjadi sebuah karakter.
BAB VI PENUTUP
123
A.
KESIMPULAN Demikian skripsi ini penulis susun berdasarkan teori dan fakta di lapangan.
Akhirnya untuk mengisi bagian penutup ini penulis ingin menyampaikan kesimpulan skripsi ini secara general berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya. 1.
Bahwa ada beberapa kegiatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode Targhib dan Tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri, yaitu yang dilaksanakan melalui kegiatan ma’hadiyah (kepondokan), kegiatan madrasiyah (kemadrasahan), dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Adapun kegiatan ma’hadiyah yang menjadi sarana pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri adalah kewajiban sholat berjamaah, mauidhoh/taushiah, dan penegakan disiplin tata tertib pesantren. Sedangkan kegiatan madrasiyah dilaksanakan melalui keteladanan guru, disiplin kelas, dan musyawarah kelas. Sedangkan kegiatan sosial kemasyarakatan dilaksanakan melalui ro’an (kerja bakti), amanah mengisi ceramah dan amanah mengajar ngaji.
2.
Adapun kendala pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode targhib dan tarhib bagi santri di PPTQ Sunan Giri Surabaya ada dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berupa kurang lurusnya
124
niat santri, sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh lingkungan, serta para pendidik dan pengurus yang tidak istiqomah menjalankan tugasnya.
B.
SARAN-SARAN Berdasarkan hasil pengamatan yang telah penulis lakukan, maka penulis
merasa perlu untuk menyampaikan saran kepada: 1.
Pesantren Untuk selalu mempertahankan kualitas akhlak santri dan budaya pesantren khususnya di PPTQ Sunan Giri Surabaya
2.
Pengasuh Keteladanan merupakan hal yang sangat berdampak langsung kepada para santri, sehingga keteladanan baik selama ini tetap dipertahankan
3.
Guru Selain mengajar tugas guru yang paling utama adalah mendidik. Jadi, keteladanan dan menjadi cermin bagi santri dalam segala hal harus selalu mendapatkan perhatian serius
4.
Pengurus Dalam sebuah pesantren, pengurus merupakan motor penggerak kegiatan, sehingga semangat pengurus menjadi kunci penting keberhasilan santri, terutama keberhasilan pembentukan karakter bagi santri
5.
Santri
125
Dengan adanya bimbingan dan keteladanan baik dari pengasuh, guru/ustadz, maupun pengurus diharapkan santri mampu mengaplikasikan akhlak baik dalam kehidupan sehari-hari, sehingga benar-benar menjadi sebuah karakter yang tertancap dan tidak pernah berubah bukan hanya di pesantren, tapi juga setelah berada di tengah-tengah masyarakatnya nanti 6.
Dalam mengatasi kendala-kendala dalam pelaksanaan pendidikan karakter melalui metode Targhib dan Tarhib bagi santri, diharapkan dewan asatidz dan para pengurus untuk tidak bosan memberikan bimbingan, arahan, nasehat yang baik dan rasa muraqabah kepada santri, agar santri selalu merasa bahwa ia tidak lepas dari pandangan Allah. Serta menyirami jiwa para santri dengan selalu membeiri motivasi untuk selalu giat belajar dan mentaati peraturan. Dan tentunya semua itu harus dimulai dari diri kita sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
126
Abdullah, Abdurrahman saleh. 1994. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan AlQur’an, terj. H. M. Arifin. (Jakarta: Rineka cipta). Adi, Kuncoro. 2010. Model Pendidikan Karakter di Universitas Sanata Darma. (Jogyakarta: Joyakarta). Ahmad, Moh. Achyat. 1430 H. Mengapa Saya Harus Mondok Di Pesantren?. ( Pasuruan: Pustaka Sidogiri). Al Munawar , Said Agil Husin. 2005. Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam. (Ciputat: Ciputat Press). Al-Rasyidin dan H. Samsul Nizar. 2005. Filsafat pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press). An-nahlawi, Abdurrahman. 1989. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, terj. Herry Noer Ali. (Bandung: Diponegoro). Anwar, Qomari. 2003. Pendidikan Sebagai Karakter Budaya Bangsa. (Jakarta: Uhamka Press). Arifin, H.M.. 2003. Ilmu pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. (Jakarta: Bumi Aksara). Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. cet. Ke-13. (Jakarta: PT Rineka Cipta). Asmani, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. (Jogjakarta: Diva Press). Azzet, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. (Jogjakarta: Ar-ruzz Media). Depag. Al-Qur’an dan Terjemah, 1992.
Dokumentasi Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya Tahun 2012.
127
Doni Koesoema A.. 2010. Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. (Jakarta: Grasindo). E. Mulyasa. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter (Jakarta: Bumi Aksara). Hadi, Sutrisno. 1991. Metode Research (Yogyakarta: Andi Offset). Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. (Surakarta: Yuma Pustaka). Khan, D. Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasisi Potensi Diri; Mendongkrak Kualitas Pendidikan. (Yogyakarta: Pelangi Publishing). Mujib, Abdul dan Jusuf Kencana).
Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Mukhtar, Heri Jauhari. 2005. Fikih Pendidikan. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya). Moleong, Lexi J.. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi, cet. Ke26. (Bandung: Remaja Rosda Karya). Nazir, M.. 1988Metode Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indonesia). Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, 1994. kamus Ilmiah Populer. (Surabaya: Arkola). Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa lndonesia. (Jakarta: Pusat Bahasa). Shaleh, Abdul Rahman. 2006. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. (Jakarata: PT Raja Grafindo Persada). Sjarkawi. 2006.Pembentukan Kepribadian Anak; Peran Moral, Intelektual, Emosional, dan Sosial sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri. (Jakarta: Bumi Aksara). Subagyo, Joko. 2004. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. cet. Ke- 4. (Jakarta: PT Rineka Cipta). Sudijono, Anas. 2009. Pengantar Sttistik Pendidikan. (Jakarta: Rajawali Pers).
128
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantiatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta). Sulaiman, Fathiyah Hasan. 1986. Sistim Pendidikan Versi Al-Ghazali, terj. Fathur Rahman dan Syamsuddin Asyrafi. (Bandung: Al Ma’arif). Sulaiman, In’am. 2010. Masa Depan Pesantren. (Malang: Madani Wisma Kalimetro). Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya. cet. Ke-2. (Jakarta: Bumi Aksara). Surakhmat, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. (Bandung: Tarsito). Suratman, Ki. 1987. Pokok-pokok Ketamansiswaan. Luhur Persatuan Taman Siswa).
(Yogyakarta: Majelis
Tafsir, Ahmad .2010. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Remaja Rosdakarya Offset).
(Bandung:
Uhbiyati, Hj. Nur. 2005. Ilmu Pendidikan islam. (Bandung: Pustaka setia). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. Zuriah, Nurul. 2007. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. cet. Ke-2. (Jakarta: Bumi Aksara).
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
129
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Mochamad Fathoni
NIM
: D51208020
Jurusan
: Pendidikan Agama Islam
Fakultas
: Tarbiyah
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambil-alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai hasil atau tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Surabaya, 3 Juli 2012 Yang membuat pernyataan
Mochamad Fathoni
RIWAYAT HIDUP
130
Mochamad Fathoni lahir di Tuban Jawa Timur pada tanggal 15 September 1982, anak pertama dari empat bersaudara, pasangan bapak Suryono dan Siti Ruqoyyah. Pendidikan dasar telah ditempuh di SDN Saringembat III, tamat tahun 1994. Kemudian melanjutkan di MTs Islamiyah Kedungjambe, tamat tahun 1997. Lalu meneruskan pendidikan di MA Assalam Bangilan, tamat tahun 2002. Pernah kursus bahasa Inggris dan Arab di LPMIBA DAR AL-‘ASHR Kedungjambe pada tahun 1999-2001. Semasa menjadi pelajar ia selalu meraih prestasi akademik yang membanggakan. Selain pendidikan formal, ia juga mengenyam pendidikan di berbagai pondok pesantren. Pada tahun 1997-2002 belajar di Pondok Pesantren Roudhlotut Tholibin Tanggir Singgahan Tuban. Tahun 2003-2005 belajar di Pondok Pesantren Al-Ishlah Soko Tuban. Pada tahun 2005-2007 belajar di Pondok Pesantren Modern Al-Ishlah Bondowoso. Selanjutnya sejak tahun 2008 belajar di Pondok Pesantren Tahfidhul Qur’an Sunan Giri Surabaya dan mengabdi sebagai guru Madrasah Diniyah Al-Islamiyah Sunan Giri. Pendidikan tinggi ia tempuh sewaktu di pesantren Modern Al-Ishlah Bondowoso yaitu di STIT Al-Ishlah namun tidak sampai selesai, hanya dapat empat semester saja. Kemudian melanjutkan di jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel melalui jalur beasiswa Program Kualifikasi Guru Madrasah Diniyah.